MENITI ILMU DIATAS MANHAJ SALAF

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
http://almanhaj.or.id/content/3449/slash/0/meniti-ilmu-di-atas-manhaj-salaf/

Manhaj Salaf,[1] merupakan satu-satunya metode pemahaman dan
pengamalan agama Islam yang dijamin kebenarannya oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena
itu, jaminan mendapatkan keridhaan Allah Azza wa Jalla hanya diberikan
kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan ihsan (kebaikan).
Dinyatakan dalam firman Allah Azza wa Jalla :

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat Radhiyallahu
anhum) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.
[at-Taubah/9:100].

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla menyebutkan jaminan keridhaan-Nya
bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat Radhiyallahu
anhum, dengan syarat mereka mengikutinya dengan ihsan (kebaikan).
Artinya, yaitu mengikuti petunjuk mereka secara keseluruhan dalam
memahami dan mengamalkan agama ini, baik dalam aqidah (keyakinan),
ibadah, tingkah laku, bergaul, bersikap, berdakwah, dan semua sisi
lainnya dalam beragama. Ringkasnya, mengikuti petunjuk para sahabat
Radhiyallahu anhum dalam mengilmui (memahami) dan mengamalkan agama
ini secara menyeluruh.

Tentang penafsiran ayat di atas, Imam Ibnu Katsir berkata:
“Orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, ialah orang-orang
yang mengikuti jejak (petunjuk) mereka yang baik, dan sifat-sifat
mereka yang terpuji, serta selalu mendoakan kebaikan bagi mereka
secara diam-diam maupun terang-terangan”.[2]

MANHAJ SALAF: MANHAJ ILMU DAN AMAL
Inilah salah satu keistimewaan terbesar yang terdapat pada manhaj
salaf. Manhaj ini dibangun di atas ilmu (pemahaman) agama yang benar,
dan pengamalan yang baik. Seseorang yang benar-benar mengikuti manhaj
ini, ia akan terbimbing dalam pemahaman agamanya, sehingga akan
terhindar dari segala bentuk syubhat,[3] sekaligus terbimbing dalam
pengamalan ilmu tersebut sehingga terhindar dari segala bentuk syahwat
(hawa nafsu, Red.).[4]

Dengan keistimewaan ini pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
pensifatan terhadap petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya:

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ

Kawanmu (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak sesat
(dalam ilmu) dan tidak pula menyimpang (dalam amal). [an-Najm/53:2].

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensucikan petunjuk yang
dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua kerusakan.
Yaitu: adh-dhalâl (kesesatan),[5] dan al-ghawâyah/al-ghayy
(penyimpangan).[6] Ini berarti, tedapat dua bimbingan sekaligus. Yaitu
al-huda (bimbingan dalam ilmu dan pemahaman) dan ar-rusyd (bimbingan
dalam amal). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah
seorang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan agama
ini.[7]

Demikian pula dua bimbingan ini ada pada petunjuk yang dibawa
al-khulafa` ar-râsyidîn (para sahabat utama yang menggantikan
kepemimpinan Rasulullah setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam).
Disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk)ku dan
petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin …”.[8]

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut
para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin.
Artinya para khalifah yang memiliki ar-rusyd, yaitu bimbingan dalam
amal (lawan dari al-ghawâyah); dan memiliki al-huda, yaitu bimbingan
dalam ilmu dan pemahaman (lawan dari adh-dhalâl). Ini menunjukkan,
seseorang yang benar-benar mengikuti petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn
dan termasuk pula para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
secara keseluruhan, maka orang itu akan terbimbing dengan baik dalam
memahami dan mengamalkan agama Islam ini.

Kita mengetahui, para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dari kalangan
at-Tabi’in yang menimba ilmu secara langsung dari para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka tidak hanya
mempelajari secara teori belaka, akan tetapi juga mempelajari cara
mengamalkan dan mempraktekkan ilmu tersebut.

Abu 'Abdirrahmân 'Abdullah bin Habib bin Rubayyi’ah as-Sulami
al-Kuufi[9] berkata: “Kami mempelajari Al-Qur`ân dari suatu kaum (para
sahabat Radhiyallahu anhum) yang menyampaikan kepada kami, bahwa
dulunya, ketika mereka mempelajari sepuluh ayat (Al-Qur`ân dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), mereka tidak akan berpindah
ke sepuluh ayat berikutnya sampai mereka (benar-benar) memahami
kandungan ayat-ayat tersebut. Maka kamipun mempelajari Al-Qur`ân
sekaligus cara mengamalkannya. Dan setelah kami nanti, akan datang
suatu kaum yang mereka mempelajari Al-Qur`an seperti meminum air,
yaitu Al-Qur`ân itu tidak melampui tenggorokan mereka (maksudnya,
tidak masuk ke dalam hati mereka)”[10].

PARA ULAMA SALAF, MEREKA MERUPAKAN IMAM DALAM ILMU DAN AMAL
Jika mencermati dengan seksama biografi para imam besar Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah, kita akan mengetahui, mereka tidak hanya disifati sebagai
orang-orang yang mendalam ilmu agamanya saja, akan tetapi, mereka juga
orang-orang yang menjadi teladan dalam ibadah dan amal shalih.

Misalnya Rabî’ bin Khutsaim al-Kûfi (wafat tahun 65 H),[11] ia
merupakan salah seorang imam besar dari kalangan Tabi’in ‘senior’ yang
terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid sahabat yang
mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Lantaran ketekunannya
dalam ibadah dan ketakwaan, sehingga guru beliau sendiri -Abdullah bin
Mas’ud Radhiyallahu anhu - memujinya dengan mengatakan: “Seandainya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatmu, maka sungguh
beliau akan mencintaimu. Setiap kali melihatmu, aku mengingat
orang-orang yang selalu menundukkan diri (kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala).”[12]

Muhammad bin Sirin al-Bashri (wafat tahun 110 H),[13] ia seorang imam
besar Tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan
hadits. Di dalam biografinya diterangkan, beliau ialah seorang yang
sangat wara` (hati-hati dalam masalah halal dan haram) dan seorang
yang tekun beribadah. Abu ‘Awânah al-Yasykuri mengomentari tentang
beliau: “Aku melihat Muhammad bin Sirin di pasar; tidak seorangpun
melihatnya, kecuali orang itu akan mengingat Allah”.[14]

Tsabit bin Aslam al-Bunâni al-Bashri (wafat tahun 123 H atau 127
H),[15] ia juga seorang imam besar dari kalangan Tabi’in yang
terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid senior
sahabat yang mulia, Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Tsabit bin Aslam
sangat tekun beribadah, bahkan ia disifati sebagai orang yang paling
tekun beribadah pada masanya, sehingga Anas bin Malik Radhiyallahu
anhu memujinya dengan mengatakan: “Sesungguhnya, Tsabit termasuk
pembuka pintu-pintu kebaikan”.[16]

Dalam memujinya, Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengisyaratkan
kepada hadits yang diriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara manusia ada
pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan”.[17]

'Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi (wafat tahun 181 H),[18] ia
seorang imam besar ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in (murid para
Tabi’in) yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits.
Pensifatan terhadapnya, ialah sebagai orang yang pada diri beliau
terkumpul semua sifat-sifat kebaikan; sampai-sampai Imam Sufyan bin
‘Uyainah memujinya dengan mengatakan: “Aku memperhatikan
(membandingkan) sifat-sifat para sahabat Radhiyallahu anhum dengan
sifat-sifat 'Abdullah bin al-Mubarak, maka aku tidak melihat para
sahabat Radhiyallahu anhum melebihi keutamaannya, kecuali karena para
sahabat Radhiyallahu anhum menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan berjihad bersamanya".[19]

Begitu pula dengan Ibnu Hajar dalam Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 271), ia
berkata: “Dia ('Abdullah bin al-Mubarak, Red.) adalah seorang yang
terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), memiliki
ilmu dan pemahaman (yang mendalam), dermawan lagi (sering) berjihad
(di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Pada dirinya terkumpul (semua)
sifat-sifat baik”.

Sehubungan dengan pembahasan di atas, ada satu nukilan menarik yang
disebutkan oleh al-Khathib al-Baghdaadi dalam kitab beliau, Tarikh
Baghdad (9/58), dan adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ` (13/203),
dalam biografi imam besar penghafal hadits yang ternama, yaitu Abu
Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani (wafat tahun 275 H),
pemilik kitab Sunan Abi Dawud.

Dalam nukilan itu disebutkan mata rantai guru-guru beliau dalam
mempelajari ilmu hadits sehingga diketahui sampai kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ialah Imam Ahmad bin Hambal,
beliau guru utama Imam Abu Dawud; kemudian Waqi’ bin al-Jarrah
ar-Ruaasi, beliau termasuk guru utama Imam Ahmad; lalu Sufyan bin
Sa’id ats-Tsauri, beliau merupakan guru utama Imam Waqi’ bin
al-Jarrah; selanjutnya Manshur bin al-Mu’tamir, beliau termasuk guru
utama Sufyan ats-Tsauri, selanjutnya Ibrahim bin Yazid an-Nakhâ`i,
ialah termasuk guru utama Manshur bin al-Mu’tamir; kemudian ‘Alqamah
bin Qais an-Nakhaa`i, beliau merupakan guru utama Ibrahim an-Nakhâ`i
dan termasuk murid "senior' sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu. Selanjutnya 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu,
beliaulah yang langsung menimba ilmu dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam .

Mereka ini, semua merupakan imam-imam besar Ahlul-Hadits yang sangat
terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , sehingga hadits-hadits mereka dicantumkan dalam kitab-kitab
hadits ternama, seperti Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, dan
lain-lain.

Yang menarik dari nukilan itu, bahwasanya semua imam-imam besar
tersebut disifati sebagai “orang yang diserupakan dengan gurunya dalam
petunjuk dan tingkah lakunya”; mulai dari Sahabat 'Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu, beliau diserupakan dengan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam petunjuk dan tingkah lakunya, kemudian
‘Alqamah diserupakan dengan 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu
dalam petunjuk dan tingkah lakunya, seterusnya sampai kepada Imam Abu
Dawud, beliau diserupakan dengan Imam Ahmad bin Hambal dalam petunjuk
dan tingkah lakunya.

Dalam nukilan tersebut, kita mendapati para ulama Ahlus Sunnah dalam
menimba ilmu agama tidak hanya mengutamakan pengambilan ilmu secara
teori belaka, akan tetapi juga mengambil dan meneladani petunjuk dan
tingkah laku guru-guru mereka secara maksimal, sehingga Imam Abu Dawud
dapat mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui teladan yang diambil dari
guru-guru beliau, padahal rentang masa antara beliau dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jauh.

NASIHAT UNTUK PARA PENGIKUT MANHAJ SALAF
Dari keterangan di atas sangat jelaslah, di antara keistimewaan
terbesar yang ada pada manhaj salaf, yaitu perhatian dan kesemangatan
mereka dalam mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, maka kita
yang menisbatkan diri kepada manhaj ini, seharusnya berusaha untuk
mengikuti petunjuk mereka, agar kita termasuk ke dalam golongan
“orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan kebaikan” dan
mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena kalau bukan kita
– terlebih lagi para penuntut ilmu di antara kita – yang semangat
mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al- Qur`ân dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu siapa lagi?!

Marilah kita perhatikan dengan seksama nasihat Imam al-Khatîb
al-Baghdadi[20] tentang adab-adab utama yang seharusnya dimiliki oleh
para penuntut ilmu. Beliau berkata, semestinya para penuntut ilmu
hadits (berusaha) membedakan (antara) dirinya dengan kebiasaan
orang-orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya,
dengan (berusaha) mengamalkan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan
sunnah-sunnahnya, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu. [al-Ahzâb/33:21].

Kemudian al-Khatîb al-Baghdadi membawakan beberapa atsar (riwayat)
dari ulama Salaf, di antaranya ucapan Imam al-Hasan al-Bashri:
“Dahulu, jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian
terlihat (pengaruh ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya
(kepada Allah), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan
(perbuatan) tangannya”.

Juga atsar dari Imam Ahmad bin Hambal, ketika ada seorang penuntut
ilmu yang bermalam di rumah beliau, maka Imam Ahmad menyiapkan air
(untuk berwudhu), kemudian paginya Imam Ahmad datang kepada tamunya
tersebut dan mendapati air yang beliau siapkan tidak berkurang sama
sekali, maka beliau berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah)! Seorang
penuntut ilmu tidak melakukan wirid (dzikir dan shalat) pada malam
hari?!”

Demikianlah, petunjuk para ulama Salaf dalam menjalankan agama ini;
yang kita mengaku menisbatkan diri kepada manhaj mereka, akan tetapi
sudahkah kita menerapkan petunjuk mereka dalam diri kita?

Semoga tulisan ini menjadi koreksi dan penambah motivasi bagi kita
untuk lebih semangat mencari ilmu yang bermanfaat, dan berusaha
melatih diri mengamalkan ilmu tersebut, serta tidak lupa banyak berdoa
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , agar kita diberi kemudahan dalam
menempuh manhaj yang lurus ini.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala , semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik dan
petunjuk-Nya kepada kita, sehingga kita termasuk ke dalam golongan
orang-orang yang mengikuti petunjuk para ulama Salaf dengan kebaikan,
serta menjadikan diri kita tetap istiqamah di atas manhaj yang lurus
ini sampai akhir hayat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Metode beragama yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama Ahlus-Sunnah yang
mengukuti petunjuk mereka.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir, 4/432.
[3]. Artinya kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami agama Islam,
yang disebabkan ketidakmampuan membedakan antara yang benar dan yang
batil (salah). Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitabnya
Igâtsatul-Lahafân, hlm. 40 –Mawâridul-Amân.
[4]. Artinya memperturutkan keinginan nafsu yang buruk dan
mendahulukannya daripada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ibid.
[5]. Kerusahan dalam ilmu dan pemahaman.
[6]. Kerusakan dalam amal.
[7]. Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitab Miftahu Dâris-Sa’âdah, 1/40.
[8]. HR Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ibnu Majah (no.
42 dan 43) dan al-Hakim (no. 329) dan lain-lain, dari sahabat yang
mulia al ‘Irbaadh bin Saariyah Radhiyallahu anhu. Riwayat ini
dinyatakan shahîh oleh at- Tirmidzi, al-Hakim, dan disepakati oleh
adz-Dzahabi, begitu pula Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah (no.
937).
[9]. Beliau ialah seorang Tabi’in senior yang terpercaya dan teliti
dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga riwayat hadits beliau dicantumkan oleh para imam ahli hadits
dalam kitab-kitab hadits mereka, seperti halnya al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, an-Nasâ`i, dan lain-lain. Beliau wafat pada sekitar tahun
73 atau 74 H. Biogarafi beliau terdapat di dalam kitab
Tahdzîbul-Kamala (14/408), Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/267), dan
Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 250).
[10]. Atsar ini dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin
Nubalâ` (4/269). Dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama
‘Atha` bin as-Saaib al-Kuufi. Ibnu Hajar di dalam kitab
Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 250) berkata tentang perawi ini: “Dia adalah
seorang yang sangat jujur, akan tetapi (hafalannya) tercampur”.
Meskipun demikian, perawi yang meriwayatkan darinya dalam atsar ini
ialah Hammâd bin Zaid al-Bashri yang meriwayatkan darinya sebelum
hafalannya tercampur, sebagaimana ucapan Imam Ali bin al-Madîni dan
al-‘Uqaili (lihat kitab Tahdzîbul-Kamâl, 7/185). Riwayat ini juga
dikuatkan dengan riwayat lain dari ucapan sahabat yang mulia 'Abdullah
bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam
Tafsir-nya (1/60) dengan sanad yang semua perawinya terpercaya, akan
tetapi Sulaiman bin Mihraan al-A’masy meriwayatkannya dengan ‘an’anah,
sedangkan ia seorang mudallis.
[11]. Biografi beliau dalam Tahdzîbul-Kamâl (9/70) dan Siyaru A’lâmin
Nubalâ` (4/258).
[12]. Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/258), juga dinukil oleh al-Mîzi dalam
Tahdzîbul-Kamâl (9/72) dan Ibnu Hajar dalam kitab Taqrîbut-Tahdzîb
(hal. 157).
[13]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (25/344) dan Siyaru
A’lâmin Nubalâ` (4/606).
[14]. Lihat Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/610). Sifat beliau ini
menunjukkan bahwa beliau ialah wali (kekasih) Allah Subhanahu wa
Ta’ala, karena Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wali
(kekasih) Allah ialah seseorang yang jika (manusia) memandangnya maka
mereka akan ingat kepada Allah”. HR ath-Thabrani dalam
al-Mu’jamul-Kabîr (no. 12325), Dhiya’uddin al-Maqdisi dalam
al-Ahâditsul-Mukhtârah (2/212), dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan
kuat oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah (no. 1733) karena
diriwayatkan dari jalur lain yang saling menguatkan.
[15]. Biografi beliau terdapat dalam Tahdzibul-Kamal (4/342) dan
Siyaru A’lâmin Nubalâ` (5/220).
[16]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no 35679). Semua
perawinya terpercaya kecuali Zaid bin Dirham al-Bashri; tidak ada
seorang imampun yang menyatakannya sebagai orang yang terpercaya
kecuali Ibnu Hibban yang menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqât
(4/247).
[17]. HR Ibnu Majah (no. 237) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab
as-Sunnah (no. 251). Dinyatakan hasan (baik) oleh Syaikh al-Albâni
dalam ash-Shahîhah (no. 1332) karena diriwayatkan dari berbagai jalur
lain yang saling menguatkan.
[18]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (16/5) dan Siyaru A’lâmin
Nubalâ` (8/378).
[19]. Lihat Tahdzibul-Kamal (16/16) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (8/390).
[20]. Lihat kitab beliau, al-Jâmi’ li Akhlâqir-Râwi wa Âdâbis-Sâmi’ (1/215).


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke