From: anak_minya...@yahoo.com
Date: Mon, 3 Dec 2012 02:06:32 -0800 





Afwan, beberapa kali email sudah membahas tentang solat musafir, tetapi ana 
masih perlu untuk menanyakan ini:
Ana dan keluarga akan safar berkunjung ke rumah orang tua, tanggal 
keberangkatan dan pulang sudah ditetapkan sejak awal krn menggunakan pesawat 
terbang. Kami akan menginap sekitar sebulan. Rumah ortu didepan mesjid jami. 
Walaupun yg jamaah tidak terlalu ramai tetapi cukup istiqomah. Jamaah beragam 
pemahaman agamannya. 
Bagaimana sikap ana apakah harus ke masjid setiap kali mendengar azan? atau 
bagaimana yg sunnah sebaiknya mengingat rumah ortu yg dekat rumah nanti dikira 
tidak mau jamaah dsb?  
Dan untuk istri bagaimana solatnya sebaiknya, karena di rumah ada ibu, apakah 
jamaah dengan ibu, atau qosor tiap waktu salat..?
JazakAllohu khoir atas ilmu dan nasehatnya 
Abu Zizan
>>>>>>>>>>>>
 
1. Musafir nâzil maksudnya musafir yang singgah sementara di suatu tempat atau 
kota. Telah diketahui bahwa musafir yang sedang dalam perjalanan, maka dia 
terus melakukan qashar walaupun lama masanya. Jika dia singgah di suatu kota 
atau sudah sampai di tempat tujuan, berapa lama dia boleh mengqashar? Dalam 
masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara Ulama menjadi lebih dari 10 
pendapat, yang paling terkenal antara lain:

1. Jika berniat tinggal lebih dari 4 hari, maka tidak mengqashar shalat. Ini 
adalah pendapat Mâlikiyyah, Syâfi'iyyah, dan Hanabilah.
2. Jika berniat tinggal 15 hari, maka tidak mengqashar shalat. Ini adalah 
pendapat Abu Hanîfah, ats-Tsauri, dan al-Muzani.
3. Musafir tetap mengqashar shalat selama tidak berniat tinggal tetap. Ini 
adalah pendapat Hasan, Qatâdah, Ishâq dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
4. Musafir mengqashar shalat 20 hari (siang dan malamnya), selebihnya tidak 
mengqashar, baik berniat tinggal atau tidak.

Pendapat terkuat adalah pendapat ke 3, dengan alasan bahwa Allah Azza wa Jalla 
dan Rasul-Nya tidak mensyaratkan safar dengan masa dan jarak tertentu. Demikian 
juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tinggal di Mekah selama 19 hari 
dan di Tabuk selama 20 hari dengan mengqashar shalat. Tinggalnya beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut karena mengikuti situasi yang ada, dan 
beliau tidak bersabda bahwa orang yang tinggal lebih dari itu maka dia tidak 
boleh mengqashar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Orang 
yang telah memahami Sunnah dengan jelas dan mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam tidak mensyari'atkan shalat bagi musafir kecuali dua raka'at, 
dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi safar dengan masa dan 
tempat, juga tidak membatasi tinggal di suatu tempat dengan waktu tertentu, 
tidak membatasi dengan 3, 4, 12, atau 15 hari, maka dia mengqashar shalat, 
sebagaimana banyak Salaf melakukan". [1] 

Namun seseorang yang menetap di suatu tempat dengan membawa barang-barang 
keperluannya, dia tinggal di tempat yang khusus baginya dengan tentram dan 
tidak berpindah-pindah, maka dia seorang muqîm, bukan musafir. 

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Secara pasti kita mengetahui bahwa keadaan 
safar bukanlah keadaan iqâmah (tinggal menetap di kotanya sendiri). Safar itu 
adalah berpindah-pindah di selain kota tempat tinggalnya, sedangkan iqâmah 
adalah tinggal dan berpindah-pindah di kota tempat tinggalnya. Ini adalah hukum 
syari'at dan tabi'at sekaligus. Jika demikian, maka orang yang tinggal di suatu 
tempat adalah seorang muqîm dengan tanpa keraguan". [2] 

Syaikh 'Adil bin Yûsuf al-'Azzâzi -hafizhahulâh- menyatakan: "Para duta negara 
dan diplomat yang tinggal di kedutaan (di luar negeri) mengikuti hukum muqîm, 
demikian juga orang yang bekerja atau belajar di luar kota. Mereka semua 
melakukan shalat sempurna, wallâhu a'lam, walaupun di dalam masalah ini 
terdapat perbedaan pendapat." [3]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2532/slash/0/arah-kiblat-musafir-nazil-mengqashar-shalat-arti-hayya-alal-falah/
 
2. Pembuat syari’at Yang Maha Bijaksana telah menggugurkan (kewajiban) bagi 
musafir untuk shalat jum’at, kemudian gugur juga (kewajiban) shalat jama’ah. 
Akan tetapi shalat jamaah yang digugurkan adalah jamaah bersama penduduk 
setempat, adapaun sesama musafir mereka wajib berjamaah sesama mereka.

Adapun mana yang lebih utama saya katakana bahwa yang lebih utama adalah yang 
lebih bermanfaat dan lebih mudah baginya dan hukum ini adalah seperti hukum 
shalatnya wanita di rumah, yang lebih utama bagi wanita adalah shalat di rumah 
karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَبُيُوْ تُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka

Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa para wanita di zaman Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam mereka bolak-balik ke masjid, dan mereka shalat di belakang 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga berkata sayyidah Aisyah.

لَقَدْ كَانَتِ النِّسَاءُ الْمُسْلِمَاتُ يُصَلِّيْنَ الْفَجرَ خَلفَ النَّبِيِ 
ثُمَّ يَنْصَرِفِنَ فَي الْغَلَسِ وَهُنَّ مُتَلَفَّعَاتُ بِمُرُوطِهِنَّ وَلاَ 
يُعْرَفْنَ مِنْ شِدَّةِ الْغَلَسِ

Para wanita muslimat sering shalat shubuh di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam, kemudian mereka pulang dalam kegelapan (shubuh) dan mereka 
menyelubungkan pakaian mereka, dan mereka tidak dikenal karena pekatnya gelap 
(awal shubuh).

Mereka pegi ke masjid padahal shalat (di rumah) itu lebih baik bagi mereka. Dan 
hukum ini tetap berlaku walaupun banyak perempuan-perempuan di zaman Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shalat di masjid.

Dari sini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa kadang-kadang di dalam 
kekurangan itu muncul keutamaan. Dan di dalam keutamaan itu kadang-kadang 
muncul kekurangan. Kemudian beliau membawakan beberapa contoh di antaranya 
adalah shalatnya wanita di masjid.

Maka yang lebih utama bagi wanita adalah shalat di rumah, bahkan lebih utama 
lagi di dalam kamar khusus. Semakin jauh dari pandangan, semakin utama baginya.

Meskipun demikian para wanita di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
banyak yang shalat di masjid, karena mereka butuh kepada ilmu, dan ilmu 
tersebut tidak mungkin mereka peroleh jika mereka di rumah terus. Maka dalam 
keadaan seperti ini shalatnya wanita di masjid lebih utama daripada di rumah 
karena akan mendapat manfaat yang besar berupa ilmu dan tarbiyah Islam yang 
tidak mereka dapatkan jika mereka shalat di rumah. Dan keluarnya wanita 
seharusnya disertai dengan menjaga adab-adab Islam, saat ia keluar, saat 
kembali dan saat di perjalanan.

Berdasarkan hal ini, ku katakana : “Jika seorang musafir mendapatkan di masjid 
suatu faidah dan manfaat, maka lebih utama baginya shalat di masjid, jika tidak 
maka lebih mudah dan lebih utama baginya shalat di rumah.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/551/slash/0/apakah-seorang-musafir-tetap-shalat-berjamaah-di-msajid/
 
Wallahu Ta'ala A'lam
 



Reply via web post 
Reply to sender 
Reply to group 
Start a New Topic 
Messages in this topic (1) 
Recent Activity: 

New Members 18 
Visit Your Group 
Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/

 
Switch to: Text-Only, Daily Digest • Unsubscribe • Terms of Use • Send us 
Feedback 


. 



                                          

Reply via email to