Bersedekah Agar Ditambahkan Rizkinya Di Dunia Syirik?

http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/290-bersedekah-agar-ditambahkan-rizkinya-di-dunia-syirik

Diantara perkara-perkara yang disangka merusak keikhlasan, bahkan
dianggap perbuatan kesyirikan adalah

Kedua : Beribadah disertai dengan niat mencari kemaslahatan dunia yang
dizinkan oleh syari'at

Banyak dalil yang menunjukan akan hal ini, diantaranya firman Allah

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ

"Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan)
dari Tuhanmu" (QS Al-Baqoroh : 198)


Para ulama telah sepakat bahwa seseorang yang melaksanakan ibadah haji
sambil berdagang maka hajinya sah, berdasarkan ayat ini. Tentunya
seseorang yang berhaji sambil berdagang tidaklah ia memaksudkan dengan
perdagangannya untuk riyaa'. Karenanya perdagangannya tersebut
bukanlah kesyirikan. Akan tetapi niatnya adalah ia berhaji sambil
berdagang, dan berdasarkan ayat ini Allah membolehkan niat seperti
ini.

Contoh lagi sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

دَاوُوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ

"Obati orang-orang sakit diantara kalian dengan sedekah" (Dihasankan
oleh Al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhiib no 744)

Hadits ini menunjukan akan bolehnya seseorang bersedekah dengan niat
agar orang yang sakit dari keluarganya disembuhkan oleh Allah dengan
sebab sedekah tersebut.

Nabi juga bersabda :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنَسَّأَ لَهُ فِي
أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

"Barang siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan
umurnya maka hendaknya ia menyambung silaturahmi" (HR Al-Bukhari no
2067 dan Muslim no 2557)

Hadits ini jelas menunjukkan akan bolehnya seseorang bersilaturahmi
dengan niat agar dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.

Bahkan Allah berfirman

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)وَيَرْزُقْهُ مِنْ
حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya
jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. (QS At-Tholaaq : 2-3)

Ayat ini jelas bahwsanya boleh seseorang bertakwa kepada Allah dengan
niat agar diberi jalan keluar oleh Allah dan diberi rizki dari arah
yang tidak ia persangkakan.

Sebagian ulama menyangka bahwasanya jika dalam ibadah
tercampurkan/tersyarikatkan niat-niat keduniaan maka ibadah tersebut
tidak sah. Akan tetapi hal ini merupakan kesalahan. Al-Imam Al-Qoroofi
salah seorang ulama besar dari madzhab Maliki telah menjelaskan dengan
gamblang tentang perbedaan antara riyaa' dengan mencampurkan niat
keduniaan dalam ibadah. Al-Qorofi rahimahullah berkata :

"Perbedaan yang ke 102, antara kaidah riyaa' dalam peribadatan dengan
kaidah tasyriik (mencampurkan niat keduaniaan-pen) dalam ibadah.

Ketahuilah bahwasanya riyaa' dalam peribadatan adalah syirik, serta
mempersyerikatkan bersama Allah dalam ketaatannya. Dan hal ini
melazimkan kemaksiatan dan dosa, serta batilnya ibadah tersebut….

Penjelasan kaidah (riyaa') ini dan rahasainya adalah seseorang
mengamalkan suatu amalan yang diperintahkan untuk bertaqorrub dan dia
memaksudkan dengan amalan tersebut wajah Allah dan juga agar
orang-orang mengagungkannya atau sebagian orang, maka dengan
diagungkannya dia sampailah kemanfaatan orang-orang tersebut kepadanya
atau ia terhindarkan dari gangguan mereka. Ini adalah kaidah dari
salah satu dari dua model riyaa'.

Adapun model yang lain, yaitu ia beramal dengan suatu amalan yang ia
sama sekali tidak mengharapkan wajah Allah, akan tetapi ia hanya ingin
(pengagungan/sanjungan) manusia saja. Model ini dinamakan dengan riyaa
yang murni, adapun model yang pertama dinamakan dengan riyaa' syirik,
karena model ini tidak ada pensyarikatan, semata-mata mengharapkan
pujian manusia saja, adapun model yang pertama pensyarikatan antara
manusia dan Allah….

Adapun hanya sekedar pensyarikatan –seperti seseorang yang berjihad
untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dengan berjihad dan juga untuk
memperoleh harta gonimah- maka hal ini tidaklah memudhorotkannya,
serta ijmak (kesepakatan/konsensus) ulama bahwasanya hal ini tidak
haram baginya, karena Allah menjadikan harta gonimah dalam ibadah
jihad. Maka tentunya ada perbedaan antara seseorang yang berjihad agar
orang-orang mengatakan "ia adalah seorang pemberani", atau agar sang
imam/pemimpin negara menghormatinya sehingga memberikannya banyak
harta dari baitul maal, maka hal ini dan yang semisalnya adalah riyaa'
yang haram. Berbeda dengan seseorang yang berjihad untuk memperoleh
budak tawanan wanita, hewan tunggangan perang, dan persenjataan musuh,
maka hal ini tidaklah memudorotkannya, padahal ia telah mensyerikatkan
(niatnya-pen). Dan tidaklah dikatakan bahwasanya hal ini adalah riyaa,
karena riyaa' adalah ia beramal agar makhluk Allah melihatnya… maka
barangsiapa yang tidak melihat dan tidak memandang maka tidaklah
dikatakan pada suatu amalan –dari sisinya- adalah riyaa'. Harta
gonimah dan yang semisalnya tidaklah dikatakan ia melihat atau
memandang, maka tidaklah benar jika dikatakan lafal riyaa' kepada
benda-benda ini karena mereka tidak melihat.

Demikian pula seseorang yang haji lalu mensyarikatkan dalam hajinya
maksud untuk berdagang, yaitu mayoritas tujuannya atau bahkan
seluruhnya adalah bersafar untuk berdagang secara khusus, dan hajinya
–ia maksudkan atau tidak- akan tetapi hanya bersifat mengikuti tujuan
dagangnya. Hal ini juga tidaklah merusak keabsahan hajiaya, dan tidak
menimbulkan dosa dan kemaksiatan.

Demikian pula orang yang berpuasa agar tubuhnya sehat, atau agar
hilang penyakitnya yang bisa disembuhkan dengan puasa, maka jadilah
penyembuhan merupakan tujuannya atau diantara tujuannya dan puasa
dibarengkan dalam tujuannya. Lalu ia melakukan puasa disertai dengan
tujuan-tujuan ini. Hal ini tidaklah merusak puasanya, bahkan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan dalam sabdanya,
"Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu maka
menikahlah, barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa,
karena puasa bisa menjadi perisai baginya", yaitu pemutus syahwatnya.
Maka Nabi memerintahkan berpuasa untuk tujuan ini, jika hal ini bisa
merusak keabsahan puasa, tentunya Nabi tidak akan memerintahkan hal
ini dalam peribadatan, dan juga tidak menyertakan tujuan ini dalam
niat ibadah. Diantaranya juga orang yang memperbarui wudhunya agar
lebih segar dan lebih bersih.

Seluruh tujuan-tujuan ini tidaklah terdapat padanya pengagungan
makhluk. Akan tetapi hanyalah pensyerikatan perkara-perkara
kemaslahatan yang tidak memiliki indra, dan tidak bisa memiliki indra
(penglihatan) dan tidak layak untuk diagungkan. Maka hal ini tidaklah
merusak keabsahan ibadah…

Benar bahwasanya tujuan-tujuan ini yang mencampuri ibadah bisa jadi
mengurangi ganjaran ibadah. Ibadah yang tujuannya murni dan bersih
dari tujuan-tujuan duniawi ini maka pahalanya lebih besar dan banyak.
Adapun dosa dan batilnya ibadah maka tidaklah ada dalilnya" (Al-Furuuq
li Al-Qoroofi, tahqiq : Umar Hasan Al-Qiyyaam, Muassasah Ar-Risalah,
cetakan pertama 3/10-12)

          Akan tetapi tentunya ada perbedaan antara seseorang yang
niatnya murni semata-mata karena mencari ganjaran akhirat, lantas
setelah itu ia memperoleh kenikmatan-kenikmatan dunia. Maka orang yang
seperti ini tentunya tidak berkurang sama sekali pahalanya. Berbeda
dengan seseorang yang sejak awal beribadah dalam niatnya sudah
tercampur niat keduniaan (untuk memperoleh harta dunia) maka orang
inilah yang pahalanya berkurang. (Lihat Ihkaam Al-Ahkaam karya Ibnu
Daqiiq al-'Ied hal 492, tahqiq Mushthofa syaikh, terbitan Muassasah
Ar-Risalah, cetakan pertama)

Seorang yang berjihad niatnya semata-semata untuk menegakkan kalimat
Allah dan berharap ganjara akhirat, lantas setelah itu ia memperoleh
gonimah harta rampasan perang musuh maka pahalanya sempurna. Karenanya
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallampun serta para sahabat mengambil
harta rampasan perang. Berbeda halnya dengan seseorang yang sejak awal
berangkat berjihad niatnya sudah tercampur dengan tujuan untuk
memperoleh harta rampasan perang. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda ;

مَا مِنْ غاَزِيَةٍ تَغْزُو فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيُصِيْبُوْنَ
الْغَنِيْمَةَ إِلاَّ تَعَجَّلُوا ثُلُثَيِ أَجْرِهِمْ مِنَ الآخِرَةِ
وَيَبْقَى لَهُمُ الثُّلُثُ وَإِنْ لَمْ يُصِيْبُوا غَنِيْمَةً تَمَّ
لَهُمْ أَجْرُهُمْ

"Tidaklah ada pasukan yang berjihad di jalan Allah lalu memperoleh
harta gonimah kecuali mereka telah menyegerakan dua pertiga pahala
akhirat mereka, dan tersisa bagi mereka sepertiga pahala akhirat
mereka. Jika mereka tidak memperoleh gonimah maka sempurnalah pahala
mereka" (HR Muslim no 1905)

Karenanya mungkin kita bisa membagi permasalahan ini dalam beberapa
bagian berikut:

Pertama :  Seseorang yang beribadah murni karena riyaa…, sama sekali
tidak terbetik dalam hatinya keinginan untuk meraih pahal akhirat.
Riyaa yang seperti ini jika selalu terjadi dalam peribadatan, maka
hampir-hampir tidak dilakukan oleh seorang muslim, akan tetapi terjadi
para orang-orang munafik

Kedua : Seseorang yang beribadah dengan riyaa', ia mengharapkan wajah
Allah, ia mengharapkan ganjaran akhirat, akan tetapi ia juga
mengharapkan pujian manusia, sanjungan dan pengagungan dari mereka
terhadap dirinya. Inilah riyaa' yang sering menimpa kaum muslimin.

Ketiga : Seseorang yang tatkala beribadah sama sekali tidak terbetik
dalam hatinya untuk memperoleh ganjaran akhirat, akan tetapi niatnya
murni untuk mencari perkara duniawi, inilah yang dinamakan oleh
Al-Qoroofi dengan Riyaa nya ikhlas/murni. Allah berfirman :

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ
فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ

Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah
Kami (kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya bagian (yang
menyenangkan) di akhirat. (QS Al-Baqoroh : 200)

Keempat : Seseorang yang beribadah murni ikhlash karena Allah, dan
tidak ada dalam niatnya untuk memperoleh pujian manusia, dan juga
tidak ada niat untuk memperoleh tujuan duniawi. Maka orang seperti ini
pahalanya sempurna, meskipun setelah itu ternyata ia memperoleh
perkara-perkara dunia, baik dipuji atau memperoleh harta dunia karena
amalannya maka sama sekali tidak mempengarui kesempurnaan pahalanya.

Hal ini seperti seseorang yang setelah beramala sholeh lalu ia dipuji
orang lain, dan kemudian dalam hatinya terbetik rasa gembira dengan
pujian tersebut. Maka ini tidaklah mempengaruhi kesempurnaan pahala
ibadanya yang telah ia kerjakan dengan ikhlas tanpa mengharapkan
pujian manusia.

Ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ
النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ « تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ ».

“Bagaimana pendapatmu dengan orang yang melakukan suatu amalan
kebaikan, lalu setelah itu dia mendapatkan pujian orang-orang. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itu adalah berita gembira
bagi seorang mukmin yang disegerakan.” (HR Muslim no 2642). An-Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Ini pertanda bahwa Allah ridho dan
mencintainya. Lalu Allah menjadikan makhluk/manusia mencintainya pula"
(Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 16/189)

Demikian pula seseorang yang berjihad ikhlash dan tidak terbetik dalam
hatinya untuk mecari gonimah, lantas setelah itu iapun memperoleh
harta gonimah.

Kelima : Seseorang yang beribadah ikhlash karena mengharapkan wajah
Allah, akan tetapi ia menyertakan dalam niatnya tujuan-tujuan yang
lain, maka kondisi orang ini ada tiga kemungkinan

(1)  Tujuan-tujuan tersebut juga merupakan tujuan yang mulia dan
berkaitan dengan akhirat. Maka orang seperti ini memperoleh ganjaran
yang ganda berdasarkan niat gandanya. Contohnya seseorang imam yang
sengaja memperpanjang ruku'nya karena ia merasa ada makmum yang
terlambat yang segera ingin ruku' bersamanya agar memperoleh pahala
raka'at. Maka imam ini telah melakukan dua kebaikan. Al-'Iz bin Abdis
Salaam berkata, "Apakah perbuatan seorang imam yang menunggu makmum
masbuq agar mendapatkan ruku' termasuk kesyirikan?. Aku katakan
bahwasanya sebagian ulama menyangka perkaranya demikian, akan tetapi
perkaranya tidak sebagaimana yang mereka sangka. Justru hal ini adalah
bentuk mengumpulkan dua qurbah (amal sholeh), karena ia telah membantu
makmum untuk mendapatkan ruku' dan ini merupakan amal sholeh
tersendiri" (Qowaa'id Al-Ahkaam Fi Mashoolih al-Anaam, karya Al-'Izz
bin Abdis Salaam 1/212, tahqiq DR Utsman Jum'at, Daarul Qolam)

Lalu Al-'Izz bin Abdis Salaam menyebutkan dalil akan hal ini, yaitu
bahwasanya ada seseorang yang sholat sendirian lalu Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam berkata, "أَلآ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا
فَيُصَلَيَ مَعَهُ؟" Adakah seseorang yang bersedekah terhadap orang
ini, lalu sholat berjama'ah bersamanya?. (HR Abu Dawud 574 dan
dishahihkan oleh Al-Akbani). Lalu ada seseorang yang sholat bersama
orang tersebut. Dan Nabi tidak menjadikan amalan ini sebagai suatu
bentuk riyaa' atau kesyirikan (Lihat Qowaa'idul Ahkaam 1/213).

Dalil lain yang menunjukkan akan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam :

إِنِّي لَأَقُوْمُ إِلَى الصَّلاَةِ وَأَنَا أُرِيْدُ أَنْ أُطَوِّلَ
فِيْهَا، فَأَسْمَعُ بُكاءَ الصَّبِيِّ، فأتَجوزُ؛ كراهِيَةَ أَنْ
أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ

"Sungguh aku hendak sholat dan aku ingin memperpanjang sholatku, lalu
aku mendengar tangisan anak kecil, maka akupun meringankan/mempercepat
sholatku kawatir memberatkan ibunya" (HR Abu Dawud no 755 dan
dishahihkan oleh Al-Albani)

عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ قَالَ جَاءَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ فِي
مَسْجِدِنَا هَذَا فَقَالَ إِنِّي لَأُصَلِّي بِكُمْ وَمَا أُرِيْدُ
الصَّلاَةَ أُصَلِّي كَيْفَ رَأَيْتُ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي

Dari Abu Qilabah ia berkata, "Malik bin Al-Huwairits radhiallahu 'anhu
datang di masjid kami ini, lalu ia berkata, "Sesungguhnya aku akan
sholat mengimami kalian, dan sebenarnya aku tidak ingin sholat, aku
sholat sebagaimana aku melihat Nabi shlallallalhu 'alaihi wa sallam
sholat" (HR Al-Bukhari no 677).

Al-Hafiz Ibnu Hajr berkata, "Malik bin al-Huwaits memandang bahwa
mengajari tata cara sholat dengan praktek lebih jelas dari pada dengan
perkataan. Ini dalil akan bolehnya hal ini, dan hal ini tidak termasuk
dalam bab kesyirikan dalam ibadah" (Fathul Baari 2/163)

(2)    Tujuan-tujuan tersebut berkaitan dengan dunia, akan tetapi
diperbolehkan dalam syari'at berdasarkan dalil-dalil yang ada. Seperti
seseorang yang bersilaturahmi selain ingin memperoleh pahala dari
Allah ia juga ingin diperpanjang umurnya dan ditambah rizkinya. Atau
seseorang yang bersedekah selain karena berharap pahala akhirat ia
juga ingin sedekah tersebut sebagai sebab kesembuhan penyakit salah
satu anggota keluarganya. Maka dzohir dalil-dalil tersebut menunjukkan
bahwa niat-niat keduniaan seperti ini tidak mengurangi kesempurnaan
pahala ibadahnya. Karena tidak mungkin Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam memotivasi untuk beribadah dengan ganjaran dunia yang bisa
mengurangi kesempurnaan pahala akhirat. Nabilah yang memotivasi untuk
memperpanjang umur dan lapangnya rizki dengan bersilaturahmi.

(3)    Tujuan-tujuan tersebut berkaitan dengan dunia, akan tetapi
tidak ada nash/dalil khusus yang menjelaskan akan kebolehannya. Contoh
tidak ada dalil bahwasanya jika seseorang menjadi imam masjid lantas
akan dilapangkan rizkinya, atau seseorang yang berdakwah akan ditambah
rizkinya. Maka kondisi orang yang seperti ini ada dua model:

* Perkara dunia yang menjadi tujuannya ternyata ia tujukan untuk
amalan akhirat. Contohnya seseorang yang menjadi imam dengan niat
untuk memperoleh upah imam, lantas ia niatkan upah tersebut untuk
menjalankan amal sholeh, seperti untuk berbakti kepada kedua
orangtuanya, atau agar bisa bersedekah pada fakir miskin, dsb. Maka
dzohirnya ia sama dengan model yang (1) di atas, yang memiliki tujuan
ganda tapi seluruhnya merupakan tujuan akhirat. Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata, "Yang mustahab/disunnahkan adalah seseorang
mengambil (upah) untuk bisa berhaji, bukan berhaji untuk mengambil
upah. Hal ini berlaku bagi seluruh upah yang diambil dari amal sholeh.
Barang siapa yang mencari rizki (mengambil upah) agar bisa belajar
atau agar bisa mengajar atau untuk berjihad maka baik. Sebagaimana
datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau
bersabda :

مَثَلُ الَّذِيْنَ يَغْزُوْنَ مِنْ أُمَّتِي وَيَأْخُذُوْنَ أُجُوْرَهُمْ
مَثَلُ أُمِّ مُوْسَى تُرْضِعُ ابْنَهَا وَتَأْخُذُ أَجْرَهَا

"Permisalan orang-orang yang berperang (berjihad) dari umatku dan
mengambil upah mereka (gonimah dan lain-lain -pen) seperti ibunya nabi
Muasa yang menyusui anaknya lalu mengambil upahnya" (Dilemahkan oleh
Syaikh Al-Albani)

Nabi menyamakan mereka (para mujahid) dengan seseorang yang melakukan
suatu pekerjaan karena suka dengan pekerjaan tersebut, sebagaimana
ibunya Musa yang menyusui Nabi Musa. Hal ini berbeda dengan wanita
penyusu sewaan… Adapun orang yang berbuat dalam bentuk amal sholeh
agar bisa memperoleh rizki maka ini termasuk amalan dunia.

فَفَرْقٌ بَيْنَ مَنْ يَكُوْنُ الدِّيْنُ مَقْصُوْدَهُ وَالدُّنْيَا
وَسِيْلَةً وَمَنْ تَكُوْنَ الدُّنْيَا مَقْصُوْدَهُ وَالدِّيْنُ
وَسِيْلَةً

Maka berbeda antara seseorang yang agama merupakan tujuannya dan dunia
hanyalah wasilah/perantara dengan seseorang yang dunia merupakan
tujuan sedangkan agama adalah wasilah/perantaranya. Orang yang seperti
ini dzohirnya ia tidak akan memperoleh bagian di akhirat" (Majmu'
Fatawa Ibnu Taimiyyah 26/19-20)

* Perkara dunia yang menjadi tujuannya adalah tidak ia kaitkan dengan
tujuan akhirat. Seperti contohnya ia hanya ingin memperoleh upah imam
dalam rangka tujuan-tujuan duniawi murni, maka inilah yang mengurangi
kesempurnaan pahala akhirat dan ibadah yang ia lakukan.



Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 25-10-1433 H / 12 September 2012 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to