APAKAH KEBURUKAN DAPAT DINISBATKAN KEPAD ALLAH TA'ALA?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
http://almanhaj.or.id/content/3468/slash/0/apakah-keburukan-dapat-dinisbatkan-kepada-allah-taala/

Jika seseorang bertanya: Kita beriman kepada qadar, baik dan buruknya,
yang berasal dari Allah, tetapi apakah dibenarkan menisbatkan
keburukan kepada Allah Ta’ala? Apakah ada hal yang buruk dalam
perbuatan-perbuatan-Nya?

Jawabannya: Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Mahasuci dari keburukan,
dan tidak berbuat kecuali kebaikan. Qadar yang dinisbatkan kepada
Allah tidak berisikan keburukan dalam satu segi pun. Sebab, ilmu
Allah, pencatatan, masyii-ah dan penciptaan-Nya, semuanya itu murni
kebaikan dan sempurna dari segala segi. Keburukan tidak boleh
dinisbatkan kepada Allah dari satu segi pun, tidak dalam Dzat-Nya,
tidak dalam Asma (nama-nama) dan Sifat-Nya, serta tidak pula dalam
perbuatan-perbuatan-Nya.

Seandainya Dia melakukan keburukan, niscaya telah terambil suatu nama
dari keburukan tersebut untuk-Nya, dan tidak akan pula semua Asma-Nya
itu husna (indah), tetapi niscaya akan tertuju kepadanya hukum dari
keburukan. Mahatinggi dan Mahasuci Allah (dari semua itu).

Keburukan hanyalah ada pada makhluk-Nya. Keburukan itu berada dalam
apa yang ditentukan (al-maqdhi), bukan ada dalam ketentuan
(al-qadha'). Ia menjadi buruk bila dihubungkan pada suatu tempat, dan
baik bila dihubungkan pada tempat lainnya. Adakalanya menjadi baik
bila dihubungkan pada tempatnya (atau tujuannya) dari satu sisi,
sebagaimana ia buruk dari sisi lainnya, bahkan itulah yang umum.

Hal ini seperti qishash, penegakan hudud, dan membunuh orang-orang
kafir. Hal itu buruk bagi mereka, bukan dari segala sisi, tetapi dari
satu sisi saja, tapi baik bagi selain mereka karena berisi
kemaslahatan untuk menjerakan, menghukum, dan menolak keburukan
manusia satu sama lainnya. Demikian pula penyakit, meskipun buruk dari
satu sisi, tetapi baik dari sisi-sisi lainnya.

Kesimpulannya, bahwa keburukan itu tidak dinisbatkan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena terdapat keterangan dalam Shahiih Muslim
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanjung Rabb-nya dengan
mensucikan-Nya dari keburukan, lewat do’a istiftah, yaitu dalam ucapan
beliau:

...لَبَيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ
لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَاَلَيْتَ...
.

“…Aku penuhi panggilan-Mu dengan senang hati, kebaikan seluruhnya ada
di kedua tangan-Mu, dan keburukan tidaklah dinisbatkan kepada-Mu. Aku
berlindung dan bersandar kepada-Mu, Mahasuci Engkau dan Mahatinggi…
.”[1]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, mengomentari hadits ini, “Mahasuci
dan Mahatinggi Allah dari penisbatan keburukan kepada-Nya, bahkan
segala yang dinisbatkan kepada-Nya ialah kebaikan. Keburukan hanyalah
menjadi keburukan karena terputus hubungannya kepada-Nya. Seandainya
dihubungkan kepada-Nya, niscaya bukan suatu keburukan. Allah
menciptakan kebaikan dan keburukan, lalu keburukan itu ada pada
sebagian makhluk-Nya, bukan dalam penciptaan dan perbuatan-Nya.

Penciptaan, perbuatan, qadha', dan qadar-Nya adalah baik se-luruhnya.
Karena itu Dia Subhanahu wa Ta’alasuci dari kezhaliman, yang mana
ha-kikat dari kezhaliman itu sendiri ialah meletakkan sesuatu bukan
pada tempatnya. Tidaklah Dia meletakkan sesuatu, kecuali pada
tempatnya yang cocok, dan hal itu baik seluruhnya. Keburukan adalah
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, jika diletakkan pada
tempatnya, maka ia tidak buruk. Dengan demikian telah di-ketahui bahwa
keburukan tidak dinisbatkan kepada-Nya, dan nama-nama-Nya yang husna
membuktikan hal itu.”[2]

Ia juga mengatakan, “Nama-nama-Nya yang husna menghalangi penisbatan
kejahatan, keburukan dan kezhaliman kepada-Nya, meskipun Dia Subhanahu
wa Ta’alaPencipta segala sesuatu. Dia Pencipta manusia, perbuatan,
gerakan, dan ucapan mereka. Jika hamba melakukan keburukan yang
terlarang, maka hamba itu sendirilah yang telah melakukan keburukan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang membuatnya melakukan demikian.
Penciptaan-Nya ini adalah keadilan, hikmah, dan kebenaran. Dia
menjadikan orang yang berbuat (untuk kejelekan itu) adalah merupakan
suatu kebaikan, sedangkan perbuatan yang dilakukan pelakunya adalah
keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan perbuatan ini, telah
meletakkan sesuatu pada tempatnya, karena hal itu berisi hikmah yang
mendalam yang Dia berhak dipuji karenanya, semua itu adalah kebaikan,
hikmah, dan kemaslahatan, meskipun perbuatan yang terjadi dari hamba
adalah dosa, aib, dan keburukan.”[3]

“Walhasil, bahwa keburukan tidaklah dinisbatkan kepada Allah Ta’ala,
karena yang dimaksud dengan keburukan ialah meletakkan sesuatu bukan
pada tempatnya, yaitu kezhaliman, yang lawannya ialah keadilan, dan
Allah adalah Mahasuci dari kezhaliman.

Jika yang dimaksudkan dengan keburukan adalah hukuman yang diberikan,
disebabkan dosa yang dilakukannya, maka dengan Allah mengadakan sanksi
atas dosa, hal itu bukanlah termasuk keburukan bagi-Nya, bahkan itu
adalah keadilan dari-Nya.

Jika yang dimaksudkan dengan keburukan itu ialah tidak adanya kebaikan
dan faktor-faktor yang menghantarkan kepada kebaikan itu, maka
ketidakadaannya itu bukanlah perbuatan, sehingga bisa dinisbatkan
kepada Allah. Hamba tidaklah memiliki hak terhadap Allah agar Dia
memberikan taufik kepadanya, sebab hal ini adalah karunia Allah yang
Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, menghalangi
karunia bukanlah merupakan suatu kezhaliman dan bukan pula
keburukan.”[4]

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
membutuhkan seluruh hamba-Nya. Dia hanya memerintahkan mereka kepada
apa yang bermanfaat bagi mereka, dan melarang mereka dari apa yang
membahayakan mereka. Dia berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya dengan
memerintahkan kepada mereka, dan berbuat baik kepada mereka dengan
menolong mereka dalam ketaatan.

Seandainya, seorang alim yang shalih memerintahkan manusia kepada apa
yang bermanfaat bagi mereka, kemudian dia membantu sebagian orang
untuk melakukan apa yang ia perintahkan kepada mereka, dan tidak
membantu yang lainnya, niscaya ia (dianggap) telah berbuat baik kepada
mereka seluruhnya secara sempurna, dan tidak berbuat zhalim kepada
orang yang ia tidak berbuat baik kepadanya.

Dan seandainya dia menghukum orang yang berbuat dosa dengan hukuman
yang dituntut oleh keadilan dan kebijaksanaannya, nis-caya ia pun
dipuji atas hal ini dan juga hal itu.

Bandingkanlah hal ini dengan kebijaksanaan Hakim Yang paling bijaksana
dan Penyayang Yang paling menyayangi? Sebab, perintah-Nya adalah
bimbingan, pengajaran, dan petunjuk kepada kebaikan. Jika Dia membantu
mereka atas perbuatan yang diperintahkan, maka Dia telah
menyempurnakan nikmat atas perkara yang diperintahkan, dan Dia
disyukuri atas hal ini dan juga hal itu. Jika pun Dia tidak
menolongnya, bahkan membiarkannya, sehingga ia me-lakukan dosa, maka
dalam hal ini Dia mempunyai hikmah yang lain.”[5]

Kemudian jika seorang hamba telah mengetahui apa yang merugikan dan
apa yang bermanfaat baginya, maka ia berkeharusan untuk tunduk kepada
Allah Azza wa Jalla, sehingga Dia menolongnya untuk melakukan apa yang
bermanfaat baginya, dan tidak mengatakan, “Aku tidak akan berbuat,
sehingga Allah menciptakan perbuatan padaku.” Demikian pula seandainya
musuh atau binatang buas menyerangnya, maka ia harus lari dan tidak
mengatakan, “Aku akan menunggu, hingga Allah menciptakan lari
padaku.”[6]

Dari sini nampak jelas bagi kita bahwa keburukan itu tidak dapat
dinisbatkan kepada Allah Azza wa Jalla.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia
Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,
Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim, kitab Shalaatul Musaafiriin, (I/535, no. 771).
[2]. Syifaa-ul Aliil, hal. 364-365. Lihat juga, Minhaajus Sunnah,
(III/142-144), at-Tafsiirul Qayyim, hal. 550-556, Madaarijus
Saalikiin, (I/409), Badaa-i’ul Fawaa-id, Ibnul Qayyim, (II/214-215),
ar-Raudhah an-Nadiyyah, hal. 354-360, dan al-Hikmah fii Af’aalillaah,
Dr. Muhammad bin Rabi’ al-Madkhali, hal. 199-204.
[3]. Syifaa-ul ‘Aliil, hal. 366 dan lihat juga hal, 366-385 dari buku
yang sama. Lihat juga, Minhaajus Sunnah, (I/145-146 dan III/142-145),
al-Hasanah was Sayyi-ah, Ibnu Taimiyyah, hal. 52-53, dan Thariiqul
Hijratain, hal. 172-181.
[4]. Al-Hikmah wat Ta’liil fii Af’aalillaah, hal. 202, dan lihat pula,
Daf’u Iihaamal Idhthiraab ‘an Aayaatil Kitaab, Syaikh ‘Allamah
Muhammad al-Amin asy-Syanqithi, hal. 286-287.
[5]. Minhaajus Sunnah, (III/38). Lihat juga, al-Ikhtilaaf fil Lafzh,
hal. 34-36, dan Risaalah ats-Tsaghar, hal. 85.
[6]. Lihat, al-Qadhaa' wal Qadar, al-Mahmud, hal. 280.


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke