LARANGAN SALING MENDENGKI

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://almanhaj.or.id/content/3522/slash/0/larangan-saling-mendengki/

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَحَاسَدُوْا ، وَلاَ
تَنَاجَشُوْا ، وَلاَ تَبَاغَضُوْا ، وَلاَ تَدَابَرُوْا ، وَلاَ يَبِعْ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
، اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ ، وَلاَ
يَخْذُلُهُ ، وَلاَ يَحْقِرُهُ ، اَلتَّقْوَى هٰهُنَا ، وَيُشِيْرُ إِلَى
صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ
يَحْقِرَ أَخَاهُ الْـمُسْلِمَ ، كُلُّ الْـمُسْلِمِ عَلَى الْـمُسْلِمِ
حَرَامٌ ، دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan
saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi !
Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang
lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara.
Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak
boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu
disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah
keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim.
Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas
muslim lainnya.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini Shahih, diriwayatkan oleh :
1. Muslim (no. 2564).
2. Imam Ahmad (II/277, 311-dengan ringkas, 360)
3. Ibnu Mâjah (no. 3933, 4213-secara ringkas)
4. Al-Baihaqi (VI/92; VIII/250)
5. Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (XIII/130, no. 3549).

SYARAH HADITS
• Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam «لاَ تَحَاسَدُوْا»,
artinya, jangan sebagian kalian dengki kepada sebagian yang lain.
Sifat dengki ada pada watak manusia karena manusia tidak suka
diungguli orang lain dalam kebaikan apa pun.

Terkait perasaaan dengki ini, manusia terbagi menjadi beberapa kelompok :

Kelompok Pertama
Kelompok ini terbagi menjadi :
1. yang berusaha menghilangkan kenikmatan yang ada pada orang yang
didengki dengan berbuat zhalim kepadanya, baik dengan perkataan maupun
perbuatan. Kemudian berusaha mengalihkan kenikmatan tersebut kepada
dirinya.

2. yang berusaha menghilangkan kenikmatan dari orang yang ia dengki
tanpa menginginkan nikmat itu berpindah kepadanya. Ini merupakan
dengki paling buruk dan paling jelek.

Ini adalah dengki yang tercela, dilarang dan merupakan dosa iblis yang
dengki kepada Nabi Adam Alaihissallam ketika melihat beliau
mengungguli para malaikat, karena Allâh menciptakan beliau dengan
tangan-Nya sendiri, menyuruh para malaikat sujud kepada beliau,
mengajarkan nama segala hal kepada beliau, dan menempatkan beliau di
dekat-Nya. Iblis tidak henti-hentinya berusaha mengeluarkan Nabi Adam
Alaihissallam dari surga hingga akhirnya beliau dikeluarkan darinya.

Sifat dengki seperti inilah yang melekat pada orang-orang yahudi.
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dalam banyak ayat al-Qur'ân tentang
hal itu. Seperti firman-Nya :

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ
إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

Banyak diantara ahli kitab yang ingin sekiranya mereka dapat
mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena
rasa dengki dalam hati mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka…”
[al-Baqarah/2:109]

Atau firman Allâh Azza wa Jalla :

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang
telah diberikan Allâh kepadanya ? [an-Nisâ’/4:54]

Imam Ahmad rahimahullah dan at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan
hadits dari az-Zubair bin al-Awwâm Radhiyallahu anhu dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ: اَلْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ
، وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ ، حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ
الشَّعْرِ ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤْمِنُوْا
حَتَّى تَحَابُّوْا ، أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِشَيْءٍ إِذَا
فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ.

Penyakit umat-umat sebelum kalian telah menyerang kalian yaitu dengki
dan benci. Benci adalah pemotong; pemotong agama dan bukan pemotong
rambut. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian
tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku
tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian saling
mencintai ? Sebarkanlah salam diantara kalian.”[1]

Kelompok Kedua
Kelompok ini, jika dengki kepada orang lain, mereka tidak menuruti
perasaan dengkinya dan tidak berbuat zhalim kepada orang yang ia
dengki, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Mereka ini terbagi
dalam dua jenis :

1. Yang tidak kuasa memupus rasa dengki dari hatinya. Perasaan ini
telah menguasai dirinya. Orang yang seperti ini tidak berdosa.

2. Yang sengaja memunculkan kedengkian pada dirinya, mengulangi lagi.
Ini dilakukan berulang kali disertai harapan kenikmatan yang melekat
pada orang yang didengki sirna. Dengki seperti ini mirip dengan azam
(tekad) untuk melakukan kemaksiatan. Dengki seperti ini kecil
kemungkinan terhindar dari perbuatan zhalim terhadap yang ia dengki,
kendati hanya dengan perkataan. Dengan prilakunya yang zhalim ia
berhak mendapatkan dosa.

Kelompok Ketiga
Kelompok ini, jika dengki, ia tidak mengharapkan nikmat orang yang ada
pada orang yang didengki itu hilang, namun ia berusaha mendapatkan
kenikmatan yang sama dan ingin seperti dia. Jika kenikmatan yang
dikejarnya adalah kenikmatan dunia, maka itu tidak ada nilai
kebaikannya, seperti perkataan orang-orang yang mabuk dunia,
“…Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah
diberikan kepada Qarun…” (al-Qashash/28:79). Jika nikmat yang dikejar
itu nikmat akhirat, maka itu baik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ
فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٍ
آتَاهُ الله مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ
النَّهَارِ.

Tidak boleh dengki kecuali kepada dua orang : Orang yang diberi
al-Qur'ân oleh Allâh kemudian ia melaksanakannya di pertengahan malam
dan pertengahan siang, dan orang yang diberi harta oleh Allâh kemudian
ia menginfakkannya di pertengahan malam dan pertengahan siang.[2]

Dengki seperti ini dinamakan ghibthah.

Kelompok Keempat
Kelompok ini, jika mendapati sifat dengki pada dirinya, ia berusaha
memusnahkannya, berbuat baik kepada yang didengki, mendo’akannya dan
menceritakan kelebihan-kelebihan orang yang didengki. Dia tidak hanya
berusaha menghilangkan rasa dengki pada dirinya namun dia juga
berusaha menggantikannya dengan rasa senang melihat saudaranya lebih
baik lagi. Ini termasuk derajat iman tertinggi. Orang yang seperti ini
adalah mukmin sejati yang mencintai untuk saudaranya apa yang ia
cintai untuk dirinya.[3]

Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh dengki. Karena ia adalah sifat
tercela, sifat orang-orang Yahudi dan dapat merusak amal. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala melarang manusia mengharapkan segala kelebihan dan
keutamaan yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang lain.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang dilebihkan Allâh
kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki
ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada
bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allâh sebagian
dari karunia-Nya. Sungguh Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu.
[an-Nisâ'/4:32]

• DAMPAK BURUK DARI SIKAP HASAD[4]
Orang yang hasad akan terjerumus ke dalam beberapa bahaya, diantaranya :

1. Dengan hasad berarti dia membenci apa yang telah Allâh Azza wa
Jalla tetapkan. Karena, benci kepada nikmat yang Allâh berikan kepada
orang lain berarti benci terhadap ketentuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala
.

2. Hasad akan menghapus kebaikan-kebaikannya sebagaimana api
menghabiskan kayu bakar.

3. Hati orang yang hasad akan selalu merasa sedih dan susah. Setiap
kali melihat nikmat Allâh Azza wa Jalla atas orang yang ia dengki, ia
akan berduka dan susah dan begitu seterusnya.

4. Hasad berarti menyerupai orang Yahudi. Padalah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, "Barangsiapa
menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka[5]

5. Bagaimanapun kuatnya hasad, itu tidak akan menghilangkan nikmat
Allâh Azza wa Jalla dari orang lain.

6. Hasad dapat menghilangkan kesempurnaan iman, berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُـحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُـحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia menyukai bagi
saudaranya apa yang ia sukai bagi dirinya [6]

7. Hasad dapat melalaikan seseorang dari memohon nikmat kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala .

8. Hasad dapat menyebabkan dirinya meremehkan nikmat Allâh Subhanahu
wa Ta’ala yang ada paa dirinya.

9. Hasad, akhlak tercela, karena ia selalu memantau nikmat Allâh pada
orang lain dan berusaha menghalanginya dari manusia.

10. Jika orang yang hasad (dengki) sampai bertindak zhalim kepada yang
didengki, maka yang didengki itu akan mengambil kebaikan-kebaikannya
pada hari kiamat.

Kesimpulannya bahwa hasad merupakan akhlak tercela, tetapi sangat
disayangkan sifat ini masih banyak ditemui di kalangan tengah
masyarakat. Wallaahul Musta’aan, nas-alullaahal ‘afwa wal ‘aafiyah.

• Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam «لاَ تَنَاجَشُوْاوَ«
Najasy ditafsirkan oleh banyak Ulama dengan najasy dalam jual beli.
Yaitu menaikkan harga suatu barang yang dilakukan oleh orang yang
tidak berminat membelinya untuk kepentingan penjual supaya untungnya
lebih besar atau untuk merugikan pembeli. Termasuk praktek najasy
yaitu memuji barang dagangan seorang penjual supaya laku atau
menawarnya dengan harga yang tinggi padahal dia tidak berminat. Apa
yang dilakukannya hanya untuk mengecoh pembeli sehingga tidak merasa
kemahalan kalau jadi beli. Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma,
diriwayatkan bahwasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
najasy.[7]

Ibnu Abi Aufa rahimahullah mengatakan, “Nâjisy (pelaku najasy) adalah
pemakan harta riba dan pengkhianat.”[8]

Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para Ulama sepakat bahwa
pelaku najasy telah bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla jika ia tahu
najasy itu terlarangan.” [9]

Lalu bagaimana dengan keabsahan jual-beli tersebut ? Ada Ulama yang
berpendapat, jika pelaku najasy adalah penjualnya atau orang yang
disuruh penjual untuk melakukan najasy, maka jual-beli itu tidak sah.
Sebagian besar fuqaha’ berpendapat bahwa jual-beli najasy sah secara
mutlak. Ini pendapat Abu Hanîfah, Imam Mâlik, dan merupakan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad. Hanya saja, Imam Mâlik dan Imam Ahmad
menegaskan bahwa pembeli mempunyai khiyâr (hak pilih antara
melanjutkan jual-beli atau membatalkannya) jika ia tidak mengetahui
kondisi yang sebenarnya dan ditipu dengan penipuan di luar batas
kewajaran.

Atau bisa juga najasy dalam hadits diatas ditafsirkan dengan
penafsiran yang lebih umum. Yaitu semua muamalah yang mengandung unsur
penipuan atau makar. Dalam al-Qur'ân, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan
bahwa sifat orang-orang kafir dan munafik ialah membuat makar terhadap
para nabi dan pengikut mereka. Sungguh indah apa yang dikatakan Abu
Al-Athiyah,

لَيْسَ دُنْيَا إِلاَّ بِدِيْنٍ وَلَيـ ـسَ الدِّيْنُ إِلاَّ مَكَارِمَ
الْأَخْلاَقِ
إِنَّمَا الْـمَكْرُ وَالْخَدِيْعَةُ فِي النَّا رِ هُمَا مِنْ خِصَالِ
أَهْلِ النِّفَاقِ

Dunia tidak lain adalah agama
dan agama tidak lain adalah akhlak mulia
sesungguhnya makar dan penipuan itu di neraka
karena keduanya sifat orang-orang munafik.

Makar diperbolehkan dilakukan terhadap orang yang memang diperbolehkan
untuk diganggu, yaitu orang-orang kafir yang wajib diperangi, seperti
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اَلْـحَرْبُ خَدْعَةٌ

Perang adalah tipu daya[10]

• Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam « وَلاَ تَبَاغَضُوْا »
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum Muslimin saling
membenci karena mengikuti hawa nafsu. Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan mereka bersaudara. Bersaudara berarti saling mencintai,
bukan saling membenci. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَتَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ حَتَّى
تُؤْمِنُوْا ، وَلاَتُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا ، أَلاَ أَدُلُّكُمْ
عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابْبْتُمْ : أَفْشُوْا السَّلاَمَ
بَيْنَكُمْ

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman
hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu
yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai ? Sebarkan
salam di antara kalian.[11]

Allâh telah mengharamkan atas kaum Muslimin segala yang berpotensi
menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka. Allâh berfirman,

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ
وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ
اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu,
dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka
tidakkah kamu berhentilah (dari mengerjakan pekerjaan itu).
[al-Mâidah/5:91]

Oleh karena itu, perbuatan mengadu domba diharamkan karena bisa
menyebabkan permusuhan dan kebencian. Di sisi lain, berbohong untuk
mendamaikan manusia diperbolehkan dan Allâh menganjurkan mendamaikan
mereka.

Diriwayatkan dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصَّلاَةِ وَالصِّيَامِ
وَالصَّدَقَةِ؟ قَالُوْا: بَلَى. قَال: إِصْلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ ، وَ
فَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ هِيَ الْحَالِقَةُ.

'Maukah kalian aku jelaskan sesuatu yang lebih baik daripada derajat
shalat, puasa dan sedekah?' Para Shahabat berkata, 'Ya.' Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mendamaikan orang yang
berselisih. Dan rusaknya hubungan persaudaraan adalah pemotong
(agama).’[12]

Adapun benci karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka itu termasuk
bagian terkuat dari keimanan dan tidak termasuk benci yang dilarang.
Jika seseorang melihat keburukan pada saudaranya kemudian ia membenci
saudaranya karena keburukan tersebut, maka ia mendapat pahala, kendati
saudaranya mengajukan alas an yang bisa diterima. Seperti perkataan
‘Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu, ”Dahulu kami mengenali kalian
karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah
kita-kita, wahyu turun, dan Allâh menjelaskan kepada kita tentang
perihal kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah wafat dan wahyu terputus. Ketahuilah, kita
mengenali kalian sesuai dengan pengetahuan kita tentang kalian.
Ketahuilah, barangsiapa di antara kalian memperlihatkan kebaikan, maka
kita menduganya baik dan mencintainya karenanya. Dan barangsiapa
memperlihatkan keburukan, kami menduganya buruk dengannya dan
membencinya karenanya, sementara rahasia kalian ada di antara kalian
sendiri dan Rabb Azza wa Jalla.[13]

• Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam « وَلاَ تَدَابَرُوْا » .
Abu ‘Ubaid berkata, “Tadâbur (saling membelakangi) ialah saling
memutus hubungan dan saling mendiamkan.”

Dari Abu Ayyûb al-Anshâri Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِـمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ
يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا ، وَخَيْرُهُمَا الَّذِيْ
يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga
hari; keduanya bertemu, namun yang ini berpaling dari satunya dan yang
satunya juga berpaling darinya. Orang yang paling baik di antara
keduanya ialah yang memulai mengucapkan salam[14]

Para Ulama berbeda pendapat apakah sikap ‘mendiamkan’ itu dianggap
berakhir dengan ucapan salam ? Sejumlah Ulama berkata bahwa sikap
‘mendiamkan’ itu berakhir dengan ucapan salam. Ini diriwayatkan dari
al-Hasan rahimahullah dan Imam Mâlik dalam riwayat Ibnu Wahb. Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِـمُسْلِمٍٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ ، فَمَنْ
هَجَرَ فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ

Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga
hari. Barangsiapa mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari kemudian
mati, maka ia masuk Neraka[15]

Jika pada hari ketiga mereka bertemu, lalu salah seorang mengucapkan
salam dan yang lain menjawab, maka kedua berhak mendapatkan pahala.
Namun jika tidak dijawab salamnya, maka yang tidak menjawab ini
menanggung dosanya.[16]

• Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam وَلاَ يَبِـعْ بَعْضُكُمْ
عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

لاَيَبِـعِِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ ، وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى
خِطْبَةِ أَخِيْهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ

Seseorang tidak boleh menjual diatas penjualan saudaranya dan tidak
boleh melamar lamaran saudaranya kecuali jika ia mengizinkannya.[17]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

لاَ يَسُمِ الْـمُسْلِمُ عَلىَ سَوْمِ أَخِيْهِ

Seorang Muslim tidak boleh menawar barang yang sedang dalam penawaran
saudaranya[18].

Keberadaan kata "Muslim" dalam hadits diatas menunjukkan bahwa ini
merupakan hak orang Muslim atas Muslim lainnya. Ini tidak berlaku pada
non-muslim. Ini pendapat al-Auzâ’i rahimahulah dan Imam Ahmad
rahimahullah. Tapi, banyak juga para fuqahâ’ (ulama ahli fikih)
berpendapat bahwa larangan pada hadits di atas berlaku umum bagi
Muslim dan non-muslim.

Pengertian menjual barang di atas penjualan saudaranya ialah si A
membeli sesuatu dari si B kemudian si C datang menawarkan barangnya
kepada si A agar ia membelinya dan membatalkan jual-beli pertama.

• Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ
إِخْوَانًا , ‘Wahai hamba-hamba Allah, jadilah kalian bersaudara’.
Dalam potongan hadits ini terdapat isyarat bahwa jika kaum Muslimin
meninggalkan sikap saling dengki, saling najasy, saling membenci,
saling membelakangi, dan menjual di atas penjualan saudaranya, maka
mereka pasti akan menjadi bersaudara.[19]

• Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ
الْـمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ ,
‘Orang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, ia tidak
menzhaliminya, tidak menelantarkannya, dan tidak menghinakannya’.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini diambil dari firman Allâh
Subhanahu wa Ta’ala.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudara kalian.”[al-Hujurât/49:10]

Jika kaum Mukminin telah bersaudara, maka mereka diperintahkan untuk
melakukan segala yang bisa membuat hati bersatu dan dilarang
mengerjakan segala yang membuat hati saling benci. Mereka juga
diperintahkan untuk menyalurkan atau memberikan manfaat buat
saudaranya dan menghindarkannya dari segala yang mencelakakan. Di
antara mudharat terbesar yang harus disingkirkan dari saudara adalah
tindak kezhaliman. Kezhaliman tidak saja haram dilakukan terhadap
orang Muslim, namun juga haram dilakukan terhadap siapa pun.

Di antara hal yang dilarang ialah menelantarkan orang Muslim lainnya.
Seorang Muslim diperintahkan menolong saudaranya yang muslim.
Rasûlullâh bersabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِـمًا أَوْ مَظْلُوْمًا. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ ! نَصَرْتُهُ مَظْلُوْمًا ، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِـمًا ؟
قَالَ: تَكُفُّهُ عَنِ الظُّلْمِ، فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ.

Tolonglah saudaramu yang zhalim atau dizhalimi. Kami bertanya, ‘Wahai
Rasûlullâh, aku menolongnya jika ia dizhalimi. Bagaimana aku
menolongnya jika ia menzhalimi?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Engkau cegah dia dari berbuat zhalim, itulah pertolonganmu
terhadapnya.[20]

Di antara hal lain yang dilarang ialah berdusta kepada Muslim lainnya.
Seorang Muslim tidak boleh berbicara dusta kepada saudaranya. Dia
harus berbicara dengan jujur.

Di antara hal lain yang dilarang ialah menghina orang Muslim. Karena
perilaku buruk ini bersumber dari kesombongan. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan ialah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.[21]

Allâh Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ
أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ
يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok
kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang (diperolok-olokkan)
lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan
(mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan yang
(diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok)...”
[al-Hujurât/49:11]

Jadi, orang sombong itu melihat dirinya sebagai figur sempurna dan
melihat orang lain selalu kurang, karenanya ia menghina dan meremehkan
mereka.[22]

• Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam » اَلتَّقْوَى هَاهُنَا ،
يُشِيْرُ إلى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ », Takwa itu disini –beliau
sambil memberi isyarat ke dadanya tiga kali-.
Di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terdapat isyarat
bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allâh Azza wa Jalla itu ditentukan
dengan ketakwaannya. Orang yang dipandang hina oleh masyarakat karena
lemah dan miskin, bisa jadi lebih mulia di sisi Allâh Azza wa Jalla
daripada orang yang terhormat di dunia. Allâh Azza wa Jalla berfirman,
yang artinya, "…Sungguh, orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allâh ialah orang yang paling bertakwa…” [al-Hujurât/49:13]

Ketakwaan seseorang itu letaknya di hati, tidak ada yang dapat melihat
hakikatnya kecuali Allâh Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ ، وَلَكِنْ
يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.

Sesungguhnya Allâh tidak melihat wajah dan harta kalian, namun Allâh
melihat hati dan amal perbuatan kalian.[23]

Bisa jadi orang yang mempunyai wajah tampan (cantik), kekayaan
melimpah, terpandang di dunia, namun hatinya hampa dari takwa. Juga
bisa jadi orang yang tidak mempunyai apa-apa, namun hatinya penuh
dengan takwa sehingga ia menjadi yang termulia di sisi Allâh Azza wa
Jalla . Kondisi inilah yang sering terjadi. Disebutkan dalam hadits,
dari Hâritsah bin Wahb bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْـجَنَّةِ : كُلُّ ضَعِيْف مُسْتَضْعَف ،
لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ
النَّارِ : كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظ مُسْتَكْبِر

Maukah kalian aku tunjukkan penghuni surga; yaitu setiap orang lemah
yang dianggap lemah. Seandainya ia bersumpah atas nama Allâh, pasti
dikabulkan. Maukah kalian aku jelaskan penghuni neraka yaitu setiap
orang yang congkak, angkuh dan sombong.”[24]

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Seseorang berjalan melewati Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian beliau bertanya kepada orang yang duduk di
samping beliau, ‘Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?’ Orang itu
menjawab, ‘Ia termasuk orang-orang yang terhormat. Ia layak dinikahkan
jika melamar, layak dibela jika ia minta pembelaan, dan ucapannya
layak didengar.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam. Setelah itu,
ada orang lain lagi lewat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada orang yang duduk di samping beliau, ‘Bagaimana
pendapatmu tentang orang tersebut?’ Orang tersebut berkata, ‘Wahai
Rasûlullâh, ia seorang Muslim yang fakir. Ia pantas ditolak jika
melamar, tidak dibela jika minta pembelaan dan perkataannya tidak
layak diperhatikan.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Orang ini (orang kedua) lebih baik daripada isi bumi dan
semisalnya. [25]

• Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ
الشَّرّ أَنْ يَحْقِرَأَخَاهُ الْـمُسْلِمَ , ‘cukuplah keburukan bagi
seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim’.
Maksudnya, cukuplah menjadi sebuah keburukan jika orang Muslim
menghina saudaranya yang muslim. Sebab perilaku buruknya ini hanya
terdorong kesombongannya, padahal sombong termasuk perangai yang
paling buruk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan
masuk surga orang yang di hatinya masih ada kesombongan, kendati hanya
sebiji sawi.”[26]

• Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam كُلُّ الْـمُسْلِمِ عَلَى
الْـمُسْلِمِ حَرَامٌ ، دَمُهُ، ومَالُهُ ، وَعِرْضُهُ , ‘Setiap Muslim
atas Muslim lainnya haram darah, harta dan kehormatannya’.
Sabda ini termasuk yang sering disebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam khutbah-khutbah beliau. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikannya saat haji Wada’, hari Qurban, hari Arafah dan
hari kedua dari hari-hari Tasyriq. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا ، فِيْ شَهْرِكُمْ
هَذَا.

Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram atas kalian
sebagaimana keharaman hari kalian ini, di negeri kalian ini dan di
bulan kalian ini.[27]

Dalam sebuah riwayat dijelaskan, sebagian shahabat melakukan
perjalanan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian salah
seorang dari mereka tidur. Salah seorang dari mereka pergi ke tali
orang yang tidur tersebut dan mengambilnya, akibatnya orang yang tidur
tersebut kaget. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِـمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

Orang Muslim tidak boleh menakut-nakuti orang Muslim lainnya.[28]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang ghibah. Beliau bersabda,
“Menggunjing (ghibah) ialah engkau menyebutkan keburukan saudaramu.”
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu jika
apa yang aku katakan memang benar?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Jika apa yang engkau katakan itu benar, berarti engkau
telah menggunjingnya. Jika apa yang engkau katakan tidak benar,
berarti engkau telah berdusta.’”[29]

Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa orang Muslim tidak boleh diganggu
dengan cara apa pun, baik perkataan atau perbuatan, tanpa alasan yang
benar. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Dan orang-orang
yang menyakiti orang-orang Mukmin dan Mukminah tanpa kesalahan yang
mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan
dosa yang nyata.” [al-Ahzâb/33:5]

Allâh Azza wa Jalla menjadikan kaum Mukminin bersaudara agar saling
menyayangi dan mengasihi. Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْـمُؤْمِنِيْن فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ ،
تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْـحُمَّى.

Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi,
dan simpati ibarat satu tubuh. Jika salah satu organ tubuhnya sakit,
maka seluruh oragan tubuh yang lain mengeluh sakit seperti demam dan
tidak bisa tidur.”[30]

Fawaaid Hadits:
1. Hasad (dengki) itu haram
2. Sistem jual-beli najasy (meninggikan harga untuk menipu pembeli) itu haram.
3. Larangan saling membenci dan perintah untuk saling mencintai.
4. Larangan menawar atau menjual atas tawaran-penjualan saudaranya.
5. Wajib memupuk persaudaraan antar kaum Muslimin.
6. Darah, harta dan kehormatan seorang Muslim haram atas muslim lainnya.
7. Hati merupakan sumber segala sesuatu.
8. Takwa tempatnya di hati dan dibuktikan dengan amal shalih.
10. Takwa dan niat yang shalih adalah timbangan bagi Allâh atas hamba-hamba-Nya.

Maraji’:
1. Al-Qur-an dan terjemahnya.
2. Shahîh al-Bukhâri.
3. Shahîh Muslim
4. Musnad Imam Ahmad
5. Sunan Abu Dawud
6. Sunan at-Tirmidzi
7. Sunan an-Nasa-i
8. Sunan Ibni Majah
9. Sunan al-Kubra lil Baihaqi.
10. Syarhus Sunnah, karya Imam al-Baghawi.
11. Irwaa-ul Ghaliil, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
12. Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
13. Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq:
Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
14. Qawaa-id wa Fawaa-id min Arba’in an-Nawawiyyah.
15. At-Tamhiid.
16. Majmu’ al-Fataawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah.
17. Kitabul ‘Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hasan. HR. at-Tirmidzi (no. 2510 ), Ahmad (I/165, 167), dan
lainnya. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul
Ghalîl (III/28, dalam bahasan hadits no. 777 dan Hidâyatur Ruwât no.
4966).
[2]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 5025, 7529), Muslim (no. 815), dan
lainnya dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu'anhuma.
[3]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/260-263)
[4]. Dinukil dari Kitâbul ‘Ilmi (hlm. 72-75).
[5]. Shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/50, 92), dan Abu Dawud (no.
4031), dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma. Lihat Shahîh
al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6149) dan Jilbâbul Mar-atil Muslimah (hlm.
203-204).
[6]. Shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 13) Muslim (no. 45),
Nasâ-i (VIII/115), at-Tirmidzi (no. 2515), Dârimi (II/307), Ibnu Mâjah
(no. 66), dan Ahmad (III/176, 206, 251, 272, 278, 279), dari Anas
Radhiyallahu 'anhu .
[7]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 2142, 6963), Muslim (no. 1516), dan lainnya.
[8]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 2675).
[9]. At-Tamhîd (XII/290).
[10]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 3030), Muslim (no. 1739), dan lainnya
dari Shahabat Jabir Radhiyallahu 'anhu. Dan diriwayatkan juga oleh
beberapa shahabat lainnya. Lihat, Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam
(II/263-265).
[11]. Shahih. HR. Muslim (no. 54), Abu Dâwud (no. 5193), at-Tirmidzi
(no. 2688), dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[12]. Shahih. HR. Ahmad (VI/444-445), Abu Dâwud (no. 4919), Ibnu
Hibbân (no. 1982-al-Mawârid), dan at-Tirmidzi (no. 2509), beliau
berkata, ‘Hadits ini hasan shahih’.
[13]. Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/265-267).
[14]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 6077, 6237), Muslim (no. 2560), dan lainnya.
[15]. Shahih. HR. Abu Dâwud (no. 4914) dan Ahmad (II/392). Dishahihkan
oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (VII/64).
[16]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/268-270).
[17]. Shahih. HR. Muslim (no. 1412 (50)).
[18]. Shahih. HR. Muslim (no. 1515 (9)).
[19]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/271).
[20]. Shahih. HR. Bukhari (no. 6952), at-Tirmidzi (no. 2255), Ahmad
(III/99, 201), dan lainnya dari Shahabat Anas radhiyallaahu ‘anhu.
[21]. Shahih. HR. Muslim (no. 91) dan lainnya dari Shahabat Ibnu
Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[22]. Diringkas dari Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/273-275).
[23]. Shahih. HR. Muslim (no. 2564 (33)), Ahmad (II/539), dan lainnya
dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[24]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 4918, 6071), Muslim (no. 2853)
[25]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 5091, 6447). Lihat, Jâmi’ul ‘Ulûm wal
Hikam (II/275-278)
[26]. Shahih. HR. Muslim (no. 91)
[27]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 1739) dari Ibnu ‘Abbas c .
[28]. Shahih. HR. Abu Dâwud (no. 5004).
[29]. Shahih. HR. Muslim (no. 2589)
[30]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 6011), Muslim (no. 2586), dan lainnya.


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke