KAUM MUNAFIQIN, BERJALAN DALAM KEGELAPAN

Oleh
Ustadz Ashim bin Musthofa Lc
http://almanhaj.or.id/content/3527/slash/0/kaum-munfiqn-berjalan-dalam-kegelapan/

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا
حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا
يُبْصِرُونَ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ

Perumpamaan mereka (orang-orang munâfiqîn) adalah seperti orang yang
menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah
hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam
kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka
tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)
[al-Baqarah/2:17-18]

SALAH SATU PERMISALAN KONDISI KAUM MUNAFIQIN
Di sini, Allâh Azza wa Jalla menyerupakan para musuh-Nya, kaum
munâfiqîn, dengan sekumpulan orang yang menyalakan api untuk
penerangan bagi mereka. Melalui cahayanya, mereka dapat melihat
hal-hal yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi mereka. Jalan pun bisa
mereka saksikan setelah sebelumnya berada dalam kebingungan lagi
tersesat. Namun, setelah diterangi cahaya dan mereka dapat melihat dan
mengetahui,, tiba-tiba api tersebut padam. Akhirnya, mereka berada
dalam kegelapan (kembali). [1]

Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, "Allah Azza wa Jalla
memisalkan kaum munâfiqîn dengan permisalan seperti orang yang
menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah
hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam
kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tidak dapat melihat kebenaran
untuk kemudian mereka katakan. Sehingga ketika keluar dari kegelapan
kekufuran dengan cahaya (keimanan tersebut), mereka memadamkan cahaya
itu dengan kekufuran dan nifâq mereka. Allâh Azza wa Jalla pun
kemudian membiarkan mereka dalam kegelapan kekufuran, sehingga mereka
tidak dapat melihat petunjuk dan tidak istiqomah di atas
kebenaran".[2]

Demikianlah potret kaum munâfiqîn, gambaran yang sangat tepat untuk
melukiskan kondisi mereka, kaum yang sebenarnya menyembunyikan
kekufuran dalam relung hati terdalam, meski bibir-bibir mereka
melontarkan pengakuan keimanan. Mereka memperoleh penerangan melalui
cahaya iman yang dimiliki kaum Mukminin yang berada di sekitar mereka.
Lantaran lentera iman itu bukan melekat pada mereka, akibatnya mereka
hanya dapat memanfaatkannya sementara waktu saja. Konkretnya, darah
mereka terpelihara, harta juga terjaga, dan setidaknya situasi aman
sempat mereka rasakan di dunia ini. Namun ketika tiba-tiba kematian
menerjang mereka, secercah cahaya yang sebelumnya menerangi hidup
mereka akan hilang. Akhirnya, kegelapan demi kegelapan menerpa mereka;
kegelapan alam kubur, kegelapan kekufuran, kegelapan nifak, kegelapan
maksiat dengan berbagai jenisnya. Dan terakhir, kegelapan neraka.
Itulah seburuk-buruknya tempat kembali. Wal 'iyâdzu billâh.. Demikian
paparan Syaikh as-Sa'di rahimahullah mengenai ayat pertama pada
pembahasan ini.[3]

Sementara itu, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah dengan merujuk penafsiran
beberapa Ulama Salaf memandang bahwa cahaya yang dimaksud adalah
keimanan yang sebelumnya ada di hati kaum munâfiqin. Artinya, mereka
telah beriman sebelum kekufuran dan nifâq yang merasuki hati mereka.
Mereka lebih mengutamakan kesesatan (dhalâlah) daripada hidayah, lebih
menyukai penyimpangan setelah memperoleh pengetahuan tentang
kebenaran. Kondisi ini diserupakan dengan permisalan yang telah
disebutkan.[4]

Di akherat kelak, mereka akan menjadi penghuni neraka terbawah. Allâh
Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya orang-orang munâfiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang
paling bawah dari neraka [an-Nisâ/4:145]

TIGA PINTU HIDAYAH TERTUTUP DAN TIDAK BERFUNGSI
Pada diri kaum munâfiqîn, perangkat untuk memperoleh hidayah
(kebenaran) yang telah disediakan bagi setiap manusia telah tertutup.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa hidayah akan masuk
pada seorang hamba melalui tiga pintu; melalui apa yang ia dengar
dengan telinganya, yang terlihat oleh matanya dan yang dipahami oleh
hatinya. Ketiga akses hidayah ini tidak berfungsi, sehingga hidayah
pun terhalangi masuk. Akibatnya, hati mereka tidak mengetahui hal-hal
yang bermanfaat bagi diri mereka sendiri. [5]

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, "Mereka tidak dapat
mendengar hidayah, tidak melihat dan tidak memahaminya".[6] Hal itu
dikarenakan mereka sudah terlampau jauh berbuat kerusakan (kufur dan
nifâq) [7]

LAYAKNYA ORANG CACAT
Ketika organ tubuh tidak berfungsi sebagaimana mestinya, karena mereka
tidak dapat memperoleh manfaat dari pendengaran, penglihatan dan hati,
mereka pun disamakan dengan orang yang sama sekali tidak memiliki
ketiga organ tersebut. Allah Azza wa Jalla berfirman:

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ

Mereka tuli, bisu, dan buta

Secara zhahir, dikatakan Syaikh as-Syinqîthi rahimahullah, ayat ini
menyatakan kaum munâfiqîn memiliki sifat tuli, bisu dan buta. Akan
tetapi, di tempat (ayat) lain, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa
makna tuli, bisu dan buta (yang ada pada mereka) adalah ketidakmampuan
memperoleh manfaat dari pendengaran, hati dan penghlihatan mereka.
seperti yang difirmankan Allâh Azza wa Jalla berikut:

وَلَقَدْ مَكَّنَّاهُمْ فِيمَا إِنْ مَكَّنَّاكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا
لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَارًا وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَىٰ عَنْهُمْ
سَمْعُهُمْ وَلَا أَبْصَارُهُمْ وَلَا أَفْئِدَتُهُمْ مِنْ شَيْءٍ إِذْ
كَانُوا يَجْحَدُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ
يَسْتَهْزِئُونَ

Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan
hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati merekatidak berguna
sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengngkari ayat-ayat
Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka
memperolok-olokkannya [al-Ahqâf/46:26] [8]

MEREKA TIDAK AKAN KEMBALI MENUJU KEBENARAN
Vonis mereka tidak akan kembali kepada jalan kebenaran, sebagaimana
termaktub dalam penggalan ayat yang terakhir, sangat beralasan. Selain
alasan takdir yang berdasarkan ilmu (pengetahuan) Allâh Azza wa Jalla
bahwa mereka tidak akan kembali kepada kebenaran [9] , akhir hidup
yang sangat buruk itu disebabkan usai mengetahui kebenaran dengan
nyata, tidak malah mengikutinya, justru mereka menampiknya. Maka,
sangat kecil kemungkinan mereka akan kembali dan sadar dalam kondisi
apapun. Berbeda halnya orang yang melakukan penolakan terhadap
kebenaran karena memang belum mengetahuinya atau berada dalam
kesesatan. Orang seperti ini belum dapat memahami kebenaran dengan
baik. Sehingga terbuka kemungkinan ia akan menerima kebenaran. [10]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, " Mereka tidak akan
kembali menuju hidayah, juga tidak kepada kebaikan. Mereka tidak
memperoleh keselamatan dari kondisi mereka". Sedangkan Qatâdah
memaknainya dengan mereka tidak akan bertaubat dan tidak akan
menyadari". [11]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa mereka tidak akan
kembali karena mereka telah melihat cahaya dan menyaksikan hidayah
(petunjuk Islam). Akan tetapi, ketika nyala cahaya itu padam, mereka
pun tidak bisa melihat apa yang sebelumnya dapat mereka saksikan. [12]

Hal itu lantaran Allâh Azza wa Jalla telah menghilangkan cahaya itu
dari sisi mereka. sehingga ma'iyyah khâshshah (kebersamaan Allâh Azza
wa Jalla dengan hamba yang bersifat khusus) yang berkonsekuensi
datangnya bantuan dan pertolongan dari-Nya telah terputus dari mereka.
Sebab ini hanya diperuntukkan bagi kaum Mukminin semata.

Coba perhatikan firman Allah yang artinya [ Allâh hilangkan cahaya
(yang menyinari) mereka ]. Di situ disebutkan bahwa pancaran cahaya
penerangan berada di luar mereka, tidak menyatu dengan mereka.
Seandainya berpadu dengan mereka, tentu tidak akan hilang dari sisi
mereka. Cahaya itu hanya bersifat temporer. Sementara kegelapan (baca:
nifâq) adalah unsur yang permanen pada diri mereka. Selanjutnya, sinar
cahaya kembali kepada sumbernya. Demikian pula, kegelapan pun tetap
bertahan pada tempat asalnya. Pancaran cahaya pergi, tinggal api yang
membakar yang masih menyertai mereka..

Pada akhirnya, mereka menjadi ahluzh zhulumât yaitu, orang-orang yang
berada dalam naungan kegelapan yang sama sekali tidak memiliki cahaya
penerangan sedikit pun. Ini akibat mereka menolak kebenaran yang
merupakan cahaya. Sesungguhnya Allâh telah menamakan kitab-Nya sebagai
cahaya, rasul-Nya sebagai cahaya, agama-Nya sebagai cahaya,
petunjuk-Nya sebagai cahaya. Termasuk juga, nama Allâh Azza wa Jalla
adalah an-nûr yang bermakna cahaya. Shalat juga dinamakan cahaya. Oleh
karena itu, ketika Allâh hilangkan cahaya dari mereka, berarti ini
semua (semua yang disebut cahaya di atas) secata otomatis juga hilang
dari mereka.[13]

KEBENARAN HANYA SATU
Perlu diketahui pula, pada ayat yang artinya [Allah hilangkan cahaya
(yang menyinari) mereka ] [ dan membiarkan mereka dalam kegelapan,
tidak dapat melihat ], kebenaran yang diwakili dengan kata nûr
(cahaya) hanya berjumlah satu. Sedangkan kegelapan yang kemudian
menjadi kondisi yang menaungi kaum munafiqîn disebutkan dengan bentuk
jamak (zhulumât). Ini, menurut Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menunjukkan bahwa al-haq (kebenaran) adalah satu yaitu jalan Allâh
Azza wa Jalla yang lurus yang tidak ada pintu lain menuju kepada-Nya
kecuali melalui pintu itu saja. Yaitu, beribadah kepada-Nya tanpa
menyekutukan-Nya dan menjalankan syariat yang dibawa oleh Rasul-Nya,
bukan atas dasar hawa nafsu, bid'ah dan jalan orang-orang yang keluar
dari rel misi yang diemban beliau yang berupa petunjuk dan agama yang
benar. Berbeda dengan kebatilan, berjumlah banyak dan
bercabang-cabang. Oleh karena itu, pada ayat-ayat lain, Allah Azza wa
Jalla hanya menyebutkan kebenaran dengan bentuk mufrad (kata tunggal,
satu), dan menyebutkan kebatilan dengan bentuk jamak.[14]

Demikianlah salah satu matsal (perumpamaan) yang Allâh Azza wa Jalla
buat untuk memperjelas kondisi riil kaum munâfiqîn. Golongan yang
sebelumnya Allah k sebut mereka dengan telah melakukan transaksi
jual-beli yang sangat merugikan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ فَمَا
رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ

Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah
beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
[al-Baqarah/2:16].

PELAJARAN DARI AYAT:
1. Permisalan dalam al-Qur`ân sangat bermanfaat untuk direnungi.
[al’Ankabuut:43]
2. Kaum munâfiqîn pernah beriman, kemudian mereka kufur kembali
3. Iman adalah cahaya yang memiliki pengaruh baik, bahkan bagi hati
kaum munâfiqîn sekalipun.
4. Allâh Azza wa Jalla membiarkan kaum munâfiqîn dalam kesesatan dan
kekufurannya. Dan siapa saja dibiarkan Allâh Azza wa Jalla , berjalan
tanpa taufik dari-Nya akan binasa.
5. Kaum munâfiqîn tidak akan kembali dari kesesatan mereka. Sebab
mereka berkeyakinan telah berbuat baik. Barang siapa menganggap
keburukan adalah kebaikan, sulit baginya untuk menyadari kesalahannya.
6. Buruknya akhir kehidupan orang-orang yang hidup dalam kebatilan
7. Kebenaran hanya satu, sementara kegelapan berjumlah banyak. Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Ijtimâ Juyûsyil Islâmiyyah , Ibnul Qayyim, tahqîq DR. Awwâd bin
'Abdullâh al-Mu'tiq, hlm. 63
[2]. Atsar dengan sanad hasan. At-Tafsîr ash-Shahîh, DR Hikmat bin
Basyîr (1/113)
[3]. Taisîrul Karîm ar-Rahmân,as-Sa’di. Lihat juga Aisarut Tafâsîr 1/19
[4]. Tafsîr al-Qur`ânil 'Azhîm, Ibnu Katsîr, tahqîq Muhammad Sâmi
Salamah, Dâr Thaibah
[5]. Ijtimâ Juyûsyil Islâmiyyah hlm. 63
[6]. At-Tafsîr ash-Shahîh, DR Hikmat bin Basyîr (1/113)
[7]. Aisarut Tafâsîr (1/19)
[8]. Adhwâul Bayân, Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi (1/41)
[9]. al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân (1/259)
[10]. Taisîrul Karîm ar-Rahmân hlm. 26, Aisarut Tafâsîr (1/19)
[11]. At-Tafsîr ash-Shahîh (1/113)
[12]. Ijtimâ Juyûsyil Islâmiyyah hlm. 63
[13]. Lihat Ijtimâ Juyûsyil Islâmiyyah hlm. 64
[14]. Ibnul Qayyim t membawakan contoh lain, Qs al-Baqarah: 257,
al-An'âm:153 Lihat. Ijtimâ Juyûsyil Islâmiyyah hlm. 66


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to