WASIAT PERPISAHAN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://almanhaj.or.id/content/3530/slash/0/wasiat-perpisahan-1/

عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللّٰـهُ عَنْهُ قَالَ
:صَلَّـىٰ بِنَا رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَاتَ يَوْمٍ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا ، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً
بَلِيْغَةً ؛ ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ ، وَوَجِلَتْ مِنْهَا
الْقُلُوْبُ ، قَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! كَـأَنَّ هٰذِهِ
مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ ، فَـمَـاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا ؟ فَقَالَ :
«أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللّٰـهِ ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ
عَبْدٌ حَبَشِيٌّ ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى
اخْتِلاَفًا كَثِـيْرًا ، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ
الْـخُلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَا
وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ
اْلأُمُوْرِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ

Diriwayatkan dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu bahwa ia
berkata, “Suatu hari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu
memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa,
yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut,
maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullâh! Seolah-olah ini adalah
nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau
wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullâh n bersabda, ‘Aku wasiatkan
kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan
taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari
Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian
sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka
wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâr
Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia
dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara
yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru
itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh Imam-imam Ahlul Hadits, di
antaranya adalah Imam Ahmad dalam Musnadnya 7/126-127, Imam Abu Dâwud
no. 4607) dan ini lafazhnya, Imam at-Tirmidzi no. 2676, Imam Ibnu
Mâjah no. 42, Imam ad-Dârimi 1/44, Imam Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya
no. 5, at-Ta’lîqâtul Hisân dan no. 102, al-Mawârid, Imam al-Hâkim
1/95-96, Imam Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 54-59, Imam
al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1/205, no. 102, Imam al-Baihaqi dalam
Sunannya 10/114, Imam al-Lâlikâi dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis
Sunnah wal Jamâ’ah 1/ 83, no. 81 dan lain-lain.

Hadits ini dishahîhkan oleh para imam Ahlul Hadits. Imam at-Tirmidzi
rahimahullah mengatakan, “Hadits ini hasan shahîh.” Imam al-Bazzâr
rahimahullah mengatakan, “Hadits ini tsâbit shahîh.” Imam Ibnu ‘Abdil
Barr mengatakan, “Hadits ini tsâbit.” Imam al-Hâkim rahimahullah
mengatakan, “Hadits ini shahîh dan tidak ada cacatnya,” dan disetujui
oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah. Hadits ini dishahîhkan juga oleh
Imam al-‘Allâmah al-Muhaddits Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni
rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 937 dan 2735
dan dalam Irwâ-ul Ghalîl 8/107-109, no. 2455

DISYARIATKANNYA MEMBERIKAN NASIHAT
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasehat kepada para
Sahabatnya, kemudian seorang Sahabat mengatakan,

يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! كَأَنَّ هٰذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ ،
فَمَـاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا ؟

Wahai Rasulullâh! Nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan
berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?

Ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam amat serius
dalam memberikan nasehat tersebut dan tidak seserius itu pada nasehat
yang lainnya. Oleh karena itu, para Sahabat paham bahwa nasehat
tersebut adalah nasehat orang yang akan berpisah, karena orang yang
akan berpisah dapat mempunyai pengaruh dalam perkataan dan perbuatan
yang tidak bisa dikerjakan orang lain. Karenanya, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan seseorang shalat seperti shalatnya
orang yang akan berpisah, ia akan mengerjakannya sesempurna
mungkin.[1]

Agama adalah nasehat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda yang artinya, “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah
nasihat, agama itu adalah nasihat. Mereka (para Sahabat) bertanya:
‘Untuk siapa, wahai Rasulullâh?’ Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum
Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”[2]

Nasehat merupakan hak seorang Muslim atas Muslim yang lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Hak
orang Muslim atas Muslim lainnya ada enam. Ditanyakan, “Apa saja
keenam hak tersebut, wahai Rasulullâh?” Beliau menjawab, “Jika engkau
bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, jika ia
mengundangmu maka penuhilahnya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka
nasihatilah dia, jika ia bersin kemudian memuji Allah maka doakan dia
(dengan ucapan: yarhamukallâh), jika ia sakit maka jenguklah, dan jika
ia meninggal dunia maka antarkan (jenazah)nya.”[3]

Prinsip dalam memberikan nasehat ialah harus ikhlas semata-mata karena
Allah Azza wa Jalla dan mengikuti contoh Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam , bukan dengan membuka aib orang yang dinasehati.
Sebab, orang yang aibnya dibuka tidak akan mau menerima nasehat.
Begitu juga dengan menuduh orang lain. Orang yang dituduh, akan sulit
baginya untuk menerima nasehat karena menuduh tidaklah sama dengan
memberi nasehat. Sebaliknya juga orang yang diberikan nasehat jangan
menuduh orang yang memberikan nasehat dengan tuduhan yang jelek.

KEUTAMAAN SALAFUSH SHALIH
Perkataan al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu,

فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ
وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ...

“Lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada
jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi
takut...”

Di dalamnya terdapat isyarat tentang baiknya keadaan para Sahabat,
bersihnya jiwa-jiwa mereka, dan selamatnya hati-hati mereka. Mereka
mengambil pelajaran dari sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , merasa takut tatkala mendengar firman Allah Azza wa Jalla ,
dan ini merupakan tanda keimanan dan kebaikan. Menangis dan rasa takut
hati ketika mendengar peringatan dari firman Allah k dan sabda
Rasul-Nya adalah dua sifat kaum Mukminin yang dipuji oleh Allah Azza
wa Jalla . Seperti firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila
disebut Nama Allah gemetar (takutlah) hatinya, dan apabila dibacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah kuat imannya dan hanya kepada
Rabb mereka bertawakkal.” [al-Anfâl/8:2]

Sesungguhnya orang yang menangis karena takut kepada Allah Azza wa
Jalla , matanya itu tidak akan disentuh api neraka. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَيْنَانِ لاَتَـمَسُّهُمَـا النَّارُ : عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ
اللّٰـهِ ، وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَـحْرُسُ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ

Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api Neraka, mata yang
menangis karena takut kepada Allah dan mata yang begadang untuk
berjaga di jalan Allah.[4]

Maksud dari dua mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah ialah
ketika berjuang di jalan Allah Azza wa Jalla melawan musuh, ia
senantiasa berjaga-jaga di perbatasan karena khawatir kaum Muslimin
diserang oleh musuh. Oleh karena itu, wajib mencintai para Sahabat
Radhiyallahu anhum, memuliakan mereka, memohonkan ampunan dan
keridhaan Allah Azza wa Jalla untuk mereka, dan mengikuti contoh
teladan mereka. Mereka adalah pendahulu ummat ini yang telah
menyampaikan al-Qur`ân dan Sunnah Nabi-Nya kepada kita.

Para Ulama menjelaskan bahwa siapapun tidak boleh mencela dan
mencaci-maki para Sahabat karena baiknya hati mereka. ‘Abdullâh bin
Mas’ûd Radhiyallahu anhu mengatakan tentang para Sahabat Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّـيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ
اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَإِنَّـهُمْ كَانُوْا
أَبَرَّ هٰذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا ، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًـا ،
وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا ، وَأَحْسَنَهَا حَالاً
، قَوْمًا اِخْتَارَهُمُ اللّٰـهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، وَِلإِقَامَةِ
دِيْنِهِ فَاعْرِفُوْا لَـهُمْ فَضْلَهُمْ ، وَاتَّبِعُوْهُمْ فِـيْ
آثَارِهِمْ ، فَإِنَّـهُمْ كَانُوْا عَلَى الْـهُدَى الْـمُسْتَقِيْمِ

Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil teladan, hendaklah
mengambil teladan dari para Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik
hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus
petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah Azza wa
Jalla telah pilih untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan
agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah
atsar-atsarnya karena mereka berada di atas jalan yang lurus.[5]

Para Salafush Shalih memiliki sekian banyak keutamaan, maka kewajiban
kita adalah mencintai, menghormati dan mengikuti jejak mereka, serta
memohonkan ampunan, rahmat, dan keridhaan Allah Azza wa Jalla untuk
mereka. Maka dianjurkan untuk mengucapkan radhiyallâhu ‘anhum ketika
kita menyebut para Sahabat, sebagai realisasi dari firman Allah Azza
wa Jalla yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
[at-Taubah/9:100]

Tidak boleh ada seorang pun yang mencela dan menjelekkan para Sahabat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَتَسُبُّوْا أَصْحَابِـيْ ، فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ! لَوْ
أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا ، مَا بَلَغَ مُدَّ
أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ

Janganlah kalian mencaci para Sahabatku! Demi Dzat Yang diriku berada
di tangan-Nya, sungguh, jika seandainya salah seorang dari kalian
berinfak sebesar Gunung Uhud berupa emas, maka belum mencapai nilai
infak mereka meskipun (mereka infak hanya) satu mud (yaitu sepenuh dua
telapak tangan) dan tidak juga separuhnya.[6]

Karena itulah Imam Abu Zur’ah ar-Râzi rahimahullah (wafat th. 264 H)
berkata, “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang dari
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa
ia adalah zindiq (munafik). Karena sesungguhnya Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam itu benar, sesungguhnya al-Qur`ân itu benar, dan
yang menyampaikan al-Qur`ân kepada kita adalah mereka, para Sahabat
Rasulullâh Radhiyallahu anhum . Dan orang-orang yang mencela itu
hendak merusak persaksian kita demi membatalkan al-Qur`ân dan Sunnah.
Maka celaan itu hanyalah pantas untuk mereka. Mereka adalah
orang-orang zindiq.”[7]

Kaum Muslimin dianjurkan untuk mendoakan para Sahabat dengan doa yang
terdapat di dalam al-Qur`ân yang artinya, “Wahai Rabb kami, ampunilah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada
kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun, Maha Penyayang.” [al-Hasyr/59:10]

BERTAKWALAH KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللّٰـهِ...

Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah…

Wasiat takwa adalah wasiat yang paling mulia, wasiat yang menjamin
kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi orang yang berpegang teguh
kepadanya. Dan wasiat takwa merupakan wasiat Allah Azza wa Jalla
kepada manusia generasi pertama dan akhir, sebagaimana firman Allah
Azza wa Jalla yang artinya, “Dan sungguh Kami telah memerintahkan
kepada orang yang telah diberikan kitab suci sebelum kamu dan (juga)
kepadamu agar bertakwa kepada Allah. Tetapi jika kamu ingkar, maka
(ketahuilah) milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi dan Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” [an-Nisâ'/4:31]

Takwa yang dimaksud menurut penjelasan para Ulama bukan sekedar
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, namun harus dirinci lagi.
Perintah paling besar dalam syari’at adalah mentauhidkan Allah Azza wa
Jalla dan larangan yang terbesar adalah menjauhkan syirik.

Thalq bin Habîb rahimahullah mengatakan, “Takwa ialah engkau
melaksanakan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan cahaya dari
Allah Azza wa Jalla karena mengharap ganjaran dari Allah Azza wa Jalla
, dan engkau meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla
dengan cahaya dari Allah Azza wa Jalla karena takut terhadap adzab
Allah Azza wa Jalla .[8]

Di antara pesan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita semua
ialah agar selalu bertakwa dimana pun kita berada. Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Bertakwalah
kepada Allah dimana pun engkau berada dan iringilah per-buatan buruk
dengan perbuatan baik, niscaya ia akan menghapuskannya serta
bergaullah bersama manusia dengan akhlak yang baik.[9]

MENDENGAR DAN TAAT KEPADA ULIL AMRI (PENGUASA KAUM MUSLIMIN)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ

Mendengar dan taat

Maksudnya, mendengar dan taat kepada ulil amri (penguasa) kaum
Muslimin. Mendengar apabila mereka berbicara dan menaati apabila
mereka memerintahkan sesuatu. Dalam surat an-Nisâ ayat 59, Allah Azza
wa Jalla berwasiat kepada kaum Muslimin agar mereka menaati Allah Azza
wa Jalla , Rasul-Nya, dan ulil amri dari kalangan kaum Muslimin yang
artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur`ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” [an-Nisâ'/4:59]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَطَاعَةَ فِـيْ مَعْصِيَةِ اللّٰـهِ ، إِنَّـمَـا الطَّاعَةُ فِـي الْـمَعْرُوْفِ

Tidak boleh taat terhadap perintah yang di dalamnya terdapat maksiat
kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.[10]

Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajib taat kepada
pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat,
meskipun mereka berbuat zhalim. Karena menaati mereka termasuk dalam
ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , sedangkan ketaatan kepada Allah
Azza wa Jalla adalah wajib.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَى الْـمَرْءِ الْـمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِـيْـمَـا
أَحَبَّ وَكَرِهَ ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِنْ أُمِرَ
بِمَعْصِيَةٍ ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat kepada penguasa
pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci, kecuali kalau ia disuruh
untuk berbuat maksiyat, jika ia disuruh untuk berbuat maksiyat, maka
tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.[11]

Imam al-Qâdhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abil-‘Izz ad-Dimasyqi t
(yang terkenal dengan Ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H) berkata, “Hukum
menaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan)
meskipun mereka berbuat zhalim, karena keluar dari ketaatan kepada
mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan
kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman
mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala.
Karena Allah Azza wa Jalla tidak akan menguasakan mereka atas diri
kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran
itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita
bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat, dan memperbaiki amal
perbuatan. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, "Dan apa saja
musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahan).” [asy-Syûrâ/42:30]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman yang artinya, "Dan demikianlah Kami
jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi pemimpin bagi
sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” [Qs
al-An’âm/6:129]

Apabila rakyat ingin selamat dari kezhaliman pemimpin mereka,
hendaklah mereka meninggalkan kezhaliman itu juga.”[12]

Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Penjelasan di atas sebagai
jalan selamat dari kezhaliman para penguasa yang ‘warna kulit mereka
sama dengan kulit kita, berbicara sama dengan bahasa kita (bahasa
Arab)’ karena itu agar umat Islam selamat:

1. Hendaklah kaum Muslimin bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla .
2. Hendaknya mereka memperbaiki ‘akidah mereka.
3. Hendaklah mereka mendidik diri dan keluarganya di atas Islam yang
benar sebagai penerapan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka
merubah keadaan diri mereka sendiri.” [ar-Ra’d/13:11]

Untuk menghindarkan diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara
mengikuti sangkaan sebagian orang yaitu dengan memberontak, mengangkat
senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk
bid’ah dan menyalahi nash-nash syari’at yang memerintahkan untuk
merubah diri kita lebih dahulu. Karena itu harus ada perbaikan kaidah
dalam pembinaan, dan pasti Allah Azza wa Jalla menolong hamba-Nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Allah pasti akan menolong
orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Kuat,
Maha Perkasa.” [al-Hajj/22:40] [13]

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya
di antara hikmah Allah Azza wa Jalla dalam keputusan-Nya menjadikan
para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia berada satu jenis
dengan amal perbuatan mereka, bahkan amal perbuatan mereka seakan-akan
tampak tercermin pada pemimpin dan penguasa mereka. Jika mereka lurus,
maka akan lurus juga penguasa mereka, dan jika mereka adil, maka akan
adil pula penguasa mereka terhadap mereka, tetapi jika mereka zhalim,
maka akan zhalim pula penguasa dan pemimpin mereka. Jika tampak tipu
muslihat dan penipuan di tengah-tengah mereka, maka demikian pula yang
terjadi pada pemimpin mereka. Dan jika menolak hak-hak Allah Azza wa
Jalla atas mereka dan enggan memenuhinya, maka para penguasa dan
pemimpin mereka pun akan menolak hak-hak yang ada pada mereka dan
kikir untuk menerapkannya pada mereka. Dan jika dalam muamalah mereka
mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang-orang lemah, maka para
penguasa pun akan mengambil hal-hal yang bukan haknya serta menimpakan
berbagai beban dan tugas kepada mereka.

Setiap yang mereka keluarkan (yang mereka ambil) dari orang-orang
lemah, maka akan dikeluarkan (diambil) pula oleh para penguasa itu
dari diri mereka dengan kekuatan (paksaan). Dengan demikian amal
perbuatan mereka tercermin pada amal perbuatan penguasa dan pemimpin
mereka. Dan menurut hikmah Ilâhiyyah, tidaklah diangkat seorang
pemimpin atas orang-orang jahat lagi berbuat keji, kecuali orang-orang
yang sejenis dengan mereka. Ketika pada kurun-kurun pertama merupakan
kurun yang paling baik, maka demikian itu pula para pemimpin mereka.
Dan ketika mereka mulai tercemari, maka pemimpin mereka pun mulai
tercemari pula.

Dengan demikian, hikmah Allah Azza wa Jalla menolak jika kita di zaman
ini dipimpin oleh orang-orang seperti Mu’awiyah dan ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz, apalagi orang-orang seperti Abu Bakar dan ‘Umar, tetapi
pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Dan pemimpin orang-orang
sebelum kita pun sesuai dengan kondisi mereka. Masing-masing dari
kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntutan hikmah Allah
Azza wa Jalla .”[14]

Pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu ada
seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini
banyak terjadi pertengkaran dan fitnah, sedangkan pada zaman Abu Bakar
dan ‘Umar tidak?” ‘Ali Radhiyallahu anhu menjawab, “Karena pada zaman
Abu Bakar dan ‘Umar yang menjadi rakyatnya adalah aku dan Sahabat yang
lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah
kalian.”[15]

Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum Muslimin agar menjadi
baik, Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar kita mengubah diri kita
sendiri terlebih dulu, bukan mengubah penguasa yang ada. Allah Azza wa
Jalla berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka
sendiri.” [ar-Ra’d/13:11]

Kita harus memperhatikan kewajiban mendengar dan taat kepada ulil
amri. Bila tidak, maka akan terjadi kehinaan, kekacauan, pertumpahan
darah, kaum Muslimin menjadi korban, dan lain sebagainya. Sedangkan
darah kaum Muslimin itu lebih mulia dari pada Ka’bah yang mulia dan
lebih berat di sisi Allah Azza wa Jalla dari pada hancurnya dunia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللّٰـهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

Hancurnya dunia ini lebih ringan dosanya di sisi Allah dari pada
terbunuhnya seorang Muslim.[16]

TERJADINYA PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN DI TENGAH KAUM MUSLIMIN
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا

Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka
ia akan melihat perselisihan yang banyak.

Sesungguhnya perpecahan dan perselisihan dalam Islam itu tercela.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Dan janganlah kalian
menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah
sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat adzab yang berat. [Ali ‘Imrân/3:105]

Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya : Sesungguhnya orang-orang
yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam
golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas
mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) atas Allah. Kemudian Dia
akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.
[al-An’âm/6:159]

Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ayat
ini menjelaskan bahwa agama Islam memerintahkan untuk berjama’ah dan
bersatu serta melarang perpecahan dan perselisihan dalam prinsip
agama, bahkan dalam setiap permasalahan agama, baik yang pokok maupun
cabangnya.”[17]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا
عَلَىٰ اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّـةً ، وَإِنَّ هٰذِهِ اْلأُمَّةَ
سَتَـفْـتَـرِقُ عَلَـىٰ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْـنَ : ثِـنْـتَانِ
وَسَبْعُوْنَ فِـي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَهِيَ
الْـجَـمَـاعَةُ

Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang Ahlul Kitab sebelum kalian telah
berpecah-belah menjadi 72 golongan. Sesungguhnya umat Islam akan
berpecah-belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di neraka
dan hanya satu golongan di Surga, yaitu al-Jama’âh.[18]

Dalam riwayat lain disebutkan:

كُلُّهُمْ فِـي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً : مَا أَنَا عَلَيْهِ
وَأَصْحَابِـيْ

Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang
aku dan para Sahabatku berjalan di atasnya.[19]

JALAN SELAMAT DARI PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN ADALAH DENGAN BERPEGANG
TEGUH KEPADA AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH MENURUT PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِـيْ ، وَسُنَّةِ الْخُـلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ
الرَّاشِدِيْنَ

Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah
Khulafâur Râsyidin yang mendapat petunjuk.

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas terdapat perintah
untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin sepeninggal beliau. Sunnah adalah
jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada
keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafâur Râsyidin. Itulah
Sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi Salaf dahulu tidak
menamakan Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek
tersebut. Hal ini diriwayatkan dari al-Hasan, al-Auzâ’i, dan Fudhail
bin ‘Iyâdh.[20]

Keempat Khalifah tersebut disebut Râsyidîn karena mereka mengetahui
kebenaran dan memutuskan segala perkara dengan kebenaran. Râsyîd
adalah lawan kata dari ghâwi. Ghâwi ialah orang yang mengetahui
kebenaran, namun mengamalkan kebalikannya. Sedangkan kata Mahdiyyîn
maksudnya adalah Allah Azza wa Jalla membimbing mereka kepada
kebenaran dan tidak menyesatkan mereka darinya. Jadi, manusia terbagi
menjadi tiga: râsyid, ghâwi, dan dhâll.

Râsyid ialah orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Dhâll
ialah orang yang tidak mengetahui kebenaran secara total. Jadi,
seluruh orang râsyid itu ialah orang yang mendapatkan petunjuk, dan
orang yang diberi petunjuk dengan petunjuk paripurna ialah orang yang
râsyid (mendapatkan petunjuk), karena petunjuk hanya sempurna dengan
mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.[21]

Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti Sunnah
beliau dan Sunnah Khulafâ Râsyidin setelah perintah mendengar dan taat
kepada ulil amri adalah bukti bahwa Sunnah para Khulafâur Râsyidin
harus diikuti seperti halnya mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Ini tidak berlaku bagi Sunnah para pemimpin selain Khulafâ
Râsyidin.[22]

Ini menunjukkan bahwa kita wajib berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah
menurut pemahaman Salafush Shalih. Selain itu, kita diwajibkan
mengikuti manhaj para Salafush Shalih karena Allah Azza wa Jalla
menyebutkan dalam al-Qur`ân tentang wajibnya kita mengikuti mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Maka jika mereka beriman
sebagaimana kamu telah beriman, sungguh, mereka telah mendapat
petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam
permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka.
dan Dialah yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [al-Baqarah/2:137]

Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa menentang
Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
selain jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang
telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka
Jahannam, dan itu seburuk-buruk tem-pat kembali. [an-Nisâ'/4:115]

Kita berpegang dengan pemahaman Salaf, mengikuti jejak Salafus Shalih,
dengan tujuan ingin selamat dunia akhirat dan ingin masuk Surga, bukan
untuk mencari kedudukan, harta, dan ketenaran. Kita mengikuti jejak
mereka supaya selamat di dunia dan di akhirat dan agar Allah Azza wa
Jalla memasukkan kita ke dalam Surga-Nya, bukan untuk memperoleh
kesenangan dunia, harta, jabatan, maupun kekuasaan.

Kita wajib mengikuti jejak Salafush Shalih karena mereka adalah
khairun nâs (sebaik-baik manusia), dan khairu hâdzhihil ummah (dan
sebaik-baik ummat ini).

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِـيْ ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ ، ثُمَّ
الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat),
kemudian yang sesudahnya (masa Tâbi’in), kemudian yang sesudahnya
(masa Tâbi’ut Tâbi’în).[23]

Mengenai berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman
Salafush Shalih ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya
menyuruh berpegang saja. Tetapi menyuruh kita agar memegangnya dengan
sangat kuat dan erat sehingga beliau mengungkapkannya melalui sabda
beliau,

عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian

Sabda beliau merupakan kiasan tentang kuatnya berpegang teguh kepada
Sunnah. Hal itu karena sudah begitu banyaknya fitnah dan syubhat yang
ada. Kadang-kadang ada orang berpegang pada manhaj Salaf lalu keluar
dari manhaj Salaf karena banyaknya fitnah, syubhat, dan syahwat.
Fitnah terbagi menjadi dua: fitnah syahwat dan syubhat. Fitnah syubhat
ialah fitnah yang terkait dengan pemahaman, aliran, kelompok, firqah,
keyakinan, dan lainnya. Sedangkan fitnah syahwat ialah yang berkenaan
dengan harta, wanita, jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan lain
sebagainya.[24]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menggabungkan Sunnah Sahabatnya dengan
Sunnahnya, dan memerintahkan untuk mengikutinya seperti memerintahkan
untuk mengikuti Sunnahnya, sampai-sampai beliau memerintahkan agar
menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini meliputi apa yang mereka
fatwakan dan apa yang mereka contohkan walaupun sebelumnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak melakukannya. Karena jika
tidak, maka itu juga termasuk Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Hal ini juga meliputi apa yang mereka fatwakan secara
keseluruhan atau sebagian besar dari mereka atau sebagian mereka saja
karena Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkannya dengan
apa yang disunnahkan (dicontohkan) oleh Khulafâ Râsyidin. Dan sudah
dimaklumi, jika mereka mencontohkan hal itu pada saat yang bersamaan,
maka bisa diketahui bahwa Sunnah tiap orang dari mereka (Sahabat) pada
masa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk Sunnah
Khulafâur Râsyidin.”[25]

Hadits ini sebagai pukulan keras yang menghujam di kepala para ahlul
bid’ah yang menyelisihi manhaj Salaf, karena hal ini ditunjukkan oleh
beberapa hal:

Pertama: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan Sunnah
Khulafâur Râsyidin, yaitu pemahaman Salaf, dengan Sunnah beliau. Ini
menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipahami kecuali dengan manhaj
Salaf.

Kedua: Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan Sunnah
Khulafâur Râsyidin sebagai Sunnah beliau, beliau mengatakan, “Gigitlah
ia dengan gigi geraham.” Dan tidak mengatakan, “Gigitlah keduanya
dengan gigi geraham.” Dengan demikian jelaslah bahwa Sunnah Khulafâ`ur
Râsyidin termasuk Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Ketiga: Beliau menghadapkan (menjadikan berlawanan) semua itu dengan
peringatan terhadap bid’ah, maka hal ini menunjukkan setiap yang
menyelisihi manhaj Salaf berarti ia terjerumus dalam bid’ah tanpa ia
sadari.

Keempat: Beliau menjadikan hal itu (manhaj Salaf) sebagai solusi dari
perselisihan dan kebid’ahan, barangsiapa yang berpegang teguh kepada
Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafâ`ur
Râsyidin maka ia termasuk dalam golongan yang selamat kelak di hari
Kiamat.

Kelima: Beliau tidak menjadikan Sunnahnya dan Sunnah Khulafâ Râsyidin
dalam perselisihan yang banyak itu. Hal ini menunjukkan bahwa semuanya
itu berasal dari Allah Azza wa Jalla , karena terjadinya perselisihan
yang banyak tidak mungkin dari Allah Azza wa Jalla , sebagaimana dalam
firman-Nya yang artinya, “Sekiranya (al-Qur`ân) itu bukan dari Allah,
pasti mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.”
[an-Nisâ'/4:82]

Dari poin-poin yang berkaitan ini maka jelaslah bahwa jalan
keselamatan dari perselisihan dan perpecahan serta jalan untuk
melindungi kehidupan dari kesesatan hawa nafsu dan rusaknya syubhat
dan syahwat adalah dengan memahami Sunnah Rasulullâh dengan pemahaman
mereka. Karena mereka telah mendapat bagian melimpah dari Sunnah
tersebut, mereka berhasil menempati posisi terdepan dan memimpin masa,
sehingga tidak menyisakan kesempatan bagi generasi setelahnya untuk
menyusul dan menyamai mereka karena mereka berhenti di atas petunjuk,
telah dicukupkan dengan ilmu, dan dengan ketajaman pandangan mereka
melihat Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi
sesuatu yang paling agung di hati mereka, paling hebat dalam jiwa
mereka.

Jika Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka pada
suatu perintah, secepatnya mereka segera memenuhinya baik
beramai-ramai maupun sendiri-sendiri. Mereka segera membawa jiwa
raganya untuk melaksanakan perintah tersebut tanpa perlu bertanya
tentang dalil atau buktinya.

Oleh karena itu, mereka adalah orang yang paling berhak terhadap
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnahnya, baik dalam
pemahaman, pengamalan, maupun dakwah. Dan yang wajib bagi orang
setelah mereka adalah berpegang teguh kepada manhaj mereka, agar bisa
bersambung dengan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama
Allah Azza wa Jalla . Jika tidak, maka ia bagaikan pohon buruk yang
tercabut dari dalam tanah dan ia tidak memiliki ketetapan.[26]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya
perpecahan dan perselisihan pada umatnya, kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar agar selamat
dunia dan akhirat yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para
Sahabat . Hal ini menunjukkan wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan Sunnah para Sahabatnya
Radhiyallahu anhum.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2 /114
[2]. Shahîh: HR. Muslim no. 55 (95)), Abu Dâwud no. 4944, an-Nasâ`i
7/156-157, Ibnu Hibbân dalam Ta’lîqâtul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân
no. 4555, Ahmad 4/102-103, al-Baihaqi 8/163, dan lafazh ini milik Ibnu
Hibbân dan Ahmad, dari Sahabat Abu Ruqayyah Tamîm bin ‘Aus ad-Dâri
Radhiyallahu anhu.
[3]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1240, Muslim no. 2162 (5), Ahmad
2/372, 412, 540, dan Ibnu Hibbân no. 241, 242-At-Ta’lîqâtul Hisân)
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[4]. Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 1639 dari Sahabat ‘Abdullâh bin
‘Abbâs Radhiyallahu anhu.
[5]. Atsar Shahîh: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Bar dalam kitabnya
Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih 2/947 no. 1810, tahqîq Abul Asybal
Samir az-Zuhairi.
[6]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 3673, Muslim no. 2541, Abu Dâwud no.
4658, at-Tirmidzi no. 3861, Ahmad 3/11, al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah 14/69 no. 3859 dan Ibnu Abi ‘Ashim no. 988, dari Sahabat Abu
Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Lihat Fathul Bâri 7/34-36
[7]. Al-Kifâyah fî Ma’rifati Ushûli ‘Ilmi Riwâyah 1/118, no. 104,
karya Abu Bakar bin ‘Ali bin Tsâbit, yang terkenal dengan sebutan
al-Khathîb al-Baghdâdi, tahqîq Abu Ishâq Ibrâhîm bin Mushthafa Alu
Bahbah ad-Dimyathi.
[8]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 1/400 karya Imam Ibnu Rajab al-Hanbali
rahimahullah, tahqîq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
[9]. Hasan: HR. at-Tirmidzi no. 1987, Ahmad 5/153, 158, 177 dan
ad-Dârimi 2/323 dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan
juga oleh at-Tirmidzi no. 1987, Ahmad 5/236, dan ath-Thabrâni dalam
al-Mu’jamul Ausâth no. 3791 dari Sahabat Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu
anhu .
[10]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 4340, 7257, Muslim no. 1840, Abu
Dâwud no. 2625, an-Nasâ`-i 7/159-160, Ahmad 1/94, dari Sahabat ‘Ali
Radhiyallahu anhu. lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah 1/351, no.
181 oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah .
[11]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2955, 7144, Muslim no. 1839,
at-Tirmidzi no. 1707, Ibnu Mâjah no. 2864, an-Nasâ`i 7/160, Ahmad
2/17, 142 dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu . Lafazh ini milik
Muslim.
[12]. Lihat Syarh ‘Aqîdah Thahâwiyah hlm. 543 takhrîj dan ta‘lîq
Syu‘aib al-Arnauth dan ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Turki.
[13]. ‘Aqîdah Thahâwiyah hlm. 69, syarah wa ta’lîq Syaikh al-Albâni,
cet. II/Maktab al-Islâmi, th. 1414 H.
[14]. Miftâh Dâris Sa’âdah 2 /177-178 karya Imam Ibnul Qayyim (wafat
th. 751 H), tahqîq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi.
[15]. Sirâjul Mulûk 2/467 karya Abu Bakar at-Turthûsyi, dinukil dari
Kamâ Takûnu Yuwallâ ‘Alaikum hlm. 61-62 karya Syaikh ‘Abdul Mâlik bin
Ahmad Mubârak Ramadhâni.
[16]. Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 1395 dan an-Nasâ`i 7/82 dari Sahabat
‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu anhu.
[17]. Taisîr Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân hlm. 276-277,
cet. I Maktabah al-Ma’ârif, th. 1420 H.
[18]. Hasan: HR. Abu Dâwud no. 4597, Ahmad 4/102, al-Hâkim 1/128,
ad-Dârimi 2/241, al-Ajûrri dalam asy-Syarî’ah no. 29, al-Lâlikâ`i
dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/113 no. 150.
Dishahîhkan oleh al-Hâkim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari
Mu’âwiyah bin Abi Sufyân. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan
hadits ini shahîh masyhûr. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni. Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 203-204.
[19]. Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 2641 dan al-Hâkim 1/129 dari Sahabat
‘Abdullâh bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam
Shahîhul Jâmi’ no. 5343. Lihat Dar-ul Irtiyâb ‘an Hadîts mâ Anâ
‘alaihi wa Ashhâbî oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilâli, cet. Dârur
Rayah, th. 1410 H.
[20]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/120.
[21]. Ibid 2/126.
[22]. Ibid 2/121.
[23]. Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhâri no. 2652 dan Muslim no. 2533
(212), dari Sahabat ‘Abdullâh bin Mas‘ûd Radhiyallahu anhu.
[24]. Tentang wajibnya mengikuti manhaj Salaf, lihat buku penulis
“Syarah ‘Aqîdah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” dan “Mulia dengan Manhaj
Salaf”.
[25]. I’lâmul Muwaqqi’în 5/581.
[26]. Lihat Bashâ-iru Dzawisy Syarâf hlm. 70-72 dengan sedikit diringkas.


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke