NIAT UNTUK BERBUAT BAIK MENDAPAT PAHALA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://almanhaj.or.id/content/3546/slash/0/niat-untuk-berbuat-baik-mendapat-pahala/

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَـا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى ، قَالَ : «إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْـحَسَنَاتِ
وَالسَّيِّـئَاتِ ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ
فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً ،
وَإِنْ هَمَّ بِـهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهُ اللّـهُ عَزَّوَجَلَّ عِنْدَهُ
عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ
، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّـئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ؛ كَتَبَهَا اللهُ
عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً ، وَإِنْ هَمَّ بِهَـا فَعَمِلَهَا ،
كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً ». رَوَاهُ الْـبُخَارِيُّ
وَمُسْلِمٌ فِـيْ صَحِيْحَيْهِمَـا بِهَذِهِ الْـحُرُوْفِ

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Azza wa
Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allâh menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian
menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak
(jadi) melakukannya, Allâh tetap menuliskanya sebagai satu kebaikan
sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian
mengerjakannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh
kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak.
Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya,
maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna.
Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya,
maka Allâh menuliskannya sebagai satu kesalahan.” [HR. al-Bukhâri dan
Muslim dalam kitab Shahiih mereka]

TAKHRIJ HADITS :
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 6491), Muslim
(no. 131 [207]) dan Ahmad (I/310, 361).

Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas banyak sekali. Di
antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Allâh Azza
wa Jalla berfirman kepada para malaikat :

إِذَا أَرَادَ عَبْدِيْ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً ؛ فَلَا تَكْتُبُوْهَا
عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَـا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا
بِمِثْلِهَا ، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِـيْ فَاكْتُبُوْهَا لَهُ
حَسَنَةً ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا
فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ؛ فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ
بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَى سَبْعِمِائَةٍ

Jika hamba-Ku berniat melakukan kesalahan, maka janganlah kalian
menulis kesalahan itu sampai ia (benar-benar) mengerjakannya. Jika ia
sudah mengerjakannya, maka tulislah sesuai dengan perbuatannya. Jika
ia meninggalkan kesalahan tersebut karena Aku, maka tulislah untuknya
satu kebaikan. Jika ia ingin mengerjakan kebaikan namun tidak
mengerjakannya, tulislah sebagai kebaikan untuknya. Jika ia
mengerjakan kebaikan tersebut, tulislah baginya sepuluh kali
kebaikannya itu hingga tujuh ratus (kebaikan).’”[1]

Dalam riwayat Muslim, disebutkan:

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ
حَسَنَةً ؛ فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ حَسَنَةً مَا لَـمْ يَعْمَلْ ،
فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا ، وَإِذَا
تَـحَدَّثَ بِأَنْ يَعْمَلَ سَيِّـئَةً ، فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَهُ مَا
لَـمْ يَعْمَلْهَا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ
بِمِثْلِهَا. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
قَالَتِ الْـمَلَائِكَةُ : رَبِّ ، ذَاكَ عَبْدُكَ يُرِيْدُ أَنْ
يَعْمَلَ سَيِّئَةً (وَهُوَ أَبْصَرُ بِهِ) فقَالَ : اُرْقُبُوْهُ ،
فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ بِمِثْلِهَا ، وَإِنْ تَرَكَهَا
فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ، إِنَّمَـا تَرَكَهَا مِنْ جَرَّايَ.
وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا
أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ
بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَـى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ ، وَكُلُّ
سَيِّـئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ بِمِثْلِهَا حَتَّى يَلْقَى اللهَ.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ’Jika hamba-Ku berniat
mengerjakan kebaikan, maka Aku menuliskan baginya satu kebaikan selagi
ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, Aku menuliskan
baginya sepuluh kali kebaikannya itu. Jika ia berniat mengerjakan
kesalahan, maka Aku mengampuninya selagi ia tidak mengerjakannya. Jika
ia sudah mengerjakan kesalahan tersebut, maka Aku menulisnya sebagai
satu kesalahan yang sama.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ”Para malaikat berkata, ’Wahai Rabb-ku, itu hamba-Mu ingin
mengerjakan kesalahan –Dia lebih tahu tentang hamba-Nya-.’ Allâh
berfirman, ’Pantaulah dia. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut,
tulislah sebagai satu kesalahan yang sama untuknya. Jika ia
meninggalkan kesalahan tersebut, tulislah sebagai kebaikan untuknya,
karena ia meninggalkan kesalahan tersebut karena takut kepada-Ku.’”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika salah seorang
dari kalian memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang
dikerjakannya ditulis dengan sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh
ratus kali lipat dan setiap kesalahan yang dikerjakannya ditulis
dengan satu kesalahan yang sama hingga ia bertemu Allâh.”[2]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam beliau bersabda :

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ : اَلْـحَسَنَةُ عَشْرُ
أَمْثَالِـهَا إِلَـى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ :
إِلَّا الصَّوْمَ ، فَإِنَّهُ لِـيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ ، يَدَعُ
شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِـيْ...

Setiap perbuatan anak Adam dilipatgandakan; satu kebaikan dengan
sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh ratus kali lipat. Allâh Azza
wa Jalla berfirman, ’Kecuali puasa, karena ia milik-Ku dan Aku yang
membalasnya. Ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwat dan
makanannya karena Aku ...’”[3]

Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam beliau bersabda :

يَقُوْلُ اللهُ : مَنْ جَاءَ بِالْـحَسَنَةِ ، فَلَهُ عَشْرُ
أَمْثَالِـهَا وَ أَزِيْدُ ، وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ ، فَجَزَاؤُهُ
سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ، أَوْ أَغْفِرُ.

Allâh berfirman, ‘Barangsiapa mengerjakan kebaikan, ia berhak atas
sepuluh kebaikan yang sama dan Aku tambahkan (kebaikan kepadanya). Dan
barangsiapa mengerjakan kesalahan, balasannya ialah kesalahan yang
sama atau Aku mengampuninya.’” [4]

Dan dari Anas Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , beliau bersabda :

مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً ،
فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّـئَةٍ
فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، لَـمْ تُكْتَبْ شَيْئًا فَإِنْ عَمِلَهَا ،
كُتِبَتْ سَيِّـئَةً وَاحِدَةً.

Barangsiapa menginginkan kebaikan kemudian tidak mengerjakannya, maka
satu kebaikan ditulis untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut,
maka sepuluh kebaikan ditulis baginya. Dan barangsiapa menginginkan
kesalahan kemudian tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis apa-apa
baginya. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, maka ditulis satu
kesalahan baginya.[5]

SYARAH HADITS :
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Wahai saudaraku –semoga Allâh
memberikan petunjuk kepada kita semua-, lihatlah betapa sempurna
kelemahlembutan Allâh Azza wa Jalla ! Renungilah untaian
kalimat-kalimat ini. Sabda beliau : عِنْدَهُ (di sisi-Nya)
mengisyaratkan perhatian Allâh terhadap amalan hamba. Kata : كَامِلَةً
(sempurna) berfungsi sebagai penegas dan menunjukkan perhatian Allâh
yang besar terhadapnya.

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang
keburukan yang diniatkan oleh seorang hamba namun ditinggalkannya :
كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً (Maka Allâh Azza wa Jalla
mencatatnya sebagai satu kebaikan sempurna). Beliau menguatnya dengan
kata "Kamilah" (sempurna). Sedangkan jika ia tetap melakukan keburukan
itu, maka Allâh mencatatnya sebagai satu keburukan. Di sini, kecilnya
balasan dikuatkan dengan kata "wahidah" (satu) bukan dengan kata
"kaamilah"..”[6]

Hadits-hadits di atas menjelaskan tentang penulisan kebaikan dan
kesalahan, serta penulisan terhadap keinginan mengerjakan kebaikan dan
kesalahan. Jadi, di sini ada empat point :

Pertama : Mengerjakan Kebaikan
Balasan kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali hingga tujuh ratus kali
kebaikan bahkan sampai tak terhingga. Pelipatgandaan satu kebaikan
menjadi sepuluh, berlaku bagi seluruh kebaikan. Ini ditunjukkan oleh
firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "Barangsiapa berbuat
kebaikan, maka dia mendapatkan balasan sepuluh kali lipat amalnya.”
(al-An’âm/6:160)

Adapun balasan yang lebih dari sepuluh kali lipat diberikan kepada
siapa saja yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla
berfirman, "Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan
Allâh seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada
tiap-tiap tangkai ada seratus biji. Allâh melipatgandakan bagi siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allâh Maha luas, Maha Mengetahui.”
(al-Baqarah/2:261)

Ayat ini menunjukkan bahwa infak di jalan Allâh dilipatgandakan hingga
tujuh ratus kali lipat.

Diriwayatkan dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu , ia mengatakan, “Ada
seseorang datang dengan membawa untanya yang sudah diberi tali
kendali, kemudian orang itu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Unta ini
untuk berjuang di jalan Allâh.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Pada hari Kiamat, engkau berhak mendapat unta sebanyak
tujuh ratus ekor. Semuanya sudah diberi tanda.’”[7]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu tentang firman Allâh dalam hadits Qudsi, “Kecuali
puasa, karena ia milik-Ku dan Aku yang membalasnya,” menunjukkan bahwa
pelipatgandaan pahala puasa tidak diketahui kecuali oleh Allâh Azza wa
Jalla , karena puasa adalah sabar yang paling baik. Allâh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman, yang artinya, "…Hanya orang-orang yang bersabarlah
yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (az-Zumar/39:10)

Pelipatgandaan balasan kebaikan menjadi lebih dari sepuluh itu sesuai
dengan kwalitas keislaman seseorang. Hal ini dinyatakan secara tegas
dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan lain-lain. Balasan itu
juga sesuai dengan keikhlasan, keunggulan suatu amalan dan kebutuhan.

Kedua : Mengerjakan Kejahatan Atau Keburukan
Satu keburukan ditulis satu keburukan tanpa dilipatgandakan, seperti
firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, "…Dan barangsiapa
berbuat kejahatan, maka dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka
sedikit pun tidak dirugikan (dizhalimi).” (al-An’âm/6:160)

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, ”Maka ditulis
untuknya satu kesalahan,” menunjukkan bahwa kesalahan tidak
dilipatgandakan. Namun terkadang sebuah kesalahan bisa menjadi besar
disebabkan kehormatan waktu dan tempat perbuatan buruk itu dilakukan,
seperti difirmankan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya,
"Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allâh ialah dua belas bulan,
(sebagaimana) dalam ketetapan Allâh pada waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama
yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang
empat) itu...” (at-Taubah/9:36)

Tentang ayat di atas, Qatâdah rahimahullah menjelaskan, ”Ketahuilah !
Kezhaliman di bulan-bulan haram itu lebih besar dosanya daripada di
bulan-bulan lainnya, kendati kezhaliman di setiap kondisi itu tetap
besar, namun Allâh Subhanahu wa Ta’ala menganggap besar apa yang
dikehendaki-Nya.”[8]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا
رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa
mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah ia
berkata jorok (rafats), berbuat maksiat (fusuq) dan bertengkar (dalam
melakukan ibadah) haji...” [al-Baqarah/2:197]

Ibnu ’Umar Radhiyallahu anhuma berkata, ”Fusuq pada ayat di atas
maksudnya melakukan perbuatan maksiat; baik dengan berburu atau
lainnya (di tanah haram-red).”[9] Dalam kesempatan lain, Ibnu ’Umar
Radhiyallahu anhuma juga menjelaskan, ”Fusuq maksudnya melakukan
perbuatan maksiat di tanah haram (Makkah).”[10]

Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, "…Dan siapa
saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya
(masjidil Haram-red), niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang
pedih.” [al-Hajj/22:25]

Banyak shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berusaha tidak
tinggal di tanah haram (Makkah) karena khawatir berbuat dosa di sana,
misalnya, Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dan ‘Abdullah bin ‘Amr
Radhiyallahu anhu. Hal yang sama dilakukan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
Radhiyallahu anhu .

Sebuah kesalahan terkadang dilipatgandakan balasannya disebabkan
pelakunya orang terpandang, banyak tahu tentang Allâh dan dekat
kepada-Nya. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengancam akan
melipatgandakan balasan kemaksiatan jika dilakukan oleh para hamba
pilihan-Nya, padahal Allâh Azza wa Jalla telah menjaga mereka dari
kemaksiatan tersebut. Pemberian ancaman ini bertujuan untuk
menampakkan betapa agung nikmat Allah Azza wa Jalla kepada mereka yang
telah menjaga mereka dari berbagai berbuatan maksiat. Allâh Azza wa
Jalla berfirman, yang artinya, "Dan sekiranya Kami tidak memperteguh
(hati)mu, niscya engkau hampir saja condong kepada mereka, jika
demikian, tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di
dunia ini dan berlipat ganda setelah mati, dan engkau (Muhammad) tidak
akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” [al-Isrâ'/17:74-75]

Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Wahai istri-istri
Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan-perbuatan
keji yang nyata, niscaya adzabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat
kepadanya. Dan yang demikian itu mudah bagi Allâh. Dan barangsiapa di
antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allâh dan Rasul-Nya
dan mengerjakan kebaikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua
kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya. Wahai
istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain
jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemahlembutkan
suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit
dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”
[al-Ahzâb/33:30-32]

‘Ali bin al-Husain rahimahullah menafsirkan bahwa keluarga Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Bani Hâsyîm juga seperti
istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedekatan mereka
dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [11]

Ketiga: Berniat Mengamalkan Kebaikan
Niat ini ditulis sebagai satu kebaikan sempurna, walaupun pelakunya
tidak mengerjakannya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Abbas
c dan lain-lain. Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ,
riwayatkan Muslim disebutkan :

إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً ؛ فَأَنَا
أَكْتُبُهَا لَهُ حَسَنَةً مَا لَـمْ يَعْمَلْ

Jika hamba-Ku berniat ingin mengerjakan kebaikan, maka Aku menulis
satu kebaikan baginya.

Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tahadduts
yaitu haditsunnafsi (niat) kuat yang disertai ambisi untuk beramal.
Jadi, tidak hanya sekedar bisikan hati yang kemudian hilang tanpa
semangat dan tekad untuk beramal.[12]

Jika niat sudah disertai perkataan dan usaha, maka balasan sudah pasti
diraih dan orang itu sama seperti orang yang melakukan, seperti
diriwayatkan dari Abu Kabsyah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

إِنَّمَـا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ : عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ
مَالًا وَعِلْمًـا فَهُوَ يَـتَّـقِيْ فِيْهِ رَبَّـهُ وَيَصِلُ فِيْهِ
رَحِـمَهُ وَيَعْلَمُ لِلهِ فِيْـهِ حَقًّا ، فَهَذَا بِأَفْضَلِ
الْـمَنَازِلِ.وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًـا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ
مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِـّـيَّـةِ يَقُوْلُ : لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا
لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ ، فَهُوَ بِنِـيَّـتِـهِ فَأَجْرُهُـمَـا
سَوَاءٌ , وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًـا
فَهُوَ يَـخْبِطُ فِـي مَالِـهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيْهِ
رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِـيْـهِ رَحِـمَهُ وَلَا يَعْلَمُ للهِ فِـيْـهِ
حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْـمَنَازِلِ , وَعَبْدٍ لَـمْ يَرْزُقْـهُ
اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًـا فَهُوَ يَقُولُ : لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا
لَعَمِلْتُ فِيْـهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ
فَوِزْرُهُـمَـا سَوَاءٌ

Sesungguhnya dunia hanyalah diberikan untuk empat orang : (pertama)
hamba yang Allâh berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertakwa kepada
Allâh dalam hartanya, dengannya ia menyambung silaturahmi, dan ia
menyadari bahwa dalam harta itu ada hak Allâh. Inilah kedudukan paling
baik (di sisi Allâh). (kedua) hamba yang Allâh berikan ilmu namun
tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata,
‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang
dikerjakan si fulan.’ Maka dengan niatnya itu, pahala keduanya sama.
(ketiga) hamba yang Allâh berikan harta namun tidak diberikan ilmu,
lalu ia menggunakan hartanya sewenang-wenang tanpa ilmu, tidak
bertakwa kepada Allâh dalam hartanya, tidak menyambung silaturahmi dan
tidak mengetahui bahwa dalam harta itu ada hak Allâh. Ini adalah
kedudukan paling jelek (di sisi Allâh). Dan (keempat) hamba yang tidak
Allâh berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku
memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si
fulan.’ Maka dengan niatnya itu, keduanya mendapatkan dosa yang
sama.”[13]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ”Maka pahala keduanya
sama,” maksudnya sama dalam hal ganjaran pokok (balasan niat-red) dan
tidak sama dalam pelipatgandaan ganjaran. Karena pelipatgandaan
balasan kebaikan hanya khusus diberikan bagi orang yang sudah
mengerjakannya, bukan yang sekedar meniatkannya. Jika keduanya
disamakan dalam segala hal, maka ini tidak sesuai dengan hadits-hadits
yang ada. Ini juga ditunjukkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang
artinya, "Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak
ikut berperang) tanpa mempunyai udzur (halangan) dengan orang yang
berjihad di jalan Allâh dengan harta dan jiwanya. Allâh melebihkan
derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas
orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada
masing-masing, Allâh menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allâh
melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan
pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat daripadanya, serta ampunan
dan rahmat. Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [an-Nisâ'/4:95-96]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan lain-lain mengatakan, ”Orang-orang
yang duduk (tidak ikut perang) yang berbeda satu derajat dengan
mujahidin ialah orang-orang yang tidak ikut perang karena mempunyai
udzur, sedang orang-orang yang tidak ikut perang tanpa memiliki udzur
berbeda banyak derajat dengan para mujahidin.”[14]

Keempat : Berniat Melakukan Keburukan, Tetapi Tidak Dikerjakan
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma disebutkan bahwa orang
yang berniat melakukan keburukan namun tidak dikerjakannya, maka itu
ditulis sebagai satu kebaikan yang sempurna. Hal yang sama disebutkan
dalam hadits Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lain-lain. Dalam hadits
Abu Hurairah disebutkan, ”Dia meninggalkan kesalahan tersebut karena
takut kepada-Ku.” Ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dalam hadits
itu ialah orang yang mampu mengerjakan kemaksiatan yang ia inginkan
namun kemudian ia tinggalkan karena Allâh Azza wa Jalla . Untuk orang
seperti ini, pasti dituliskan baginya sebagai kebaikan. Sebab,
meninggalkan maksiat karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala merupakan amal
shalih.

Adapun orang yang berniat mengerjakan maksiat kemudian meninggalkannya
karena takut kepada manusia atau karena riya', maka ada yang
berpandangan ia tetap disiksa. Karena mendahulukan takut kepada
manusia daripada takut kepada Allâh itu hukumnya haram. Begitu juga
bermaksud riya’. Jadi, jika seseorang meninggalkan maksiat karena
riya’, ia tetap disiksa.

Adapun orang yang berusaha mengerjakan kemaksiatan dengan segenap
tenaganya kemudian dihalang-halangi takdir, maka sejumlah ulama
menyebutkan bahwa ia disiksa karenanya, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِأُمَّتِـيْ مَـا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا
مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ

Sesungguhnya Allâh memaafkan umatku dari keburukan yang mereka
bisikkan ke jiwa mereka selagi mereka tidak mengucapkannya atau
mengerjakannya.[16]

Barangsiapa berniat dan mengerahkan kemampuannya untuk mengerjakan
kemaksiatan kemudian tidak mampu mengerjakannya, maka ia termasuk
orang yang telah mengerjakannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :

إِذَا الْتَقَى الْـمُسْلِمَـانِ بِسَيْفَيْهِمَـا ، فَالْقَاتِلُ
وَالْـمَقْتُوْلُ فِـي النَّارِ. فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! هَذَا
الْقَاتِلُ ، فَمَـا بَالُ الْـمَقْتُوْلُ ؟ قَالَ : إِنَّهُ كَانَ
حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing, maka
pembunuh dan yang terbunuh tempatnya di neraka.” Aku (Abu Bakrah)
berkata, “Wahai Rasulullah ! Ini (berlaku) bagi pembunuh, bagaimana
dengan orang yang dibunuh ?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya ia ingin
sekali membunuh sahabatnya tersebut.”[17]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Selagi
mereka tidak mengatakannya atau mengerjakannya,” menunjukkan bahwa
orang yang berniat melakukan maksiat, jika ia sudah mengutarakan
keinginnnya itu dengan lisan, berarti ia berdosa karena ia telah
berlaku maksiat dengan salah satu organ tubuhnya, yaitu lidahnya. Ini
juga diperkuat dengan hadits yang menjelaskan tentang orang yang
berkata, “Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti mengerjakan apa
yang dikerjakan si fulan (yang bermaksiat kepada Allâh dengan
hartanya),” kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kedua-duanya sama dalam dosa”

(Ada sebagian orang berpendapat bahwa dia tidak berdosa dengan sebab
mengutarakan keinginan buruknya, selama maksiat yang diinginkan itu
tidak berbentuk ucapan haram seperti ghibah, dusta dan lain
sebagainya. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :

إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً ؛ فَأَنَا
أَغْفِرُهَا لَهُ مَا لَـمْ يَعْمَلْ

Jika hamba-Ku berniat mengerjakan keburukan, maka Aku ampuni dia
selama ia belum mengerjakannya

Pendapat ini tidak kuat, karena kalimat tahaddatsa dalam hadits itu
maksudnya bisikan hati, bukan ucapan lidah. Ini untuk menggabungkan
pengertian hadits ini dengan hadits, “Selagi ia tidak mengatakannya
atau mengerjakannya.”

Hadits Abu Kabsyah di atas juga menegaskan hal ini [18] . Karena
ucapan seseorang, “Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti melakukan
perbuatan maksiat dengannya seperti yang dikerjakan si fulan,” (ucapan
ini) bukan bentuk maksiat yang diinginkan si pembicara. Dia baru
mengutarakan bentuk maksiat yang ia inginkan, yaitu ingin menggunakan
harta untuk maksiat, padahal ia tidak mempunyai harta sedikit pun.
Jadi, mengungkapkan keinginan melakukan perbuatan maksiat itu
diharamkan, bagaimana bisa dimaafkan ? mengatakan keinginan seperti
itu diharamkan.)

Bagaimana Jika Niatnya Berbuat Maksiat Melemah ?
Jika niat seseorang hilang dan tekadnya melemah tanpa ada faktor dari
dirinya, apakah ia tetap disiksa karena kemaksiatan yang ia inginkan
itu atau tidak ? Dalam hal ada dua masalah :

Pertama, Jika keinginan untuk mengerjakan maksiat itu hanya berupa
lintasan (bisikan jiwa) yang muncul tanpa digubris oleh pelakunya dan
ia tidak membiarkannya dalam hatinya, bahkan ia membencinya dan
berusaha menghindarinya, maka keinginan tersebut dimaafkan, tidak
berdosa. Keinginan ini seperti waswas jelek yang pernah ditanyakan
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ صَرِيْحُ الْإِيْمَـانِ

Itulah hakikat iman[19]

Ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :

وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ
اللَّهُ ۖ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ

“...Jika kamu menyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
sembunyikan, niscaya Allâh memperhitungkannya (tentang perbuatan itu)
bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengadzab siapa
yang Dia kehendaki...” (al-Baqarah/2:284), kaum muslimin merasa resah,
karena mereka mengira bisikan-bisikan hati masuk dalam cakupan ayat di
atas. Kemudian turunlah ayat sesudahnya, yang diantaranya yaitu firman
Allâh Azza wa Jalla :

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ

... Wahai Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang
tidak sanggup kami memikulnya... [al-Baqarah/2:286]

Ayat ini menjelaskan, apa saja yang tidak sanggup mereka kerjakan maka
mereka tidak akan dibebani dan tidak disiksa karenanya.

Kedua : Tekad kuat yang ada di jiwa, terus bergelora dan disenangi
pelakunya. Ini juga terbagi ke dalam dua bagian :

1. Sesuatu yang secara khusus merupakan perbuatan hati, misalnya
ragu-ragu tentang keesaan Allâh Azza wa Jalla , atau kenabian, atau
hari kebangkitan, kekafiran, kemunafikan, atau meyakini ketidakbenaran
keesaan Allâh, dan lain sebagainya. Seorang hamba disiksa karena ini
semua, ia menjadi murtad, kafir atau munafik.

Tercakup dalam cakupan poin ini adalah seluruh kemaksiatan yang
biasanya dikerjakan hati, misalnya mencintai apa saja yang dibenci
Allâh, membenci apa saja yang dicintai-Nya, sombong, ujub, dengki, dan
buruk sangka kepada seorang muslim tanpa alasan yang benar. Meski ini
tidak menjadikannya kafir tapi ia telah melakukan dosa besar.

2. Hal-hal yang bukan termasuk perbuatan hati namun merupakan
perbuatan organ-organ tubuh, misalnya zina, mencuri, minum minuman
keras, membunuh, menuduh orang baik-baik melakukan zina, dan lain
sebagainya jika seseorang terus menerus menginginkan perbuatan
tersebut, bertekad mengerjakannya, namun pengaruhnya tidak terlihat
sama sekali secara fisik, apakah dia berdosa ? Tentang ini, para Ulama
terbagi dua pendapat :

Pendapat pertama, Orang tersebut disiksa. Ibnul Mubârak rahimahullah
mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Sufyân rahimahullah , "Apakah
seseorang disiksa karena niat dan keinginannya?" Sufyân menjawab,
"Jika keinginan tersebut sudah menjadi tekad, maka dia disiksa
karenanya.”

Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan ,"Pendapat ini dipilih oleh
banyak Ulama ahli fiqih, Ulama hadits dan ahli kalam dari
sahabat-sahabat kami dan yang lainnya. Mereka berhujjah dengan firman
Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, "...Ketahuilah bahwa Allâh
mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya...”
[al-Baqarah/2:235]

Dan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, ""... Tetapi Dia
menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu...”
[al-Baqarah/2:225]

Dan mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْإِثْمُ مَا حَاكَ فِـيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Dosa ialah sesuatu yang menggelisahkan di hatimu dan engkau tidak suka
hal itu diketahui orang [20]

Mereka menafsirkan kata haddatsa dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam :

إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِأُمَّتِـيْ مَـا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا
مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ

“Sesungguhnya Allâh memaafkan umatku dari apa yang diinginkan jiwanya
selagi ia tidak mengatakannya atau mengerjakannya,” dengan lintasan
(bisikan) hati.

Mereka berkata, “Maksiat yang disenangi oleh seseorang dan tertanam
dalam hati, maka itu termasuk usaha dan perbuatannya. Ia tidak
dimaafkan.”

Di antara mereka ada yang berkata, “Di dunia, orang tersebut disiksa
dengan kesedihan dan kegalauan.” Ada lagi yang mengatakan bahwa pada
hari Kiamat, Allâh menghisabnya karena perbuatan tersebut kemudian
memaafkannya. Jadi hukuman orang tersebut ialah dihisab.” Ini
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahua anhu dan ar-Rabi’ bin Anas
Radhiyallahu anhu . Itu juga dipilih Ibnu Jarir ath-Thabari
rahimahullah . Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berhujjah dengan
hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma tentang bisik-bisik. Beliau
berkata, “Hadits tersebut tidak berlaku umum, berlaku bagi dosa-dosa
yang tidak terlihat di dunia dan bukan waswas di dada.”

Pendapat kedua, orang yang berniat itu tidak disiksa sama sekali hanya
karena niatnya. Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, "Pendapat ini
dinisbatkan ke Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Ini pendapat Ibnu Hamid,
salah seorang dari sahabat kami, karena berhujjah dengan keumuman
hadits (diatas). Perkataan yang sama diriwayatkan al-Aufi dari Ibnu
‘Abbâs Radhiyallahu anhu .

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Abbâs
dalam riwayat Muslim, “Atau Allâh menghapusnya”, maksudnya, perbuatan
dosa itu bisa saja ditulis sebagai satu kesalahan untuk pelakunya,
atau bisa juga dengan sebab tertentu Allâh Subhanahu wa Ta’ala
menghapusnya dari siapa yang Dia kehendaki, misalnya dengan sebab
istighfar, taubat, dan mengerjakan kebaikan-kebaikan.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah itu, “Dan tidak ada
yang dibinasa kecuali orang yang binasa“, maksudnya, setelah Allâh
Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan karunia-Nya yang besar dan rahmat-Nya
yang luas dengan melipatgandakan balasan kebaikan serta memaafkan
kesalahan, maka tidak ada yang binasa kecuali orang yang binasa, yang
menjerumuskan dirinya kepada kebinasaan, berani melakukan dosa-dosa,
membenci dan menjauhi berbagai amal kebaikan.

FAIDAH-FAIDAH HADITS
1. Kesempurnaan ilmu Allâh Azza wa Jalla . Tidak ada sedikit pun di
langit maupun di bumi atau yang lebih dari itu yang lepas dari
jangkauan ilmu-Nya, dan tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya.
Allâh mengetahui apa yang ada dalam hati manusia.

2. Di antara tugas malaikat adalah mencatat kebaikan dan keburukan.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menugaskan malaikat yang mulia kepada
setiap orang, mereka mengetahui dan mencatat apa yang dikerjakannya,
Allâh Azza wa Jalla menghitungnya sedang mereka melupakannya.

3. Betapa rahmat Allâh itu sangat luas dan karunia-Nya sangat agung.
Allâh Azza wa Jalla tidak melipatgandakan balasan bagi perbuatan buruk
seorang hamba serta memaafkan keinginan berbuat jahat (selagi tidak
dilaksanakan).

4. Penjelasan tentang karunia Allâh Azza wa Jalla terhadap ummat ini.
Karena kalau bukan karena karunianya, maka tidak akan ada yang masuk
Surga, sebab perbuatan dosanya lebih banyak daripada kebaikannya.

5. Memberikan semangat dan juga memberian ancaman merupakan metode
mendidik terbaik.

6. Menetapkan perbuatan Allâh Azza wa Jalla .

7. Karena karunia dan keadilan Allâh Azza wa Jalla , pahala kebaikan
dijadikan berlipat ganda , sedangkan kejelekan dosa tidak
dilipatgandakan.

8. Memikirkan berbagai kebaikan menjadi sebab yang bisa mengantar
seseorang mengerjakannya.

9. Mengingatkan dan menyadarkan diri sebelum berbuat keburukan dapat
mencegah diri darinya.

10. Pengaruh niat dalam perbuatan dan akibatnya.

MARAAJI’:
1. Al-Qur'ânul Karîm dan terjemahnya.
2. Tafsîr ath-Thabari
3. Shahîh al-Bukhâri.
4. Shahîh Muslim.
5. Musnad Imam Ahmad.
6. Sunan Abu Dâwud.
7. Sunan at-Tirmidzi.
8. Sunan an-Nasâ'i.
9. Sunan Ibni Mâjah.
10. Shahiih Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
11. Syarhus Sunnah lil Baghawi.
12. Mu’jamul Kabîr.
13. Kitâb al-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi.
14. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq:
Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 7501), dari shahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu
[2]. Shahih: HR. Muslim (no. 129 [205]), dari shahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu .
[3]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 1904), Muslim (no. 1151 [164]),
at-Tirmidzi (no. 764), an-Nasâ'i (IV/162-163), Ibnu Mâjah (no. 1638,
3823), dan Ibnu Hibbân (no. 3414, 3415 –at-Ta’lîqâtul hisân).
[4]. Shahih: HR. Muslim (no. 2687), Ahmad (V/153), dan al-Baghawi
dalam Syarhus Sunnah (V/25, no. 1253), dari shahabat Abu Dzar
Radhiyallahu anhu
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 162), dari shahabat Anas bin Mâlik
Radhiyallahu anhu.
[6]. Lihat Kitâbul Arba’în an-Nawawiyyah hlm. 106.
[7]. Shahih: HR. Muslim (no. 1892), Ahmad (IV/121), dan an-Nasâ-i (VI/49).
[8]. Lihat ad-Durrul Mantsûr (III/425).
[9]. Tafsiir ath-Thabari (II/281, no. 3659).
[10]. Ibid (II/281, no. 3658).
[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/319).
[12]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/319)
[13]. Shahih: HR. Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu
Mâjah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah (XIV/289, no. 4097), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr
(XXII/ 345-346, no. 868-870).
[14]. Diriwayatkan at-Tirmidzi (no. 3032) dan Ibnu Jarir ath-Thabari
dalam Tafsîrnya (IV/231, no. 10247, 10248).
[15]. HR. Imam Muslim
[16]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2528, 6664), Muslim (no. 201 (127)),
Abu Dâwud (no. 2209), at-Tirmidzi (no. 1183), an-Nasâ'i (VI/156-157),
dan Ibnu Mâjah (no. 2040, 2044), dari Shahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu
[17]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 31, 6875, 7083), dari Shahabat Abu
Bakrah Radhiyallahu anhu.
[18]. Hadits pada halaman (disesuaikan dengan halaman majalah) nusadi
[19]. Shahih: Muslim (no. 132), Ahmad (II/441, 456), Abu Dâwud (no.
5111), Ibnu Hibbân (no. 145 –at-Ta’lîqâtul Hisân), dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu .
[20]. Lihat hadits arba’în no. 27


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke