KITAB NIKAH DAEI A - Z
http://almanhaj.or.id/category/view/49/page/1

NIKAH TIDAK SAH KECUALI DENGAN KEBERADAAN WALI[1]

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
http://almanhaj.or.id/content/3553/slash/0/nikah-tidak-sah-kecuali-dengan-keberadaan-wali/

Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa wanita dapat menikahkan
dirinya sendiri dan itu termasuk salah satu haknya selagi syari’at
mengakui keridhaannya. Tetapi yang patut untuk diketahui bahwa
disamping wanita mempunyai hak untuk menerima suami yang diridhainya,
hak ini terikat dengan izin walinya. Sebab, nikah tidak sah kecuali
dengan keberadaan wali. Wanita tidak mempunyai hak untuk menikahkan
dirinya sendiri, tidak pula selainnya, dan tidak boleh pula mewakilkan
kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika dia melakukannya, maka
pernikahannya tidak sah. Terdapat banyak dalil tentang hukum ini.[2]

Pertama:
Ayat-Ayat yang Menunjukkan Larangan Menikahkan Wanita Tanpa Wali.

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis ‘iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya.” [Al-Baqarah/2: 232]

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا

“... Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukminah), sebelum mereka beriman...” [ Al-Baqarah/2:
221]

3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
perempuan.” [An-Nuur/24: 32]

4. Dan ucapan laki-laki tua kepada Musa Alaihissallam:

إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ

“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari
kedua anakku ini." [Al-Qashash/28: 27]

Kedua:
Hadits-Hadits yang Menunjukkan Perwalian.
1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu
anhu, ia mengatakan: "Aku mempunyai saudara perempuan yang dipinang
kepadaku, tetapi aku menghalanginya dari orang-orang. Kemudian
sepupuku datang kepadaku, maka aku menikahkan saudaraku dengannya.
Kemudian keduanya menjadi suami isteri hingga waktu yang dikehendaki
Allah. Kemudian dia mentalaknya dengan talak raj’i, kemudian
meninggalkannya hingga ‘iddahnya berakhir. Ketika dia dipinang
kepadaku, dia datang lagi kepadaku untuk meminangnya bersama
orang-orang lain yang meminang, maka aku katakan kepadanya, 'Ia
dipinang kepadaku tetapi aku menolak pinangan orang-orang kepadanya,
dan aku mendahulukanmu untuk menyuntingnya lalu aku menikahkan kalian
berdua. Kemudian engkau mentalaknya dengan talak raj’i, kemudian
meninggalkannya hingga ‘iddahnya berakhir. Ketika dia dipinang
kepadaku, engkau datang kepadaku untuk meminangnya bersama orang-orang
yang meminang. Demi Allah, aku tidak akan menikahkanmu dengannya
selamanya.' Lalu, berkenaan dengan diriku turunlah ayat ini:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ

‘Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis ‘iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya,’ dan ayat seterusnya. [Al-Baqarah/2: 232]

Kemudian aku membayar kaffarat karena sumpahku, dan aku menikahkan
saudaraku dengannya."[3]

Makna al-‘adhl (dalam ayat di atas) ialah menolak untuk menikahkan
wanita dengan orang yang sekufu’ dengannya jika dia memintanya, dan
masing-masing dari keduanya menginginkan pasangannya.[4]

2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ.

"Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali."[5]

Dalam lafazh lain:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ، وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.

"Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali, dan penguasa adalah
wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali."[6]

Dan dalam lafazh lain:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ، وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.

"Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali dan dua saksi yang adil."[7]
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: "Hadits ini menunjukkan bahwa
pernikahan itu tidak sah kecuali dengan keberadaan wali, karena
prinsip dalam penafian ialah menafikan keabsahan, bukan
kesem-purnaan."[8]

3. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ
بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، وَإِنِ
اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا.

"Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya
bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang
menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia
dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak
mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang
tidak mempunyai wali."[9]

4. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ
نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِيْ تُزَوِّجُ نَفْسَهَا.

"Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan tidak boleh pula wanita
menikahkan dirinya sendiri. Sebab, hanya pezinalah yang menikahkan
dirinya sendiri."[10]

5. Dari ‘Urwah bin az-Zubair, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,
isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya:
"Pernikahan pada masa Jahiliyyah ada empat macam. Di antaranya seperti
pernikahan manusia pada zaman ini; seorang lelaki meminang kepada
lelaki lain wanita yang berada di bawah perwaliannya atau puterinya,
lalu memberi mahar kepadanya kemudian menikahinya…" hingga
pernyataannya: "Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus
dengan membawa kebenaran, beliau menghancurkan semua pernikahan
Jahiliyyah, kecuali bentuk pernikahan pada saat ini."[11]

Hadits ini berisi hujjah atas disyaratkannya wali, dengan
pernyataannya: "Seorang lelaki meminang kepada lelaki lain wanita yang
berada di bawah perwaliannya."

Ketiga:
Pendapat-Pendapat Para Ulama.
1. As-Suyuthi rahimahullah berkata: "Pernyataan: ‘Laa Nikaaha illaa
bi-waliyyin’, difahami oleh jumhur sebagai penafian keabsahan."[12]

2. At-Tirmidzi rahimahullah berkata: "Demikian pula diriwayatkan dari
sebagian ahli fiqih Tabi’in, mereka menyatakan bahwa nikah tidak sah
kecuali dengan wali. Di antara mereka ialah Sa’id bin al-Musayyab,
al-Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha'i, ‘Umar bin ‘Abdil
‘Aziz dan selainnya."[13]

3. Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, "Firman Allah:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ

'Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis (masa) ‘iddahnya,
maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka…' [Al-Baqarah/2:
232]

Ini merupakan ayat al-Qur-an yang paling jelas bahwa wali mempunyai
hak di samping wanita ini (juga) mempunyai hak kepada dirinya sendiri,
dan wali tidak boleh menghalanginya jika ingin menikah dengan cara
yang ma’ruf."[14]

4. Al-Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi rahimahullah berkata, ketika
menafsirkan ayat di atas: "Ini adalah dalil qath’i (pasti) bahwa
wanita tidak mempunyai hak untuk melangsungkan pernikahan. Ini
hanyalah hak wali. Seandainya bukan karena itu, niscaya Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak melarang wali menghalangi pernikahannya.
Kemudian disebutkan sebab turunnya ayat. Sekiranya Ma’qil tidak
mempunyai hak, niscaya Allah berkata kepada Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam: 'Ma’qil tidak berhak berbicara.'"[15]

5. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Dalam hadits Ma’qil
bahwa jika wali menghalangi, maka penguasa tidak menikahkannya kecuali
setelah ia menyuruh wali supaya menarik penolakannya. Jika dia
memenuhinya, maka itu adalah haknya, dan jika tetap menolak, maka
hakimlah yang menikahkannya. Wallaahu a’lam."[16]

6. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Para ulama berselisih
tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat
demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat
menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang
telah disebutkan. Dan dalil yang paling kuat adalah ayat yang
disebutkan di atas tentang sebab turunnya ayat tersebut, dan ini
adalah dalil yang paling tegas atas perwalian. Jika tidak, niscaya
penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah
perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak
untuk menikahkan dirinya sendiri, niscaya dia tidak butuh kepada
saudara laki-lakinya. Ibnul Mundzir menyebutkan bahwa tidak diketahui
dari seorang Sahabat pun yang menyelisihi hal itu."

7. Yang mulia al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah
menyebutkan suatu bentuk penolakan yang didasarkan atas fanatisme
(terhadap keluarga) dengan pernyataannya: "Di antara permasalahan yang
patut diingkari dalam masalah ini adalah apa yang dilakukan oleh
banyak masyarakat dusun dan sebagian masyarakat kota, yaitu mengikat
sepupu dan menghalanginya untuk menikah dengan orang selainnya. Ini
adalah kemunkaran yang besar; tradisi Jahiliyyah dan menzhalimi kaum
wanita. Karena akan muncul fitnah yang banyak dan keburukan yang
besar, berupa permusuhan, terputusnya hubungan kekerabatan, pembunuhan
dan selainnya."[17]

8. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Nikah tidak sah kecuali dengan
wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula
selainnya, dan tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk
menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut
Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Tetapi kita memiliki dalil
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ.

‘Pernikahan tidak sah kecuali dengan keberadaan wali.’”[18]

9. Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Tidak halal bagi wanita untuk
menikah, baik janda maupun gadis, kecuali dengan izin walinya; ayah,
saudara laki-laki, kakek atau pamannya."[19]

10. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan tentang
wali, kemudian mengatakan: "Ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits
menunjukkan, dan ini kebiasaan para Sahabat, bahwa yang menikahkan
kaum wanita hanyalah kaum pria. Tidak pernah dikenal bahwa seorang
wanita menikahkan dirinya sendiri. Karena itu ‘Aisyah berkata: 'Wanita
tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Sebab, hanya pelacurlah yang
menikahkan dirinya sendiri.' Tetapi tidak cukup hanya dengan wali
sehingga pernikahan tersebut diumumkan."[20]

11. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang
seseorang yang masuk Islam: “Apakah dia tetap mempunyai perwalian atas
anak-anaknya dari Ahlul Kitab?”

Beliau menjawab: Ia tidak mempunyai perwalian atas mereka dalam
pernikahan, sebagaimana dia tidak mempunyai perwalian atas mereka
dalam masalah warisan. Ia tidak boleh menikahkan seorang muslim dengan
wanita kafir, baik itu puterinya maupun selainnya. Orang kafir tidak
mewarisi orang muslim, dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.
Ini adalah mazhab imam yang empat dan para Sahabat mereka dari
kalangan Salaf dan Khalaf."[21]

Kepada para penyeru modernisasi dan kemajuan yang mereka tidak
mengetahui (apa yang mereka lakukan) dalam modernisasi dan kemajuan
kecuali menyelisihi syari’at Allah, dan seakan-akan modernisasi tidak
bisa berdiri kecuali di atas kemaksiatan dan memerangi Allah dan
Rasul-Nya! Inilah 16 (lebih) argumen dari ayat-ayat al-Qur-an dan
hadits-hadits yang shahih serta pernyataan para ulama mengenai tidak
bolehnya wanita menikah tanpa adanya wali. Apakah kita akan
mengatakan: “Kami dengar dan kami patuh,” ataukah kita mengatakan:
“Kami dengar dan kami langgar?”

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu
Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan
Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. Makna al-wali lebih dekat kepada ‘ashabah dari nasab, kemudian
dari sebab, kemudian dari ‘ashabah. Kaum kerabat (dzawis siham dan
dzawil arham) tidak mempunyai hak perwalian. Ini adalah madzhab
jumhur. Dan manusia yang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka
ialah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian seterusnya ke atas.
Kemudian anaknya dan cucunya serta seterusnya ke bawah. Kemudian
saudara seayah dan seibu, kemudian saudaranya seayah. Lihat al-Mughni,
Ibnu Qudamah (VI/456-467).
Disyaratkannya wali adalah menurut madzhab jumhur ulama, di antaranya:
‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Laila, Ahmad, Ishaq dan
asy-Syafi’i. Dinukil dari al-Mundzir bahwa tidak diketahui dari
seorang pun dari kalangan Sahabat yang menyelisihi hal itu. Lihat
Fat-hul Baari (IX/187).
[2]. ‘Audatul Hijaab (II/344).
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5130) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 2981)
kitab Tafsiirul Qur-aan, Abu Dawud (no. 2087) kitab an-Nikaah.
[4]. Al-Mughni (VI/477).
[5]. HR. At-Tirmidzi (no. 1101) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2085)
kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1881) kitab an-Nikaah, Ahmad (no.
19024) al-Hakim (I/170) dan ia menshahihkannya, serta dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 879), dan lihat
al-Irwaa' (VI/235).
[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 1102) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2083)
kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1881) kitab an-Nikaah, Ahmad (no.
19024), ad-Darimi (no. 2184) kitab an-Nikaah, ia mensahihkannya, dan
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (VI/203) dan
al-Irwaa' (VI/238).
[7]. HR. ‘Abdurrazzaq (VII/215), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
dalam al-Irwaa' (no. 1858).
[8]. Subulus Salaam (III/117).
[9]. HR. At-Tirmidzi (no. 1102) kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan:
"Hadits hasan," Abu Dawud (no. 2083) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no.
1879) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 23851, 24798), ad-Darimi (no. 2184)
kitab an-Nikaah, dan dishahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih
Ibni Maajah (no. 1524), Shahiih at-Tirmidzi (no. 880), dan Irwaa-ul
Ghaliil (no. 1840).
[10]. HR. Ibnu Majah (no. 1882) kitab an-Nikaah dari Abu Hurairah, dan
dishahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 1527)
dan al-Irwaa' (no. 1841).
[11]. HR. Al-Bukhari (no. 5127) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2272)
kitab ath-Thalaaq.
[12]. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jaami’ at-Tirmidzi (IV/191).
[13]. Ibid.
[14]. Takmilatul Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab (XV/41).
[15]. Ahkaamul Qur-aan (I/201), al-Jaami’ li Ahkaamil Qur-aan karya
al-Qurthubi (III/158).
[16]. Fat-hul Baari (IX/187).
[17]. Risalah dengan judul, Nashiihah wa Tanbiih ‘alaa Masaa-ili fin
Nikaah Mukhaalafah lisy Syar’i, nukilan dari ‘Audatul Hijaab (II/246).
[18]. Al-Mughni (VI/448).
[19]. Al-Muhalla (IX/453).
[20]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/131).
[21]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/35).


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke