KITAB NIKAH DARI A - Z
http://almanhaj.or.id/category/view/49/page/1

SESEORANG DILARANG MEMINANG PINANGAN SAUDARANYA

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
http://almanhaj.or.id/content/3555/slash/0/seseorang-dilarang-meminang-pinangan-saudaranya-orang-tua-menawarkan-puterinya/

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
melarang seseorang meminang atas pinangan saudaranya. Terdapat
sejumlah hadits mengenai hal itu, akan kami sebutkan di antaranya:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhu menuturkan: "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang sebagian kalian membeli apa yang dibeli saudaranya, dan tidak
boleh pula seseorang meminang atas pinangan saudaranya hingga peminang
sebelumnya meninggalkannya atau peminang mengizinkan kepadanya."[1]

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Abdurrahman bin
Syamasah, bahwa dia mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir berdiri di atas mimbar
seraya berucap: "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ
يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
حَتَّى يَذَرَ.

'(Seorang) mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh karena itu
tidak halal bagi seorang mukmin membeli atas pembelian saudaranya dan
tidak pula meminang atas pinangan saudaranya hingga dia
meninggalkannya.’"[2]

Seseorang yang meminang pinangan saudaranya dapat memasukkan
(menyebabkan) permusuhan dalam hati. Karena itu, Islam melarangnya.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ
تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَكُوْنُوْا
إِخْوَانًا، وَلاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى حِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى
يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ.

"Janganlah kalian berprasangka, karena prasangka itu adalah
seburuk-buruk pembicaraan. Jangan mencari-cari kesalahan orang dan
jangan saling bermusuhan, serta jadilah kalian sebagai orang-orang
yang bersaudara. Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya
hingga dia menikah atau meninggalkannya."[3]

Al-Hafizh berpendapat dalam al-Fat-h, bahwa larangan ini untuk
pengharaman, ia mengatakan: “Menurut jumhur, larangan ini untuk
pengharaman...” lalu beliau menambahkan: “Larangan ini menurut mereka
untuk pengharaman, tetapi tidak membatalkan akad.”

Bahkan, Imam an-Nawawi meriwayatkan bahwa larangan dalam hadits ini
untuk pengharaman berdasarkan ijma’. Tetapi mereka berselisih mengenai
syarat-syaratnya.

Para ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa pengharaman
ini berlaku jika wanita yang dipinang menyatakan secara tegas atau
walinya yang dia izinkan. Jika yang kedua tidak mengetahui perihal
tersebut, maka boleh meminangnya karena pada asalnya adalah
dibolehkan.

Menurut Imam asy-Syafi’i, makna hadits dalam bab ini ialah bila
seorang pria meminang wanita lalu ia ridha dengannya dan (hatinya
merasa) mantap kepadanya, maka tidak boleh seorang pun melamar
pinangannya. Jika seseorang tidak mengetahui kerelaannya dan
kemantapan pilihannya, maka tidak mengapa dia meminangnya. Hujjah
dalam perkara ini ialah kisah Fathimah binti Qais.[4]

Pertanyaan:
Apa balasan bagi orang yang merusak hubungan wanita dengan suaminya?

Jawaban:
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, ia
mengatakan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ حَلَفَ بِاْلأَمَانَةِ، وَمَنْ خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ
زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوْكَهُ، فَلَيْسَ مِنَّا.

'Bukan termasuk golongan kami siapa yang bersumpah ‘demi amanah’, dan
barangsiapa yang merusak hubungan seseorang dengan isterinya atau
hamba sahaya yang dimilikinya, maka ia bukan golongan kami.'"[5]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang hukum merusak hubungan
wanita dengan suaminya: “(Perbuatan) ini termasuk salah satu dosa
besar. Sebab, jika syari’at melarang meminang pinangan saudaranya,
maka bagaimana halnya dengan orang yang merusak isterinya, hamba
sahaya wanitanya atau hamba sahaya laki-lakinya, serta berusaha
memisahkan di antara keduanya sehingga dia bisa berhubungan dengannya.
Perbuatan dosa ini tidak kurang dari perbuatan keji (zina), walaupun
tidak melebihinya, dan hak yang lain tidak gugur dengan taubat dari
kekejian. Karena taubat, meskipun telah menggugurkan hak Allah, namun
hak hamba masih tetap (ada). Menzhalimi seseorang (suami) dengan
merusak isterinya dan kejahatan terhadap ranjangnya, hal itu lebih
besar dibanding merampas hartanya secara zhalim. Bahkan, tidak ada
(hukuman) yang setara di sisinya kecuali (dengan) mengalirkan
darahnya.”[6]

Syaikhul Islam rahimahullah ditanya tentang wanita yang berpisah
dengan suaminya, lalu seseorang meminangnya dalam masa ‘iddahnya dan
ia memberi nafkah kepadanya: “Apakah itu dibolehkan ataukah tidak?”

Beliau menjawab: “Segala puji hanya milik Allah. Jelas-jelas
(seseorang) tidak boleh meminang wanita yang masih dalam ‘iddah dengan
tegas, walaupun dalam ‘iddah karena (ditinggal) wafat, berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin; maka bagaimana halnya dalam ‘iddah
perceraian? Barangsiapa yang melakukan demikian, ia berhak mendapatkan
hukuman yang membuatnya dan orang-orang yang semisalnya menjadi jera
dari perbuatan itu. Dan hukuman itu diberikan kepada orang yang
meminang maupun yang dipinang, semua diberi hukuman, dan dilarang
menikahkan dengan-nya sebagai hukuman baginya karena niatnya yang
batal, wallaahu a’lam.”[7]

Beliau juga ditanya tentang laki-laki yang mentalak isterinya dengan
talak tiga. Setelah menyelesaikan ‘iddahnya di sisinya, ia keluar.
Setelah itu, ia menikah dan dicerai pada hari itu juga. Orang yang
menalaknya tidak mengetahui kecuali pada hari kedua, apakah dia boleh
bersepakat bersama wanita itu jika telah menyelesaikan ‘iddahnya, maka
ia akan rujuk kepadanya?

Beliau menjawab: "Ia tidak boleh meminangnya di masa ‘iddah dari
(suami) selainnya, dan tidak boleh pula memberi nafkah kepadanya untuk
menikahinya. Jika talak itu talak raj’i, maka ia tidak boleh melamar
dengan sindiran. Jika talaknya adalah talak ba’in, maka kebolehan
meminang dengan sindiran diperselisihkan. Kondisi tersebut jika wanita
ini menikah dengan nikah raghbah (atas dasar suka). Adapun jika dia
menikah dengan nikah tahlil, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah melaknat muhallil dan muhallal lahu .

MASALAH DALAM PEMINANGAN.
Sudah menggejala di tengah umat Islam mengenai keluarnya peminang
bersama wanita pinangannya tanpa akad, dan mereka duduk berduaan.
Perhatikan, apa yang terjadi akibat perbuatan ini? Oleh karena itu,
untuk menambah manfaat, kami merasa perlu meletakkan beberapa
pertanyaan yang berisikan jawaban sebagian ulama mengenai hal itu:

1. Hubungan Kasih Sayang Sebelum Pernikahan (Pacaran).
Yang mulia Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
ditanya: “Apa pandangan agama tentang hubungan sebelum perkawinan
(pacaran)?”

Beliau menjawab: “Pernyataan penanya “sebelum menikah”, jika yang dia
dimaksud adalah sebelum "mencampuri" dan sesudah akad, maka ini tidak
berdosa. Karena dengan akad, ia sudah menjadi isterinya, meskipun
belum melakukan persetubuhan. Adapun sebelum akad, pada saat lamaran
atau sebelum itu, maka ini diharamkan dan tidak dibolehkan. Tidak
boleh seseorang bermesraan bersama wanita yang bukan isterinya, baik
berbicara, memandang maupun berduaan. Diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

لاَ يَخْلُوْنَ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ، وَلاَ
تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ.

‘Janganlah seseorang berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama
mahramnya, dan janganlah wanita bepergian kecuali bersama
mahramnya.’[10]

Walhasil, jika berkumpul ini setelah akad, maka tidaklah ber-dosa.
Jika ini dilakukan sebelum akad walaupun setelah peminangan dan
pinangannya diterima, maka ini (pun) tidak boleh. Perbuatan ini haram
baginya, karena wanita ini masih tergolong orang lain, hingga ia
mengikatnya (dengan ikatan pernikahan).”[11]

2. Hukum Peminang Duduk Bersama Wanita Pinangannya.
Yang mulia Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
ditanya: “Aku telah meminang wanita dan aku membacakan ke-padanya 20
juz al-Qur-an selama masa peminangan, alhamdulillaah. Aku duduk
bersamanya dengan keberadaan mahram, sedangkan ia tetap memakai hijab
syar’i, alhamdulillaah, dan duduk kami tidak keluar dari pembicaraan
agama atau membaca al-Qur-an, dan juga waktu duduk tersebut sangatlah
pendek; apakah ini kesalahan menurut syari’at?”

Beliau menjawab: “Ini tidak sepatutnya dilakukan. Karena pada umumnya
perasaan seseorang bahwa teman duduknya adalah pinangannya dapat
membangkitkan syahwatnya. Luapan syahwat kepada selain isteri dan
sahaya wanitanya adalah haram, dan segala apa yang dapat membawa
kepada keharaman adalah haram.”[12]

3. Sekedar Dipinang Tidak Dilarang Menikahkannya dengan Selain Peminang.
Syaikh Muhammad bin Ibahim Alusy Syaikh rahimahullah ditanya tentang
seseorang yang datang dengan membawa saudara perempuan sekandungnya,
sedangkan dia telah dipinang oleh seorang pria di negerinya, Yaman.
Hari itu saudaranya ingin menikahkannya di Tha-if; apakah sah
menikahkannya padahal dia telah dipinang?

Beliau menjawab: “Alhamdulillaah, selagi wanita ini belum dipertalikan
dengan pria yang melamarnya dengan akad pernikahan, maka sekedar
lamarannya saja kepadanya tidak menghalanginya untuk menikahkannya
dengan selainnya.”[13]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu
Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan
Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5142) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1412)
kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1292) kitab al-Buyuu’, an-Nasa-i
(no. 3243) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2081) kitab an-Nikaah, Ibnu
Majah (no. 2171) kitab at-Tijaaraat, Ahmad (no. 4708), Malik (no.
1112) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2176) kitab an-Nikaah.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5142) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2176)
kitab an-Nikaah.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5143) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 2563).
[4]. Fat-hul Baari (IX/199).
[5]. HR. Ahmad (no. 22471), al-Hakim (IV/298), ia menshahihkannya dan
disetujui oleh adz-Dzahabi; Abu Dawud (no. 3253) kitab al-Aimaan wan
Nudzuur, dan dishahihkan oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib (V/385).
[6]. Dinukil dari al-Manawi dalam Faidhul Qadiir (V/385).
[7]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/8).
[8]. Takhrijnya telah disebutkan sebelumnya.
[9]. Majmuu’ Fataawa (XXXII/8).
[10].Telah disebutkan takhrijnya sebelumnya.
[11]. Al-Muslimuun (hal. 10).
[12]. Faatawaa asy-Syaikh Ibni ‘Utsaimin (II/748).
[13]. Fataawaa wa Rasaa-il Samahatisy Syaikh Muhammad bin Ibrahim
Alusy Syaikh (X/56-57).


ORANG TUA MENAWARKAN PUTERINYA ATAU YANG DI BAWAH PERWALIANNYA KEPADA
LAKI-LAKI SHALIH

Seorang laki-laki tua yang shalih berkata kepada Musa Alaihissallam:

إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ
أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ

“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari
kedua anak perempuanku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku
delapan tahun.” [Al-Qashash/28: 27].

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menawarkan puterinya, Hafshah
Radhiyallahu anhuma kepada laki-laki terbaik umat ini. Kita dengarkan
penuturan darinya.

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar
Radhiyallahu anhuma menuturkan, ketika Hafshah binti ‘Umar menjanda
dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi; ia seorang Sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggal di Madinah, maka ‘Umar
mengatakan: "Aku datang kepada ‘Utsman lalu aku menawarkan Hafshah
kepadanya, tapi dia mengatakan: 'Aku akan melihat urusanku.' Setelah
beberapa hari kemudian, dia datang kepadaku seraya mengatakan:
'Tampaknya aku tidak menikah pada saat ini.' ‘Umar melanjutkan:
"Kemudian aku datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, lalu aku katakan:
'Jika engkau suka, aku menikahkanmu dengan Hafshah binti ‘Umar.'
Tetapi Abu Bakar diam dan tidak memberikan jawaban apa pun. Aku lebih
marah kepadanya dibanding kemarahanku atas ‘Utsman. Setelah beberapa
hari kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminangnya,
lalu aku menikahkannya dengan beliau. Kemudian Abu Bakar menemuiku,
lalu mengatakan: 'Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau
menawarkan Hafshah dan aku tidak memberikan jawaban apa pun.' Aku
menjawab: 'Ya.'

Abu Bakar berkata: 'Tidak ada yang menghalangiku untuk memberi jawaban
kepadamu tentang apa yang engkau tawarkan kepadaku, melainkan karena
aku telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menyebut Hafshah. Dan aku tidak akan menyebarkan rahasia
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka aku
menerimanya.'"[1]

Ibnu Hajar mengomentari hadits ini: "Hadits ini berisi anjuran agar
manusia menawarkan puterinya atau selainnya dari wanita yang berada di
bawah perwalian kepada orang yang diyakini kebaikan dan keshalihannya,
karena di dalamnya terdapat manfaat yang akan kembali kepada wanita
yang ditawarkan kepadanya. Dan tidak boleh malu mengenai hal itu.[2]

Berikut ini (kisah) salah satu dari hamba Allah yang shalih yang
menikahkan anak gadisnya kepada pemuda shalih tanpa melihat kepada
materi yang telah dijadikan (ukuran) oleh kebanyakan orang dalam
menikahkan anak-anak puteri mereka dengan pria fasik lagi gemar
berbuat maksiat.

Dalam biografi hamba yang shalih, Sa’id bin al-Musayyab, disebutkan
bahwa ‘Abdul Malik bin Marwan meminang puterinya untuk puteranya,
al-Walid, ketika ia mengangkatnya sebagai putera mahkota. Tapi Sa’id
menolak untuk menikahkan puterinya dengannya. Abu Wada’ah berkata:
"Aku biasa berteman dengan Sa’id bin al-Musayyab, lalu ia kehilanganku
selama beberapa hari. Ketika aku datang kepadanya, ia bertanya:
'Dimana engkau berada?' Aku menjawab: 'Isteriku meninggal dunia
sehingga aku sibuk.' Ia mengatakan: 'Mengapa tidak memberitahukan
kepada kami sehingga kami bisa menyaksikan jenazahnya?' Ketika aku
hendak bangkit, ia bertanya: 'Apakah engkau sudah mendapatkan wanita
selainnya?' Aku menjawab: 'Semoga Allah merahmatimu. Adakah orang yang
akan menikahkanku (dengan puterinya), sedangkan aku tidaklah memiliki
(harta) kecuali dua atau tiga dirham?' Ia mengatakan: 'Jika aku yang
melakukannya, apakah engkau menerimanya?' Aku menjawab: 'Ya.' Kemudian
ia memuji Allah dan bershalawat atas Nabi, lalu menikahkanku dengan
mahar dua atau tiga dirham. Aku berdiri dan aku tidak tahu apa yang
aku lakukan dengan kegembiraan ini. Aku kembali ke rumahku dan mulai
memikirkan dari siapa aku mencari pinjaman? Aku melakukan shalat
Maghrib. Saat itu aku berpuasa, maka aku mendahulukan makan malamku
untuk berbuka. Makan malam tersebut ialah roti dan minyak. Tiba-tiba
ada yang mengetuk pintu, maka aku bertanya: 'Siapa?' Ia menjawab:
'Sa’id.' Maka Aku membayangkan setiap orang yang bernama Sa’id,
kecuali Sa’id bin al-Musayyab. Sebab, ia tidak pernah terlihat sejak
40 tahun kecuali antara rumahnya dan masjid. Aku pun berdiri dan
keluar, ternyata Sa’id bin al-Musayyab. Aku menyangka bahwa ia muncul
karenanya, maka aku bertanya: 'Wahai Abu Muhammad, mengapa engkau
tidak mengirim orang lain kepadaku lalu aku datang kepadamu?' Ia
menjawab: 'Tidak, engkau berhak untuk dikunjungi.' Aku bertanya: 'Apa
yang akan engkau perintahkan kepadaku?' Ia menjawab: 'Engkau adalah
seorang duda yang telah menikah, maka aku tidak suka engkau bermalam
sendirian. Ini adalah isterimu.' Ternyata dia berdiri di belakangnya,
karena Sa’id berpostur tinggi (sehingga puterinya tidak terlihat).
Kemudian dia menyerahkannya di pintu dan menutup pintu kembali, lalu
wanita ini jatuh karena malu. Lalu aku mengikat pintu, kemudian aku
naik ke loteng dan memanggil para tetangga. Mereka berdatangan dan
bertanya: 'Ada apa denganmu?' Aku menjawab: 'Sa’id bin al-Musayyab
menikahkanku dengan puterinya. Ia sudah datang dengan membawa
puterinya yang shalihah, dan sekarang berada di dalam rumah.' Mereka
pun turun untuk menerimanya dan kabar ini sampai kepada ibuku sehingga
dia datang seraya berkata: 'Aku tidak akan melihat wajahmu jika engkau
menyentuh (menggauli)nya sebelum aku mempersiapkannya selama tiga
hari.' Aku pun menunggu selama tiga hari, kemudian aku menemuinya,
ternyata dia adalah wanita yang paling cantik, paling hafal
Kitabullah, paling mengetahui tentang Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan paling mengetahui hak suami. Selama sebulan
Sa’id tidak datang kepadaku dan aku pun tidak datang kepadanya.
Kemudian aku datang kepadanya setelah peristiwa itu berlangsung
sebulan, saat dia berada di halaqahnya, aku mengucapkan salam
kepadanya dan dia menjawab salamku. Dia tidak berbicara kepadaku
hingga orang-orang yang berada di masjid telah pergi. Ketika tidak ada
lagi seorang pun kecuali aku, dia bertanya: 'Bagaimana kedaan orang
itu?' Aku menjawab: 'Dalam keadaan yang disukai oleh Sahabat dan
dibenci oleh musuh.'"[3]

Betapa tenteramnya hati Tabi’i yang mulia ini terhadap "masa depan"
anaknya, sehingga dia tidak berfikir untuk memperhatikan keadaannya.
Karena dia merasa tenteram bahwa puterinya berada dalam belaian
laki-laki bertakwa yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
mengetahui hak puterinya atasnya, serta kedudukannya di sisinya.[4]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar
menikahkan puteri-puteri kita dengan orang-orang shalih. Karena jika
orang shalih menyukainya, maka dia akan memuliakannya dan jika tidak
menyukainya, maka dia tidak akan menghinakan dan tidak akan
menzhaliminya. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu, ia menuturkan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُـمْ مَنْ تَرْضَـوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ
فَـزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ
وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ.

'Jika ada orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya meminang puteri
kalian, maka nikahkanlah ia (dengan puterimu); jika kalian tidak
melakukannya, maka fitnah di bumi dan kerusakan yang besar akan
terjadi.'"[5]

Syaikh al-Mubarakfuri berkata dalam Tuhfatul Ahwadzi tentang sabda
beliau: "Dan kerusakan yang besar”: “Sebab, jika kalian tidak
menikahkannya kecuali dengan orang yang berharta atau berpangkat,
mungkin kebanyakan wanita-wanita masih tetap tidak bersuami atau
kebanyakan pria kalian tidak beristeri. Akibatnya, fitnah zina akan
merajalela. Jika seseorang hendak menikahkan puterinya, maka dia harus
memperhatikan empat perkara, menurut pendapat jumhur, hendaklah ia
memperhatikan agama, nasab, dan perbuatannya. Jangan menikahkan wanita
muslimah dengan pria kafir atau wanita shalihah dengan pria fasik, dan
jangan pula wanita merdeka dengan pria hamba sahaya. Jika wanita
tersebut atau walinya ridha meskipun tidak sekufu’ (sederajat), maka
pernikahannya sah.”[6]

Di antara hal yang patut disebutkan di sini ialah kisah pernikahan
ayah dari Imam al-‘Azhim ‘Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah yang
diberkahi. Ia adalah orang Turki dan hamba sahaya milik seorang
pedagang Khawarizmi dari Hamdzan dari Bani Hanzhalah. Ia seorang yang
bertakwa lagi shalih, banyak menghabiskan waktu untuk beribadah, suka
berkhalwat (menyendiri dalam rangka beribadah) dan sangat wara’. Di
antara kisahnya bahwa dia sedang bekerja di kebun tuannya, dan
bermukim di sana selama beberapa waktu lamanya. Kemudian tuannya,
pemilik kebun ini, suatu hari datang kepadanya. Ia mengatakan
kepadanya: "Aku ingin buah delima yang manis." Ia pun pergi ke sebuah
pohon dan menghidangkan beberapa buah delima kepadanya. Setelah
membelahnya dan merasakannya asam, ia marah kepadanya seraya
mengatakan: "Aku meminta yang manis, tapi kenapa engkau menghidangkan
yang asam? Ambilkan yang manis." Ia pun pergi dan memetik dari pohon
yang lain. Ketika tuannya membelahnya dan masih juga merasakannya
asam, maka dia semakin marah kepadanya. Ia melakukan hal itu ketiga
kalinya, lalu dia mencicipinya, dan masih juga merasakannya asam, maka
dia bertanya kepadanya sesudah itu: "Apakah Engkau tidak bisa
membedakan antara yang manis dan yang asam?" Ia menjawab: "Tidak." Dia
bertanya: "Mengapa demikian?" Ia menjawab: "Karena aku tidak pernah
makan darinya sedikitpun sehingga aku mengetahui." Dia bertanya:
"Mengapa engkau tidak memakannya?" Ia menjawab: "Karena engkau tidak
mengizinkanku untuk memakannya." Mendengar hal ini, pemilik kebun ini
heran. Dia mengorek kebenaran hal itu, ternyata dia benar, sehingga ia
menjadi mulia di matanya dan kemuliaannya bertambah di sisinya. Dia
mempunyai anak gadis yang sering dilamar orang lain; maka dia bertanya
kepadanya: "Wahai Mubarak, menurutmu kepada siapa wanita ini
dinikahkan?" Ia menjawab: "Kaum Jahiliyyah menikahkan karena
kedudukan, kaum Yahudi menikahkan karena harta, kaum Nasrani
menikahkan karena ketampanan/kecantikan, dan umat ini menikahkan
karena agama." Akalnya begitu mengagumkannya. Dia pun pergi lalu
mengabarkannya kepada isterinya dan mengatakan kepadanya: "Aku tidak
melihat seorang (calon) suami yang lebih tepat untuk puteriku ini
selain Mubarak." Akhirnya dia menikahkan puterinya dengan Mubarak
sehingga lahirlah ‘Abdullah bin al-Mubarak. Sempurnalah keberkahan
ayahnya, dan Allah menumbuhkannya sebagai ‘tumbuhan’ yang baik.[7]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu
Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan
Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5122) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3248)
kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 75).
[2]. Fat-hul Baari (IX/178).
[3]. ‘Audatul Hijaab (II/582), dan dinisbatkan kepada kitab Min
Akhlaaqil ‘Ulamaa', Muhammad Sulaiman (hal. 123-125).
[4]. ‘Audatul Hijaab (II/582).
[5]. HR. At-Tirmidzi (no. 1090), kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i (no. 865) dan al-Irwaa' (no.
1668).
[6]. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jaami’ at-Tirmidzi (IV/173).
[7]. ‘Audatul Hijaab (II/358), dan menisbatkannya kepada kitab
‘Uyuunul Akhbaar, karya Ibnu Qutaibah (IV/17), Wafayaatul A’yaan, Ibnu
Khalkan (II/237), Syadz-dzaraatudz Dzahab, karya Ibnul ‘Imad (I/296),
Mir-aatul Janaan, karya al-Yafi’i (I/379).


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke