From: rokhman_tau...@yahoo.com
Date: Sun, 17 Mar 2013 03:14:34 +0800 



Assalamu'alaykum, ikhwah fillah..mohon penjelasannya, adakah sunnah sholat 
tahiyatul masjid, apabila kita memasuki mushola/surau yang didalamnya tidak 
digunakan untuk sholat jum'at sebagaimana masjid-masjid.
Jazakumullahu khairan.
Dikirim dari Yahoo! Mail pada Android
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

عَنْ أبي قَتَا دَةَ بْنِ رِِبْعِيًّ اْلأنصا ريَّ رضي اللّهُ عَنْهُ قَالَ 
النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ إذَا دَخَلَ أَحَدُ كُمُ الْمَسجِدَ 
فَلاَ يَجْلِسْ حتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

"Dari Abu Qatadah Al-Harits bin Rab'y Al-Anshary Radhiyallahu anhu, dia 
berkata, 'Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : 'Jika salah 
seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua 
raka'at".
 
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1744/slash/0/shalat-tahiyatul-masjid-masuk-masjid-adzan-dikumandangkan-apa-yang-harus-dilakukan/
 
Pengertian Masjid
1.  Masjid :  Istilah masjid menurut syara’ adalah tempat yang disediakan untuk 
shalat di dalamnya dan sifatnya tetap, bukan untuk sementara
2. Masjid Jami : Istilah اَلْمَسْجِدُ الْجَامِعُ atau مَسْجِدُ الْجَامِع 
digunakan untuk masjid yang dipakai untuk shalat Jum’at, sekalipun masjid itu 
kecil, asalkan orang-orang berkumpul di waktu yang diketahui (hari Jum’at) 
untuk shalat Jum’at 

PENGERTIAN MASJID
http://almanhaj.or.id/content/2524/slash/0/pengertian-masjid/
Oleh
Syaikh Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani

Lafazh اَلْمَسَاجِدُ adalah jamak dari lafazh مَسْجِدٌ
Masjid (مَسْجِدٌ) dengan huruf jiim yang dikasrahkan adalah tempat khusus yang 
disediakan untuk shalat lima waktu. Sedangkan jika yang dimaksud adalah tempat 
meletakkan dahi ketika sujud, maka huruf jiim-nya di fat-hah-kan[1] مَسْجَدٌ 

Secara bahasa, kata masjid (مَسْجِدٌ) adalah tempat yang dipakai untuk 
bersujud. Kemudian maknanya meluas menjadi bangunan khusus yang dijadikan 
orang-orang untuk tempat berkumpul menunaikan shalat berjama’ah. Az-Zarkasyi 
berkata, “Manakala sujud adalah perbuatan yang paling mulia dalam shalat, 
disebabkan kedekatan hamba Allah kepada-Nya di dalam sujud, maka tempat 
melaksanakan shalat diambil dari kata sujud (yakni masjad = tempat sujud). 
Mereka tidak menyebutnya مَرْكَعٌ (tempat ruku’) atau yang lainnya. Kemudian 
perkembangan berikutnya lafazh masjad berubah menjadi masjid, yang secara 
istilah berarti bengunan khusus yang disediakan untuk shalat lima waktu. 
Berbeda dengan tempat yang digunakan untuk shalat ‘Id atau sejenisnya (seperti 
shalat Istisqa’) yang dinamakan اَلْمُصَلَّى (mushallaa = lapangan terbuka yang 
digunakan untuk shalat ‘Id atau sejenisnya). Hukum-hukum bagi masjid tidak 
dapat diterapkan pada mushalla[2].[3]

Istilah masjid menurut syara’ adalah tempat yang disediakan untuk shalat di 
dalamnya dan sifatnya tetap, bukan untuk sementara [4].

Pada dasarnya, istilah masjid menurut syara adalah setiap tempat di bumi yang 
digunakan untuk bersujud karena Allah di tempat itu[5]. Ini berdasarkan hadits 
Jabir Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau 
bersabda.

وَ جُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًاوَطَهُوْرًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ 
أُمَّتِيْ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ، فَلْيُصَلِّ

..Dan bumi ini dijadikan bagiku sebagai tempat shalat serta sarana bersuci 
(tayammum). Maka siapa pun dari umatku yang datang waktu shalat (di suatu 
tempat), maka hendaklah ia shalat (di sana).[6]

Ini adalah kekhususan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ummatnya. 
Sementara para Nabi sebelum beliau hanya diperbolehkan shalat di tempat 
tertentu saja, seperti sinagog dan gereja. [7]

Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau 
bersabda :

وَاَيْنَمَاأَدْرَكَتْكَ الصَّلاَةُ فَصَلِّ، فَهُوَمَسْجِدٌ

Dan di tempat mana saja waktu shalat tiba kepadamu, maka shalatlah, karena 
tempat itu adalah masjid. [8]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits itu menunjukkan dibolehkannya 
shalat di semua tempat, kecuali yang dikecualikan oleh syara’. Tempat yang 
dikecualikan tersebut adalah pekuburan dan tempat selainnya yang bernajis 
seperti tempat sampah dan pejagalan (tempat penyembelihan hewan). Demikian pula 
tempat yang dilarang untuk melakukan shalat dikarenakan alasan tertentu yang 
lain. Yang terakhir ini semisal tempat unta-unta menderum, dan lain-lainnya 
seperti di tengah jalan, di kamar mandi (sekalipun suci), dan tempat selain 
itu. Alasannya adalah karena ada hadits yang melarangnya. [9]

Adapun lafazh al-jaami’ (اَلْجَامِعُ) adalah sifat dari masjid al-masjid 
(اَلْمَسْجِدُ). Disifati demikian karena masjid adalah tempat yang menghimpun 
ahli masjid di sana. Berdasarkan hal ini maka orang mengatakannya : 
اَلْمَسْجِدُ الْجَامِعُ (dengan susunan sifat dan maushuf-nya). Namun boleh 
juga dikatakan (مَسْجِدُ الْجَامِع) dengan susunan idhafat (susunan mudhaf 
dengan mudhaf ilaihnya) dengan makna مَسْجِدُ الْيَوْمِ الْجَامِعُ artinya : 
tempat orang bersujud (shalat) di hari mereka berkumpul (hari Jum’at).[10] Dan 
istilah اَلْمَسْجِدُ الْجَامِعُ atau مَسْجِدُ الْجَامِع digunakan untuk masjid 
yang dipakai untuk shalat Jum’at, sekalipun masjid itu kecil, asalkan 
orang-orang berkumpul di waktu yang diketahui (hari Jum’at) untuk shalat Jum’at

[Disalin dari kitab Al-Mabhatsus Saadisu wal Isyruun Shalaatul Maaridh (Juz-un 
min Shalaatul Mu'min), Penulis Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Edisi 
Indonesia Akhlak Bertamu Ke Baitullah, Panduan Lengkap Etika Di Dalam Masjid, 
Penerjemah Ade Ikhwan Ali, Penerbit Pustaka Ibnu Umar - Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Lihat Lisaanul Arab karya Ibnu Manzhur, bab ad-Daal, fasal al-Miim 
(III/204-205) dan Subulus Salaam karya ash-Shan’ani (II/179)
[2]. [Maka tidak ada shalat tahiyatul mushalla, yang ada hanya tahiyatul 
masjid. Demikian pula hukum-hukum lain yang berkaitan dengan masjid, tidak 
dapat diterapkan pada mushalla]
[3]. I’laaamus Saajid bi Ahkaamil Masaajid, hal. 27-28. Dan lihat Masyaariqul 
Anwaar karya al-Qadhi ‘Iyadh (II/207), Mufradaatu al-Faazhil Qur’an karya 
al-Asfahani (hal. 397), Mirqaatul Mafaatiih Syarah Misykaatil Mashaabiih karya 
al-Mula Ali al-Qari (X/12), dan Syarhut Thaibi ‘alaa Misykaatil Mashaabiih 
(XI/3635).
[4]. Mu’jamu Lughatil Fuqahaa’ karya ustadz Dr. Muhammad Rawas (hal. 397)
[5]. Lihat I’laamus Saajid bi Ahkaamil Masajid karya az-Zarkasyi (hal.27)
[6]. Muttafaq ‘alaih : al-Bukhari, kitab at-Tayammum, bab Haddatsanaa Abdullah 
bin Yusuf (no. 335) dan Muslim kitab al-Masaajid, bab al-Masaajid wa maudhi’ush 
shalaah (no. 521)
[7]. Lihat al-Mufhim lima Asykala min Talkhiishi Kitaabi Muslim karya 
al-Qurthubi (II/117)
[8]. Muttafaq ‘alaih : al-Bukhari kitab al-Anbiyaa, babوَوَ هَبْنَا لِدَاوُودَ 
سُلَيْمَانَ بِعْمَ الْعَبْدُ إِنَهُ أَوَّابِّ (no. 425) dan Muslim, kitab 
al-Masaajid wa Maudhi’ush Shalaah, bab al-Masaajid wa maudhi’ush shalaah (no. 
520)
[9]. Syarhus Nawawi ‘alaa Shahiihi Muslim (V/5)
[10]. Lihat Lisaanul ‘Arab karya Ibnu Maznhur, bab al-Ain fasal al-Jiim 
(VIII/55) 



                                          

Kirim email ke