<http://cintasunnah.com/mengenal-dalil-yang-umum/>
Mengenal Dalil Yang Umum

http://cintasunnah.com/mengenal-dalil-yang-umum/
<http://cintasunnah.com/mengenal-dalil-yang-umum/#respond>

Diantara faidah menguasai bahasa arab adalah memahami sebuah kata yang
bermakna umum, sebuah contoh misalnya hadits :

*مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ*

“Apa-apa yang aku larang jauhilah dan apa-apa yang aku perintahkan
lakukanlah semampu kamu”. (HR Muslim).

Kata “maa” yang artinya apa mempunyai makna umum, maka semua yang
diperintahkan oleh beliau hendaknya kita lakukan baik yang hukumnya wajib
maupun yang hukumnya sunnah, karena sesuatu yang sunnah termasuk perkara
yang diperintahkan oleh syari’at yang mulia ini. Demikian pula semua yang
dilarang hendaknya kita tinggalkan baik yang hukumnya haram maupun makruh.

Diantara kata yang menunjukkan kepada makna umum juga adalah kata “كل ”
yang artinya setiap atau semua, contohnya hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam :

*وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ*

“Dan jauhilah perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah itu sesat dan
setiap kesesatan di dalam api Neraka”. (HR Ahmad).[1]

Kewajiban kita adalah mengamalkan apa yang ditunjukkan oleh keumuman makna
dan tidak boleh menghususkan kecuali dengan dalil.

Imam Asy Syafi’I rahimahullah berkata: “Semua perkataan yang umum dalam
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibawa kepada keumumannya
sampai diketahui hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang menunjukkan bahwa yang diinginkan darinya adalah sebagian
makna tanpa yang lainnya”.[2]

Berkata Az Zarkasyi: “Yang wajib adalah mengamalkan yang umum sampai ia
mendapatkan dalil yang mengkhususkan karena pada asalnya yang mengkhususkan
itu tidak ada, dan juga dugaan adanya pengkhususan adalah dugaan yang masih
lemah, sedangkan lahiriah makna yang umum adalah dugaan yang kuat,
sedangkan mengamalkan yang kuat adalah wajib berdasarkan ijma’”.

Ash Shon’ani mengomentari: “Inilah pendapat yang kami pilih dan amalkan,
kami memandang inilah yang haq, karena telah diketahui bahwa para shahabat
selalu berdalil dengan dalil yang umum tanpa harus mencari dalil yang
mengkhususkannya dalam banyak kejadian”.[3]

Oleh karena itu para shahabat memahami hadits di atas sesuai dengan
keumumannya yaitu bahwa semua bid’ah itu sesat[4], Abdullah bin Umar
radliyallahu ‘anhuma berkata:

* **كل بِدْعَة ضَلالَة ؛ وإِنْ رآها الناس حَسَنَة*

“Setiap bid’ah itu sesat walaupun dianggap baik oleh manusia”. (HR Al
Laalikai).[5]

Abdullah bin Mas’ud juga berkata:

*اتَّبِعُوا وَلَا تَبْتَدِعُوا , فَقَدْ كُفِيتُمْ* *وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ*

“Ikuti jangan berbuat bid’ah karena kamu telah dicukupi dan setiap bid’ah
itu sesat”. (HR Al Lalikaai).[6]

Memang, banyak sekali dalil-dalil dari Al Qur’an dan hadits yang telah
dikhususkan, sampai-sampai sebagian ulama ada yang berkata: “Tidak ada
dalil yang umum kecuali telah dikhususkan”. Namun perkataan ini tidak boleh
dijadikan alasan untuk menolak setiap dalil yang bermakna umum dengan
alasan kemungkinan ada dalil lain yang mengkhususkan, alasannya adalah :

Pertama : Bahwa kemungkinan itu masih bersifat lemah, dan makna yang
ditunjukkan dalil yang umum itu adalah kuat, sedangkan mengamalkan yang
kuat itu adalah wajib sebagaimana yang dikatakan oleh imam Az Zarkasyi tadi.

Kedua : Jika kita membaca ayat-ayat Al Qur’an, kebanyakan ayat yang umum
itu masih terjaga dan belum ada yang mengkhususkan, contohnya firman Allah
Ta’ala :

 الحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

“Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”.

Alif laam dalam “Al ‘alamin” maknanya umum, artinya bahwa Allah adalah Rabb
seluruh alam. Maka apakah kita tolak keumuman ayat ini hanya karena alasan
perkataan “Tidak ada dalil yang umum kecuali telah dikhususkan”, apakah
engkau mendapati adanya alam yang penciptanya bukan Allah Ta’ala ?! Juga
firman Allah Ta’ala :

 وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

 ”Tidak ada binatang yang melata di muka bumi ini kecuali Allahlah yang
memberi rizki kepadanya”. (Hud : 6).

Kata “Daabbah (binatang melata)” nakirah pada redaksi peniadaan yang
maknanya umum, akankah kita tolak keumuman ayat ini ?? Adakah binatang
melata yang memberi rizki kepadanya selain Allah ?![7] dan ayat-ayat
lainnya yang sangat banyak.

Ketiga : Kewajiban kita adalah mengamalkan lahiriyah (Dzahir) sebuah dalil
sampai ada dalil yang memalingkan maknanya yang dzahir kepada makna lain,
sedangkan lahiriyah (Dzahir) umum itu mencakup semua individu-individunya
tanpa ragu lagi.[8] Artinya bahwa dalil yang umum itu serupa dengan dalil
yang dzahir.

Keempat : Para shahabat senantiasa mengamalkan dalil yang umum selama belum
sampai kepada mereka dalil yang mengkhususkannya dalam kejadian yang banyak
dan ini menunjukkan bahwa mereka bersepakat untuk membawa lafadz-lafadz Al
Qur’an dan hadits kepada dzahirnya yang umum, dan ini adalah madzhab jumhur
ulama diantaranya adalah imam yang empat dan dzahiriyah, dan yang
menyelisihi mereka adalah sebagian dari ahli kalam yang pendapatnya tidak
bisa diterima.[9]



*Kaitan dalil yang umum dengan pengamalan para shahabat.*

Sebuah fenomena yang harus diluruskan adalah berhujjah dengan dalil yang
umum untuk membolehkan sebuah perbuatan yang husus yang tidak ada contohnya
dari Nabi dan para shahabatnya, seperti berdalil dengan hadits-hadits
mengenai keutamaan bershalawat untuk membolehkan membuat lafadz-lafadz
shalawat yang tidak pernah di ucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, atau beralasan dengan hadits-hadits mengenai keutamaan berdzikir
untuk membuat do’a-do’a khusus atau tata cara khusus yang tidak berasal
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Imam Asy Syatihibi menyebutkan bahwa kaitan dalil yang umum dengan
pengamalan para shahabat tidak lepas dari tiga keadaan, yaitu :

Pertama : Dalil syari’at yang diamalkan oleh para shahabat secara terus
menerus atau pada kebanyakan waktu, seperti dalil-dalil mengenai sholat,
zakat, puasa dan lainnya, dan ini adalah keadaan kebanyakan dalil.

Kedua: Dalil yang diamalkan oleh para shahabat secara jarang atau pada
waktu dan keadaan tertentu, maka wajib kita teliti dahulu secara seksama
dan mengamalkannya sesuai dengan keadaan tersebut. Seperti ibnu Abbas
pernah sholat malam berjama’ah dengan Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, padahal bukan kebiasaan Nabi tidak juga para shahabat untuk
sholat tahajjud secara berjama’ah kecuali dimalam-malam bulan Ramadlan
saja. Beliau sengaja sholat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
rangka mempelajari bagaimana shalat tahajjud beliau, tetapi ibnu ‘Abbas
melakukannya hanya malam itu saja, setelah itu beliau tidak melakukannya
kembali walaupun sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalaulah
sholat tahajjud berjama’ah itu baik, sebagaimana yang di amalkan oleh
banyak kaum muslimin di zaman ini, tentu para shahabat yang melakukannya
pertama kali.

Ketiga : Dalil yang tidak ada satupun shahabat yang mengamalkannya, maka
ini lebih berat lagi hukumnya[10]. Seperti hadits yang menyebutkan bahwa
shalat berjama’ah lebih baik dua puluh tujuh kali lipat dibandingkan dengan
sholat sendirian. Tidak ada satupun shahabat yang mengamalkan hadits
tersebut untuk sholat dluha atau sholat sunnah rowatib, bila ada orang yang
sholat sunnah rowatib berjama’ah dengan alasan hadits tersebut, tentu
alasan seperti ini tidak dapat diterima, mengapa ? jawabnya karena tidak
ada satupun para shahabat yang memahami demikian.

Demikian juga orang yang membuat lafadz-lafadz sholawat seperti shalawat
badriyah, nariyah dan lainnya, beralasan dengan hadits-hadits yang
menyebutkan tentang keutamaan bershalawat, maka pendalilannya tidak dapat
diterima, karena tidak ada shahabat yang mengamalkan demikian padahal
mereka adalah orang yang sangat fasih bahasa arabnya dan mampu merangkai
sya’ir-sya’ir indah dalam rangka bershalawat kepada Nabi.

Contohnya juga adalah orang yang merayakan kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berdasarkan keumuman hadits dan ayat yang memerintahkan
kita untuk mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan
bergembira dengan karunia yang Allah berikan kepada kita, sementara para
shahabat tidak ada satupun yang memahami demikian, padahal mereka adalah
generasi yang paling mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.



*Umum yang dikhususkan*.

Bila kita mendapatkan dalil yang shahih yang mengkhususkan keumuman suatu
dalil, maka kewajiban kita adalah mengamalkan dalil yang mengkhususkan
tersebut, baik yang mengkhususkan itu bersambung dengan dalil yang umum
(muttashil) atau berdiri sendiri (munfashil).

Contoh yang bersambung adalah firman Allah Ta’ala :

 فسجد الملائكة كلهم أجمعون . إلا إبليس

“Maka Malaikat semuanya bersujud. Kecuali Iblis…” (Al Hijr : 30-31).

Diantara contohnya juga adalah hadits :

* **أن النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ
بَعْدَ الْعَصْرِإلا والشمسُ مرتفعةٌ*

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah ashar
kecuali bila matahari masih tinggi”. (HR Abu Dawud).[11]

Hadits ini menyatakan bahwa bila matahari masih tinggi dan belum menguning
maka masih diperbolehkan melakukan shalat sunnah, sehingga hadits ini
mengecualikan keumuman larangan shalat setelah ashar.

Adapun contoh yang berdiri sendiri adalah hadits:

*يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ
وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ*

“Wahai Bani Abdi Manaf janganlah kamu melarang seorangpun yang ingin thawaf
di rumah ini (ka’bah) dan shalat kapan saja di waktu malam atau siang”. (HR
At Tirmidzi).[12]

Hadits ini mengecualikan larangan shalat di waktu-waktu yang dilarang, juga
hadits :

*إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ
يَجْلِسَ*

“Apabila salah seorang dari kamu masuk masjid hendaklah ia shalat dua
raka’at sebelum duduk”. (HR Bukhari dan Muslim).

Perintah shalat tahiyat masjid di dalam hadits ini mengecualikan larangan
shalat di waktu yang dilarang karena perintah dalam hadits ini bersifat
umum kapan saja ia masuk masjid, sehingga sebagian ulama seperti imam Asy
Syafi’I berpendapat bahwa untuk shalat-shalat yang mempunyai sebab boleh
dilakukan di waktu-waktu yang dilarang, dan itu adalah madzhab yang kuat.



*Hikayat perbuatan*.

Yang harus kita fahami adalah bahwa keumuman itu hanya berlaku pada
perkataan dan tidak berlaku pada perbuatan, karena perbuatan itu mengandung
banyak kemungkinan, oleh karena itu para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa
sebatas menceritakan perbuatan tidak menunjukkan makna yang umum atau yang
disebut dalam ushul fiqih “waaqi’atul ‘ain”.

Contohnya adalah hadits Maimunah radliyallahu ‘anha yang menceritakan
tentang tata cara mandi janabah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
setelah beliau selesai mandi Maimunah berkata:

* **فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا فَجَعَلَ يَنْفُضُ بِيَدِهِ*

“Lalu aku datang membawa kain (handuk) namun beliau tidak menginginkannya
dan beliau menyeka dengan tangannya”. (HR Bukhari dan Muslim).

Sebagian orang memahami dari hadits ini bahwa menyeka badan dengan handuk
setelah mandi tidak sesuai dengan sunnah, akan tetapi pemahaman ini adalah
batil karena hadits diatas adalah hikayat perbuatan yang tidak mempunyai
makna umum artinya tidak bisa difahami bahwa menolak handuk disunnahkan
disetiap selesai mandi, lebih-lebih perbuatan Maimunah yang membawakan
handuk menunjukkan kebiasaan beliau adalah memakai handuk namun untuk saat
itu beliau tidak menginginkannya.



------------------------------

[1] No 17144 tahqiq Syu’aib Al Arnauth, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani
dalam silsilah shahihah no 2735.

[2] Ar Risalah hal. 341.

[3] Ijabatu As Saail hal 310, lihat At Tahqiqat wattanqihat karya Syaikh
Masyhur hal 200.

[4] Sebagian orang di zaman ini berusaha membawakan dalil-dalil yang
difahami oleh mereka menunjukkan adanya bid’ah hasanah, seperti buku mana
dalilnya dan alhamdulillah telah saya bantah dalam kitab saya “Keindahan
islam dan perusaknya”. Silahkan pembaca merujuknya.

[5] Dalam syarah ushul I’tiqad ahlissunnah no 126, Syaikh Ali Hasan
berkata: “Sanadnya shahih”. Lihat ilmu ushul bida’ hal 92.

[6] No 104.

[7] Majmu’ fatawa ibnu Taimiyah 6/442.

[8] Mudzakirah ushul fiqih syaikh Muhammad Amin Asy Syanqithi hal 218.

[9] Majalah buhuts islamiyah 25/152.

[10] Lihat ilmu ushul bida’ hal 138-140.

[11] No 1156 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah shahihah no
200.

[12] No 455, lihat shahih jami’ Ash Shaghier no 7900.

Kirim email ke