*Menepis Syubhat Pembela Tawassul Yang Haram (bag.1) *

http://cintasunnah.com/menepis-syubhat-pembela-tawassul-yang-haram-bag-1/
Tawassul diambil dari wasilah yang artinya menjadikan sesuatu sebagai
perantara antara dia dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Dan tawassul dibagi
oleh para ulama menjadi dua macam:

   1. Tawassul yang syar’iy yaitu tawassul yang diidzinkan oleh syari’at
   dan ia mempunyai beberapa macam:

Pertama: Tawassul dengan melalui asmaul husna.

Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat
Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (Al A’raaf: 180).

Kedua: Tawassul dengan melalui amal shalih.

Berdasarkan hadits yang mengkisahkan tiga orang yang masuk ke dalam goa,
lalu jatuh batu besar dari gunung dan menutup mulut goa tersebut, lalu
masing-masing mereka bertawassul dengan menyebutkan amalan shalih yang
mereka pernah lakukan.

Ketiga: Tawassul dengan melalui orang shalih yang masih hidup dan hadir.

Berdasarkan hadits orang buta yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam minta dido’akan agar disembuhkan matanya.

Dari Utsman bin Hanif bahwa ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Berdo’alah kepada Allah agar
menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika kamu mau aku akan berdo’a dan jika
kamu mau bersabar itu lebih baik”. Ia berkata: “Do’akanlah”. Maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya berwudlu dan membaguskan wudlunya
dan berdo’a dengan do’a ini: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu melalui NabiMu
Nabi rahmat, wahai Muhammad aku menghadap kepada Rabbku melalui kamu agar
hajatku dipenuhi, ya Allah berilah syafa’at untuknya terhadapku”. Maka
penglihatannyapun kembali seperti semula”. (HR Ibnu Majah dan lainnya).

   1. Tawassul yang diharamkan.

Tawassul yang diharamkan ada dua macam, yaitu tawassul yang syirik dan
tawassul yang bid’ah.

Tawassul yang syirik adalah menjadikan Nabi atau orang shalih yang telah
meninggal sebagai perantara dalam berdo’a kepada Allah, dengan mengatakan
misalnya: “Ya Allah, dengan melalui Syaikh fulan (yang telah meninggal),
kabulkanlah permintaanku”. Ini adalah kesyirikan yang dilakukan oleh kaum
musyrikin arab di zaman di utusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah
dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak
menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. (Az Zumar: 3).

Imam Qatadah rahimahullah berkata: “Dahulu (sebagian orang-orang kafir
quraisy) apabila dikatakan kepada mereka: “siapa Rabb dan pencipta kamu?
Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari
langit?” Mereka menjawab: “Allah”. Dikatakan kepada mereka: “Lalu apa makna
ibadahmu kepada patung-patung?” Mereka menjawab: “Agar mereka
(patung-patung yang diberi nama dengan nama-nama orang shalih itu)
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, dan memberikan
syafa’at kepada kami disisiNya”.[1]

Dalam ayat ini kaum musyrikin ketika menyembah Latta, hubal, dan
patung-patung lainnya yang diberi nama orang-orang shalih mengatakan bahwa
tujuan mereka bukanlah menyembah patung-patung tersebut bahkan mereka
meyakini bahwa patung-patung tersebut tidak dapat menciptakan apa-apa,
namun tujuan mereka adalah agar orang-orang shalih yang telah meninggal itu
dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.

Ini tidak ada bedanya dengan para penyembah kuburan di zaman ini, mereka
datang kepada kuburan-kuburan para wali dan berkata: “Kami tidak menyembah
kuburan, namun kami ingin agar do’a kami di sampaikan kepada Allah Ta’ala
dan agar orang shalih yang telah mati itu memberikan syafaat kepada kami di
sisi Allah”. Padahal kaum musyrikin arabpun sama mengatakan demikian bahwa
tujuan mereka bukan menyembah patung, tapi agar dapat menyampaikan doa-doa
mereka kepada Allah dan memberikan syafaat kepada mereka di sisiNya.

Adapun tawassul yang bid’ah adalah bertawassul dengan melalui hak dan
kedudukan Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam, karena perbuatan ini
tidak pernah dilakukan oleh para shahabat, tidak pula para tabi’in dan
tabi’uttabi’in.



Menjawab syubhat.

Sebagian kaum muslimin ada yang membela tawassul yang syirik dan bid’ah
ini, bahkan mengatakan bahwa tawassul melalui orang shalih yang telah mati
bukan syirik, dan menuduh bahwa yang mengatakan syirik adalah wahabi yang
menyesatkan, dan mereka mengemukakan dalil yang banyak yang seakan-akan
membolehkan tawassul melalui mayat, dan kita akan menyebutkan dalil-dalil
mereka satu persatu diringi dengan jawaban terhadap dalil tersebut satu
persatu:



*Syubhat 1.* Firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan (al
wasilah) kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat
(kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya;
Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”. (Al Israa:
57).

mereka berkata: “Ayat ini menyebutkan bahwa mereka mencari al wasilah
(perantara) kepada Allah, ini menunjukkan bolehnya bertawassul melalui
mayat di kuburan”.



Jawaban:

*Pertama*: Memahami ayat ini untuk membolehkan tawassul dengan melalui para
Nabi dan orang-orang shalih adalah pemahaman yang sangat rusak, karena
bertentangan dengan penafsiran para ahli tafsir dalam kitab-kitab tafsir,
bahwa maksud ayat ini adalah bahwa sesembahan-sesembahan yang disembah
selain Allah berupa Malaikat, Jinn, Nabi Isa dan ibunya serta Nabi Uzair
dan sebagainya justru mencari wasilah yaitu qurbah (taqarrub) untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

*Kedua*: Bila kita melihat ayat sebelumnya, akan tampak jelas maknanya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

56. Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah,
Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya
daripadamu dan tidak pula memindahkannya.”

57. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada
Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu
adalah suatu yang (harus) ditakuti. (Al Israa: 56-57).

Bila kita perhatikan ayat tersebut semakin jelas bahwa mereka yang mencari
al wasilah kepada Allah adalah orang-orang yang diseru selain Allah berupa
malaikat, jinn, para Nabi dan sebagainya. Mereka sendiri berusaha
mendekatkan diri kepada Allah dan takut dari adzabNya, maka bagaimana kamu
jadikan mereka sesembahan selain Allah??

Bahkan redaksi ayat ini menunjukkan syiriknya tawassul dengan melalui para
Nabi dan orang shalih yang telah meninggal, dari dua sisi:

   1. Kaum musyrikin meyakini bahwa para malaikat, jinn, para nabi dan
   orang-orang shalih tidak dapat menciptakan apapun tidak pula memberikan
   rizki, tidak bisa memberi manfaat dan mudlarat, namun mereka menjadikannya
   sebagai wasilah yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah
   sedekat-dekatnya dan berharap syafaat darinya sebagaimana telah kita
   jelaskan, namun Allah menganggap mereka musyrik karena telah menjadikan
   mereka tandingan selain Allah.
   2. Bahwa malaikat, jinn, para nabi dan sebagainya yang diseru selain
   Allah dan dijadikan sebagai wasilah kepada Allah, mereka sendiri berusaha
   mendekatkan diri kepada Allah, berharap rahmatNya dan takut dari adzabNya.
   Artinya mereka tidak mampu untuk memberikan manfaat untuk dirinya atau
   menolak mudlarat dari dirinya, mereka pun takut dari adzab Allah dan tidak
   mampu menolong siapapun dari adzabNya kecuali dengan idzin Allah. Bila
   untuk dirinya sendiri tidak mampu bagaimana untuk orang lain?! Maka orang
   yang bertawassul kepada dzat para Nabi atau orang shalih yang telah mati,
   telah menjadikannya tandingan selain Allah.

*Ketiga:* Bahwa yang dimaksud dengan al wasilah dalam ayat ini adalah
qurbah (ketaatan) sebagaimana yang ditafsirkan oleh ibnu Abbas, Qatadah dan
Mujahid[2].

*Keempat*: Makna al wasilah dalam ayat tidak tidak ada bedanya dengan makna
al wasilah dalam surat Al Maidah ayat 35 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya (al wasilah), dan berjihadlah pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Imam ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan makna Al Wasilah:

*قال سفيان الثوري، حدثنا أبي، عن طلحة، عن عطاء، عن ابن عباس: أي القربة.
وكذا قال مجاهد, وعطاء, وأبو وائل، والحسن، وقتادة، وعبد الله بن كثير،
والسدي، وابن زيد.** **وقال قتادة: أي تقربوا إليه بطاعته والعمل بما يرضيه.**.
** وهذا الذي قاله هؤلاء الأئمة لا خلاف بين المفسرين فيه**.*

Berkata Sufyan Ats Tsauri: haddatsana ayahku dari Thalhah dari ‘Atha dari
ibnu Abbas: “Maknanya adalah al qurbah (ketaatan). Demikian pula yang
dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha, Abu Wail, Al Hasan, Qatadah, Abdullah bin
Katsir, As Suddi dan ibnu Zaid. Qatadah berkata: “Artinya bertaqarrublah
kepadanya dengan melalui ketaatan kepadaNya dan mengamalkan apa yang
diridlaiNya”. Dan yang dikatakan oleh para imam ini tidak ada perselisihan
diantara mufassirin (ahli tafsir)”.[3]

Jadi, ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bolehnya bertawassul kepada
para nabi atau orang shalih yang telah meninggal, namun menunjukkan kepada
tawassul dengan melalui amal shalih dan ketaatan.



*Syubhat 2:* Firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan
seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang”. (An Nisaa: 64).

Mereka berkata: “Ayat ini bersifat umum, baik datang kepada Rasulullah
ketika masih hidup maupun setelah matinya”.



Jawab:

Pertama: Ayat ini hanya menunjukkan memohon kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam agar memintakan ampun kepada Allah ketika beliau masih hidup, jadi
ini adalah tawassul dengan melalui orang shalih yang masih hidup dan hadir,
dan ini boleh berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Maka berdalil untuk
membolehkan bertawassul kepada Nabi setelah matinya dengan ayat ini adalah
termasuk qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang hidup dengan orang yang telah
mati, dan ini batil. karena perbedaan antara orang yang hidup dengan orang
yang telah mati ditetapkan oleh firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.
Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya
dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur
dapat mendengar”. (Fathir: 22).

Dan diantara syarat sah qiyas adalah persamaan illat antara cabang dan
pokok, sedangkan di sini illatnya berbeda, yaitu datang kepada nabi setelah
meninggal diqiyaskan kepada datang kepada nabi ketika masih hidup, dan
qiyas yang berbeda illatnya adalah batil dengan kesepakatan ahli ushul.

Kedua: Pemahaman ini tidak pernah difahami oleh para shahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada satupun para shahabat atau tabi’in
atau tabi’uttabi’in yang datang kepada kuburan Nabi dan berkata: “Wahai
Rasuullah, aku telah melakukan dosa begini dan begitu, maka mohonkanlah
ampunan kepada Allah untukku”. Kalaulah pemahaman itu benar, tentu mereka
yang terlebih dahulu memahaminya dan melakukannya.



*Syubhat 3*. Ayat-ayat dan hadits yang menyebutkan bahwa para Nabi dan
orang-orang shalih itu hidup dalam kuburnya dan menjawab salam orang yang
memberi salam kepadanya, seperti hadits Abu hurairah:

*أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا مِنْ أَحَدٍ
يُسَلِّمُ عَلَىَّ إِلاَّ رَدَّ اللَّهُ عَلَىَّ رُوحِى حَتَّى أَرُدَّ
عَلَيْهِ السَّلاَمَ ».*

“Sesunnguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada
seorangpun yang mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah akan
mengembalikan ruhku sampai aku jawab salamnya”. (HR Abu Dawud dan
dihasankan oleh Syaikh Al Bani).

Dan juga firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki”. (Ali
Imran: 169).

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ يُصَلُّونَ

“Para Nabi hidup dikuburan mereka shalat”. (HR Al Bazzar).

Mereka berkata: “Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa Nabi hidup di dalam
kuburnya seperti kehidupan di dunia, sehingga boleh bertawassul kepadanya”.



Jawab:

Pertama: Kehidupan mereka di alam kubur adalah kehidupan alam barzakh yang
tidak sama dengan kehidupan dunia.

Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah ketika berbicara tentang definisi
shahabat berkata: “Adapun orang yang melihat Nabi setelah wafatnya dan
sebelum dikuburkan, yang rajih ia bukan shahabat, sebab bila ia dianggap
shahabat maka orang yang melihat jasad Rasulullah di dalam kuburnya
walaupun di zaman ini tentu termasuk shahabat.. dan hujjah (alasan) orang
yang berpendapat bahwa orang yang melihat Nabi setelah wafat sebelum
dikuburkan dianggap sebagai shahabat adalah bahwa Nabi masih hidup terus,
padahal kehidupan beliau (setelah mati) adalah kehidupan ukhrawiyah yang
tidak berhubungan dengan hukum-hukum dunia, karena para syuhadapun hidup,
namun aturan-aturan yang berlaku untuk mereka setelah terbunuh sama dengan
aturan-aturan untuk mayat-mayat lainnya”.[4]

Dan kehidupan alam barzakh adalah kehidupan alam ghaib yang tidak bisa
diqiyaskan dengan kehidupan dunia, dan kalaulah hidup beliau di kuburnya
sama dengan kehidupan dunia, tentu orang yang melihat jasadnya di zaman ini
dianggap sebagai shahabat dan ini batil, juga tentunya beliau akan makan,
minum, berpakaian, menikah dan sebagainya.

Kedua: Hadits yang menyebutkan bahwa Nabi dan orang-orang shalih dapat
menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepadanya hanya menunjukkan
bahwa roh Nabi dikembalikan ke jasadnya hanya untuk menjawab salam, dan
tidak menunjukkan bahwa ruhnya terus menerus berada di jasadnya di setiap
waktu.

Ketiga: Kalaulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hidup di kuburnya
seperti kehidupan beliau di dunia sehingga boleh bertawassul kepadanya,
tentu para shahabat, para tabi’in dan tabi’uttabi’in yang pertama kali
mendatangi kuburan beliau untuk menyelesaikan berbagai macam konflik dan
perselisihan yang terjadi di zaman mereka, namun kita tidak pernah mendapat
ada seorang shahabat yang melakukannya, tidak pula tabi’in dan
tabi’uttabi’in, kalaulah itu baik tentu mereka yang lebih dahulu
melakukannya, karena mereka adalah generasi terbaik  yang paling memahami
agama ini dengan persaksian dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.



------------------------------

[1]  Al Jaami’ li ahkaamil qur’an 15/233.

[2] Dirujuk tafsir Ath thabari

[3] Tafsir ibnu Katsir 3/75 tahqiq Hani Al haj.

[4] Fathul bari 7/4.

Kirim email ke