BANCI DALAM TINJAUAN SYARIAT

Oleh
Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, MA
http://almanhaj.or.id/content/3606/slash/0/banci-dalam-tinjauan-syariat/

Salah satu kebanggaan kita sebagai kaum Muslimin ialah syariat Islam itu
sendiri. Kita bangga karena memiliki syariat paling lengkap di dunia.
Syariat yang mengatur segalanya, dari perkara yang paling besar hingga yang
paling sepele. Semua yang menyangkut kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat tak lepas dari tinjauan syariat. Laki-laki, perempuan, tua, muda,
besar, kecil, penguasa, rakyat jelata; semuanya diatur secara adil dan bij
aksana. Bahkan kaum banci pun tak lepas dari pembahasan.

Benar, kaum banci yang sering menjadi ledekan dan bahan tertawaan, ternyata
tidak diabaikan oleh syariat begitu saja, sebab ia juga manusia mukallaf
sebagaimana lelaki dan wanita normal. Karenanya, dalam fiqih Islam, kita
mengenal istilah mukhannats (banci/bencong), mutarajjilah (wanita yang
kelelakian), dan khuntsa (interseks/berkelamin ganda).

Masing-masing dari istilah ini memiliki definisi dan konsekuensi berbeda.
Akan tetapi, dua istilah yang pertama biasanya berkonotasi negatif, baik di
mata masyarakat maupun syariat. Sedangkan yang ketiga belum tentu demikian.

Untuk lebih jelasnya, perlu diperhatikan definisi para ulama tentang banci
dan waria, berangkat dari hadits shahîh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhâri
berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ
النِّسَاءِ، وَقَالَ: «أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ: فَأَخْرَجَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَنًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ
فُلاَنًا

َDari Ibnu Abbas, katanya, "Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melaknat
para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah. Kata beliau,
‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’, maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa
sallam mengusir Si Fulan, sedangkan Umar mengusir Si Fulan”[1]

Dalam riwayat lain disebutkan:

،لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ
مِنَ الرِّجَالِ بالنِّسَاءِ والمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بالرِّجَالِ

Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang
menyerupai wanita, dan para wanita yang menyerupai laki-laki [2]

Riwayat yang kedua ini menafsirkan tentang yang dimaksud dengan mukhannats
dan mutarajjilah dalam hadits yang pertama. Sehingga menjadi jelas bahwa
yang dimaksud mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai perempuan, baik
dari cara berjalan, cara berpakaian, gaya bicara, maupun sifat-sifat
feminin lainnya. Sedangkan mutarajjilah adalah wanita yang menyerupai
laki-laki dalam hal-hal tersebut.[3]

Secara bahasa, kata mukhannats berasal dari kata dasar khanitsa-yakhnatsu.
Artinya, berlaku lembut. Dari istilah umum tersebut, maka istilah banci,
bencong, waria cocok untuk mengartikan mukhannats. Sedangkan untuk istilah,
mutarajjilah, mungkin terjemahan yang paling mendekati adalah “wanita
tomboy”.

Dalam Syarahnya, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan, bahwa laknat
dan celaan Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tadi khusus ditujukan
kepada orang yang sengaja meniru lawan jenisnya. Adapun bila hal tersebut
bersifat pembawaan (karakter asli), maka ia cukup diperintah agar berusaha
meninggalkannya semaksimal mungkin secara bertahap. Bila ia tidak mau
berusaha meninggalkannya, dan membiarkan dirinya seperti itu, barulah ia
berdosa, lebih-lebih bila ia menunjukkan sikap ridha dengan perangainya
tadi.

Adapun sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa mukhannats alami tidak
dianggap tercela ataupun berdosa. Maksudnya ialah seseorang yang tidak bisa
meninggalkan cara berbicara yang lembut dan gerakan gemulai setelah ia
berusaha meninggalkannya. Sedangkan bila ia masih dapat meninggalkannya
walaupun secara bertahap, maka ia dianggap berdosa bila melakukannya tanpa
udzur.[4]

Dari keterangan tadi, dapat disimpulkan bahwa banci terbagi menjadi dua.
Pertama: Banci alami. Yaitu seseorang yang ucapannya lembut dan tubuhnya
gemulai secara alami, dan ia tidak dikenal sebagai orang yang suka berbuat
keji. Maka orang seperti ini tidak dianggap fasik. Dia bukan orang yang
dimaksud oleh hadits-hadits di atas sebagai objek celaan dan laknat.

Kedua: Banci karena sengaja meniru-niru kaum wanita, dengan melembutkan
suara ketika berbicara, atau menggerakan anggota badan dengan lemah
gemulai. Perbuatan ini adalah kebiasaan tercela dan maksiat yang menjadikan
pelakunya tergolong fasik.[5]

Pembagian ini juga berlaku bagi wanita yang menyerupai laki-laki (waria).
Sebab pada dasarnya kaum wanita juga terkena perintah dan larangan dalam
agama sebagaimana laki-laki, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya.

Jadi, tindakan menyerupai lawan jenis yang disengaja bukanlah hal sepele.
Tindakan itu tergolong dosa besar dan merupakan perbuatan tercela. Nantinya
tidak hanya berpengaruh secara lahiriyah, namun juga merusak kejiwaan.
Seorang banci memiliki fisik seperti laki-laki, namun jiwanya menyerupai
wanita. Demikian pula waria yang fisiknya wanita, namun jiwanya laki-laki.
Mereka sengaja mengubah fisik dan kejiwaan aslinya, sehingga hati mereka
pun turut berubah dan rusak karenanya. Oleh sebab itu, kaum banci dan waria
jarang sekali mendapat hidayah dan bertaubat dari dosa besar tersebut. Ini
merupakan peringatan dari Allâh Ta'âla agar kita mengambil pelajaran
darinya, dan bersyukur kepada-Nya yang telah menjadikan kita memiliki jiwa
dan raga yang sehat wal afiat.

PROFESI BANCI
Mungkin yang terlintas dalam benak kita ketika membayangkan profesi banci,
bencong, waria, ialah seperti penata rias (salon), pengamen, pelawak,
penjaja cinta (PSK) atau desainer busana. Akan tetapi, bila kita merujuk ke
penjelasan para Salaf, ternyata ada juga yang mereka anggap sebagai profesi
banci, dan kini banyak dilakoni oleh lelaki normal, bahkan terkesan sebagai
profesi keren, seperti menjadi penyanyi.

Al-Marwazi rahimahullâh meriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullâh,
bahwasanya beliau mengatakan: “Penghasilan orang banci adalah kotor, sebab
ia mendapatkan uang lewat menyanyi, dan orang banci tidaklah menyanyikan
sya’ir-sya’ir yang mengajak untuk zuhud; namun ia bernyanyi seputar cinta,
asmara, atau meratapi kematian”. Dari sini, jelaslah bahwa Imam Ahmad
rahimahullâh menganggap penghasilan seorang banci sebagai sesuatu yang
makruh.[6]

Bila dicermati, yang dimaksud ‘makruh’ oleh Imam Ahmad ialah karâhah
tahrîm, alias makruh yang berarti haram. Sebab beliau mengaitkannya dengan
hal-hal yang sifatnya haram, seperti bernyanyi seputar cinta, asmara, dan
meratapi orang mati.

Jadi, seorang penyanyi yang nampak gagah di mata banyak orang hari ini,
menurut para Salaf adalah orang banci, dan penghasilan mereka sifatnya
haram, karena diperoleh melalui cara yang haram. Apalagi jika ia sengaja
bertingkah laku seperti wanita (pura-pura banci), maka lebih haram lagi,
sebagaimana yang sering dilakukan para pelawak.

Demikian pula banci yang bekerja di salon dan melayani wanita yang bukan
mahramnya, ini juga makruh hukumnya bila ia seorang banci alami, sebab
profesi ini justru melestarikan sifat bancinya, padahal ia diperintahkan
untuk meninggalkan sifat tersebut. Namun bila ia sekedar pura-pura banci,
maka pekerjaan ini jelas haram hukumnya.

Apalagi yang berprofesi sebagai bencong penjaja cinta dan akrab dengan
tindak-tindak asusila, maka jauh lebih diharamkan lagi, karena mereka
melakukan perbuatan kaum Luth yang sangat tercela dan berat sanksinya dalam
agama. Bahkan saking bejatnya perbuatan ini, pelakunya tidak pantas
dibiarkan hidup.

BEBERAPA KEBIASAAN BANCI
Pertama : Memacari (Mewarnai) Tangan dan Kaki.
Imam Nawawi rahimahullâh mengatakan, “Mewarnai kedua tangan dan kaki dengan
pacar (hena) dianjurkan bagi wanita yang bersuami. Hal ini berdasarkan
sejumlah hadits yang masyhur dalam bab ini. Akan tetapi ia haram bagi kaum
lelaki, kecuali bila digunakan sebagai obat dan semisalnya. Salah satu
dalil yang menunjukkan keharamannya ialah sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits shahîh, bahwa Allâh melaknat kaum lelaki yang
menyerupai perempuan dan kaum perempuan yang menyerupai lelaki. Demikian
pula dalam hadits shahîh dari Anas, bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa
sallam melarang orang laki-laki menggunakan za’faran. (HR. al-Bukhari dan
Muslim). Larangan ini berkenaan dengan warnanya, bukan dengan aromanya;
sebab menggunakan sesuatu yang harum hukumnya sunnah bagi lelaki. Hena
(pacar), dalam hal ini juga sama dengan za’faran (saffron).[7]

Imam asy-Syaukani rahimahullâh mengatakan, “Telah dijelaskan bahwa mewarnai
tangan dan kaki dengan pacar adalah perbuatan kaum wanita. Dan sebagaimana
diketahui, hal ini dilakukan oleh lelaki yang ingin menyerupai wanita”.[8][

Kedua : Menabuh Gendang.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh mengatakan, “Karena menyanyi,
menabuh rebana, dan bertepuk tangan adalah perbuatan wanita; maka para
salaf menamakan kaum lelaki yang melakukannya sebagai ‘banci’ (mukhannats).
Mereka menamakan para penyanyi sebagai kaum banci, dan ini sangat populer
dalam ucapan mereka.”[9]

Ketiga ; Menyanyi.
Syaikhul-Islam rahimahullâh juga mengatakan, “Salah satu perbuatan muhdats
(baru; bid'ah) yang diadakan oleh mereka (kaum sufi) ialah mendengarkan
nyanyian para banci yang terkenal sebagai biduan orang-orang fasik dan
pezina. Atau terkadang mereka mendengarkan nyanyian bocah-bocah kecil
berwajah tampan, atau kaum wanita jelita; sebagaimana kebiasaan pengunjung
tempat-tempat hiburan…”.[10]

Keempat : Berjoget.
Menurut madzhab Hanafi, orang yang menghalalkan berjoget adalah kafir. Yang
dimaksud joget di sini, artinya melakukan gerakan miring kesana kemari yang
disertai membungkukkan dan mengangkat badan dengan cara tertentu,
sebagaimana tarian tarekat sufi.[11]

Adapun menurut ulama Syafi’iyyah, berjoget tidak diharamkan kecuali bila
gerakannya lemah gemulai seperti orang banci. [12]

Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, berjoget hukumnya
makruh.[13]

Ash-Shan’ani rahimahullâh mengatakan: “Berjoget dan bertepuk tangan adalah
kebiasaan orang fasik dan bejat; bukan kebiasaan orang yang mencintai Allâh
dan takut kepada-Nya…”.[14]

Kelima : Memangkas Jenggot Dan Mencukurnya.
Maksudnya, ialah jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam. Ibnu
Abidin mengatakan, “Adapun memangkas jenggot yang panjangnya kurang dari
satu genggam, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang Maghrib dan lelaki
banci, maka tidak ada seorang alim pun yang membolehkannya.”[15]

BEBERAPA ATURAN TERKAIT ORANG BANCI
Menjadi Imam Shalat
Jika yang bersangkutan banci alami, maka ia sah menjadi imam shalat. Dan ia
tetap diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sikap bancinya secara
kontinyu dan bertahap. Bila ternyata belum bisa juga, maka tidak ada celaan
baginya.

Adapun jika ia pura-pura banci, maka ia dianggap fasik. Dan orang fasik
hukumnya makruh menjadi imam, demikian menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah,
Zhahiriyah, dan salah satu riwayat dalam madzhab Maliki.[16]
Adapun menurut ulama Hanabilah dan Malikiyah dalam riwayat lainnya, orang
fasik tidak sah menjadi imam shalat.[17]] Hal ini didasarkan kepada
pendapat Imam az-Zuhri rahimahullâh yang mengatakan, “Menurut kami, tidak
boleh shalat bermakmum di belakang laki-laki banci, kecuali dalam kondisi
darurat yang tidak bisa dihindari lagi,” sebagaimana yang dinukil oleh Imam
al-Bukhâri[18]

Bolehkah Seorang Banci Memandang Wanita ?
Masalah ini tidak lepas dari dua kondisi:
Pertama : Jika orang banci tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita,
maka tidak ada khilaf dalam hal ini bahwa ia diharamkan dan termasuk
perbuatan fasik.[19]

Kedua : Ia seorang banci alami yang tidak memiliki kecenderungan terhadap
wanita, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

1. Ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah memberi rukhsah
(keringanan) baginya untuk berada di tengah kaum wanita dan memandang
mereka. Dalilnya ialah firman Allâh ketika menjelaskan siapa saja yang
boleh melihat wanita, dan siapa saja yang kaum wanita boleh berhias di
hadapannya, yaitu: أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الِإرْبَةِ مِنَ
الرِّجَالِ yang terjemahannya: "atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
bersyahwat (terhadap wanita)..".[20]

2. Ulama Syafi’iyah dan mayoritas Hanafiyah, berpendapat bahwa lelaki banci
meskipun tidak bersyahwat terhadap wanita, tetap tidak boleh memandang
kepada wanita. Dalam hal ini ia tetap dihukumi sebagai lelaki normal.[21]

Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَفِي
الْبَيْتِ مُخَنَّثٌ، فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ أَخِي أُمِّ سَلَمَةَ: يَا
عَبْدَ اللَّهِ، إِنْ فَتَحَ اللَّهُ لَكُمْ غَدًا الطَّائِفَ، فَإِنِّي
أَدُلُّكَ عَلَى بِنْتِ غَيْلَانَ؛ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ
بِثَمَانٍ! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لَا
يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ

Sesungguhnya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersamanya dan saat
itu di rumahnya terdapat seorang banci, maka Si banci tadi berkata kepada
Abdullâh saudara Ummu Salamah, "Hai Abdullâh, jika besok Allâh menaklukkan
kota Thaif bagi kalian; maka akan kutunjukkan kepadamu puteri Ghailan yang
dari depan menampakkan empat lipatan sedangkan dari belakang terlihat
delapan," maka Rasûlullâh bersabda, "Jangan sekali-kali mereka (orang-orang
banci itu) masuk ke tempat kalian (kaum wanita)”.[22]

Hadits ini menunjukkan bahwa banci yang dilarang untuk masuk ke tempat
wanita ialah banci yang memiliki kecenderungan (bersyahwat) terhadap
wanita, sebab ia bisa menceritakan keindahan tubuh wanita yang pernah
dilihatnya kepada lelaki. Sehingga dikhawatirkan ia akan membongkar aurat
wanita muslimah bila dibiarkan keluar masuk ke tempat mereka. Adapun banci
alami yang sama sekali tidak bersyahwat terhadap wanita, tidak akan
melakukan hal tersebut.

Kesimpulannya : Pendapat yang râjih adalah pendapat pertama yang sesuai
dengan zhahir al-Qur’ân.

Kesaksian Orang Banci
Menurut ulama Hanafiyyah, orang banci yang tertolak kesaksiannya ialah yang
sengaja berbicara lemah-lembut dan kemayu (manja) seperti wanita. Adapun
bila ia memiliki nada suara yang lembut dan fisiknya lembek secara alami,
dan tidak dikenal sebagai orang bejat; maka kesaksiannya masih diterima.[23]

Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menganggap bahwa menyerupai wanita
adalah perbuatan haram yang menjadikan kesaksian seseorang tertolak.
Tentunya, yang dimaksud bila sengaja menyerupai wanita, bukan karena
pembawaannya.[24]

Sedangkan menurut ulama Malikiyah, diantara yang tertolak kesaksiannya
ialah seseorang yang tidak mempunyai rasa malu, dan termasuk sikap ini
ialah bertingkah banci.[25]

Kesimpulannya : Madzhab yang empat sepakat bahwa status kesaksian orang
banci perinciannya seperti yang dijelaskan oleh ulama Hanafiyah.

Sanksi Bagi Orang Banci
Lelaki yang sengaja bertingkah seperti wanita (pura-pura banci) tidak lepas
dari dua keadaan:

Pertama : Laki-laki yang sengaja bertingkah sebagai banci tanpa terjerumus
dalam perbuatan keji, ini tergolong maksiat yang tidak ada had maupun
kaffaratnya. Sanksi yang pantas diterimanya bersifat ta’zir (ditentukan
berdasarkan pertimbangan hakim), sesuai dengan keadaan si pelaku dan
kelakuannya. Dalam hadits disebutkan, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam
menjatuhkan sanksi kepada orang banci dengan mengasingkannya atau
mengusirnya dari rumah. Demikian pula yang dilakukan oleh para Sahabat
sepeninggal beliau.

Adapun ta’zir yang diberlakukan meliputi:
1. Ta’zir berupa penjara. Menurut madzhab Hanafi, lelaki yang kerjaannya
menyanyi, banci, dan meratapi kematian pantas dihukum dengan penjara sampai
mereka bertaubat[26]

2. Ta’zir berupa pengasingan. Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, seorang
banci hendaklah diasingkan walaupun perbuatannya tidak tergolong maksiat
(alias ia memang banci asli). Akan tetapi pengasingan tadi dilakukan untuk
mencari kemaslahatan.[27]

Ibnul-Qayyim rahimahullâh mengatakan, “Termasuk siasat syar’i yang
dinyatakan oleh Imam Ahmad, ialah hendaklah seorang banci itu diasingkan;
sebab orang banci hanya menimbulkan kerusakan dan pelecehan atas dirinya.
Penguasa berhak mengasingkannya ke negeri lain yang di sana ia terbebas
dari gangguan orang-orang. Bahkan jika dikhawatirkan keselamatannya, orang
banci tadi boleh dipenjara”.[28]

Kedua : Orang banci yang membiarkan dirinya dicabuli dan disodomi.
Orang banci seperti ini sanksinya diperselisihkan oleh para ulama. Banyak
fuqaha’ yang berpendapat, ia pantas mendapat hukuman seperti pezina.
Sedangkan Imam Abu Hanifah rahimahullâh berpendapat, hukumannya adalah
ta’zir yang bisa sampai ke tingkat eksekusi, (seperti:) dibakar, atau
dijungkalkan dari tempat yang tinggi. Sebab para sahabat juga berbeda
pendapat tentang cara menghukumnya.[[29]

NASIHAT BAGI LELAKI BANCI
Sebagai penutup, kami nasihatkan kepada siapa saja yang tergolong banci,
agar segera bertaubat kepada Allâh Ta'âla. Tekunlah belajar ilmu syar’i
yang dapat mendorong untuk taat kepada Allâh Ta'âla dan menghindari
maksiat. Bertemanlah dengan orang-orang yang baik agar mereka mendorong dan
menolong dalam kebaikan.

Hendaklah disadari, bahwa orang yang paling merugi ialah mereka yang merugi
di dunia dan akhirat. Ia harus banyak berdoa, sebab dengan doa, Allâh
Ta'âla akan mewujudkan harapan dan menerima taubatnya.
Wallâhu Ta’ala a’lam.[30]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5886. Menurut al-Hâfizh Ibnu Hajar,
dalam riwayat versi Abu Dzar al-Harawi –salah seorang perawi kitab Shahîh
al-Bukhâri yang menjadi acuan Ibnu Hajar dalam menyusun Fathul-Bâri-, akhir
hadits ini menyebutkan bahwa Umar mengusir Si Fulanah (wanita). Adapun
dalam riwayat-riwayat lainnya disebutkan Si Fulan (pria).
[2]. HR al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5885, dari jalur ‘Ikrimah pula.
[3]. Lihat Mu’jam Lughatil-Fuqaha’, 1/417.
[4]. Fathul-Bâri, 10/332.
[5]. Pembagian ini juga difahami dari penjelasan sejumlah ulama dalam
kitab-kitab mereka, seperti Ibnu Abdil-Barr dalam at-Tamhîd, 22/273; Ibnu
Qudamah dalam al-Mughni, 7/462; dan asy-Syirbini dalam Mughnil-Muhtâj,
4/430.
[6]. Talbis Iblis, 1/281; Majalah al-Fiqh al-Islamy, 4/1923.
[7]. Lihat al-Majmu’, 1/294.
[8]. Lihat as-Sailul-Jarrar, 4/126.
[9]. Majmu’ Fatawa, 11/565-566. Lihat pula I’anatut Thalibin, 6/121;
Mughnil-Muhtaaj, 4/430; al-Mughni, 12/40.
[10]. Al-Istiqamah, 1/306; Majmu’ Fatawa, 11/565-566.
[11]. Lihat Hâsyiyah Ibnu Abidin, 4/259.
[12]. Lihat al-Minhâj, 1/497, oleh an-Nawawi.
[13]. Lihat Hâsyiyah ash-Shawi, 5/217; al-Inshaf, 6/89.
[14]. Subulus-Salâm, 5/1.
[15]. Hâsyiyah Ibnu Abidin, 2/418.
[16]. Lihat al-Mabsuth, 1/111; al-Umm, 1/166; al-Majmu’, 4/287; asy- Syarh
al-Kabîr, 1/326 dan al-Muhalla, 4/212.
[17]. Lihat al-Inshaf, 2/252; Syarah Muntahal Iradat, 1/272; at-Tâj
wal-Iklîl, 2/93.
[18]. Shahîh al-Bukhâri, 1/141, secara mu’allaq.
[19]. Lihat Fathul-Qadîr, 2/222; at-Tamhîd, 22/273; Mughnil-Muhtâj, 3/128
dan al-Mughni, 7/462.
[20]. Penggalan dari ayat 31 Surat an-Nûr. Lihat at-Tamhîd, 22/273 dan
al-Mughni, 7/462.
[21]. Lihat Mughnil-Muhtâj, 3/128 dan al-Mabsuth, 12/382.
[22]. HR al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5887. Yang dimaksud lipatan di
sini adalah lipatan perut yang berjumlah empat bila dilihat dari depan,
sedangkan dari belakang ujung-ujungnya di kedua sisi berjumlah delapan.
[23]. Fathul-Qadîr, 17/130.
[24]. Al-Muhadzdzab, 2/325 dan al-Mughni, 12/40.
[25]. Hâsyiyah ad-Dasuqi, 4/166.
[26]. Al-Mabsuth, 27/205.
[27]. Mughnil Muhtâj, 4/192; al-Fatawa al-Kubra, 5/529.
[28]. Bada’i al Fawa-id, 3/694.
[29]. Lihat al-Mabsuth, 11/78; al-Fawakih ad-Dawani, 2/209;
Raudhatut-Thalibin, 10/90, dan , 10/155.
[30]. Sebagian besar pembahasan dalam tulisan ini diangkat dari artikel
berjudul ( الأحكام الشرعية في المخنث ) oleh Ra'fat al- Hamid al- 'Adani,
dari situs: www.ahlalhdeeth.com

Kirim email ke