MUSLIM KAYA TIDAK TERCELA

Oleh
Ustadz Zainal Abidin Bin Syamsuddin
http://almanhaj.or.id/content/3608/slash/0/muslim-kaya-tidak-tercela/

HIDUP KAYA TIDAK TERCELA
Masya Allâh, “Sudah kaya, taat beragama, rajin beribadah, berinfakpun tidak
pernah putus.” Demikianlah kira-kira pujian terhadap orang yang memiliki
banyak harta, berahklaq baik dan taat menjalankan perintah agama.

Bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi harta kekayaan yang
dimilikinya, haruskah dia kaya, atau biasa-biasa saja, ataukah terima apa
adanya ?

Harta kekayaan merupakan nikmat Allâh yang harus disyukuri. Kaya di dunia
bukan satu hal yang tercela. Namun yang menimbulkan cela adalah prilaku
orang berduit yang rakus dan tamak terhadap harta. Dalam rangka menumpuk
harta, mereka tak segan-segan menggunakan cara yang tidak halal. Setelah
berhasil meraihnya, mereka tidak menunaikan haknya, bakhil, membelanjakan
harta bukan pada tempatnya atau bahkan sombong karenanya, sehingga Allâh
Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا ﴿١٩﴾ إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا
﴿٢٠﴾ وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia
ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia
amat kikir. [al-Ma’ârij/70:19-21]

Agar sukses dan bahagia di dunia dan akherat, Allâh Azza wa Jalla
mengarahkan para hamba-Nya agar berdo’a sebagaimana firman-Nya :

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ

Wahai Rabb kami ! Karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di
akhirat dan jagalah kami dari siksa api Neraka. [Al-Baqarah/2:201]

Imam Khâzin rahimahullah menegaskan dalam tafsirnya bahwa Allâh Azza wa
Jalla membagi umat manusia yang berdo’a menjadi dua; (pertama) kelompok
yang hanya berdo’a untuk kepentingan dunia. Mereka ini adalah orang-orang
kafir, karena mereka tidak menyakini hari kebangkitan dan akhirat.
Sementara kelompok lain (kedua) yaitu orang-orang mukmin yang menggabungkan
dalam do’a mereka antara kepentingan dunia dan akherat. Dengan alasan bahwa
manusia diciptakan dalam keadaan lemah yang selalu kekurangan, tidak
sanggup hidup sengsara dan terlunta-lunta.[1]

Para pendahulu kita, assalafus shalih dari kalangan shahabat maupun tabi’in
telah memberi teladan bagaimana meraih sukses di dunia dan akhirat. Zubair
bin Awwam Radhiyallahu anhu misalnya, beliau Radhiyallahu anhu memiliki
isteri empat. Meski sepertiga hartanya telah diwasiatkan, tapi
masing-masing isterinya masih mendapatkan bagian satu juta dua ratus dinar.
Jumlah harta kekayaan beliau Radhiyallahu anhu seluruhnya adalah lima puluh
juta dua ratus ribu (dinar). [2]

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkomentar, “Ini menjadi bantahan terhadap
orang-orang zuhud yang tidak berilmu yang tidak suka mengumpulkan harta
kekayaan.” [3]

Oleh karena itu, Islam tidak membiarkan seorang Muslim kebingungan dalam
berusaha mencari nafkah, bahkan telah memberikan solusi tuntas dan
mengajarkan etika mulia agar mereka mencapai kesuksesan ketika mengais
rizki, sehingga pintu kemakmuran dan keberkahan akan terbuka.

ISTIQOMAH DENGAN HARTA
Kekayaan kadang membuat manusia lupa kepada Allâh Azza wa Jalla yang telah
memberi mereka harta. Ini menyebabkan kufur nikmat. Jika kekayaan membuat
seseorang tetap istiqamah dan taat beragama, maka harta itu akan
mendatangkan manfaat yang sangat banyak. Misalnya, dengan hidup
berkecukupan, maka menuntut ilmu menjadi mudah, beribadah menjadi lancar,
bersosialisasi menjadi gampang, bergaul semakin indah, berdakwah semakin
sukses, berumah tangga semakin stabil dan beramal shalih semakin tangguh.
Oleh karena itu, harta di tangan seorang Mukmin tidak akan berubah menjadi
monster perusak kehidupan dan tatanan sosial serta penghancur kebahagian
keluarga dan pilar-pilar rumah tangga. Sebaliknya, harta ditangan seorang
Muslim bisa berfungsi sebagai sarana penyeimbang dalam beribadah dan
perekat hubungan dengan makhluk.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَ الْـمَالُ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ

Harta terbaik adalah yang dimiliki laki-laki yang salih.[4]

Bahkan harta tersebut akan menjadi sebuah energi yang memancarkan masa
depan cerah, dan sebuah kekuatan yang mengandung berbagai macam keutamaan
dan kemuliaan dunia dan akherat. Harta juga bisa menjadi penggerak roda
dakwah dan jihad di jalan Allâh.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا﴿٨﴾
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا
شُكُورًا

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak
yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu
hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allâh, kami tidak menghendaki balasan
dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. [al-Insân/76:8-9].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi pujian kepada seorang
Muslim yang dermawan dan membelanjakan hartanya dalam kebaikan. Dalam
sebuah hadits dari Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :

أَفْضَلُ دِيْنَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَليَ عِيَالِهِ

Dinar terbaik yang dibelanjakan oleh seseorang lelaki adalah dinar
seseorang yang dibelanjakan untuk nafkah keluarganya.[5]

Dengan harta yang halal dan bersih, para generasi salaf berlomba dan
berpacu untuk mengejar pahala dan meraih surga, seperti yang terjadi pada
kehidupan Umar Radhiyallahu anhu yang bersaing secara sehat dalam berinfak
di jalan Allâh dengan Abu Bakar Radhiyallahu anhu . Umar bin Khaththab
Radhiyallahu anhu bercerita, "Suatu hari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami agar bersedekah dan ketika itu saya sedang
memiliki banyak harta. Saya mengatakan, 'Hari ini aku akan mampu
mengungguli Abu Bakar Radhiyallahu anhu .' Lalu aku membawa setengah dari
hartaku untuk disedekahkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, 'Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu ?' Saya menjawab, 'Aku
tinggalkan sejumlah itu untuk keluargaku.' Lalu Abu Bakar datang membawa
semua kekayaannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
'Wahai Abu Bakar ! Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu ? Ia menjawab,
'Saya tinggalkan Allâh dan Rasul-Nya untuk mereka.' Lalu aku berkata, 'Saya
tidak akan bisa mengunggulimu selamanya.'[6]

KENAPA RELA HIDUP TERHINA
Islam sangat mencela pemalas dan membatasi ruang gerak peminta-minta serta
mengunci rapat semua bentuk ketergantungan hidup pada orang lain. Al-Qur'ân
juga memuji orang yang bersabar dan menahan diri dengan tidak meminta
uluran tangan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena tindakan
tersebut akan menimbulkan berbagai macam keburukan dan kemunduran dalam
kehidupan.

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ
ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ
تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan
Allâh; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu
kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada
orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di
jalan Allâh), maka sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui. [al-Baqarah/2: 273].

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, "Tidaklah ada seseorang yang malas
bekerja melainkan ia berada dalam dua keburukan. Pertama, menelantarkan
keluarga dan meninggalkan kewajiban dengan berkedok tawakkal sehingga
hidupnya menjadi batu sandungan orang lain dan keluarganya berada dalam
kesusahan. Kedua, demikian itu suatu kehinaan yang tidak menimpa kecuali
orang yang hina dan gelandangan. Sebab orang yang bermartabat tidak akan
rela kehilangan harga diri hanya karena kemalasan dengan dalih tawakkal
yang sarat dengan hiasan kebodohan. Karena bisa jadi orang tidak memiliki
harta tetapi masih tetap punya peluang dan kesempatan untuk berusaha.[7]

Bahkan Rasâlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jaminan surga bagi
orang yang mampu memelihara diri dengan tidak meminta-minta, sebagaimana
sabda beliau n dalam hadits dari Tsaubân :

مَنْ يَكْفُلُ لِي أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلُ لَهُ
بِالْجَنَّةِ

Barangsiapa yang bisa menjaminku untuk tidak meminta-minta suatu kebutuhan
apapun kepada seseorang maka aku akan menjamin dengan surga. [8]

Seorang Muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan,
bersemangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan, dan
rajin bekerja demi memelihara masa depan anak agar mampu hidup mandiri dan
tidak menjadi beban orang lain. Sebab pemalas yang menjadi beban orang dan
pengemis yang menjual harga diri merupakan manusia paling tercela dan
sangat dibenci Islam seperti yang telah ditegaskan dalam sebuah hadits dari
Abdullah Ibnu Umar c bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :

لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِي
وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian
kecuali ia bertemu dengan Allâh sementara di wajahnya tidak ada secuil
dagingpun. [9]

SEORANG MUSLIM HARUS WIBAWA
Kondisi ekonomi yang fluktuatif, krisis global yang melanda sebagian besar
industri dan usaha yang kembang kempis tidak boleh membuat seorang Muslim
frustasi dalam berikhtiar. Kondisi ini seyogyanya dijadikan momentum untuk
mengoreksi diri dan mencari penyebab krisis. Jangan bersikap seperti
orang-orang kafir, berputus asa dengan melampiaskannya ke diskotik,
menenggak khamer atau bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan
bunuh diri. Seorang Muslim dalam menghadapi krisis, hendaknya menyadari
bahwa kehidupan adalah sebuah realita yang harus dihadapi dengan bekal
kesungguhan, ilmu, tawakkal dan menjauhi sifat pengecut serta pandai
mengolah kelemahan menjadi sebuah kekuatan.

Situasi krisis dan kondisi serba kurang serta hidup miskin harus menjadi
cambuk bagi seorang Muslim untuk bangkit mencari peluang bisnis dan membuka
kran rizki yang mampet. Karena setiap Muslim dituntut menjadi teladan,
termasuk dalam semangat mengais rizki dan membuka lapangan kerja yang
halal. Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu ketika hijrah ke Madinah
dengan segala keterbatasan dan kehidupan yang serba susah, karena
konsekwensi hijrah, beliau harus meninggalkan seluruh hartanya di Makkah.
Pada kondisi seperti itu beliau Radhiyallahu anhu mendapat tawaran bantuan
namun beliau Radhiyallahu anhu menampiknya dan mengatakan “Tunjukkan
kepadaku di mana pasar Madinah !”[10] Dalam waktu yang tidak begitu lama
beliau Radhiyallahu anhu sudah mampu hidup mandiri dan menikah dari hasil
usahanya.

Adapun tentang hadits bahwa Abdurrahman masuk surga sambil merangkak adalah
hadits palsu seperti yang telah ditegaskan Imam Ibnul Jauzi rahimahullah
dalam Talbîs Iblîs[11] dan sanadnya sangat lemah sebagaimana yang telah
ditegaskan Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâmin Nubalâ’.[12]

Kesibukan para utusan Allâh dan para ulama salaf dalam mencari ilmu dan
berda'wah tidak melalaikan mereka mengais rizki yang halal untuk menafkahi
keluarganya. Maka, seorang Muslim harus bisa meneladani mereka, kesibukanya
dalam berusaha jangan membuatnya lalai menuntut ilmu atau alasan menuntut
ilmu membuatnya malas untuk mencari nafkah.

Apapun bentuk usaha seorang Muslim asalkan halal dan diperoleh dengan cara
yang benar harus ditekuni dan dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh
suka cita. Hilangkan perasaan rendah diri, malu atau gengsi dengan profesi
yang dijalaninya karena mungkin dianggap oleh kebanyakan orang sebagai
bentuk profesi hina dan tidak bermartabat. Karena mulia atau tidaknya
sebuah usaha atau profesi tidak bergantung pada bergengsi atau tidaknya di
pandangan manusia, seperti bekerja di perusahan asing ternama atau jabatan
tinggi atau bekerja di tempat yang basah duitnya. Namun kemuliaan sebuah
usaha sangat ditentukan oleh kehalalan usaha dihadapan Allâh serta terpuji
dalam pandangan syari'at.

Para nabi dan rasul telah memberikan contoh kepada kita dalam berusaha dan
berkarya untuk menopang kelangsungan dakwah dan tersebarnya risalah. Nabi
Zakaria Alaihissallam menjadi tukang kayu, nabi Idris Alaihissallamn
menjahit pakaian dan nabi Daud membuat baju perang. Sehingga bisa
dikatakan, bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunnah para utusan
Allâh. Berusaha untuk mencari nafkah, baik dengan berniaga, bertani atau
berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan
sikap tawakkal.[13]

Begitu pula para ulama salaf. Mereka tergolong orang-orang yang rajin
bekerja dan ulet dalam berusaha, tapi mereka juga gigih dan tangguh dalam
menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Tidak mengapa seorang bekerja di
bidang dakwah dan urusan kaum Muslimlin lalu mendapat imbalan dari
pekerjaan tersebut karena Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu ketika
menjadi khalifah mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dari baitul mal.[14]

Perlu diketahui bahwa kualitas seseorang sangat tergantung pada
keberhasilannya, kemampuannya untuk memberi manfaat orang lain dan
martabatnya di hadapan Allâh dan hamba-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :

وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ ﴿٢٤﴾ لِلسَّائِلِ
وَالْمَحْرُومِ

Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta). [al-Ma’ârij/70:24-25]

PAHALA MENCARI NAFKAH
Seorang muslim harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan
usahanya, bersemangat memerangi kemalasan, mengenali medan usaha, tidak
berputus asa dalam menghadapi kendala dan hambatan, sehingga menjadi hamba
yang mandiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ
عَمَلِ يَدِهِ

Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik dari makanan yang
merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi Allâh, Daud, makan dari
hasil usaha tangannya sendiri[15]

Abu Qasim al-Khatly bertanya kepada imam Ahmad rahimahullah, "Apa komentar
Anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid lalu
berkata aku tidak perlu bekerja karena rizkiku tidak akan lari dan pasti
datang." Imam Ahmad rahimahullah menjawab, "Orang itu tidak tahu ilmu.
Apakah ia tidak mendengarkan sabda Rasûlullâh, "Allâh menjadikan rizkiku di
bawah kilatan pedang (jihad)." [16]

Allâh Azza wa Jalla tidak melarang para hamba-Nya menjadi orang kaya dan
hidup berkecukupan, bahkan Allâh mencintai orang kaya, asalkan tidak
sombong, mencari harta sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Jadi, tidak
ada alasan untuk mencela usaha yang halal. Yang tercela adalah usaha yang
haram atau usaha yang menyebabkan lalai dari ibadah kepada Allâh, bersikap
sombong dan kikir.

Sahl bin Abdullah At Tustary berkata: Barangsiapa yang merusak tawakkal
berarti telah merusak pilar keimanan dan siapa yang merusak pekerjaan
berarti telah membuat kerusakan dalam sunnah.[17]

Wahai saudaraku, tulisan ini sengaja saya sampaikan untuk menepis anggapan
sebagian orang yang tidak berilmu bahwa menjadi orang kaya, hidup
berkecukupan dan gigih mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup
mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang
menodai sikap zuhud. Padahal tidaklah demikian bahkan Abu Darda'
Radhiyallahu anhu berkata, "Termasuk indikasi pahamnya seseorang terhadap
agamanya adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya."
[18]. Wallahu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat tafsir Lubâbut Ta'wîl, Imam al-Khâzin, 1/ 134.
[2]. HR Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3129) dan Abu Nu'aim dalam Hilyah,
hlm. 286
[3]. Fathul Bâri, Ibnu Hajar, 6/ 262.
[4]. HR. Ahmad dalam Musnad dengan sanad hasan, juz 4, hadits no. 197 dan
202.
[5]. HR. Muslim (2/574)(994).
[6]. HR. Tirmidzi3675, al-Hâkim dalam al-Mustadrak1/414. Beliau t
mengatakan shahih
[7]. Talbîsul Iblîs, Ibnul Jauzi, hlm. 303.
[8]. HR. Abu Daud. Imam Nawawi berkata bahwa sanadnya yang sahih.
[9]. HR Bukhâri, Muslim dan Nasâ'i dalam sunannya.
[10]. Siyar A’lâmin Nubalâ’, adz-Dzahabi, 3/ 48.
[11]. Talbîsul Iblîs dalam Talbîs terhadap kaun zuhud.
[12]. Siyar A’lâmin Nubalâ’, adz-Dzahabi, 3/ 49
[13]. Fathul Bâri, 4/1358 dan al-Minhâj, Syarh Sahih Muslim, 15/133.
[14]. Fathul Bâri, 4/357.
[15]. HR. Bukhâri dalam Shahihnya (2072) dan al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah, 8/6
[16]. Talbîsul Iblîs, Ibnul Jauzi, hlm. 302.
[17]. Talbîsul Iblîs, Ibnul Jauzi, hlm. 299.
[18]. Diriwayatkan Ibnu Abu Dunya dalam Ishlâhul Mâl, hlm. 223, Ibnu Abu
Syaibah (34606) dan al-Baihaqi dalam as-Syu'ab (2/365)

Kirim email ke