RAHMAT ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA BAGI UMAT MUHAMMAD SHALLALLAHU A’ALAIHI
WA SALAM

Oleh
Ustadz Rizal Yuliar Abu 'Aisyah

http://almanhaj.or.id/content/3619/slash/0/rahmat-allh-subhanahu-wa-taala-bagi-umat-muhammad-shallallahu-alaihi-wa-sallam/

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ
وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ
أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ
عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا
طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ
مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kemaksiatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa):“Wahai Rabb kami,
janganlah Engkau hukum kami apabila kami lupa atau kami tersalah. Wahai
Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami dengan beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Rabb
kami, janganlah Engkau embankan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Berilah maaf bagi kami, ampuni dan rahmatilah kami. Engkaulah
Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir [al-Baqarah/2:
286]

PENDAHULUAN
Agama Islam ini mudah, semua tuntunan ajarannya indah. Tak pernah Allâh
Azza wa Jalla membiarkan umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada
dalam kesulitan dan kebingungan yang berkepanjangan. Manakala seorang
Mukmin menghadapi sebuah permasalahan, Islam selalu memberikan kemudahan
jalan. Bukan seperti perkataan sebagian orang yang belum mengenal Islam
lebih mendalam, “Islam begitu sulit dijalankan, berat, menetapkan hukum
yang menyisakan kebuntuan tanpa solusi penyelesaian”,

Syariat Islam begitu sempurna dan tak sedikit pun membenarkan kezhaliman.
Islam menetapkan formula tepat dan kehebatan ajaran yang mencakup setiap
sendi kehidupan umat manusia. Kasih sayang Allâh Azza wa Jalla yang begitu
luas terbukti menghadirkan kesejukan kalbu dan meringankan setiap hamba-Nya
yang beriman dari berbagai beban berat. Hal ini dapat kita saksikan dengan
seksama dalam banyak ayat-ayat suci al-Qur`ân dan sabda-sabda mulia Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan di antara ayat yang
menunjukkan sifat kebijaksanaan, kasih sayang dan keagungan serta kemurahan
Allâh Azza wa Jalla bagi para hamba-Nya ialah akhir ayat surat al-Baqarah
di atas.

KEUTAMAAN AYAT INI DAN BEBERAPA AYAT SEBELUMNYA, DI ANTARANYA :
1. Ayat tersebut merupakan bagian dari kekayaan di bawah `arsy Allâh Azza
wa Jalla

2. Belum pernah seorang Nabi pun sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam diberikan yang semisal dengan ayat-ayat tersebut.

3. Barangsiapa membaca dua ayat terakhir surat al-Baqarah (285-286) pada
malam hari, maka dua ayat tersebut akan memberikan kecukupan sebagai
perlindungan baginya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : Aku
telah diberi ayat-ayat terakhir surat al-Baqarah dari suatu rumah kekayaan
di bawah `Arsy yang tidak pernah diberikan kepada nabi manapun sebelumku
.[1]

Beliau juga bersabda (yang artinya) : Barangsiapa membaca keduanya, maka
itu cukup baginya (menjadi pelindung) .[2]

SEBAB TURUN AYAT
Abu Hurairah Radhiyallahu anhumenuturkan, “Pada saat ayat (284) dari surat
al-Baqarah diturunkan, ayat tersebut dirasa berat oleh para Sahabat,
sehingga mereka mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
memberitahukan bahwa mereka tidak sanggup memikulnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kalian hendak mengatakan
sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul kitab sebelum kalian dengan ucapan
“Kami mendengar dan kami langgar”?!. Ucapkanlah oleh kalian, “Kami
mendengar dan kami menaati”. Para Sahabat pun mengikrarkan dengan ucapan
mereka, “Kami mendengar dan kami menaati”. Setelah mereka mengucapkannya,
lisan mereka menjadi ringan untuk mengutarakannya, dan selanjutnya Allâh
Azza wa Jalla menurunkan ayat (285). Selanjutnya manakala mereka telah
melaksanakannya, Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat (286). “Wahai Rabb
kami, janganlah Engkau hukum kami apabila kami lupa atau kami tersalah”,
Allâh Azza wa Jalla menjawab, “Ya”. “ Wahai Rabb kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan
kepada orang-orang sebelum kami”. Allâh Azza wa Jalla menjawab “Ya”. “Wahai
Rabb kami, janganlah Engkau embankan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya”. Allâh Azza wa Jalla menjawab, “Ya”. “Berilah maaf bagi kami,
ampuni dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir”. Allâh Azza wa Jalla menjawab, “Ya”[3] .

KANDUNGAN MAKNA AYAT
Tentang kandungan makna ayat ini, Sahabat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma
bertutur, [4] “Maksudnya Allâh Azza wa Jalla tidak akan membebani kaum
Mukminin (di luar kemampuan mereka)... sebagaimana dalam ayat-ayat lainnya
yang serupa dengan kandungan makna ayat di atas [5] . Ini merupakan
petunjuk kemurahan, kasih sayang dan ihsan (kebaikan) Allâh Azza wa Jalla
terhadap para makhluk-Nya.

Ayat ini menghapus apa yang sempat dirasa membebani oleh para Sahabat Nabi
dalam ayat sebelumnya. Meskipun Allâh Azza wa Jalla meminta
pertanggungjawaban dan memperhitungkan seluruh amalan, akan tetapi Allâh
Azza wa Jalla tidak menyiksa hamba-Nya melainkan dengan apa yang dapat ia
hindari. Adapun yang tidak kuasa dihindari oleh diri seorang hamba berupa
bisikan-bisikan jiwa dan rayuan nafsu, maka seseorang tidak dibebani
dengannya (tidak dimintai pertanggungjawaban tentang itu). Dan kebencian
terhadap bisikan nafsu yang buruk itu sudah merupakan bagian dari keimanan
[6] .

Allâh Azza wa Jalla al-Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) sangat mengetahui
batas kemampuan manusia (kita semua) untuk menjalankan perintah maupun
menjauh dari larangan. Allâh berfirman:

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Apakah Allâh yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan
rahasiakan), dan Dia Maha lembut lagi Maha Mengetahui? [al-Mulk/14:13]

Namun ketahuilah, sesungguhnya sebagian orang telah gegabah bahkan salah
kaprah dalam memahami ayat ini. Mereka menjadikannya sebagai hujjah (dalil)
atau celah kesempatan untuk sembarangan dalam menjalankan hukum atau norma
agama Islam. Ada saja di antara mereka yang memahami bahwa apabila
seseorang tidak mampu shalat karena sakit, maka dirinya boleh meninggalkan
shalat. Atau mengatakan bila belum bisa (mau) mengenakan busana muslimah,
maka tidak mengapa bila kaum Muslimah pamer aurat, karena Allâh Azza wa
Jalla tidak membebani satu orang di luar kemampuannya (!?) dan ungkapan
lainnya. Pemahaman yang keliru ini merasuki sebagian orang yang berilmu
dangkal ilmu, pemahaman yang justru akan menjerumuskan diri mereka sendiri
ke dalam lubang kenistaan dan lumpur kebinasaan. Na`ûdzubillâh

BEBERAPA PELAJARAN PENTING DAN BERHARGA YANG DAPAT DIPETIK DARI AYAT DI
ATAS[7]
1. Kasih sayang Allâh Azza wa Jalla terhadap para hamba-Nya. Sesungguhnya
bilamana Allâh Azza wa Jalla hendak membebani mereka dengan yang mereka
tidak mampu sekalipun, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan melakukannya, namun
Allâh Azza wa Jalla tidak membebani mereka melainkan sesuai dengan
kemampuan mereka. Mungkin seseorang akan berkata, “Memang haruslah
demikian! Sebab bagaimana mungkin Allâh Azza wa Jalla akan membebani mereka
dengan sesuatu di luar kesanggupan mereka padahal mereka pasti tidak
menyanggupinya?! Apalah untungnya bila Allâh Azza wa Jalla memerintahkan
mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggupi mengerjakannya?!” Ungkapan
demikian ini harus diluruskan; bahwa di antara pelajaran yang dapat dipetik
bila Allâh Azza wa Jalla tetap membebani mereka dengan urusan yang tidak
kuasa mereka kerjakan adalah jika mereka tidak menjalankannya, maka Allâh
Azza wa Jalla akan menghukum mereka. Hal ini merupakan kaidah agung di
antara sejumlah prinsip dasar syariat Islam, dan yang semisal dengan kaidah
ini banyak di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah.

2. Dalam ayat ini terdapat penetapan sebuah kaidah luhur yang masyhur di
kalangan Ulama, yaitu “tidak terdapat kewajiban dalam kondisi tidak mampu,
dan tidak berlaku hukum haram pada saat darurat”. Akan tetapi, bilamana
kewajiban yang tidak mampu diwujudkan itu memiliki pengganti (yang juga
disyariatkan), maka menjadi wajib menjalankan pengganti tersebut. Dan
bilamana tidak terdapat pengganti, maka hukum wajib itu gugur. Demikian
halnya bila pengganti itu juga tidak dapat dilaksanakan, maka itu pun
menjadi gugur. Contoh, apabila seseorang tidak sanggup bersuci dengan air,
maka gugurlah kewajiban bersuci dengan air. Namun, kewajiban tersebut
berpindah kepada tayamum. Dan apabila dia pun tidak mampu untuk bertayamum
pula, maka gugurlah hukum tayammum tersebut. Seperti bilamana seseorang
dalam kondisi terkurung dan terbelenggu ikatan; dirinya tidak mampu
berwudhu tidak pula bertayamum, maka dia (diperbolehkan untuk) shalat tanpa
berwudhu maupun bertayamum. Contoh yang lain, seseorang yang keliru
membunuh jiwa, maka sang pembunuh berkewajiban untuk memerdekakan seorang
budak. Bila dia tidak menemukannya, maka dia wajib melaksanakan puasa dua
bulan berturut-turut. Bila dia tidak mampu, maka gugurlah kewajiban
membayar kafarat.

Adapun contoh dari kaidah “tidak berlaku hukum haram pada saat darurat”
adalah seperti seseorang yang terdesak secara darurat untuk makan bangkai
pada saat dia tidak mendapatkan sesuatu pun untuk menghilangkan rasa
laparnya selain bangkai tersebut, maka boleh bagi dirinya untuk makan
bangkai itu. Namun, apakah boleh baginya untuk makan sehingga kenyang? Atau
dia makan hanya sekedar untuk mempertahankan hayatnya? Jawabnya, apabila
dia menduga akan mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu dekat, maka
wajib atas dirinya untuk makan (bangkai tersebut) sekedar untuk
mempertahankan hayatnya saja. Namun, apabila dia tidak menduga akan
mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu dekat, maka diperbolehkan
baginya untuk makan bangkai tadi sehingga kenyang. Bahkan dibenarkan
baginya untuk menjadikan bangkai tersebut sebagai persediaan bila
dikhawatirkan dirinya tidak mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu
dekat. Jadi pengertian darurat (di sini) ialah pada saat dia tidak mungkin
meninggalkan yang haram tersebut, dan kondisi daruratnya dapat teratasi
dengan hal tersebut. Bila ternyata tidak, maka tidak dibenarkan. Seperti
bilamana seseorang menyangka bahwa dia berada dalam kondisi darurat untuk
berobat dengan yang haram sehingga dia hendak memakannya, maka yang
demikian ini tetap tidak diperbolehkan dengan beberapa alasan:

a). Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengharamkan yang demikian, dan
tidaklah mungkin sesuatu yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla menjadi
obat bagi para hamba-Nya atau bermanfaat bagi mereka.

b). Sesungguhnya belum masuk kondisi darurat baginya untuk mengonsumsi obat
haram ini, sebab boleh jadi kesembuhan (dari Allâh Azza wa Jalla ) terdapat
pada sesuatu yang lain, atau bahkan dia dapat sembuh tanpa obat sekalipun.

c). Kita tidak dapat mengetahui (keberhasilan) kesembuhan pada obat
tersebut. Berapa banyak kita ketahui obat halal yang dikonsumsi oleh
seorang yang sakit, namun tidak bermanfaat sama sekali. Karenanya,
Rasûlullâhn Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang jintan hitam,
“Sesungguhnya ia (jintan hitam) merupakan penyembuh dari semua sakit
kecuali kematian”[8] . Berarti, sekalipun jintan hitam adalah obat
penyembuh, namun tidak dapat menghalangi kematian.

3. Sesungguhnya seseorang tidaklah memikul dosa orang lain. Allâh Azza wa
Jalla berfirman dalam ayat utama di atas ”dan ia mendapat siksa (dari
kemaksiatan) yang dikerjakannya”.

Apabila seseorang bertanya, “Lantas bagaimana halnya dengan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mempelopori suatu
kejelekan dalam Islam, maka dia akan mendapatkan dosanya beserta dosa
setiap orang yang mengikuti jejaknya tanpa dikurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun”?! . Maka jawabnya ialah bahwa hal ini tidak berkaitan, sebab
perbuatan itu telah dilakukannya terlebih dahulu, barulah kemudian diikuti
oleh orang lain, sehingga perbuatan mereka merupakan dampak dari
perbuatannya, dialah penyebabnya dan dialah yang memberikan contoh
perbuatan tersebut, maka dia memperoleh akibat perbuatan buruknya.

4. Kemudahan dalam agama Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Allâh tidak
membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya”. Dapat terpahami
dari hal ini bahwa manusia berbeda-beda dalam kewajiban yang mereka
jalankan. Seorang yang mampu melaksanakan shalat dengan berdiri, maka wajib
atas dirinya untuk berdiri. Adapun yang tidak mampu berdiri, maka
melaksanakannya dengan duduk. Dan yang tidak mempu duduk, maka
melaksanakannya dengan berbaring.... Demikian halnya seorang yang mampu
melaksanakan ibadah haji dengan harta dan dirinya sendiri, maka dia wajib
melaksanakannya sendiri. Adapun yang tidak mampu demikian karena kondisi
fisiknya lemah secara permanen, akan tetapi dia masih mampu berhaji dengan
hartanya, maka wajib atasnya untuk mewakilkan kepada orang lain berhaji
untuknya. Sedangkan orang yang tidak sanggup pergi haji baik dengan harta
maupun fisiknya, maka tidak wajib atasnya untuk melaksanakan haji. Karena
setiap orang memiliki kemampuan yang terbatas, dalam segala hal; dalam hal
ilmu, pemahaman, kekuatan hafalan, semua sesuai dengan kemampuannya.

5. Melalui ayat ini, dipahami pula sesungguhnya perbuatan manusia dilakukan
berdasarkan keinginannya: “Allâh tidak membebani suatu jiwa melainkan
sesuai dengan kemampuannya”. Ayat ini sekaligus menjadi koreksi total dan
bantahan terhadap kaum Jabriyah yang beranggapan bahwa sesungguhnya seorang
manusia tidak memiliki kehendak (keinginan sendiri) dalam apapun yang
dilakukannya. Adapun rician prinsip mereka dan bantahan terhadapnya dapat
ditelaah di dalam kitab-kitab aqidah.

6. Setiap hamba akan mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang telah
diupayakannya, tanpa dikurangi sedikit pun, berdasarkan firman Allâh Azza
wa Jalla , “Dan barangsiapa beramal shalih dan dia adalah seorang Mukmin,
maka dia tidak (perlu) takut akan dizhalimi atau dikurangi haknya”
(Thâhâ/20:112). Setiap amal shalih adalah keberuntungan dan setiap amal
keburukan adalah kerugian.

7. Sekali lagi, Allâh Azza wa Jalla mencurahkan cinta kasih-Nya melalui
bimbingan doa kepada para hamba-Nya رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا
أَوْ أَخْطَأْنَا “Duhai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami apabila kami
lupa atau kami tersalah”. Pada saat kaum Mukminin memanjatkan doa tersebut,
Allâh Azza wa Jalla mengabulkannya seraya berfirman, “Ya, Aku telah
melakukannya”. Lebih lanjut, Rasûlullâh k menegaskan dalam sebuah hadits,
“Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menggugurkan beban (perhitungan
hisab) dari umatku dalam hal kekeliruan, lupa serta desakan paksaan”.[10]
Sesungguhnya lupa dan khilaf adalah kewajaran manusiawi setiap manusia.
Hikmah di balik lupa dan khilaf yang Allâh Azza wa Jalla ciptakan pada
manusia adalah agar manusia menyadari kelemahan dan kekurangan yang ada
pada dirinya, dan agar semakin tampak nyata karunia Allâh Azza wa Jalla
padanya sehingga dia akan selalu merasa membutuhkan kepada Allâh Azza wa
Jalla . Pada akhirnya, dia pun memohon perlindungan dan keselamatan dari
Allâh Azza wa Jalla dalam hal-hal di luar batas kemampuannya, kemudian dia
memohon ampun dari segala dosa dan kekurangan.

8. Selayaknya setiap hamba untuk bertawassul dalam berdoa dengan
sifat-sifat Allâh Swt yang sesuai, semisal dengan rububiyyah Allâh Azza wa
Jalla . Mayoritas doa al-Qur`an menyebutkan رَبَّنَا “Wahai Rabb kami” atau
ربِّ “Wahai Rabbku”.

9. Lupa dan kebodohan merupakan penghalang ancaman adzab. Namun hal ini
tidak bermakna tergugurkannya perintah. Sehingga barangsiapa meninggalkan
suatu kewajiban karena lupa atau tidak mengetahuinya, maka ia wajib
mengqodha.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
terlupa melakukan sebuah shalat, maka hendaklah ia shalat pada saat
mengingatnya”[11] .

Demikian pula seorang pria yang tergesa-gesa dalam melaksanakan shalat,
Rasûlullâh berkata kepadanya, “Kerjakan lagi shalatmu, sesungguhnya engkau
belum shalat!”[12]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan udzur karena
ketidak tahuannya sekalipun orang tersebut tidak dapat melakukan yang lebih
baik dari shalatnya itu. Inilah yang berlaku dalam perkara-perkara berisi
perintah. Adapun dalam perkara larangan; barangsiapa melanggar sebuah
larangan karena tidak tahu atau lupa, maka dia tidak berdosa dan tidak pula
berkewajiban menunaikan kafarat. Sebagaimana apabila seorang terlupa makan
pada saat dia berpuasa, maka dia tidak berdosa.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa makan atau
minum karena terlupa pada saat dia berpuasa, maka hendaklah dia
menyempurnakan puasanya”[13]

Akan tetapi, bilamana dia melakukan suatu keharaman setelah dia mengetahui
hukumnya yang haram, meskipun belum mengetahui kafarat dan akibatnya, maka
dia tetap berdosa dan tetap berkewajiban menjalankan kafaratnya.
Sebagaimana kisah seorang yang mengadukan dirinya setelah ia menggauli
isterinya di siang hari bulan Ramadhan[14] .

10. Ketundukan hati dan kesungguhan seorang hamba ketika bersimpuh memohon
kepada Allâh Azza wa Jalla saat berdoa kepada-Nya merupakan bagian dari
sebab terkabulnya doa dan permohonan tersebut.

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa meringankan langkah kita dalam
menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat, mengampuni segala dosa dan
mengasihi kita dengan taufik dan hidayah-Nya. Amin. Wallâhu A`lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Ahmad dari Abu Dzar Radhyallahu anhu dan Hudzaifah Radhiyallahu
anhu. Lihat Shahîh al-Jâmi` no: 1060.
[2]. HR. al-Bukhâri no. 5008-5009, dan Muslim no. 1877 dari hadits Abu
Mas`ûd al-Badri al-Anshâri Radhiyallahu anhu
[3]. HR. Muslim no. 325.
[4]. Jâmi` al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur`ân, ath-Tahabari 3/154 dalam atsar no:
6499
[5]. al-Hajj:78, al-Baqarah:185, at-Taghâbun:16
[6]. Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhim, Ibnu Katsir, 1/741
[7]. Lihat Tafsir Syaikh al-Utsaimin 3/451-461
[8]. HR. al-Bukhâri no: 5687 dari Khâlid bin Sa`ad Radhiyallahu anhu dan
Muslim no: 5728 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[9]. HR. Muslim no. 2348 dan 6741
[10]. HR. Ahmad dari Abu Dzar Radhiyallahua anhu . Lihat Shahîh al-Jâmi`
no: 1731.
[11]. HR. Muslim no. 1558 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[12]. HR. al-Bukhâri no. 6667 dan Muslim no. 883, keduanya dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu
[13]. HR. Ibnu Mâjah no. 1673 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[14]. HR. al-Bukhâri no. 6821 dan Muslim no. 2590 keduanya dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu

Kirim email ke