Pengertian Janabah

http://cintasunnah.com/pengertian-janabah/

Firman Allah *Ta’ala*:

  و إن كنتم جنبا فاطهروا

“*Dan jika kamu junub maka mandilah*“.

Janabah adalah untuk dua orang :

*Pertama*: Orang yang keluar mani walaupun dengan tanpa jima’, berdasarkan
hadits Abu Sa’id Al Khudri radliyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda :

*إِنَّمَا الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ*

“*Sesungguhnya air (mandi) itu karena air (mani)*“. (HR Muslim).[1]

Dan mengeluarkan mani ada dua keadaan :

   1. Keadaan sadar
   Orang yang mengeluarkan mani dalam keadaan sadar, syarat wajibnya mandi
   adalah apabila keluarnya dengan syahwat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu
   ‘alaihi wasallam :

   *إِذَا فَضَخْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ*

   “Apabila engkau melemparkan air mani maka mandilah”. (HR Abu Dawud dan
   An Nasai).[2]

   Dan di dalam riwayat Ahmad dalam musnadnya[3] dengan lafadz :

   *إ**ِذَا حَذَفْتَ فَاغْتَسِلْ مِنْ الْجَنَابَةِ وَإِذَا لَمْ تَكُنْ
   حَاذِفًا فَلَا تَغْتَسِلْ*

   “Apabila engkau melemparkan (mani) dari janabah mandilah, dan apabila
   tidak maka tidak perlu mandi”.

   Dan melemparkan mani tidak akan terjadi bila tanpa syahwat sebagaimana
   firman Allah:

   خلق من ماء دافق

   “Diciptakan dari air yang terpancar”. (Ath Thariq : 6).

   Dan apabila ia mengeluarkan maninya dengan tanpa syahwat, namun karena
   sakit dan sebagainya, maka tidak ada kewajiban mandi baginya, dan ini
   adalah pendapat jumhur ulama dan itulah yang rajih,  Wallahu a’lam.
   2. Dalam keadaan tidur (mimpi).
   Orang yang mengeluarkan mani dalam keadaan tidur wajib mandi walaupun
   dengan tanpa syahwat, sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu ‘anha ia
   berkata :

   *سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ
   يَجِدُ الْبَلَلَ وَلَا يَذْكُرُ احْتِلَامًا قَالَ يَغْتَسِلُ وَعَنْ
   الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدْ احْتَلَمَ وَلَا يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ لَا
   غُسْلَ عَلَيْهِ*

   “Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam ditanya tentang seorang
   laki-laki mendapati basah dan tidak ingat mimpi, beliau menjawab:
   “Hendaklah ia mandi”. Dan ditanya tentang seorang laki-laki bermimpi namun
   tidak mendapatkan basah, beliau menjawab: “Tidak ada mandi untuknya”.
   Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (233) dan At Tirmidzi (113) dengan
   sanad yang lemah karena dalam sanadnya ada Abdullah bin Umar Al Umari
   seorang perawi yang dla’if, namun makna hadits ini dikuatkan oleh hadits
   Ummu Salamah ia berkata:

   *جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
   صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
   اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ
   إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
   وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ*

   “Ummu Sulaim istri Abu Thalhah datang kepada Rosulullah shallallahu
   ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak
   malu dari kebenaran, apakah wanita wajib mandi jika bermimpi ?” Rasulullah
   shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Iya, apabila ia melihat air
   (mani)”. (HR Bukhari dan Muslim).[4]

   Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang bermimpi dan melihat air mani
   maka wajib baginya mandi janabah, dan mafhum mukhalafah (pemahaman
   kebalikan) hadits ini menunjukkan bahwa apabila ia tidak melihat air maka
   tidak wajib mandi. Dan sabda beliau : “Apabila ia melihat air (mani)”.
   Menunjukkan bahwa wajibnya mandi bagi orang yang bermimpi tergantung kepada
   melihat air mani atau tidak, baik mengeluarkannya dengan syahwat maupun
   tidak, karena lafadznya mutlak, wallahu a’lam.

*Kedua* : Bertemunya kemaluan laki-laki dan wanita (jima’) walaupun tidak
mengeluarkan air mani.

Batasan pertemuan dua kemaluan adalah apabila kepala kemaluan pria masuk ke
dalam kemaluan wanita, dan ini dengan ijma’ para ulama. Ibnu Qudamah
rahimahullah berkata: “Dan bertemunya dua khitan yakni lenyapnya kepala
kemaluan pria dalam kemaluan wanita, karena inilah yang mewajibkan mandi,
sama saja apakah keduanya berkhitan ataupun tidak… jika kemaluan (pria)
hanya menempel di kemaluan (wanita) dengan tanpa masuk maka tidak wajib
mandi dengan kesepakatan ulama”.[5]

Bertemunya kemaluan laki-laki dan wanita mewajibkan mandi berdasarkan
hadits :

*إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ
الْغَسْلُ*

“Apabila ia duduk (jima’) diantara cabangnya yang empat kemudian
bersungguh-sungguh maka wajib baginya mandi”. (HR Bukhari dan
Muslim)[6]dan dalam riwayat Muslim ada tambahan: “Walaupun ia tidak
mengeluarkan
mani”.

*عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَت
إِنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ
وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ*

“Dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata:
“Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tentang seorang suami yang menyetubuhi istrinya, kemudian
malas (tidak mengeluarkan mani), apakah keduanya wajib mandi? sementara
Aisyah sedang duduk, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya aku melakukan demikian dengan wanita ini (Aisyah) kemudian
kami mandi”. (HR Muslim).[7]

Dan ini adalah madzhab jumhur ulama yaitu bertemunya kemaluan pria dan
wanita walaupun tidak mengeluarkan mani, dan itulah yang rajih.
------------------------------

[1] Muslim no 343, tarqim Muhamad Fuad Abdul Baqi.

[2] Abu Dawud no 206 dan An Nasai no 193 dari Ali bin Abi Thalib. Qultu :
Sanadnya hasan semua perawinya tsiqah kecuali ‘Abiidah bin Humaid, Al
Hafidz berkata: “Shoduq rubama akhtho”. Namun hadits ini mempunyai jalan
lain dari Ali yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya dengan sanad yang
hasan sebagaimana yang akan disebutkan, sehingga hadits ini terangkat
menjadi shahih.

[3] Musnad Ahmad bin Hanbal no 847 ta’liq Syu’aib Al Arnauth. Qultu :
sanadnya hasan semua perawinya tsiqah kecuali Rizam bin Sa’id, Al Hafidz
berkata: “Shoduq”. Dan hadits ini menjadi shahih dengan jalan sebelumnya.
Wallahu a’lam.

[4] Bukhari no 282 dan Muslim no 313.

[5] Ibnu Qudamah, Al Mughni 1/271.

[6] Bukhari no 291, dan Muslim no 348.

[7] Muslim no 350.

Kirim email ke