ADA APA DENGAN BULAN SYA'BAN?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin[1] 
http://almanhaj.or.id/content/3436/slash/0/ada-apa-dengan-bulan-syabn/


Setelah menyampaikan kalimat pembuka, beliau rahimahullah mengatakan :
Amma ba'du, berikut ini uraian singkat tentang beberapa masalah yang berkait 
dengan bulan Sya'bân.

PERTAMA, TENTANG KEUTAMAAN PUASA BULAN SYA’BAN.
Dalam shahih Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa A’isyah Radhiyallahu anhuma 
menceritakan.

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ 
حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ فَمَا 
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ 
اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامً 
مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ

"Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa satu 
bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhân dan aku tidak pernah melihat beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan 
dengan puasa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Sya'bân."[2] 

Dalam riwayat Bukhâri, ada riwayat lain, "Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
berpuasa penuh pada bulan Sya'bân."[3] 

Dalam riwayat lain Imam Muslim,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا

"Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya'bân kecuali 
sedikit."[4] 

Imam Ahmad rahimahullah dan Nasa'i rahimahullah meriwayatkan sebuat hadits dari 
Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan, 
"Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa dalam sebulan 
sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya'bân. 
Lalu ada yang berkata, 'Aku tidak pernah melihat anda berpuasa sebagaimana anda 
berpuasa pada bulan Sya'bân.' Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
menjawab, 'Banyak orang melalaikannya antara Rajab dan Ramadhân. Padahal pada 
bulan itu, amalan-amalan makhluk diangkat kehadirat Rabb, maka saya ingin 
amalan saya diangkat saat saya sedang puasa 

KEDUA, TENTANG PUASA NISFU SYA’BAN. 
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam al-Lathâ'if, (hlm. 143, cet. Dar 
Ihyâ' Kutubil Arabiyah) dalam Sunan Ibnu Mâjah dengan sanad yang lemah dari 
'Ali Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jika 
malam nisfu Sya'bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada 
siangnya. Karena Allâh Azza wa Jalla turun pada saat matahari tenggelam, lalu 
berfirman, "Adakah orang yang memohon ampun lalu akan saya ampuni ? adakah yang 
memohon rizki lalu akan saya beri ? …"[6] 

Saya mengatakan, "Hadits ini telah dihukumi sebagai hadits palsu oleh penulis 
kitab al Mannâr. Beliau rahimahullah mengatakan (Majmu' Fatawa beliau 5/622), 
'Yang benar, hadits itu maudhu' (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu 
Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam 
Ahmad rahimahullah dan Yahya bin Ma'in rahimahullah mengatakan, 'Orang ini 
pernah memalsukan hadits."

Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya'bân itu 
bukan amalan sunat. Karena berdasarkan kesepakatan para ulama', hukum syari'at 
tidak bisa ditetapkan dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara 
lemah dan palsu. Kecuali kalau kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya 
jalur periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadits ini bisa naik 
derajatnya menjadi Hadits Hasan Lighairi. Dan ketika itu boleh dijadikan 
landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh).

KETIGA, TENTANG KEUTAMAAN MALAM NISFU SYA’BAN.
Ada beberapa riwayat yang dikomentari oleh Ibnu Rajab rahimahullah setelah 
membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan. Kebanyakan para 
ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibbân rahimahullah menilai sebagiannya 
shahih dan beliau rahimahullah membawakannya dalam shahih Ibnu Hibbân. Diantara 
contohnya, dalam sebuah riwayat dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, "Sesungguhnya 
Allâh Azza wa Jalla akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya'bân lalu 
Allâh Azza wa Jalla memberikan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih 
dari jumlah bulu kambing-kambing milik Bani Kalb." Hadits ini dibawakan oleh 
Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. Tirmidzi rahimahullah menyebutkan bahwa 
Imam Bukhâri rahimahullah menilai hadits ini lemah. Kemudian Ibnu Rajab 
rahimahullah menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan ini seraya 
mengatakan, "Dalam bab ini terdapat beberapa hadits lainnya namun memiliki 
kelemahan. "

as-Syaukâni rahimahullah menyebutkan bahwa dalam riwayat 'Aisyah Radhiyallahu 
anhuma tersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus. Syaikh Bin Bâz 
rahimahullah menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak bisa 
dijadikan pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya'bân.

KEEMPAT, TENTANG SHALAT PADA MALAM NISFU SYA’BAN. 
Untuk masalah ini ada tiga tingkatan.

Tingkatan Pertama : Shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa 
melakukannya diluar malam nisfu Sya'bân. Seperti orang yang terbiasa melakukan 
shalat malam. Jika orang ini melakukan shalat malam yang biasa dilakukannya 
diluar malam nisfu Sya'bân pada malam nisfu Sya'bân tanpa memberikan tambahan 
khusus dan dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam ini memiliki keistimewaan, 
maka shalat yang dikerjakan orang ini tidak apa-apa. Karena ia tidak 
membuat-buat suatu yang baru dalam agama Allâh Azza wa Jalla.

Tingkatan Kedua : Shalat yang khusus dikerjakan pada malam nisfu Sya'bân. Ini 
termasuk bid'ah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, atau 
mengerjakannya begitu juga dengan para shahabatnya. Adapun hadits Ali 
Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah rahimahullah, "Jika malam 
nisfu Sya'bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya." 
Diatas sudah dijelaskan bahwa Ibnu Rajab rahimahullah menilainya lemah, 
sementara Rasyid Ridha rahimahullah menilainya palsu. Hadits seperti ini tidak 
bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum syar'i. Para Ulama memberikan 
toleran dalam masalah beramal dengan hadits lemah dalam masalah fadhâilul 
a'mâl, tapi itupun dengan beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantaranya, 
(syarat pertama) kelemahan hadits itu tidak parah. Sementara kelemahan hadits 
(tentang shalat nisfu Sya’bân) ini sangat parah. Karena diantara perawinya ada 
orang yang pernah memalsukan hadits, sebagaimana kami nukilkan dari Muhammad 
Rasyid Ridha rahimahullah. (syarat kedua), hadits yang lemah itu menjelaskan 
suatu yang ada dasarnya. Misalnya, ada ibadah yang ada dasarnya lalu ada 
hadits-hadits lemah yang menjelaskannya sementara kelemahannya tidak parah, 
maka hadits-hadits lemah ini bisa memberikan tambahan motivasi untuk 
melakukannya, dengan mengharapkan pahala yang disebutkan tanpa meyakininya 
sepenuh hati. Artinya, jika benar, maka itu kebaikan bagi yang melakukannya, 
sedangkan jika tidak benar, maka itu tidak membahayakannya karena ada dalil 
lain yang dijadikan landasan utama. Dan sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam 
dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat nisfu Sya'bân, syarat-syarat 
ini tidak terpenuhi. Karena perintah ini tidak memiliki dalil yang shahih dari 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab 
rahimahullah dan yang lainnya. Dalam al-Lathâif (hlm. 145) Ibnu Rajab 
rahimahullah mengatakan, "Begitu juga tentang shalat malam pada malam nisfu 
Sya'bân, tidak ada satu dalil sahih pun dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
maupun dari shahabat. Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah mengatakan, "Allâh 
Azza wa Jalla tidak mensyari'atkan bagi kaum Mukminin satu amalan khusus pun 
pada malam nisfu Sya'bân ini, tidak melalui kitabullah, ataupun melalui lisan 
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak melalui sunnah beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ."

Syaikh Bin Baz rahimahullah mengatakan, "Semua riwayat yang menerangkan 
keutamaan shalat malam nisfu Sya'bân adalah riwayat palsu."

Keterangan terbaik tentang shalat malam nisfu Sya'bân yaitu perbuatan sebagian 
tabi'in, sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dalam al-Lathâif (hlm. 144), "Malam 
nisfu Sya'bân diagungkan oleh tabi'in dari Syam. Mereka bersungguh-sungguh 
melakukan ibadah pada malam itu. Dari mereka inilah, keutamaan dan pengagungan 
malam ini diambil. Ada yang mengatakan,, 'Riwayat yang sampai kepada mereka 
tentang malam nisfu Sya'bân itu adalah riwayat-riwayat isra'iliyyat.' Ketika 
kabar ini tersebar diseluruh negeri, manusia mulai berselisih pendapat, ada 
yang menerimanya dan sependapat untuk mengagungkan malam nisfu Sya'bân, 
sedangkan Ulama Hijâz mengingkarinya. Mereka mengatakan, 'Semua itu perbuatan 
bid'ah.'

Tidak diragukan lagi, pendapat yang ulama Hijaz ini adalah pendapat yang benar. 
Karena Allâh berfirman, yang artinya, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk 
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai 
Islam itu jadi agama bagimu." (al-Maidah/5:3). Seandainya shalat malam nisfu 
Sya'bân itu bagian dari agama Allâh, tentu Allâh Azza wa Jalla jelaskan dalam 
kitab-Nya, atau dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
melalui ucapan maupun perbuatannya n . Ketika keterangan itu tidak ada, itu 
berarti shalat khusus ini bukan bagian dari agama Allâh Azza wa Jalla . Semua 
(ibadah) yang bukan bagian dari agama Allâh Azza wa Jalla adalah bid'ah, 
sementara ada dalil shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa 
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Semua bid'ah itu sesat."

Tingkatan Ketiga. Dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah 
tertentu dan ini dilakukan tiap tahun. Maka ini lebih parah daripada tingkatan 
kedua dan lebih jauh dari sunnah. Riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaannya 
adalah hadits palsu. As-Syaukâni rahimahullah mengatakan (al-Fawâidul Majmû'ah, 
hlm. 15), "Semua riwayat tentang shalat malam nisfu Sya'bân ini adalah riwayat 
bathil dan palsu."

KELIMA, TERSEBAR DI MASYARAKAT BAHWA PADA MALAM NISFU SYA’BAN ITU DITENTUKAN 
APA YANG AKAN TERJADI TAHUN ITU.
Ini kabar yang bathil. Malam penentuan takdir kejadian selama setahun itu yaitu 
pada malam qadar (lailatul Qadar). Allâh berfirman.

حم﴿١﴾وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ﴿٢﴾إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ 
إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ﴿٣﴾فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

"Haa miim. Demi Kitab (al Qur'ân) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami 
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang 
memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah". 
[ad-Dukhân/44:1-4]. 

Malam diturunkannya al-Qur'ân adalah lailatul qadar. Allâh berfirman.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

"Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qurân) pada malam kemuliaan. 
[al-Qadr/97:1]

Yaitu pada bulan Ramadhân. Karena Allâh Azza wa Jalla menurunkan al-Qur'an pada 
bulan itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Qur'ân." 
[al-Baqarah/2:185] 

Orang yang mengira bahwa malam nisfu Sya'bân merupakan waktu Allâh Azza wa 
Jalla menentukan apa yang akan terjadi dalam tahun itu berarti dia telah 
menyelisihi kandungan al-Qur'an.

KEENAM, ADA SEBAGIAN ORANG MEMBUAT MAKANAN PADA HARI NISFU SYA’BAN DAN 
MEMBAGIKANNYA KEPADA FAKIR MISKIN
Ini yang mereka namakan 'asyiyâtul wâlidain. Perbuatan ini juga tidak ada 
dasarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga mengkhususkan 
amalan ini pada nisfu Sya'bân termasuk amalan bid'ah yang telah diperingatkan 
oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau Shallallahu 
‘alaihi wa sallam ,"Semua bid'ah itu sesat." 

Ketahuilah, orang yang membuat kebid'ahan dalam agama Allâh Azza wa Jalla ini 
berarti dia telah terjerumus dalam beberapa larangan :

1. Perbuatannya menyiratkan pendustaan terhadap kandungan firman Allâh Azza wa 
Jalla,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu." [al-Maidah/5:3].

Karena apa yang dibuat-buat ini dan diyakini sebagai bagian dari agama ini 
tidak termasuk agama ketika agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau 
dari kebid'ahan ini berarti agama itu belum sempurna (sehingga perlu 
disempurnakan-red)

2. Membuat-buat suatu yang baru menyiratkan kelancangan terhadap Allâh dan 
rasulNya.

3. Orang yang membuat-buat suatu yang baru berarti ia memposisikan dirinya sama 
dengan Allâh Azza wa Jalla dalam menghukumi manusia. Allâh berfirman.

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ 
اللَّهُ

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan 
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ?" [as-Syuura/42:21]

4. Membuat-buat suatu baru berkonsekuensi satu diantara dua. Yang pertama, Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu bahwa amalan ini bagian dari agama dan 
kedua, Nabi tahu namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikannya. 
Kedua anggapan ini adalah celaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
karena yang pertama menuduh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu 
syari'at dan kedua menuduh beliau menyembunyikan bagian dari agama Allâh yang 
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketahui.

5. Kebid'ahan menyebabkan manusia berani terhadap syari'at Allâh Azza wa Jalla. 
Ini sangat dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla.

6. Kebid'ahan ini akan memecah belah umat. Karena masing-masing membuat manhaj 
sendiri dan menuduh yang lain masih kurang. Ini akan menyeret umat kedalam apa 
yang dilarang Allâh dalam firmanNya.

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ 
الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih 
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang 
yang mendapat siksa yang berat, [Ali Imrân/3:105]

Dan dalam firman-Nya.

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي 
شَيْءٍ ۚ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا 
يَفْعَلُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi 
bergolong-golong, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. 
Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allâh, kemudian Allâh akan 
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat." [al-An'âm/6:159]

7. Kebid'ahan ini membuat pelakunya tersibukkan sehingga meninggalkan suatu 
yang disyari'atkan. Para pembuat bid'ah itu, tidaklah membuat suatu kebid'ahan 
kecuali pada saat yang sama dia telah menghancurkan syari'at yang sepadan 
dengannya.

Sesungguhnya apa yang tercantum dalam kitabullah dan sunnah yang shahih itu 
sudah cukup bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allâh Subhanahu wa 
Ta’ala. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا ۖ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ فَإِمَّا 
يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا 
يَشْقَىٰ

"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian 
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk 
serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, "Dengan kurnia Allâh 
dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira dengannya. karuniaa Allâh dan 
rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". [Yûnus/10:57-58]

Dan firman-Nya.

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

"Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan 
celaka." [Thaha/20:123]

Akhirnya saya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar senantiasa memberikan 
petunjuk kepada kami dan kepada saudara-saudara kami kaum Muslimin menuju 
shirâtul mustaqîm dan saya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar senantiasa 
mengurusi kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha 
Dermawan dan Maha Pemurah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan dengan sedikit ringkas dari Majmu' Fatawa beliau, 20/25-33
[2]. HR Bukhâri, no. 1969 dan Muslim, no. 1156 dan 176 
[3]. HR Bukhâri, no. 1970
[4]. HR Muslim, no. 1156 dan 176
[5]. HR Ahmad, 5/201 dan Nasâ'i, 4/102 
[6]. HR Ibnu Mâjah, no. 1388
                                          

Kirim email ke