PELAKU DOSA BESAR TIDAK DIKAFIRKAN

Oleh
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh
http://almanhaj.or.id/content/3664/slash/0/pelaku-dosa-besar-tidak-dikafirkan/

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah mengatakan, “Kami tidak
mengkafirkan seorang ahlil qiblat pun (orang Islam yang melaksanakan sholat
menghadap ka’bah-pent) dengan sebab suatu dosa, selama dia tidak
menghalalkannya. Kami juga tidak mengatakan, 'Dosa apapun tidak akan
membahayakan pelakunya asalkan ada keimanan.”

Ketika menjelaskan untaian kalimat di atas, kami memandang Syaikh Shâlih
bin Abdul Azîz Alusy Syaikh telah memberikan penjelasan yang penuh makna
dan bermanfaat. Oleh karena itu, kami menampilkan penjelasan beliau
tersebut agar bisa dijadikan tuntunan dalam memahami agama Islam yang mulia
ini. Dan sekaligus sebagai bantahan tuduhan terhadap "salafy" –menurut
istilah mereka-

Beliau hafizhahullah mengakatan :
“Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah dengan untaian kalimat beliau ini
hendak menyampaikan (pesan-red), bahwa dosa yang dilakukan ahlul qiblat
(kaum Muslimin) tidak serta merta menjadikannya kafir, sebagaimana pendapat
Khawârij. Namun juga tidak berarti bahwa perbuatan dosa yang dilakukan
ahlul qiblat (kaum Muslimin) tidak berdampak atau berakibat apa-apa bagi
pelakunya, sebagaimana pendapat kaum Murji’ah. Dengan pernyataan di atas
imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah telah menyelisihi Khawârij,
Mu’tazilah dan Murji’ah.

Tidak diragukan lagi bahwa masalah ini termasuk masalah besar. Yaitu
masalah mengkafirkan orang yang menisbatkan diri kepada orang Islam, yaitu
orang yang istiqamah dalam keislaman dan keimanannya, jika ia melakukan
perbuatan suatu dosa. Karena kaidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah menyatakan
bahwa orang yang telah masuk Islam dengan yakin, maka dia tidak bisa
dikeluarkan hanya karena perbuatan dosa yang dia lakukan. Dia juga tidak
bisa keluar dari Islam dengan semua perbuatan dosa yang diharamkan Allâh
Azza wa Jalla yang dilakukannya. Namun (dalam menjatuhkan vonis kafir
kepadanya-red) sebagai akibat dari perbuatan dosa-dosa 'amaliyahnya harus
ada (syarat-red) istihlâl. (Istihlâl), maksudnya dia meyakini bahwa
perbuatan dosa itu halal, bukan dosa, bukan perkara yang diharamkan. Inilah
jalan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Mereka tidak menjatuhkan vonis kafir kepada
(pelaku dosa), tetapi mereka menyatakannya salah, sesat, atau fâsik.

Jadi kita katakan, "Dia mukmin dengan sebab imannya, fasik dengan sebab
dosa besarnya, muslim dengan sebab tauhidnya. Dia fasik dengan sebab dosa
yang dia lakukan dengan terang-terangan dan belum bertaubat.

Kalimat (imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah ) ini memuat penetapan
aqidah Ahlus Sunnah yang berbeda dengan Khawârij, Mu’tazilah dan Murji’ah.

Jika point ini sudah jelas, maka (ketahuilah-red) dalam untaian kalimat di
atas ada beberapa permasalahan :

MASALAH PERTAMA
Dalil yang dijadikan landasan oleh Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah untuk
menghukumi bahwa orang Islam yang melakukan dosa tidak dikafirkan.

Kesimpulan ini ditunjukkan oleh sejumlah dalil dari al-Qur'an dan
as-Sunnah, diantaranya :

1. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh. [al-Baqarah/2:178]

Sebagaimana telah diketahui bahwa orang yang membunuh termasuk diantara
orang yang diseru dengan seruan iman iman. Karena ssetelah itu, Allâh Azza
wa Jalla berfirman :

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ
إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

Maka barangsiapa (yakni pembunuh orang mukmin-pen) yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya (yakni keluarga korban), hendaklah (yang
mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik (di dalam menuntut diyat), dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). [al-Baqarah/2:178]

Allâh Azza wa Jalla menamakannya saudara bagi keluarga korban. Ini
menunjukkan bahwa pembunuhan, meskipun dia dosa besar namun tidak
menghilangkan iman.

2. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا
الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ﴿٩﴾إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ
أَخَوَيْكُمْ

Dan jika ada dua golongan kaum mukminin berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allâh; jika golongan itu
telah kembali (kepada perintah Allâh), maka damaikanlah antara keduanya
dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang
yang berlaku adil.
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu. [Al-Hujurat/49: 9-10]

Allâh Azza wa Jalla tetap menamakan mereka orang-orang mukmin dan
bersaudara. Ini menunjukkan bahwa pembunuhan yang mereka lakukan tidak
menyebabkan imannya hilang, padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا
فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ

Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya
ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allâh murka kepadanya, dan
mengutukinya. [an-Nisâ’/4:93]

Allâh Azza wa Jalla mengancamnya dengan Jahannam, kemurkaan dan laknat,
namun Allâh Azza wa Jalla tidak menghilangkan iman (status mukmin) darinya.
Ini menunjukkan bahwa dosa besar yang dilakukan oleh seorang muslim tidak
menyebabkan imannya hilang. Dan perbuatan dosa ini bukan alasan untuk
melegalkan vonis "keluar dari Islam" untuk para pelaku dosa.

3. Diantara dalil yang dijadikan landasan juga adalah sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan
lainnya, ketika ada salah shahabat yang dijuluki Himar dibawa kehadapan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena minum khamr, maka beliau
menderanya. Lalu dia minum khamr kedua kali, dia dibawa lagi kehadapan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau menderanya.
Kemudian ketika dia dihadapkan ketiga kalinya, seorang laki-laki berkata,
“Semoga Allâh melaknatnya, alangkah seringnya dia dihadapkan!” (Mendengar
ini-red), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu jangan
mengatakan demikian, karena sesunggunya dia mencintai Allâh dan Rasul-Nya.”

(Lafazh hadits yang dibawakan oleh syaikh adalah sebagai berikut -pen):

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى
الله عليه وسلم - كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا
، وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، وَكَانَ
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - قَدْ جَلَدَهُ فِى الشَّرَابِ ، فَأُتِىَ
بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ
اللَّهُمَّ الْعَنْهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ -
صلى الله عليه وسلم - « لاَ تَلْعَنُوهُ ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ
يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ »

Dari Umar bin Al-Khaththab, bahwa ada seorang laki-laki di zaman Nabi
namannya Abdullah, dia diberi julukan Himar. Dia biasa menjadikan
Rasulullah n tertawa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menderanya
karena minum (khomr). Suatu hari dia didatangkan, maka beliau memerintahkan
terhadapnya, lalu dia didera. Maka seorang laki-laki dari para sahabat
berkata, “Semoga Allâh melaknatnya, alangkah seringnya dia dia
didatangkan!”. Maka Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kamu
jangan mengatakan demikian, demi Allâh, yang aku ketahui dia mencintai
Allâh dan RasulNya”. [HR. Bukhari, no.6780)-pent)]

Ini menunjukkan bahwa rasa cinta kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya n (yang dimiliki seseorang-red) menyebabkan dia tidak boleh
dilaknat meski dia melakukan perbuatan dosa besar. Ini berarti menjatuhkan
vonis kafir atau keluar dari Islam lebih terlarang lagi.

4. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ
أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. [al-Mumtahanah/60:1]

Allâh Azza wa Jalla memanggil mereka dengan panggilan iman meski mereka
melakukan dosa yaitu menyampaikan (berita-berita Muhammad) kepada musuh
Allâh dan musuh Rasul-Nya dengan dasar cinta. Ini menunjukkan bahwa
memberikan kasih sayang (kepada orang-orang kafir) karena urusan dunia
tidak menyebabkan seseorang keluar dari iman, bahkan terkumpul padanya
firman Allâh di akhir ayat tersebut:

وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ

Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat dari jalan yang lurus. [al-Mumtahanah/60:1]

5. Dalam kisah Hâthib bin Abi Balta’ah yang menyampaikan berita Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang kafir secara rahasia,
menunjukkan adanya perbuatan dosa yang dilakukan Hathib dan adanya ampunan
untuknya karena dia termasuk sahabat yang ikut perang Badar. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Hathib Radhiyallahu anhu :

لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ، فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ

Mudah-mudahan Allâh telah memperhatikan Ahli Badr (para sahabat yang ikut
perang Badar) lalu berkata, “Lakukan semaumu, sesungguhnya Aku telah
mengampuni kamu”. [HR. Bukhari, no. 3007]

Dalam riwayat lain (yakni riwayat imam Ahmad, dengan lafazh-pent) :

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا
مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ

Sesungguhnya Allâh telah memperhatikan Ahli Badr (para sahabat yang ikut
perang Badar) lalu berkata, “Lakukan semaumu, sesungguhnya Aku telah
mengampuni kamu”. [HR. Ahmad]

Dalil-dalil tentang prinsip ini banyak dibawakan oleh Ahlus Sunnah wal
Jamâ’ah.

6. Diantara dasar yang mendasari kaidah ini dari sisi akal adalah dosa-dosa
besar, seperti: mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, menuduh berzina,
dan lain sebagainya telah ditetap adanya hadatau hudûd. Dan hudûd itu
adalah pembersih dosa-dosa, sementara (hukuman) orang murtad itu dibunuh,
bagaimanapun keadaannya. Jadi keberadaan hudûd ini membuktikan bahwa dia
telah melakukan sesuatu yang tidak menyebabkannya keluar dari agama Islam.
karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Barangsiapa merubah agamanya,maka bunuhlah dia! [HR. Bukhâri, no. 6022, Abu
Dâwud, no. 4351, Nasâi, no. 4059, Ibnu Mâjah, no 2535]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

Dan orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama’ah
(muslimin). [HR. Muslim, no. 4468, Abu Dâwud, no. 4352, Tirmidzi, no. 1402,
Ibnu Mâjah, no. 2534]

(Lafazh hadits ini secara lengkap adalah) :

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِ
وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi Laa ilaaha illa Allâh dan
aku adalah utusan Allâh kecuali dengan salah satu dari tiga yaitu orang
yang sudah menikah yang melakukan zina; satu jiwa (dibunuh/diqishash)
dengan sebab (membunuh) satu jiwa; dan orang yang meninggalkan agamanya,
memisahkan diri dari jama’ah (muslimin). [HR. Muslim, no. 4468, Abu Dâwud,
no. 4352, Tirmidzi, no. 1402, Ibnu Mâjah, no. 2534–pent))

Maksudnya, orang murtad itu termasuk orang yang halal darahnya. Ini
menunjukkan bahwa dosa-dosa yang dilakukan seseorang bisa dibersihkan
dengan hudûd, dan dosa-dosa bukanlah kekafiran. Karena jika merupakan
kekafiran, maka pelakunya tentu dibunuh karena murtad berdasarkan sabda
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Barangsiapa merubah agamanya,maka bunuhlah dia! [HR. Bukhâri, no. 6922, Abu
Dâwud, no. 4351, an-Nasâ'i, no. 4059, Ibnu Mâjah, no. 2535]

7. Perinsip ini juga ditunjukkan oleh kepemilikan hak wali (keluarga)
korban terbunuh untuk memberi ma’af. Mereka memiliki hak untuk memberi
ma’af, jika mau dan bisa menuntut qishah, jika mau. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :

وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا
يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

Barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui
batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan. [al-Isrâ’/17:33]

Firman Allâh Azza wa Jalla “maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya” menunjukkan bahwa hak di sini (yaitu menuntut
qishash) adalah milik makhluk, adapun kemurtadan adalah hak Allâh, yakni
balasan/hukuman kemurtadan adalah hak Allâh. –Al-hamdulillahi rabbil
‘alamin-

(Diterjemahkan oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Syarhu ‘Aqîdah
ath-Thahawiyah, karya Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz Alusy Syaikh)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Kirim email ke