From: ari_ham...@yahoo.com

Date: Sat, 14 Sep 2013 13:58:45 +0000





اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Ana mau tanya, bagaimana hukumnya jika ada seorang suami yang sudah sekitar 4 
tahun tidak menafkahi istri dan anak?

وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Powered by Telkomsel BlackBerry®

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

JIKA SUAMI TIDAK MEMBERI NAFKAH
Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari
http://almanhaj.or.id/content/2623/slash/0/jika-suami-tidak-memberi-nafkah/

Sesungguhnya rasa kasih-sayang di antara suami-isteri hampir-hampir tidak 
ditemui bandingannya. Dua jenis manusia, pada mulanya tidak saling mengenal, 
kemudian Allah mempertemukan keduanya, sehingga terjalin hubungan yang melebihi 
seorang saudara dengan saudaranya, seorang kawan dengan kawannya. Maka ini 
termasuk salah satu tanda kekuasaan Allah yang mengagumkan. Allah Subhanahu wa 
Ta'ala berfirman:

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا 
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ 
لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ 

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah, Dia menciptakan untukmu 
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram 
kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya 
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang 
berpikir." [ar Ruum / 30:21]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta'ala 
menjadikan Bani Adam (manusia) semuanya laki-laki, dan menjadikan wanita-wanita 
(isteri-isteri) mereka dari jenis selain mereka, mungkin dari jin atau 
binatang, maka tidak akan terjadi persatuan antara mereka dengan isteri-isteri 
mereka. Bahkan pasti akan terjadi keengganan, seandainya isteri-isteri itu 
bukan dari jenisnya. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat Allah terhadap 
Bani Adam, bahwa Dia menciptakan isteri-isteri mereka dari jenis mereka 
sendiri, dan menjadikan di antara mereka rasa kasih, yaitu kecintaan, dan 
rahmat, yaitu sayang. Karena seorang laki-laki menahan isterinya, kemungkinan 
kecintaannya kepada isterinya, atau karena sayangnya, karena dia telah memiliki 
anak darinya, atau karena dia membutuhkan nafkah darinya, atau karena keakraban 
antara keduanya, atau lainnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar 
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir".[1]

Oleh karena itulah, kasih-sayang yang telah tumbuh di antara pasangan 
suami-isteri itu, selayaknya dijaga dan dikembangkan, sehingga tidak layu dan 
akhirnya sirna. Dari sini kita mengetahui keagungan syari’at Allah Azza wa 
Jalla yang menerangkan hak dan kewajiban suami-isteri. 

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ 
دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ 

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara 
yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan 
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[al Baqarah / 
2:228]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yaitu, mereka (para isteri) memiliki 
hak yang menjadi kewajiban para laki-laki (suami), maka hendaklah setiap satu 
dari keduanya menunaikan kewajibannya kepada yang lain dengan baik”.[2] 

NAFKAH BAGI ISTERI DAN ANAK
Di antara hak terbesar wanita yang menjadi kewajiban suaminya adalah nafkah. 
Nafkah, secara bahasa adalah, harta atau semacamnya yang diinfaqkan 
(dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang 
diwajibkan atas suami untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, 
pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya.[3] 

Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as Sunnah, dan 
Ijma'.

Disebutkan dalam al Qur`an : 

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ 
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا

"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang 
ma'ruf" [al Baqarah / 2:233]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, : “Dan kewajiban ayah si anak 
memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf 
(baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu, dengan 
tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan 
kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya, dan kesempitannya” [4]. 

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ 
مِمَّآ ءَاتَاهُ اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَاهَا

"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang 
disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah 
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) 
apa yang Allah berikan kepadanya "[ath Thalaq / 65:7]

Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah 
berkata : “Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala. Dia menjadikan 
(kewajiban) setiap orang sesuai dengan keadaannya, dan Dia meringankan dari 
orang yang kesusaha, sehingga, dalam masalah nafkah dan lainnya, Allah tidak 
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) kemampuannya.”[5]

Adapun dalil-dalil dari as Sunnah, antara lain:

عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ 
زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا 
إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ 
وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ 

"Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku bertanya: 
“Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi 
kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,"Engkau memberi makan kepadanya, jika 
engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. 
Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah 
engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. [HR Abu Dawud, no. 2142; Ibnu 
Majah, no. 1850; Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan shahih”].

Pada saat haji wada’ , Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah:

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ 
اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ 
أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ 
فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ 
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف

"Bertakwalah kamu kepada Allah tentang para wanita (isteri), karena 
sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kamu telah 
menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah [6]. Dan kamu memiliki hak 
yang menjadi kewajiban mereka (para isteri), yaitu mereka tidak memperbolehkan 
seorangpun yang tidak kamu sukai menginjakkan permadani-permadani kamu [7]. 
Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak 
menyakitkan. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu 
wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik)". 
[HR Muslim, no. 1218].

Adapun menurut Ijma`, Imam Ibnul Qaththan rahimahullah (wafat 628 H) menukilkan 
Ijma' tentang masalah ini, dengan perkataan beliau: “Ahlul ilmi (para ulama) 
telah sepakat adanya kewajiban memberi nafkah untuk para isteri atas para 
suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali isteri yang nusyuz 
(maksiat) dan enggan (mentaati suami)” [8]. 

UKURAN NAFKAH
Dalam masalah pemberian nafkah kepada isteri, maka agama tidak menetapkan 
dengan ukuran tertentu. Akan tetapi Allah k memerintahkan suami agar bersikap 
kepada isterinya dengan ma’ruf (baik, patut, umum). Nabi Shalallahu 'alaihi wa 
sallam sebagai panutan, beliau telah menetapkan bahwa nafkah itu mencukupi 
isteri dan anak. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan kebenaran yang 
ditetapkan oleh mayoritas ulama, bahwa nafkah isteri kembalinya adalah ‘urf 
(kebiasaan). Ukurannya tidak ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda-beda 
sesuai dengan perbedaan keadaan negara-negara, waktu, dan keadaan suami-isteri, 
serta kebiasaan keduanya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

"(Dan bergaullah dengan mereka (isteri-isteri kamu) secara patut – an Nisaa’ 
ayat 19- dan Nabi n bersabda (kepada Hindun isteri Abu Sufyan)":

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ 

"(Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut!)." 

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: 

وَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
"(Dan mereka (para isteri) memiliki hak, yaitu (kamu wajib memberi) rizki 
(makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik. patut)[9]. 

JIKA SUAMI TIDAK MEMBERI NAFKAH DENGAN CUKUP (BAKHIL)
Jika suami tidak memberi nafkah yang cukup, padahal dia memiliki harta yang 
nampak, yang memungkinkan bagi isteri untuk mengambil sendiri, atau dengan 
keputusan hakim, maka isteri hendaklah bersabar, tidak menuntut cerai.

Demikian juga jika suami tidak memberi nafkah secara cukup bagi isteri dan 
anaknya, maka sang isteri boleh mengambil harta suami dengan tanpa idzin, 
tetapi dengan cara yang ma’ruf (patut, secukupnya), tidak boleh berlebihan. 

Dalam masalah tersebut, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam telah berfatwa, 
sebagaimana disebutkan di dalam hadits shahih :

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ 
أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي 
إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ 
وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya 
Abu Sufyan (suamiku, Pen) seorang laki-laki yang bakhil. Dia tidak memberi 
(nafkah) kepadaku yang mencukupi aku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya 
sedangkan dia tidak tahu”. Maka beliau bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan 
anakmu dengan patut”.[HR Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714].

Setelah membawakan hadits ini, Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlaan berkata: 
“Apa yang telah lalu ini menunjukkan kewajiban nafkah untuk isteri. Dan nafkah 
itu diukur dengan apa yang mencukupinya (isteri) dan anaknya dengan ma’ruf 
(patut, baik, umum). Jika suami tidak memberi nafkah, sesungguhnya sang isteri 
berhak mengambil nafkahnya dari harta suaminya, walau tanpa sepengetahuannya, 
dan hal itu hendaklah dengan ma’ruf. Dan sepantasnya bagi isteri tidak 
membebani suaminya dengan banyak tuntutan. Hendaklah dia ridha dengan sedikit 
(nafkah), khususnya jika suami berada dalam kesusahan dan kemiskinan”.[10] 

JIKA SUAMI TIDAK MAMPU MEMBERI NAFKAH
Telah kita ketahui bahwa nafkah merupakan hak isteri yang menjadi kewajiban 
suami. Maka bagaimanakah sikap isteri jika suami tidak mampu memberi nafkah, 
dan dia tidak memiliki harta yang dapat diambil untuk nafkah? Bolehkah isteri 
menuntut cerai? 

Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama.[11] 
1). Boleh menuntut faskh (pembatalan aqad nikah). Demikian ini pendapat jumhur 
(mayoritas ulama) Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah. Juga diriwayatkan dari Umar 
bin al Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhum. Juga 
pendapat Sa’id bin Musayyib, al Hasan al Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, 
Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan Abu Tsaur. 

2). Tidak boleh menuntut faskh, tetapi isteri wajib bersabar. Demikian pendapat 
Hanafiyah, yang satu pendapat dengan Imam Syafi’i. Begitu pula Syaikh 
Abdurrahman as Sa’di. 

3). Tidak boleh menuntut faskh, bahkan isteri yang kaya wajib menafkahi 
suaminya yang miskin. Ini pendapat Ibnu Hazm rahimahullah.

Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar –hafizhahullah- berkata: “Al Hanafiyah (para 
ulama madzhab Hanafi) membolehkan seorang isteri berhutang atas tanggungan 
suaminya untuk memenuhi nafkahnya, dalam keadaan suami tidak mampu memberikan 
nafkah. Sedangkan para fuqaha (para ahli fiqih) tiga madzhab, yaitu : 
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat, seorang isteri disuruh 
memilih antara tetap bersama suaminya dengan kesusahannya, atau berpisah 
darinya dengan faskh (pembatalan) aqad nikah, dan nafkah bagi isteri tidak 
wajib atas suaminya selama dia kesusahan”.[12]

Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at Tuwaijiri –hafizhahullah- berkata: 
“Jika suami kesusahan memberikan nafkah, pakaian, atau tempat tinggal, atau 
suami pergi dan tidak meninggalkan nafkah untuk isterinya dan susah mengambil 
dari hartanya (suami), maka isteri berhak faskh (membatalkan aqad nikah), jika 
dia berkehendak, dengan idzin hakim (pengadilan agama)”.[13]

Setelah memaparkan dalil masing-masing pendapat di atas, Abu Malik Kamal bin as 
Sayid Salim menyatakan : "Yang paling nampak (kebenarannya) dari yang telah 
lalu, adalah pendapat bolehnya perpisahan (isteri menuntut faskh, putus nikah, 
Pen) dengan sebab ketiadaan nafkah, berdasarkan dalil-dalil yang telah 
disebutkan oleh jumhur. Terlebih lagi, para sahabat Radhiyallahu 'anhum telah 
berpendapat dengannya dan mengamalkannya. Dan karena di dalam pendapat ini 
menghilangkan kesusahan dari isteri, apalagi jika suami menolak menthalaqnya 
karena pilihannya (sendiri) atau bersepakat dengan isterinya. Namun yang lebih 
utama dan lebih baik, si isteri bersabar terhadap kesusahan suaminya dan 
mendampinginya, serta membantu semampunya. Adapun dalil-dalil (ulama) yang 
melarang perpisahan tidaklah kuat melawan dalil-dalil jumhur. Wallahu 
a’lam”.[14]

Dari pembahasan ini, kita mengetahui betapa tingginya ajaran Islam, dan 
alangkah besar kasih-sayang Allah kepada para hambaNya. Al-hamdulillahi Rabbil 
‘alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat ar Ruum : 21. 
[2]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat al Baqarah : 228.
[3]. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/198; 
Mu’jamul Wasith, 2/942; Ahkamuz Zawaj, Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar.
[4]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat al Baqarah : 233.
[5]. Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat ath Thalaq : 7.
[6]. Maksud kalimat Allah dalam hadits ini adalah firman Allah Azza wa Jalla : 
(Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi -QS an Nisaa` / 4 ayat 
3. Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 4/443, Penerbit 
Darul Hadits, Kairo.
[7]. Imam Nawawi, di dalam Syarah Muslim 4/443-444, Penerbit Darul Hadits, 
Kairo -menyatakan secara ringkas- maknanya yang terpilih adalah, bahwasanya 
mereka (para isteri) tidak boleh mengizinkan kepada seorangpun yang tidak kamu 
sukai untuk memasuki rumah-rumah kamu dan duduk di tempat duduk-tempat duduk 
kamu. Sama saja, yang diidzinkan itu seorang laki-laki asing (bukan mahram), 
atau seorang wanita, atau seseorang dari mahram isteri. Larangan itu mengenai 
semuanya, kecuali bagi orang yang si isteri mengetahui atau menyangka bahwa 
suaminya tidak membencinya, atau mengizinkannya, atau diketahui ridhanya dengan 
keumuman kebiasaan. 
[8]. Al Isyraf ‘ala Madzahibi Ahlil ‘Ilmi karya Al-Hafizh Ibnul Mundzir, 1/119. 
Dinukil dari al Iqna fii Masailil Ijma’ 2/55, karya Imam Ibnul Qaththan, Tahqiq 
Hasan bin Fauzi ash Sha’idi, Penerbit al Faruq al Haditsah.
[9]. Majmu’ Fatawa, 34/83; Taisiril Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyah li 
Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, Dr. Ahmad al Muwafi, Penerbit Dar Ibnil Jauzi, 
2/861.
[10]. Fiqhuz Zawaj, hlm. 130.
[11]. Lihat dalil masing-masing pendapat di dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah, 
Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/400-404.
[12]. Ahkamuz Zawaj, Penerbit Darun Nafais, hlm. 287-288.
[13]. Mukhtashar Fiqih Islami, Penerbit Baitul Afkar ad Dauliyah, hlm. 860.
[14]. Shahih Fiqih Sunnah, 3/400-404

 



                                          

Reply via email to