From: purb...@yahoo.co.id
Date: Sun, 15 Sep 2013 12:03:27 +0800






Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Tanya, bagaimana cara menjama' sholat yang benar?

Syuukron

muliaman purba
>>>>>>>>>>>>>>

JAMA'.
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau 
Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang 
melakukan jama'taqdim dan jama'ta'khir.[19]

Jama' taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat 
pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 
'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara 
berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.

Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu 
shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan 
'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara 
berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah 
dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah 
shallallahuhu alaihi wa'ala alihi wasallam.[20]

Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik 
musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi 
dilakukan ketika diperlukan saja.[21]

Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah 
musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22] , 
turunnya hujan [23] , dan orang sakit.[24]

Berkata Imam Nawawi rahimahullah:Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa 
seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak 
di jadikan sebagai kebiasaan."[25]

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu 
alaihi wa'ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara 
maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat 
lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas 
radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala 
alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya.[26]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1336/slash/0/seputar-hukum-shalat-jama-dan-qashar/

.Menjama' Dua Shalat
Sebab-sebabnya:

1. Safar
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau akhirkan Zhuhur hingga 
waktu 'Ashar. Beliau turun dari kendaraannya lalu menjama' keduanya. Dan jika 
matahari sudah tergelincir sebelum melakukan perjalanan, maka beliau shalat 
Zhuhur lalu naik kendaraan." [11]

Dari Mu'adz Radhiyallahu anhu: "Saat terjadinya perang Tabuk, jika Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa salalm bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau 
akhirkan Zhuhur sampai waktu 'Ashar. Kemudian beliau menjama' kedua shalat 
tersebut. Jika bepergian sesudah matahari tergelincir, beliau menjama' shalat 
Zhuhur dengan 'Ashar lalu berangkat. Bila bepergian sebelum Maghrib, beliau 
akhirkan Maghrib hingga menjama'nya dengan 'Isya. Bila bepergian setelah 
Maghrib, beliau mengawalkan waktu 'Isya dan menjama'nya dengan Maghrib." [12]

Masih dari Mu’adz: "Para Sahabat pernah bepergian bersama Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika perang Tabuk. Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar, dan shalat Maghrib 
dengan 'Isya'." Dia berkata lagi: "Pada suatu hari beliau mengakhirkan shalat. 
Beliau keluar lalu shalat Zhuhur dan 'Ashar dengan dijama'. Setelah itu beliau 
masuk. Tak lama kemudian beliau keluar lagi lalu shalat Maghrib dan 'Isya 
dengan dijama'."[13]

2. Hujan
Dari Nafi' Radhiyallahu anhu, "Jika 'Abdullah Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma 
mengumpulkan para amir (gubernur) antara Maghrib dan 'Isya' ketika hujan, maka 
dia menjama' shalat bersama mereka."

Dari Hisyam bin 'Urwah: "Ayahnya -'Urwah-, Sa'id bin al-Musayyib, dan Abu Bakar 
bin 'Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin al-Mughirah al-Makhzumi pernah 
menjama' shalat Maghrib dengan 'Isya' pada suatu malam ketika hujan turun. 
Mereka menjama' kedua shalat tersebut tanpa ada yang mengingkari." [14]

Dari Musa bin 'Uqbah, "Ketika turun hujan, ‘Umar bin 'Abdul 'Aziz pernah 
menjama' shalat Maghrib dengan 'Isya' di akhir waktu. Sedangkan Sa'id bin 
al-Musayyib, 'Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin 'Abdurrahman, beserta para 
ulama zaman itu bermakmum di belakangnya. Namun, mereka tidak mengingkari 
perbuatan tersebut." [15]

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam pernah menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar, dan shalat 
Maghrib dengan 'Isya', tidak dalam keadaan takut maupun safar."[16]

Dia juga berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjama' 
shalat Zhuhur dengan 'Ashar dan shalat Maghrib dengan 'Isya di Madinah, tidak 
dalam keadaan takut maupun hujan." [17]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma memberikan indikasi bahwa menjama' shalat 
ketika hujan sudah diketahui pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika 
tidak demikian, maka tidak ada gunanya menyebutkan kalimat "tanpa hujan" 
sebagai alasan dibolehkannya menjama' shalat." [18]

3. Kebutuhan Mendesak
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam pernah menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar di Madinah, tidak 
dalam keadaan takut maupun dalam perjalanan." Abu az-Zubair berkata, Lalu aku 
bertanya pada Sa'id, ‘Kenapa beliau melakukannya?’ Dia menjawab, ‘Aku pernah 
bertanya hal yang sama kepada Ibnu 'Abbas. Lalu dia berkata, ‘Beliau tidak 
ingin memberatkan salah seorang pun dari umatnya.’" [19]

Masih dari Ibnu ‘Abbas, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah 
menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar, dan shalat Maghrib dengan 'Isya di 
Madinah, tidak dalam keadaan takut maupun hujan." Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 
anhuma ditanya, "Apa maksud di balik perbuatan beliau itu?" Dia menjawab, 
"Beliau tidak ingin memberatkan umatnya."

Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (V/219), "Sejumlah imam berpendapat 
tentang bolehnya menjama' shalat dalam keadaan mukim bagi orang yang tidak 
menjadikannya kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab, pengikut 
Imam Malik. Al-Khaththabi meriwayatkan pendapat ini dari al-Qaffal dan 
asy-Syasyi al-Kabiir, pengikut imam asy-Syafi'i, dari Abu Ishaq al-Marwazi, 
dari mayoritas kalangan ahli hadits. Ibnul Mundzir juga memilih pendapat ini. 
Pendapat ini diperkuat oleh zhahir perkataan Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma : 
"Beliau tidak ingin memberatkan umatnya." Dia tidak menyebutkan alasan sakit 
atau yang lainnya. Wallaahu a’lam."
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1141/slash/0/shalat-orang-yang-melakukan-safar/







                                          

Reply via email to