From: hani_...@yahoo.co.uk
Date: Sun, 15 Sep 2013 04:56:04 +0100
Assalamu'alaikum...










Seperti yg kita ketahui bahwa pakaian ihram tidak boleh diberi wewangian. 
Bagaimana dengan pemakaian deterjen ketika pencucian, yg mana di kain yg dicuci 
menyisakan wangi...?
Jazakumullah khair.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
 
HUKUM PEWANGI PAKIAN BAGI WANITA

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

السائل: هل يجوز غسل ملابس المرأة أو يديها بصابون معطَّر، ثم تخرج بهذه الرائحة 
من بيتِها أمامَ الأجانب؟

Pertanyaan, “Bolehkahkan mencuci pakaian perempuan atau perempuan membasuh 
kedua tangannya dengan sabun wangi kemudian perempuan tersebut keluar rumah 
dengan membawa wangi yang semerbak melewati para laki-laki yang bukan mahramnya?

الشيخ الألباني: إذا كانت الرائحة فائحة؛ ما يجوز طبعًا.

Jawaban Syaikh Al Albani, “Jika muncul wangi yang semerbak dari diri si wanita 
maka tentu saja tidak diperbolehkan.

السائل: حُكم العطر.

Penanya, “Sebagaimana hukum wewangian?”

الشيخ الألباني:آه [أي: نعم].

Jawaban Syaikh al Albani, “Ya” 
[Kaset Silsilah al Huda wan Nur no 814 detik 56:09 dst].

إذا لم تتعطر المرأة عند خروجها من بيتها ولكنها عطرت طفلها المصاحب لها فيشملها 
النهي لوجود الرائحة الفاتنة

Syaikh Abu Said al Jazairi dalam bukunya Taujih an Nazhar ila Ahkam al Libas 
waz Zinah wan Nazhar hal 75 mengatakan, “Jika seorang muslimah tidak mengenakan 
parfum ketika keluar rumah namun anak yang dia gendong diberi parfum maka 
muslimah tersebut telah melakukan hal yang terlarang karena munculnya wangi 
yang semerbak dari arah dirinya”.

قال [ابن حجر العسقلاني ]: ويلحق بالطيب ما في معناه لأن سبب المنع منه ما فيه من 
تحريك داعية الشهوة

Ibnu Hajar al Asqalani mengatakan, “Dianalogkan dengan minyak wangi [yang 
terlarang dipakai oleh muslimah ketika hendak keluar rumah, pent] segala hal 
yang semisal dengan minyak wangi [sabun wangi dll, pent] karena sebab 
dilarangnya wanita memakai minyak wangi adalah adanya sesuatu yang menggerakkan 
dan membangkitkan syahwat” [Fathul Bari 2/349]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3296/slash/0/tabarruj-dalam-berpakaian/
 
HAL-HAL YANG TERLARANG KETIKA IHRAM
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Diharamkan bagi seseorang yang telah berihram melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Memakai pakaian yang dijahit
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar:

أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ 
الثِّيَابِ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَلْبَسُ 
الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيْلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ 
الْخِفَافَ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ 
ولْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ، وَلاَ تَلْبَسُوْا مِنَ الثِّيَابِ 
شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ وَرْسٌ.

“Bahwa seseorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, pakaian apa yang boleh dipakai 
oleh orang yang berihram?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh memakai baju, surban, 
celana, penutup kepala dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, 
ia boleh menggunakan sepatu, namun hendaknya ia memotong bagian yang lebih 
bawah dari mata kaki. Dan hendaknya jangan memakai pakaian yang diolesi minyak 
Za’faran dan Wars.’” [1]

Bagi orang yang tidak mempunyai pakaian kecuali celana dan sepatu diberi 
keringanan memakai celana dan sepatu tanpa dipotong, berdasarkan hadits Ibnu 
‘Abbas, ia berkata:

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِعَرَفَاتٍ: مَنْ 
لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ 
إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيْلَ لِلْمُحْرِمِ.

“Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di ‘Arafah, 
‘Barangsiapa yang tidak mempunyai sandal hendaknya ia memakai sepatunya dan 
barangsiapa yang tidak mempunyai izar (kain ihram) hendaknya ia memakai celana, 
bagi orang yang berihram.’” [2]

2. Menutup wajah dan kedua tangan bagi wanita
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda:

لاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ.

“Bagi wanita yang berihram tidak boleh memakai niqab (penutup muka/cadar) dan 
kaos tangan.” [3]

Ia boleh menutup mukanya jika ada laki-laki yang lewat, berdasarkan hadits 
Hisyam bin ‘Urwah dari Fatimah binti al-Mundzir, ia berkata, “Kami menutup muka 
kami sedangkan kami tengah berihram dan bersama kami Asma’ binti Abi Bakar 
ash-Shiddiq.” [4]

3. Menutup kepala bagi laki-laki baik dengan surban atau yang lainnya
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu 
‘Umar:

لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ.

“Tidak boleh memakai baju dan surban.” [5]

Namun boleh berteduh dalam kemah atau yang lainnya, berdasarkan hadits Jabir 
yang lalu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk 
mendirikan kemah, maka didirikan untuk beliau kemah di Namirah, kemudian beliau 
mampir di kemah tersebut.”

4. Memakai minyak wangi
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu 
‘Umar:

وَلاَ تَلْبَسُوْا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ وَرْسٌ.

“Dan hendaknya jangan memakai pakaian yang diolesi minyak Za’faran dan Wars.” 
[6]

Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang masih dalam 
ihramnya kemudian ia terjatuh dari untanya sehingga lehernya patah:

وَلاَ تُحَنِّطُوْهُ، وَلاَ تُخَمِّرُوْا رَأْسَهُ، فَإِنَّ اللهَ يَبْعَثُهُ 
يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا.

“Jangan diberi minyak wangi dan kepalanya jangan ditutup, karena sesungguhnya 
Allah akan membangkitkannya pada hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah.” [7]

5,6. Memotong kuku dan menghilangkan rambut, baik dengan cara mencukur atau 
memendekkan atau dengan cara lainnya

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : 

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ 

"... Jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ke tempat 
penyembelihannya... [Al-Baqarah: 196].

Para ulama juga sepakat akan haramnya memotong kuku bagi orang yang berihram.

Bagi orang yang terganggu dengan keberadaan rambutnya boleh mencukur rambut 
tersebut dan ia wajib membayar fidyah (denda), berdasarkan firman Allah 
Subhanahu wa Ta'ala :

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن 
صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ

“... Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepa-lanya (lalu ia 
bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau 
berkurban...” [Al-Baqarah: 196]

Dan hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah:

أَنَّ النَّبِيَّ مَرَّ بِهِ وَهُوَ بِالْحُدَيْبِيَةِ، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ 
مَكَّةَ، وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَهُوَ يُوْقِدُ تَحْتَ قِدْرٍ، وَالْقَمْلُ 
يَتَهَافَتُ عَلَىٰ وَجْهِهِ. فَقَالَ: أَيُؤْذِيْكَ هَوَامُّكَ هٰذِهِ؟ قَالَ: 
نَعَمْ. قَالَ: فَاحْلِقْ رَأْسَكَ، وَأَطْعِمْ فَرَقاً بَيْنَ سِتَّةِ 
مَسَاكِيْنَ، (وَالْفَرَقُ ثَلاَثَةُ آصُعٍ) أَوْ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ. أَوِ 
انْسُكْ نَسِيْكَةً.

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mampir menemuinya di Hudaibiyah 
sebelum beliau memasuki kota Makkah. Ka’ab pada saat itu sedang berihram, ia 
menyalakan api di bawah panci sedangkan kutunya berjatuhan di wajahnya satu 
demi satu. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya 
kepadanya, ‘Apakah kutu-kutu ini mengganggumu.’ ‘Benar,’ jawab Ka’ab. 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Cukurlah rambutmu lalu 
berilah makan sebanyak satu faraq untuk enam orang (satu faraq sama dengan tiga 
sha’) atau berpuasalah tiga hari atau sembelihlah seekor hewan kurban.’”[8]

7. Berhubungan intim dan faktor-faktor yang dapat membuatnya tertarik untuk 
berhubungan intim
8. Mengerjakan kemaksiatan
9. Bermusuhan dan berdebat

Dalil pengharaman tiga poin ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ 
وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang-siapa yang 
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerja-kan haji, maka tidak boleh 
rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” 
[Al-Baqarah: 197]

10,11. Melamar dan menikah
Berdasarkan hadits ‘Utsman bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ، وَلاَ يَخْطُبُ، وَلاَ يُخْطَبُ 
عَلَيْهِ.

“Orang yang sedang berihram dilarang menikah dan menikahkan serta melamar dan 
dilamar.”

12. Membunuh atau menyembelih hewan buruan darat atau mengisyaratkan atau 
memberi tanda untuk membunuh hewan buruan tersebut.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا

“... Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam 
ihram...” [Al-Maa-idah: 96]

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beberapa orang 
Sahabat bertanya tentang keledai betina yang diburu oleh Abu Qatadah, ia pada 
saat itu tidak sedang berihram sedangkan yang lainnya berihram. Kemudian 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya:

أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا؟ 
قَالُوْا: لاَ قَالَ: فَكُلُوْا.

“Apakah ada salah seorang di antara kalian memerintahkan agar ia memburu 
keledai itu, atau memberi isyarat ke keledai itu?” “Tidak,” jawab mereka. 
Beliau bersabda, “Makanlah.” [9]

13. Makan hewan buruan yang diburu untuknya atau yang ia isyaratkan untuk 
diburu, atau yang diburu dengan bantuannya
Berdasarkan apa yang difahami dari sabda beliau:

أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا؟ 
قَالُوْا: لاَ، قَالَ: فَكُلُوْا.

“Apakah ada salah seorang di antara kalian memerintahkan agar ia memburu 
keledai itu atau memberi isyarat ke keledai itu?” “Tidak,” jawab mereka. Beliau 
bersabda, “Makanlah.” [10]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis 
Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih 
Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu 
Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/401, no. 1542), Shahiih Muslim 
(II/834, no. 1177), Sunan Abi Dawud (V/269, no. 1806), Sunan an-Nasa-i (V/129).
[2]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/57, no. 1841), Sunan an-Nasa-i 
(V/132), Shahiih Muslim (II/835, no. 1178), Sunan at-Tirmidzi (II/165, no. 
835), Sunan Abi Dawud (V/275, no. 1812).
[3]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1022)], Shahiih al-Bukhari (IV/52, no. 
1838), Sunan Abi Dawud (V/271, no. 1808), Sunan an-Nasa-i (V/133), Sunan 
at-Tirmidzi (II/164, no. 834).
[4]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1023)], Muwatha' Imam Malik (224/724), 
Mus-tadrak al-Hakim (I/454).
[5]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1012)].
[6]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/401, no. 1542), Shahiih Muslim 
(II/ 834, no. 117), Sunan Abi Dawud (V/269, no. 1806), Sunan an-Nasa-i (V/129
[7]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/135, no. 1265), Shahiih Muslim 
(II/865, no. 1206), Sunan Abi Dawud (IX/63, no. 3223-3222), Sunan an-Nasa-i 
(V/196).
[8]. Muttafaq 'alaih: Shahiih Muslim (II/861, no. 1201 (83)) ini adalah lafazh 
beliau, Shahiih al-Bukhari (IV/12, no. 1814), Sunan Abi Dawud (V/309, no. 
1739), Sunan an-Nasa-i (V/194), Sunan at-Tirmidzi (II/214, no. 960), Sunan Ibni 
Majah (II/1028, no. 3079).
[9]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (V/28, no. 1824), Shahiih Muslim 
(II/853, no. 1196 (60)), Sunan an-Nasa-i (V/186) semisal hadits tersebut.
[10]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (V/28, no. 1824), Shahiih Muslim 
(II/853, no. 1196 (60)), Sunan an-Nasa-i (V/186) semisal hadits tersebut.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1066/slash/0/hal-hal-yang-terlarang-ketika-ihram/
Wallahu Ta'ala A'lam






                                          

Reply via email to