ASAL PENSYARI’ATAN KURBAN

Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar
http://almanhaj.or.id/content/1692/slash/0/definisi-asal-dan-hikmah-pensyariatan-kurban-serta-hukum-kurban/


AL-UDH-HIYAH (Kurban)
Kurban disyari’atkan pada hari raya Adh-ha dan hari-hari Tasyriq. Kurban adalah 
ibadah agung yang menampakkan sifat penghambaan yang ikhlas karena Allah, 
karena seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah 
binatang ternak secara syari’at.

Definisi dan Sebab Penamaannya
Al-Udh-hiyah Secara Bahasa
Al-udh-hiyah, didhamahkan huruf hamzahnya dan dikasrahkan serta tidak ditasydid 
huruf ya’-nya dan ditasydid. Bentuk jamaknya adalah adhaa-hi (أَضَاحِيْ ) dan 
adhaahiyy ( أَضَاحِيّ). Juga bisa dikatakan dhahiyah ( ضَحِيَة) dengan 
difathahkan huruf Dhadnya dan dikasrahkan, bentuk jama’nya adalah dhahaaya 
(ضَحَايَا). Juga boleh dikatakan adhhaah ( أَضْحَاة) dengan difathahkan huruf 
hamzahnya dan dikasrahkan dan bentuk jamaknya adalah adhhaa ( أَضْحًى) dengan 
ditanwinkan seperti arthaa ( أَرْطَى) jamak dari arthaah [1] ( أَرْطَاة). 

Al-udh-hiyah Scara Istilah 
Udh-hiyah adalah binatang ternak yang disembelih di hari raya kurban sampai 
akhir hari Tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Sebab Penamaannya
Ada yang mengatakan, kata ini diambil dari kata (الضَحْوَة ); dinamakan 
demikian karena dilakukan diawal waktu pelaksanaannya, yaitu waktu Dhuha dan 
dengan sebab ini hari tersebut dinamakan hari raya al-Adh-ha. [2]

Asal Pensyari’atannya
Kurban disyariatkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’

Dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah” [Al-Kautsar : 2]

Ibnu Katsir Rahimahullah dan selainnya berkata, “Yang benar bahwa yang dimaksud 
dengan an-nadr adalah menyembelih kurban, yaitu menyembelih unta dan 
sejenisnya” [3]

Sedangkan dari sunnah adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang 
diriwayatkan oleh Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam.

كَانَ يُضَحِّيْ بِكَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ وَكَانَ يُسَمِّيْ 
وَيُكَبِّرُ.

“Beliau menyembelih dua ekor kambing bertanduk dan gemuk dan beliau membaca 
basmalah dan bertakbir” [4]

Demikian juga hadits dari Al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

خَطَبَنَا رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ النَّحْرِ، 
فَقَالَ: لاَ يُضَحِّيَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يُصَلِّيَ، فَـقَالَ رَجُلٌ: 
عِنْدِي عَنَاقُ لَبَنٍ هِيَ خَيْرٌ مِنْ شَاتَيْ لَحْمٍ، قَالَ: فَضَحِّ بِهَا 
وَلاَ تَجْزِي جَذَعَةٌ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami di hari raya 
kurban, lalu beliau berkata, ‘Janganlah seorang pun (dari kalian) menyembelih 
sampai di selesai shalat’. Seseorang berkata, ‘Aku memiliki inaq laban, ia 
lebih baik dari dua ekor kambing pedaging’. Beliau berkata, ‘Silahkan 
disembelih dan tidk sah jadz’ah dari seorang setelahmu” [5]

Dan dari ijma’ adalah apa yang telah menjadi ketetapn ijma’ (kesepakatan) kaum 
muslimin dari zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang tentang 
pensyari’atan kurban, dan tidak ada satu nukilan dari seorang pun yang 
menyelisihi hal itu. Dan sandaran ijma’ tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, ‘Kaum muslimin telah 
sepakat tentang pensyariatan kurban [6]. Sedangkan Ibnu Hajar Rahimahullah 
mengatakan, “Dan tidak ada perselisihan pendapat bahwa kurban itu termasuk 
syi’ar-syi’ar agama [7].

HIKMAH PENSYARIATAN KURBAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan kurban untuk mewujudkan hikmah-hikmah 
berikut.

1. Mencontoh bapak kita Nabi Ibrahim “Alaihissalam yang diperintahkan agar 
menyembelih buah hatinya (anaknya), lalau ia meyakini kebenaran mimpinya dan 
melaksanakannya serta membaringkan anaknya di atas pelipisnya, maka Allah 
memanggilnmya dan menggantikannya dengan sembelihan yang besar. Mahabenar Allah 
Yang Mahaagung, ketika berfirman.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ 
أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا 
تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا 
وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ 
الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ 
الْبَلَاءُ الْمُبِينُوَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ 

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama 
Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi 
bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai 
ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan 
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. Tatkala keduanya telah berserah 
diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran 
keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah 
mebenarkan mimpi itu’, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada 
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang 
nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” 
[Ash-Shaaffaat : 102-107]

Dalam penyembelihan kurban terdapat upaya menghidupkan sunnah ini dan 
menyembelih sesuatu dari pemberian Allah kepada manusia sebagai ungkapan rasa 
syukur kepada Pemilik dan Pemberi kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah 
kemurnian ketaatan dengan mengerjakan seluruh perintahNya.

2. Mencukupkan orang lain di hari ‘Id, karena ketika seorang muslim menyembelih 
kurbannya, maka ia telah mencukupi diri dan keluarganya, dan ketika ia 
menghadiahkan sebagiannya untuk teman dan tetangga dan kerabatnya, maka dia 
telah mencukupi mereka, serta ketika ia bershadaqah dengan sebagiannya kepada 
para fakir miskin dan orang yang membtuhkannya, maka ia telah mencukupi mereka 
dari meminta-minta pada hari yang menjadi hari bahagia dan senang tersebut.

HUKUM BERKURBAN
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum kurban menjadi beberapa pendapat, 
yang paling masyhur ada dua pendapat, yaitu.

Pendapat Pertama : Hukum kurban adalah sunnah mu’akkadah, pelakunya mendapat 
pahala dan yang meninggalkannya tidak berdosa. Inilah pendapat mayoritas ulama 
salaf dan yang setelah mereka.

Pendapat Kedua : Hukum kurban adalah wajib secara syar’i atas muslim yang mampu 
dan tidak musafir, dan berdosa jika tidak berkurban. Inilah pendapat Abu 
Hanifah dan selainnya dari para ulama.

Setiap pendapat ini berdalil dengan dalil yang telah dipaparkan dalam 
kitab-kitab madzhab. Pendapat yang menenangkan jiwa dan didukung dengan 
dalil-dalil kuat dalam pandangan saya bahwa hukum kurban adalah sunnah 
mu’akkadah, tidak wajib.

Ibnu Hazm Rahimahullah berkata, “Kurban hukumnya sunnah hasanah, tidak wajib. 
Barangsiapa meninggalkannya tanpa kebencian terhadapnya, maka tidaklah berdosa 
[8]

Sedangkan Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat 
tentang kewajiban kurban atas orang yang mampu. Sebagian besar ulama 
berpendapat bahwa kurban itu sunnah bagi orang yang mampu, jika tidak 
melakukannya tanpa udzur, maka ia tidak berdosa dan tidak harus mengqadha’nya. 
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kurban itu wajib atas orang yang mampu. 
[9]

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia 
Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad 
Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab, maddah Dhahaa (XIV/477) dan al-Mu’jamul Wasiith maddah 
Dhahaah (I/537).
[2]. Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (XIII/109) dan Fat-hul Baari (X/3) dan 
Nihaayatul Muhtaaj (III/133).
[3]. Tafsir Ibni Katsir (IV/558), Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi (I/249) dan 
Tafsiir Al-Qurthubi (XI/218]
[4]. Hadits Riwayat Bukhari dan Musim lihat Fathul Baari (X/9) dan Shahih 
Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/120).
[5]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim lihat Fathul Baari (X/6) dan Shahihh 
Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/113)
[6]. Al-Mughni (VIII/617)
[7]. Fathul Baari (/3)
[8]. Al-Muhalla (VIII/3)
[9]. Shahiih Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/110) dan lihat dalil dua pendapat 
ini dan perdebatannya dalam Fathul Baari (X/3), Bidaayatul Mujtahid (I/448), 
Mughniyul Mubtaaj (IV/282) Majmu Al-Fatawaa (XXVI/304), Al-Mughni dan Syarhhul 
Kabiir (XI/94) dan Al-Mughni (VIII/617) dan setelahnya.
                                          

Reply via email to