HADITS SHALAT ARBA'IN
Oleh
Ustadz Astinizamani Lc.
http://almanhaj.or.id/content/3732/slash/0/hadits-shalat-arbain/


Keinginan kuat agar selamat dari adzab api neraka dan selamat dari kemunafikan 
telah memotivasi banyak orang untuk melakukan shalat berjama’ah selama 40 kali 
di masjid Nabawi. Shalat ini disebutkan dengan shalat arba’in. Patut 
diselidiki, bagaimanakah derajat hadits tersebut? Berikut sedikit penjelasannya.

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَيَفُوتُهُ صَلاَةٌكُتِبَتْ 
لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِئََ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa melaksanakan shalat di masjidku sebanyak empat puluh shalat, tanpa 
ada satu shalat pun yang tertinggal; niscaya ia akan dijauhkan dari neraka, 
selamat dari siksaan dan dijauhkan dari sifat kemunafikan.

Hadits ini diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad [1] dan 
at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Awsath [2], dengan sanad mereka dari : 
‘Abdurrahmaan bin Abir Rijal, dari Nubaith bin ‘Umar, dari Anas bin Malik 
Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (sebagaimana redaksi (matn) di atas)

hadits dengan (matn di atas merupakan riwayat Imam Ahmad, sedangkan dalam 
riwayat at-Thabrani, tanpa ada kalimat: (ؤَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ).

Setelah membawakan riwayat ini, at-Thabrani mengatakan, “Tidak ada yang 
meriwayatkannya dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu selain Nubaith bin ‘Umar 
dan hanya Ibn Abir Rijal yang meriwayatkannya (dari Nubaith).”

Sanad hadits ini bermasalah, karena perawi yang bernama : Nurbaith bin ‘Umar 
dalam sanad ini tidak diketahui atau tidak dikenal (majhul), sebagaimana 
penjelasan at-Thabrani, bahwa tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali 
‘Abdurrahman bin Abir Rijal. 

Majhul itu ada dua jenis:
1. Majhul ‘ain, artinya : Tidak diketahui atau tidak dikenal. Para Ulama ahli 
hadits mendefinisikannya sebagai seorang perawi yang tidak meriwayatkan darinya 
kecuali satu orang saja.

2. Majhul hal, artinya : Tidak diketahui perihal atau derajatnya. Dalam istilah 
lain dikatakan mastur (tertutup) yang didefinisikan sebagai perawi seorang 
perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih, tapi tidak ada satu 
Ulama hadits pun yang bercerita tentang perihal dan derajatnya. [3] 

Hadits yang diriwayatkan oleh perawi majhul- baik yang majhul ‘ain maupun haal- 
dihukumi lemah (dha’if), sampai ditemukan riwayat lain yang mengikutinya dan 
menguatkan derajatnya. Hadits di atas, tidak ada satu riwayat pun yang 
mengikuti dan menguatkan riwayat ini, sehingga hadits ini menjadi dla’if.

Namun, Imam Ibn Hibban menyebutkan nama Nubaith bin ‘Umar dalam kitabnya 
al-Tsiqat [4]. Ini kemudian dijadikan pegangan oleh beberapa ulama untuk 
menghukumi hadits ini sebagai hadits shahih. Diantaranya adalah Iam 
al-Haitsami. Beliau rahimahullah mengatakan,”Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 
dan at-Thabrani dalam kitab al-Awsath dan para perawinya semua tsiqah.”[5] 

Begitu juga imam al-Mundziri, bahkan beliau rahimahullah berlebihan dengan 
mengatakan, “diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya semua adalah para 
perawi yang disebutkan di kitab-kitab shahih, dan diriwayatkan juga oleh 
at-Thabrani di “al-Awsath”” [6]

Pernyataan ini keliru. Karena tidak semua perawi yang ada dalam sanad tersebut 
tsiqah. Kita tidak pernah mendapatkan penyebutan perawi yang bernama : Nubaith 
bin ‘Umar dalam kitab-kitab shahih, seperti shahih al-Bukhari, Muslim dan yang 
lainnya, bahkan tidak juga dalam kitab-kitab sunan yang empat ; Abu Dawud , 
al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Lalu, bagaimana bisa dikatakan bahwa 
semua perawi hadits ini adalah para perawi yang disebutkan dalam kitab-kitab 
shahih, padahal tidak ada para Ulama yang mengumpulkan hadits-hadits shahih 
mengambil sanad melalui jalan beliau.

Dari uraian ini, kita fahami bahwa perkataan kedua imam ini adalah sebuah 
kekeliruan.

Penulisan nama Nubaith bin ‘Umar oleh imam Ibn Hibban dalam kitabnya Tsiqat, 
dianggap oleh para ulama hadits sebagai bentuk tasahul (sikap terlalu mudah 
atau menggampangkan) beliau dalam memberikan derajat tsiqah untuk para perawi 
majhul. Dan tidak ada ulama, baik sebelum atau setelah masa beliau, yang 
menggunakan metode seperti ini. Walaupun sebagian dari mereka ada yang 
menjadikan sikap tersebut sebagai pegangan untuk mengangkat derajat seorang 
perawi majhul menjadi tsiqah. Wallahu a’lam.

SENADA TAPI TAK SAMA
Kemudian, ada hadits yang hampir senada dengan hadits ini yaitu yang 
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi [7], Bahsyal [8] dalam kitabnya Tarikh Wasith” 
[9], Ibnu ‘Adi dalam kitab al-Kamil [10] dan al-Baihaqi dalam kitab Su’abul 
Iman [11], semua dengan sanad masing-masing, dari Salm bin Qutaibah Abu 
Qutaibah dari Thu’mah bin ‘Amr, dari Habib..., dari Anas bin Malik Radhiyallahu 
anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja dalam riwayat 
at-Tirmidzi disebutkan bahwa riwayatnya,”....dari Habib bin Abu Tsabit, dari 
Anas bin Malik”. Sedangkan dalam riwayat Ibn ‘Adi dijelaskan bahwa Habib itu 
adalah orang yang dijuluki al-Hadzdza’. Adapun riwayat Bahsyal dan al-Baihaqiy, 
disebutkan, “......dari Habib, dari Anas Radhiyallahu anhu”, tanpa menjelaskan 
nasab perawi yang bernama Habib tersebut.

Redaksi (matn) dari riwayat ini semuanya hampir sama, namun yang harus 
diperhatikan, dalam riwayat ini tidak ada pengkhususan tempat. Ini berbeda 
dengan redaksi hadits di atas yang menyebutkan tempat khusus yaitu di masjid 
Nabawi saja. Redaksinya adalah sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى آللَّهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ 
الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ 
النِّفَاقِ

Barangsiapa mendirikan shalat karena Allah, selama empat puluh hari, secara 
berjama’ah, dengan selalu mendapatkan takbir yang pertama (bersama imam); 
niscaya akan diberikan kepadanya kebebasan (keselamatan) dari dua hal: dari 
neraka dan dari kemunafikan.

Kecuali riwayat Bahsyal, yang redaksinya berbeda yaitu:

مَنْ صَلَّى مَعَ الإِمَامِ صَلاَةَ الْغَدَاةِ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا كُتِبَ لَهُ 
بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa shalat shubuh bersama imam (yakni: secara berjama’ah) selama empat 
puluh hari; niscaya ia akan terbebas dari dua hal, yaitu : neraka dan 
kemunafikan.

Redaksi ini juga tidak ada penyebutan tempat secara khusus. Wallahu a’lam.

Sanad hadits ini hasan, disebabkan oleh dua orang perawi dalam sanadnya yang 
tidak sampai derajat tsiqah. Keduannya adalah : Thu’mah bin ‘Amr dan Salm bin 
Qutaibah.

Thu’mah bin ‘Amr, mayoritas ulama ahli hadits lebih condong untuk memberinya 
derajat tsiqah, seperti : Ibn Ma’in [12], Abu Hatim [13] dan yang lainnya. Ibn 
Hibban rahimahullah juga menyebutkan nama beliau dalam kitabnya al-Tsiqat [14]. 
Pandangan yang berbeda disampaikan al-Daruquthniy, beliau berkata, “dia tidak 
bisa dijadikan hujjah, namun tetap boleh dijadikan sandaran.”[15] 

Perkataan inilah yang kemudian menurunkan derajat Thu’mah dari tsiqah menjadi 
shaduq, sebagaimana perkataan al-Hafidz Ibn Hajar rahimahullah “Shaduq ‘abid 
(bisa dipercaya dan ahli ibadah).”[16] 

Keadaan Salm bin Qutaibah juga tidak jauh beda, mayoritas ulama ahli hadits 
lebih condong untuk memberikannya derajat tsiqah, di antaranya: Ibn Ma’in [17], 
Abu Zur’ah [18], Abu Dawud [19], Abu Hatim [20], al-Daruqthniy [21] dan yang 
lainnya. Hanya saja Abu Hatim mengatakan, “....(beliau) banyak salahnya....”. 
dan Abu Hatim termasuk ulama ahli hadits yang perkataannya sangat kuat dalam 
hal ini. Pandangan beliau ini menyebabkan derajat perawi ini turun dari tsiqah 
menjadi shaduq, sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar. [22] 

Kemudian, Thu’mah bin ‘Amr yang meriwayatkannya dari Habib bin Abu Tsabit 
(riwayat al-Tirmidzi) diikuti oleh khalid bin Thahman, sebagaimana yang 
disampaikan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Baghdad [23] 
dengan sanad beliau dari Qais bin al-Rabi’, dari khalid bin Thahman, dari Habib 
bin Abu Tsabit, dari Anas bin Malik; secara marfu’ dari sabda Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan matn sebagai berikut:

مَنْ لَمْ تَفُتْهُ الرَّكْعَةُ الأُوْلَى أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا، كَتَبَ آللَّهُ 
لَهُ بَرَاءَتَيْنِ، بَرَاءَةُ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةً مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa tidak pernah terlewatkan raka’at pertama (dalam shalat) selama 
empat puluh pagi (hari), niscaya Allah akan mengganjarnya dengan dua 
keselamatan; keselamatan dari neraka, dan keselamatan dari kemunafikan.

Qais bin al-Rabi’ diikuti oleh ‘Aِِtha’ bin Muslim, yang juga meriwayatkannya 
dari Khalid bin Thahman, dan seterusnya; secara marfu’, sebagaimana yang 
disebutkan oleh ad-Daruquthniy dalam kitabnya al-‘Ilalul Waridah [24] 

Namun, riwayat mereka berdua (Qais bin al-Rabii’ dan ‘Athaa’ bin Muslim) 
ternyata diselisihi oleh riwayat berikut:

1. Waki’, yang disampaikan oleh: at-Tirmidzi [25], dan Ibn ‘Adi dalam kitabnya 
al-Kamil [26] 
2. Abu Usamah, yang disampaikan oleh : al-Baihaqi dalam Su’abul Iman [27]
3. Ahmad bin Yunus, yang disampaikan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab 
al-Muttafiq wal Muftariq[28] 
4. Sufyan al-Tsauri, dan Qurrah bin ‘Isa, yang keduanya disampaikan oleh 
Bahsyal dalam Tarikh Wasith” [29], dengan redaksi yang sama seperti riwayat 
Bahsyal sebelumnya.

Semuanya (Waki’, Abu Usamah, Ahmad, Sufyan dan Qurrah) meriwayatkan dari Khalid 
bin Thahman (Abul ‘Ala al-Khaffaf), dari Habib bin Abu Habib (Ab ‘Amirah 
al-Bajali al-Iskaf), dari Anas bin Malik secara mauquf ; dari perkataan Anas, 
dan tidak menjadikannya marfu’ dengan redaksi yang hampir sama dengan riwayat 
at-Tirmidzi dan yang lainnya, tanpa ada penyebutan tempat secara khusus, baik 
tempat maupun jenis shalat tertentu. Kecuali riwayat Abu Usamah yang 
disampaikan oleh al-Baihaqi, redaksinya sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ، صَلاَةَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ 
الآخِرَةِ، كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ 
النِّفَاقِ

Barangsiapa mendirikan shalat selama empat puluh hari dengan berjama’ah, shalat 
fajr (subuh) dan ‘Isya’; niscaya akan diganjar dengan kebebasan dari dua hal: 
dari neraka dan dari kemunafikan.

Riwayat mereka inilah yang kemudian dianggap lebih kuat (rajih) dan lebih 
terjaga (mahfudh), sebab tiga di antaranya adalah para perawi yang tidak 
diragukan lagi ketsiqahan (kafabelitas) mereka dalam meriwayatkan hadits, yaitu 
: ًWaki’ bin al-Jarrah, Abu Usamah (Hammad bin Usamah), Sufyan al-Tsauriy dan 
Ahmad bin Yunus [30], sedangkan derajat para perawi yang menyelisihi mereka, 
yaitu : Qais bin ar-Rabi’ dan ‘Atha’ bin Muslim, tidak bisa disamakan dengan 
ketiga imam ini. [31].

Walaupun demikian, sanadnya masih bermasalah. Sebab, Habib bin Abu Habib tidak 
disebutkan dan tidak dijelaskan kondisi dan derajatnya oleh para ulama ahli 
hadits, kecuali Imam Ibn Hibban, yang hanya menyebutkan nama beliau dalam kitab 
al-Tsiqat [32]. Imam ad-Daruquthni menyebutkan nama Habib bin Abu Habib) dalam 
kitab al-Dhu’afa’ wal Matrukun [33]. 

KESIMPULAN
Hadits yang mengandung perintah untuk shalat sebanyak empat puluh kali (arba’in 
shalah) di masjid Nabawi adalah hadits yang dla’if, sebagaimana dijelaskan 
tadi. Bahkan bisa dihukumi hadits mungkar [34], karena menyelisihi 
hadits-hadits lainnya yang mengandung perintah untuk shalat selama empat puluh 
hari tanpa pengkhususan masjid Nabawi (arba’in yaum atau arba’in shabah / 
arba’in lailah). Walaupun, kita perhatikan bahwa hadits-hadits yang menyebutkan 
arba’in yaum atau arba’in shabah/ arba’in lailah. Semuanya tidak lepas dari 
‘illah, baik yang terlihat dan diketahui atau pun tidak, ditambah lagi adanya 
banyak perbedaan (idlthirab) dalam redaksi (matn)nya, karena sebagiannya 
bersifat umum dan sebagiannya lagi ada yang mengkhususkan shalat tertentu. 
Namun, dengan berkumpulnya sejumlah riwayat itu, bisa kita katakan bahwa 
haditsnya menjadi hasan li ghairihi. Wallahu a’lam.

TAMBAHAN
Ini sekaligus sebagai nasihat bagi sebagian kaum Muslimin, khususnya di 
Indonesia, yang masih sangat yakin tentang keharusan untuk melaksanakan shalat 
sebanyak empat puluh kali shalat secara bertutut-turut di masjid Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kiranya lebih memperhatikan dan merenungi 
hadits yang jelas-jelas shahih yaitu:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ 
دَرَجَةً

Shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalat sendirian sebanyak dua puluh 
tujuh derajat. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits ini muttafaq ‘alaih, sehingga tidak diragukan lagi bahwa derajatnya 
lebih shahih dari hadits-hadits shalat arba’in di atas. Hadits ini lebih umum 
dan tidak ada pengkhususan tempat juga tidak ada penyebutan batas waktu 
tertentu.
Wallahu a’lam

(Ustadz Astinizamani Lc : Beliau sedang menempuh kuliah S2 Fakultas Hadits di 
Universitas Islam Madinah KSA)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. al-Musnad (20/40/no. 12583)
[2]. al-mu’jamul awsath (5/325.no.5444)
[3]. Pembahasan ini bisa dilihat di buku-buku mushthalahul hadits, seperti 
Ma’rifah ‘Ulumil Hadits (Ibn al-Shalah), al-Taqrib wat Taisir (Imam 
al-Nawawiy),Ttadribur Rawii (al-Suyuthiy), Fathul Mughits (al-Sakhawiy), dan 
lain-lain.
[4]. Lihat at-Tsiqat (5/483).
[5]. Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id (4/8/no.5878)
[6]. at-Targhib wat Tarhib (2/505/no.1733).
[7]. Sunan al-Tirmidziy (505/no.1733)
[8]. Dia adalah: Aslam bin Sahl bin Salm bin Ziyaad bin Habiib al-Wasithiy, 
Abul Hasan al-Razzaaz, yang dikenal dengan julukan : Bahsyal (بحشل), wafat 
tahun 292H
[9]. Tarikh Wasith (1/66)
[10]. al-Kamil fidl Dlu’afa’ (2/403)
[11]. Syu’abul Iman (4/345/no. 2612,2613)
[12]. al-Jarh wat Ta’dil, karya : Ibn Abi Hatim (4/496/no.2185)
[13]. Ibid
[14]. Lihat kitab : al-Tsiqat (6/492). 
[15]. Su’alatul Barqani (38/no.492)
[16]. Taqribut Tahdzib (463/no.3032)
[17]. Tarikh Yahya bin Ma’in, riwayat : Abbas al-Duuriy (4/171/no. 3775)
[18]. al-Jarh wat Ta’dil, karya : Ibn Abi Hatim (4/266/no.1148)
[19]. Su’alatul Ajurriy 
[20]. al-Jarh wat Ta’dil, karya : Ibn abi Hatim (4/266/no.1148)
[21]. Su’alatul Hakim (222/no.348)
[22]. Lihat : Taqribut Tahdzib (397/no. 2484)
[23]. Tarikh Baghdad (13/301)
[24]. al-‘Ilalul Waridah fil Ahaditsin Nabawiyyah (2/118/no.151)
[25]. Sunan al-Tirmidzi (505/no. 1733)
[26]. Alkamil fidl Dlu’afa’(2/403)
[27]. Syu’abul Iman (4/345/no.2614)
[28]. al-Muttafiq wal Muftariq(1/683/no. 397)
[29]. Tarikh Wasith (1/66)
[30]. Dia adalah Ahmad bin Abdullah bin Yunus
[31]. Perihal dan derajat mereka berdua bisa dilihat kembali di kitab : 
Tahdzibul Kamal (karya: Abul Hajjaj al-Mizziy), Tahdzibut Tahdzib dan Taqribut 
Tahdzib (keduanya karya : al-Hafidh Ibn Hajar) dan kitab-kitab lainnya
[32]. Lihat: al-Tsiqat (4/140)
[33]. Lihat: al-Dlu’afa wal Matrukun (2/149/no. 170)
[34]. Mungkar yang dimaksudkan disini adalah mungkar dalam pengertian ulama 
hadits, bukan mungkar dalam pengertian kita saat ini. Mungkar dalam ilmu hadits 
artinya hadits yang menyelisihi hadits yang lebih kuat darinya
                                          

Kirim email ke