Gatra.com | Minggu, 6 April 2008 | Gemah ripah rapuh. Kalimat yang
pernah menjadi tagline edisi khusus Gatra beberapa tahun lalu itu makin
menjadi kenyataan. Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris yang
gemah ripah, ternyata rapuh dalam soal ketahanan pangan. Itu terbukti
pada laporan UN World Food Program (WFP), yang dirilis Jumat dua pekan
lalu, yang melengkapi laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)
pada awal Maret.

Dua lembaga PBB yang mengurusi pangan itu mengungkapkan, akibat
kenaikan harga minyak yang menembus US$ 100 per barel pada akhir tahun
lalu, harga pangan dunia meroket hingga rata-rata 40%. Lonjakan harga
ini terjadi pada komoditas beras, jagung, dan kedelai. Harga jagung
bahkan mencapai rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir. Begitu juga
harga kedelai, yang mencetak rekor puncak dalam 35 tahun terakhir.

WFP pun menyebutkan, pada saat ini stok beras dunia mencapai titik
terendah, sehingga mendorong harga ke level tertinggi selama 20 tahun
terakhir. Sedangkan stok gandum berada di titik nadir selama 50 tahun
terakhir.

Menurut prediksi FAO, 36 negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika
Latin mengalami krisis pangan, termasuk Indonesia. Global Information
and Early Warning System yang dibangun FAO menyebutkan, Indonesia
termasuk negara yang membutuhkan bantuan negara luar dalam mengatasi
krisis itu. Selain Indonesia, di kawasan Asia ada delapan negara lagi
yang mengalami krisis pangan. Yakni Irak, Afghanistan, Korea Utara,
Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Timor Leste.

Selain dipicu kenaikan harga bahan pangan, krisis pangan juga
disebabkan adanya konflik, banjir, gempa, dan perubahan iklim. Krisis
pangan yang dimulai dari lonjakan harga pangan dunia itu pun mengancam
negara dunia ketiga yang tidak memiliki kekuatan ekonomi seperti
negara-negara maju.

Padahal, di saat yang sama, produksi beberapa komoditas pangan dunia
mengalami peningkatan. Produksi gandum dunia yang harganya naik pada
awal 2008 ini ternyata mengalami peningkatan hingga 9,34 juta ton
antara tahun 2006 dan 2007. Sedangkan produksi gula dunia meningkat
sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun lalu.

Angka cukup mencengangkan ditunjukkan pada produksi jagung, yang tahun
2007 mencapai rekor produksi 781 juta ton atau meningkat 89,35 juta ton
dari total produksi tahun sebelumnya. Hanya kedelai yang mengalami
penurunan produksi sebesar 17%. Itu pun karena ada penyusutan lahan di
Amerika Serikat sebesar 15% untuk proyek biofuel.

Sejumlah kalangan memprediksi, gejolak harga komoditas pangan dunia
belum mereda hingga akhir 2008. Para spekulan dan pemilik modal bakal
terus memainkan harga di bursa komoditas global. Aksi borong masih
mewarnai sejumlah komoditas pangan, seperti gandum, kedelai, gula, dan
jagung.


Kondisi itu berimbas pada situasi pangan di Indonesia. "Ketahanan
pangan di Indonesia sangat rentan karena negeri ini masih mengandalkan
bahan pangan dari impor," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan
Terigu, Natsir Mansur. Celakanya, pemerintah tidak memiliki insentif
impor yang memadai, seperti diterapkan Tiongkok dan India.

Bahkan, menurut Natsir, manajemen pangan di Indonesia kini makin
amburadul. Yang terjadi pada saat ini adalah manajemen panik, sehingga
memerlukan biaya tinggi karena tidak ada perencanaan stok dan
distribusi bahan pangan. Jika tidak segera ditata secara terpadu,
krisis pangan di negeri agraris ini menjadi sebuah ironi, ibarat tikus
mati di lumbung padi.

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, fenomena
menyedihkan ini akibat kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi,
dan deregulasi sebagai inti Konsensus Washington. Pada 1998, pemerintah
menyerahkan kedaulatan pangan kepada pasar bebas akibat tekanan WTO.
Akibatnya, "Petani padi, jagung, kacang kedelai, dan buah-buahan hancur
semua," kata Henry.

Dengan adanya kebijakan pasar bebas, perusahaan menggenjot produksi
pangan yang berorientasi ekspor. Akibatnya, surplus pangan dari
negara-negara maju berbalik ke pasar nasional. Di saat yang sama,
pemerintah malah menggenjot produksi hasil perkebunan berorientasi
ekspor, seperti terjadi pada tata niaga CPO. Produksi tanaman pangan di
dalam negeri pun jadi terbengkalai.

Negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan untuk mengatur
produksi, distribusi, dan konsumsi di sektor pangan. Ujung-ujungnya,
sektor pangan sangat bergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai
segelintir perusahaan raksasa. Kondisi ini diperparah dengan program
privatisasi sektor pangan, yang notabene merupakan kebutuhan pokok
rakyat.

Sebagai contoh, Bulog selaku lembaga pengontrol harga diprivatisasi
menjadi entitas bisnis. Demikian pula industri hilir pangan hingga
distribusi (ekspor-impor) dikuasai perusahaan seperti Cargill dan
Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia hanya menjadi konsumen
atau end-user. "Akhirnya sektor pangan mengarah ke sistem monopoli atau
oligopoli (kartel)," ungkap Henry.

Krisis pangan juga disebabkan kebijakan dan praktek yang menyerahkan
urusan pangan pada pasar (1998, letter of intent IMF) serta mekanisme
perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995,
agreement on agriculture, WTO). Akses pasar Indonesia dibuka
lebar-lebar, bahkan hingga 0%, seperti kedelai (1998, 2008) dan beras
(1998). Sementara itu, subsidi domestik untuk petani terus berkurang,
baik menyangkut pengolahan tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi,
maupun insentif harga.

Di sisi lain, subsidi ekspor dari negara-negara overproduksi pangan
seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa --beserta
perusahaan-perusahaannya-- malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri
barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik hancur sejak
1995 hingga saat ini. "Hal ini jelas membunuh petani kita," kata Henry.
Beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang
mengalahkan pertanian rakyat. Misalnya Undang-Undang (UU) Nomor 1/1967
tentang PMA, UU Nomor 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan
65/2006, UU Nomor 18/2003 tentang Perkebunan, dan yang terakhir UU
Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Dengan kemudahan regulasi itu, upaya privatisasi menuju monopoli atau
kartel di sektor pangan makin terbuka. Hal ini kian parah dengan tidak
diupayakannya secara serius pembangunan koperasi dan UKM dalam
produksi, distribusi, dan konsumsi di sektor pangan.

Dengan sistem kebijakan dan praktek itu, Indonesia kini bergantung pada
pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka, ketika terjadi
perubahan pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional,
negeri ini langsung terkena dampaknya.

Henry menegaskan, jalan keluar krisis harga pangan itu adalah
menegakkan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan berarti memberikan hak
pada setiap negara untuk mengatur dan memproteksi tata pertanian di
tiap-tiap negara. Negara harus memproteksi petani dari gempuran pasar
bebas. Produksi pertanian harus ditujukan pada pemenuhan kebutuhan
rakyat, bukan pada kebutuhan pasar ekspor yang hanya menguntungkan
perusahaan multinasional. Kedaulatan pangan harus memprioritaskan
pemenuhan pasar lokal dan nasional serta memberdayakan petani kecil di
pedesaan.

www.AstroDigi.com (Nino Guevara Ruwano)

--
Posted By NINO to BISNIS ONLINE at 8/19/2010 02:54:00 PM

Kirim email ke