Dear Bunda Telisa, kalo soal air ketuban, udah cukup ato blm, aq jg ga begtu ngerti, soalnya usia kandunganku jg baru 6 bulan menuju 7 bulan.
Aq cmn mo bagi bagi info soal mitoni. Terlepas ini syirik atau ngga (krn tdk ada ketentuan dlm agama), yang pasti mitoni cuman sekedar upacara syukuran agar nantinya proses lahiran lancar. Berikut ini beberapa artikel yg aq ambil dari internet, semoga aja membantu... ;) Nining Sekar 6months pregnant moms ***************************** Upacara Mitoni Pasangan Indo-Jerman TRADISI tingkeban/mitoni (selamatan istri hamil tujuh bulan) hampir jarang dilakukan. Lebih-lebih di kota besar seperti Semarang. Karena itu sangat menarik menyaksikan prosesi mitoni yang dilaksanakan secara lengkap. Apalagi pasangan suami istri yang mitoni ini adalah Indo-Jerman. Suami bernama Michael Stigman asal Jerman dan istrinya Geganawati SPd, MPd asal Semarang. Banyak tamu merasa kagum, karena orang asing mau menjalani upacara adat Jawa dengan penuh kesungguhan, sementara banyak generasi muda Jawa memandang rendah acara tradisi itu. Michael pun melaksanakan acara itu dengan lancar, termasuk saat sungkem sambil berjalan jongkok (dhodhok) kepada orang tua mereka. Ketika itu dia mengenakan pakaian adat Jawa beskap landung, sedangkan si istri yang juga Presiden International Indonesian Work Camp (IIWC), sebuah LSM, mengenakan pinjungan (pakai kain tanpa setagen dan kebaya). Juga tanpa gelang-kalung emas sebagai syarat dalam ritual itu. ''Saya senang budaya Jawa,'' kata Michael singkat mengomentari prosesi tingkeban yang harus dilakoninya di kediamannya kompleks Perumahan Graha Estetika Semarang, baru-baru ini. Prosesi mitoni dimulai dengan lantunan tembang Dandanggula oleh 7 panatacara/MC Swagotra. Bersamaan dengan itu muncullah putra-putri pembawa sesajen sebagaimana diuraikan dalam cakepan/syair tembang tersebut. Setelah itu dilantunkan beberapa gendhing seperti ''Ilir-ilir'' dengan pemandu KRT Caritodipuro. Sesudah sesaji diletakkan di tempat upacara, doa pun dipanjatkan oleh Setyadji, ayah dari Geganawati. Di tiap akhir bait doa berbahasa Jawa, para tamu mengamini dengan mengucapkan ''Satuhu''. Begitu doa selesai, Setyadji segera menuangkan air setaman ke dalam jambangan grabah berukir. Air itu selanjutnya digunakan memandikan Ny Michael oleh tujuh wanita yang pernah mantu dan tidak kawin-cerai sambil diiringi tembang Maskumambang, Asmaradana Barang Miring dan Mijil Baratlayu dengan irama yang bikin para tamu terharu. Cara memandikan dimulai dengan menyiramkan air mawar menggunakan gayung tempurung kelapa ke rambut kepala, bahu kanan-kiri, ke bawah sampai ujung kaki, sambil memanjatkan doa kepada Illahi agar calon bayi yang dilahirkan mendapat berkah. Menjadi anak yang mikul dhuwur mendhem jero yayah wibi (anak utama tanpa cacat yang mengharumkan kerabat dan menjaga martabat keluarga, dan menutupi cacat-cela orang tua serta leluhurnya). Juga bersih jiwanya dan harum namanya sesuai dengan makna ''air setaman'' yang dipakai sebagai sarana upacara. Berikutnya letrekan-klowongan. Ny Geganawati memakai letrek (kain ditenun jarang-jarang seperti klamat/sarang laba-laba warna merah-hitam-kuning-putih sebagai lambang nafsu manusia: amarah, aluamah, mutmainah dan supiyah (nafsu tamak, keinginan, iri, dengki, dan watak suci), yang dimiliki oleh semua insan dan setiap hari mengganggu kita, sebagaimana diilustrasikan dalam lakon wayang Dewaruci. Kemudian upacara tropongan, Ny Michael melepaskan tropong (alat pengikal tenunan/pintalan lawe/benang) yang dimasukkan di sela-sela letrek dengan nyamping/perutnya sembari berucap: Lanang, lanang, lanang. Beberapa ibu pun menjawab, laki-laki ya mau, wanita pun mau. Maknanya, sang ibu berserah kepada Tuhan, mau diberi anak lelaki atau perempuan, yang penting menjadi anak saleh/salehah. Dilanjutkan procotan sebagai lambang berharap agar kelahiran bayi nantinya diberi kemudahan (procot) dan selamat. Caranya: ibunda Michael menjatuhkan cengkir gading yang digambari Bethara Kamajaya-Bethari Kamaratih, sang Dewa-Dewi Asmara melalui klowongan antara letrek dengan nyamping si ibu, sambil berseru, ''Wadon, wadon, wadon (perempuan, perempuan, perempuan). Para ibu menjawab, ''Wadon arep, lanang ya arep.'' Setelah upacara magas/memotong letrek yang dilakukan Michael dengan menggunakan keris bergombyok untaian bunga melati, membanting telur ayam kampung, maka acara diakhiri dengan upacara plotrokan atau berganti nyamping 7 kali dan memecah kelapa muda (cengkir) gadhing bergambar Bethara Kamajaya-Kama Ratih. Doa kembali dilantunkan diiringi lagu ''Ayak-ayak Umbul Donga''. Semua itu dikandung maksud Tuhan berkenan mengabulkan permohonan pasangan suami istri punya hajat. Keluarga Michael yang hadir dari Jerman pun merasa gembira dengan acara itu. Bahkan, CD rekaman prosesi acara mitoni akan dibawa pulang ke negaranya sebagai oleh-oleh dari tanah Jawa. Acara ini juga dimeriahkan dengan panembrama pembauran dan pentas wayang kulit dengan dalang cilik Ki Bremara Sekarwangsa yang menampilkan lakon Dewa Ruci.(Hastin-12) Tanya Apa dan bagaimana tradisi 7 bulanan? Jawab "Tergantung filosofi dari sisi apanya Mbak? Kalau dari sisi adat, misalnya adat Jawa gitu, pasti ada maknanya. Tapi kalau dari sisi agama, setahu saya tidak ada filosofinya Terutama kalau dari sudut pandang agama Islam, tidak ada ayat/haditsnya tuh, (di Injil juga kayaknya tidak ada ajarannya, gimana temen² kristiani?) Kalau saya mendingan mengikuti ajaran agama saja, kalau adat kadang² suka ada yang bertentangan dengan agama, syirik dll, jadi sepertinya dana untuk mitoni untuk sedekah saja. Atau bikin hajatan di rumah tapi yang diundang kaum dhuafa gitu, jadi ada yang merasakan manfaatnya (Tapi orang kan lain-lain ya?)" (Ma) "Aku dulu mengadakan 4-bulanan dan Mitoni (7-bulanan) juga. 4-bulanan dulu aku adakan sebagai ungkapan rasa syukur atas di tiupkannya "ruh" ke janin kita. Aku adakan Pengajian ibu² sekaligus ngundang Anak Yatim. Kalau Dhu'afa-nya, aku dan suami sambil jalan muter² malam mingguan, sudah menyiapkan amplop yang diisi uang untuk dibagikan di jalanan. Nah, pas Mitoni baru aku adakan yang agak ramai. Paginya pengajian, siangnya baru upacara adat. Aku pakai Bu Tinuk Rifki (seperti waktu nikah). Beliaulah yang ngebimbing upacara adatnya. Pertama setelah didandanin, aku sungkeman dulu ke Suami, Orang Tua dan Mertua. Setelah itu baru dimulai acara Siraman, yang nyiram Suami, Orang tua lalu Mertua. Setelah siraman ada acara mecah kendi, kalau pecah berantakan (pecah semua) berarti apa gitu (sori sudah lupa). Lalu meloloskan telur dari dalam kain/sarung, juga ada artinya (lupa juga). Terus aku dibimbing suami kembali ke kamar buat persiapan acara Ganti Baju. Saat aku dipersiapkan, diadakan acara Belah Kelapa Gading oleh suamiku. Setelah aku siap, dimulailah acara ganti baju sebanyak 7 kali, baju yang terakhir lah yang paling sederhana rupanya yang paling bagus/pantas aku pake. Rupanya acara Ganti Baju itu hanya simbol, kalau aku-suami tidak mau apa², tapi keinginan kita hanya yang paling sederhana, yaitu ibu dan bayi akan diberi keselamatan. Setelah itu suamiku harus memotong seutas tali dengan kerisnya kemudian harus lari menjauh secepatnya, maksudnya supaya bayi bisa lahir cepat dan tanpa rintangan apapun. Terus ada juga acara Meloloskan Kelapa Gading dari dalam sarung, caranya pertama ibuku yang harus meloloskan kelapa setelah jatuh/dibawah, kelapa itu di gendong pake kain gendongan bayi, kemudian ibu mertuaku juga dg cara yang sama, katanya sbg latihan untuk calon nenek dalam menggendong bayinya. Lalu upacara Jajan Pasar. Terakhir, acara Dodol Dawet, dimana aku jualan Dawet buat tamu² sambil dipayungi suami. Sedangkan rujak 7-bulan di hidangkan sebagai salah satu jamuan makan". (Ha) Upacara MITONI atau selamatan yang menandai tujuh bulan usia kehamilan itu begitu indah menarik dan mengandung seribu makna. Peristiwanya selalu berbunga-bunga sekaligus mendebarkan, karena tidak lama lagi, sepasang temanten akan segera menjadi nyokap dan bokap, sepasang papa mama akan segera menjadi kakek nenek. Mbah kakung putri akan segera menjadi eyang buyut dan seterusnya. Adat Jawa Wong Jowo atau orang Jawa itu kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Telinga ini dibilangnya kuping, diartikan sebagai sesuatu yang kaku njepiping, sesuatu yang kaku dan kaku. Cengkir alias kelapa muda diterjemahkan sebagai kencenging pikir atau tekad yang keras. Tebu diartikan sebagai antebing kalbu. Pisang ayu disimbolkan sebagai harapan akan kehidupan yang tata tentrem kerta rahayu, kehidupan yang indah, bahagia, tentram dan sejahtera. Para pahlawan disebut kusuma bangsa atau bunga bangsa, sementara para koruptor dicap sebagai kusuma bangsa...tttt!. Putri solo yang lemah gemulai diibaratkan lumakune koyo macan luwe, berjalan kalem seperti harimau lapar, sementara putri yang sedang hamil tua dikatakan seperti bulus angrem, seperti kura-kura sedang mengeram. Begitu luasnya daya imajinasi itu sehingga melahirkan banyak ragam tata upacara adat yang sarat dengan makna simbolik, diantaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra kelahiran. Salah satunya adalah upacara untuk memperingati usia kehamilan tujuh bulan yang biasa disebut "mitoni" Orang Jawa menamai usia kehamilan tujuh bulan itu SAPTA KAWASA JATI. Sapta-tujuh, kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Pengertiannya, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ketujuh bayi lahir sehat dan sempurna. Bayi yang lahir tujuh bulan sudah dianggap matang alias bukan premature. Namun apabila pada bulan ketujuh itu bayi belum lahir, maka calon orang tua atau eyangnya akan membuat upacara mitoni, yaitu upacara slametan atau mohon keselamatan dan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa agar semuanya dapat berjalan lancar, agar bayi didalam kandungan beserta ibunya tetap diberi kesehatan serta keselamatan. Pelaksanaan Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya angka tujuh. Dasar kreatif, kata bilangan itu kemudian dipakai oleh orang Jawa sebagai simbol yang mewakili kata kerja. Pitu menjadi pitulungan, bermakna mohon berkat pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Tahap pelaksanaannya berurutan, bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana. Sangat cocok dilaksanakan pada sore hari, ngiras mandi sore. dan dihadiri oleh segenap sanak kadang, para tetangga serta handai taulan. Siraman Siram artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang sedang dikandung, lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yang disiapkan secara khusus dan didekor indah, disebut krobongan. Atau bisa juga dilakukan di kamar mandi. Sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunakan diambil dari tujuh sumber, atau bisa juga dari air mineral berbagai merek, yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari terakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati, kantil serta kenanga. Aneka bunga ini melambangkan kesucian. Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas memandikan. Seolah tanpa saingan, yang pasti terpilih adalah calon kakek dan neneknya. Tanpa tetek bengek perhiasan seperti anting, ataupun gelang akar bahar, dan hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi. Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara menuangkan atau mengguyurkan air yang berbunga-bunga itu ke tubuh calon ibu dengan menggunakan gayung yang dibuat dari batok kelapa yang masih berkelapa atau masih ada dagingnya. Bunga-bunga yang menempel disekujur badan dibersihkan dengan air terakhir dari dalam kendi. Kendi itu kemudian dibanting kelantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua yang hadir mengamati. Jika cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirin akan berteriak Cowok! Laki! Jagoan! Harno! dan komentar-komentar lain yang menggambarkan anaknya nanti bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berkeping-keping, dipercaya anaknya nanti bakal cewek. Acara ini bisa berlangsung sangat meriah. Para tamu berdesak ingin melihat dan ramai berkomentar, sementara sang MC dengan bersemangat menyiarkan berita seputar pandangan mata. Siraman selesai, sang calon ibu yang basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki segera dikeringkan dengan handuk dan hair dryer supaya tidak perlu kerokan, masuk angin. Brojolan Calon ibu kini berbusana kain jarit yang diikat longgar dengan letrek yaitu sejenis benang warna merah putih dan hitam. Merah melambangkan kasih sayang calon ibu, putih melambangkan tanggung jawab calon bapak atau bokap bagi kesejahteraan keluarganya nanti. Warna hitam melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah mempersatukan cinta kasih kedua orang tuanya. Tidak ada letrek, janur pun jadi.</p> <p>Calon nenek memasukkan tropong (alat tenun) kedalam lilitan kain jarit kemudian dijatuhkan kebawah. Ini dimaksudkan sebagai pengharapan agar proses kelahirannya kelak, agar sang bayi dapat mbrojol lahir dengan lancar. Tidak ada tropong, telur ayam pun jadi. Dilanjutkan dengan acara membrojolkan atau meneroboskan dua buah kelapa gading yang telah digambari lewat lilitan kain jarit yang dikenakan oleh calon ibu. Sepasang kelapa gading tersebut bisa ditato gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Harjuna dan Sembadra atau Panji Asmara Bangun dan Galuh Candra Kirana. Kita tinggal pilih. Para selebriti perwayangan tersebut dikenal berwajah cantik dan ganteng. Harapannya adalah agar anak yang lahir kelak bisa keren seperti mereka. Kelapa yang mbrojol ditangkap oleh salah seorang ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak. Calon bapak bertugas memotong letrek yang mengikat calon ibu tadi dengan keris yang ujungnya telah diamankan dengan ditutupi kunyit, atau bisa juga menggunakan parang yang telah dihiasi untaian bunga melati. Ini melambangkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan keluarga. Setelah itu calon bapak akan memecah salah satu buah kelapa bertato tadi dengan parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terbelah menjadi dua, maka hadirin akan berteriak: "Perempuan!" Apabila tidak terbelah, hadirin boleh berteriak: "laki-laki!" Dan apabila kelapa luput dari sabetan, karena terlanjur menggelinding sebelum dieksekusi misalnya, maka adegan boleh diulang. Pemakaian Busana Selesai brojolan, calon ibu dibimbing keruangan lain untuk dikenai busana kain batik atau jarit berbagai motif, motif sido luhur, sido asih, sido mukti, gondo suli, semen raja, babon angrem dan terakhir kain lurik motif lasem. Kain lurik motif lasem melambangkan cinta kasih antara bapak dan ibunya. Kain-kain yang tujuh motif tersebut dikenakan bergantian urut satu persatu. Setiap berganti hingga kain yang ke enam, pemandu akan bertanya kepada hadirin sudah pantas atau belum, dan hadirin akan menjawab serentak: "belum!" Ketika kain ke tujuh atau terakhir dikenakan, yaitu kain lurik motif lasem, barulah hadirin menjawab sudah. Sudah pantas dan selayaknya. Keenam kain lainnya yang tidak layak pakai itu kemudian dijadikan alas duduk calon bapak ibunya. Gaya pendudukan seperti ini disebut angreman, bukan menggambarkan bapak melainkan menggambarkan ayam yang sedang mengerami telurnya. Sebelum matahari terbenam, sebelum ayam tertidur, seluruh rangkaian upacara ini sudah dapat dirampungkan, tuntas, tas. Yayang Semoderen apapun jaman ini nantinya berkembang, perasaan ketika kita menantikan hadirnya seorang cucu pasti tidak akan berubah. Rasanya pasti tetap saja mendebarkan. Bagaimana tidak, karena sebentar lagi, sepasang papah dan mamah ini akan menjelma menjadi sepasang kakek dan nenek. Gelar eyang akan segera melekat. Ini artinya kita musti jaga kelakuan, tidak bisa dan tidak bisa lagi neko-neko. Dan tidak bisa tidak itu bakal terjadi, sekitar dua bulan lagi setelah upacara mitoni. Ketika tiba saatnya nanti, andai bisa memilih, penulis beserta nyonya lebih suka disebut yayang daripada sekedar eyang. Yayang artinya eyang yang tersayang. Terdengarnya lebih mesra dan lebih gaul, gitu loh.. --------------------------------- Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.