HTML clipboard 
Menimbang Ulang Islam 
Jawa

Resensi Buku Memahami Islam Jawa (Prof Dr M Bambang Pranowo)


Kompas | Minggu, 2 Mei 2010 | 
Muhammad Husnil *






Trikotomi priayi-abangan-santri Clifford Geertz yang amat digdaya dalam ranah 
akademik itu kini kembali dipersoalkan. Melalui bukunya, Bambang Pranowo 
mengurai ketidakmemadaian trikotomi Geertz dalam memahami Islam Jawa saat ini.

Ketidaktepatan trikotomi Geertz itu semula tampak pada saat penulis buku ini 
melihat sosok ayahnya. Ditinjau dari sisi sosial, ayahnya termasuk ke dalam 
kategori priayi karena ia tercatat sebagai pegawai pemerintahan. Dalam 
perjalanan hidupnya, ia mampu menunaikan ibadah haji. Dengan kondisinya itu, 
layak ia dimasukkan sebagai kaum santri. Menjadi lebih kompleks lagi, apabila 
melihat ke dalam keseharian dunia ayahnya. Tampak sekali ayahnya gandrung akan 
wayang, salah satu kesenian orang abangan.

Dari sini sang penulis buku bingung memasukkan ayahnya ke dalam kategori mana: 
priayi, santri, atau abangan? Dalam konteks yang lebih luas, ia pun merasakan 
kebingungan itu saat melihat Hamengku Buwono X, seorang sultan Yogyakarta, 
sudah 
menunaikan haji, dan menjadi Ketua Dewan Penasihat Pengurus Daerah Ikatan 
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).



Ketidaktepatan analisis

Berdasarkan pada persoalan-persoalan semacam itulah penulis buku ini 
menemukan beragam ketidaktepatan trikotomi Geertz, yang ia tuangkan dalam 
disertasinya di Department of Anthropology and Sociology, Monash University, 
Australia. Dengan perkataan lain, buku ini merupakan karya penelitian doktoral 
penulisnya.

Meski bermula dari disertasi, buku ini jauh dari membosankan. Pasalnya, dalam 
menguraikan perilaku masyarakat Tegalroso, nama suatu desa tegalan di pedalaman 
Jawa Tengah yang ia samarkan, penulis menggunakan gaya penulisan deskripsi 
tebal 
(thick description) yang dipelopori Clifford Geertz dalam The Religion of Java. 
Ia melukiskan suasana dan menceritakan segala sesuatunya secara hidup. Dengan 
begitu, suasana dan tokohlah yang menceritakan sendiri kepada pembaca apa yang 
tengah terjadi dalam masyarakat.

Saat meneliti, skeptisisme penulis atas teori Geertz tampak besar. Pasalnya, 
ia melihat banyak sekali perilaku masyarakat Tegalroso yang jika menggunakan 
analisis Geertz sungguh tidak tepat. Bagaimana mungkin seorang kiai sebuah 
pondok pesantren dalam kesehariannya menyenandungkan tembang-tembang Jawa, yang 
dikategorikan sebagai kesenian kaum abangan.

Paling mencolok adalah acara khataman tahun 1986. Ketika itu ada pengumuman 
bahwa dalam rangka khataman Pesantren Tegalrejo akan mengadakan festival seni 
dan dakwah yang digelar pada 19-21 April. Festival itu menampilkan beragam 
kesenian Jawa, seperti wayang, ketoprak, reog, jatilan, campur sari, dan 
sorengan. Padahal, semua kesenian itu merupakan kesenian yang menjadi ciri khas 
kaum abangan. Tetapi, di Tegalroso kesenian itu justru menjadi tontonan para 
santri dan ditampilkan dalam sebuah acara pesantren pula.

Kendati mengkritik, penulis sama sekali tidak berpretensi menampik pendekatan 
Geertz sepenuhnya yang tertuang dalam The Religion of Java. Pendekatan Geertz 
memang punya kesahihan tersendiri. Ia sahih sebagai deskripsi masyarakat Jawa 
pada 1950-an, saat kehidupan masyarakat masih diwarnai persaingan antarpartai 
politik. Dengan begitu, karya Geertz harus dibaca sebagai data historis dalam 
lokalitas di mana penelitian itu dilakukan, bukan sebagai laporan tentang Jawa 
yang ada saat ini secara umum (hal 363).

Dalam mengurai kelemahan Geertz, Guru Besar Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah 
Jakarta ini juga mendedahkan pendapat sejumlah ilmuwan yang telah terlebih 
dahulu mengkritik The Religion of Java. Mitsuo Nakamura, misalnya. Antropolog 
Jepang itu menyatakan bahwa konsep ”sabar dan ikhlas” (bagi priayi) dan 
”slamet” 
(bagi abangan) yang diperkenalkan Geertz sebagai nilai utama dalam pandangan 
masyarakat tradisional Jawa sebenarnya bersumber dari Islam. Kata-kata itu 
diadopsi dari bahasa Arab. Ikhlas dan sabar terdapat dalam beberapa ayat, 
bahkan 
ikhlas merupakan nama surat dalam Al Quran, yaitu Surat Al-Ikhlas. Sedangkan 
kata slamet yang jadi istilah slametan berasal dari kata salamatan.

Penulis buku ini sepakat dengan Nakamura yang menilai bahwa kelemahan Geertz 
timbul akibat penggunaan pendekatan antropologi konvensional yang mempelajari 
kelompok etnik atau komunitas lokal dalam pengisolasian dan pemisahan yang 
sewenang-wenang dari konteksnya yang luas.

Kecenderungan itu akan sangat menyesatkan, khususnya ketika peneliti 
mempelajari masyarakat Muslim. Soalnya, norma, institusi, serta hubungan 
pribadi 
orang Muslim tidak terikat oleh batas geografis. Perkembangan Islam di Jawa 
bukan sesuatu yang terputus begitu saja dari perkembangan dunia Islam lainnya, 
karena bisa jadi ia merupakan perpanjangan tangan dari perkembangan Islam yang 
ada di Mesir, misalnya. Pemisahan ini akan mengakibatkan penyederhanaan 
berlebihan atau bahkan kekeliruan konseptual.



Tiga langkah

Berangkat dari sejumlah kelemahan Geertz, penulis mengajukan soal: jika nilai 
utama dari priayi (sabar dan ikhlas) dan abangan (slametan) adalah islami, 
bagaimana caranya agar kita bisa memahami adanya kemajemukan Islam di tengah 
masyarakat Jawa tanpa terperangkap ke dalam penyederhanaan berlebihan atau 
kesalahan konseptual?

Dalam hal ini, penulis mengusulkan tiga langkah yang mesti dirambah seorang 
peneliti. Pertama, harus melengkapi pengetahuan yang memadai tentang ajaran 
Islam dan sumber-sumber skriptural Islam (Al Quran dan Sunah); kedua, mesti 
sadar bahwa Islam, sebagaimana agama-agama besar lainnya, diwarnai oleh 
bermacam 
tradisi beragama; ketiga, keragaman yang ada tidak akan bisa dipahami dengan 
baik dengan menggunakan dikotomi, baik itu santri, abangan, priayi, maupun 
dikotomi tradisi besar dan tradisi kecil.

Ketiga langkah itu pun ia terapkan ketika meneliti Tegalroso. Setelah 
mencermati fakta di masyarakat Tegalroso dan mengurai kelemahan Geertz, penulis 
menawarkan sejumlah paradigma baru yang bisa membantu memahami kompleksitas dan 
kemajemukan Islam Jawa. Di antaranya adalah memperlakukan masyarakat Muslim 
Jawa 
sebagai Muslim yang sebenarnya tanpa memandang derajat kesalehan dan ketaatan 
mereka. Selain itu, memandang religiositas sepantasnya dilakukan sebagai proses 
yang dinamis ketimbang statis, ”proses menjadi” (state of becoming) ketimbang 
”proses mengada” (state of being). 
Dengan sudut pandang ”proses menjadi”, 
keislaman dilihat bukan sebagai sistem religiositas yang statis dan 
berorientasi 
fikih semata, sebaliknya ia dinamis, progresif, dan esoteris.



* Muhammad Husnil, Pekerja Perbukuan
___________________________________ 

DATA BUKU: 

  Judul                   : MEMAHAMI ISLAM JAWA

  Penulis                 : Prof. Dr. M. 
  Bambang Pranowo

  Pengantar            : Prof. Dr. Azyumardi 
  Azra

  Penerjemah         : Inyiak Ridwan Muzir
  


  Editor                  : Ade Fakih Kurniawan

  Genre                  : Kajian Agama/Sosial

  Cetakan               : I, Oktober 2009

  Ukuran                : 15 x 23 cm (plus flap 
  9 cm)

  Tebal                   : 410 halaman

  ISBN                   : 978-979-3064-70-3

  Harga                  : Rp. 87.500,-
 


==========================================
Pustaka Alvabet
Ciputat Mas Plaza Blok B/AD
Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat
Jakarta Selatan Indonesia 15411
Telp. +62 21  7494032, 
Fax. +62 21 74704875
www.alvabet.co.id




      

Kirim email ke