Mbak Asana dan semeton semuanya...

 

Penulisan kembali Mahabaratha dalam bahasa Jawa Kuno/Bali Kuno oleh para
kawi-sastra adalah dalam rangka agar kisah ini bisa dimengerti dengan
gaya bahasa lokal..tentu saja dalam penterjemahan kitab suci ini
dilandasi dengan keinginan yang suci untuk melestarikannya sesuai dengan
isinya yang asli.....

Sebab menterjemahkan/menuliskan kembali berbeda dengan "menafsirkan",
dalam tradisi pelestarian nilai-nilai kitab suci, di India ada istilah
melakukan penafsiran kitab suci oleh Resi/guru/orang-orang suci yang
kompeten dibidangnya yang merupakan ahli tata-bahasa sansekerta,
penafsiran kitab suci ini dikenal sebagai Basya..

Banyak tokoh-tokoh pembaharu Hindu pada abad ke-18 melakukan basya
terhadap Bhagavadgita, misalnya Ramanuja, Sankara, termasuk Gandhi
sendiri pernah membuat ulasan (commentary) tentang isi Bhagavadgita...

 

Penulisan kembali Mahabaratha di Indonesia, wirama (guru lagu)
kekawinnya disesuaikan juga dengan kekawin yang berkembang pada saat
itui..Mengenai Bhagavadgita yang muncul belakangan itu tidak benar,
Bhagavadgita ada di dalam Mahabaratha sejak awalnya..Bhagavadgita
terdapat pada Bab (Adhyaya:  Bhisma Parwa)...

Bhagavadgita adalah Inti-sari Mahabaratha ...

 

Para Mpu Sastra di Jaman Airlangga merasa perlu membagi-bagi pekerjaan
mereka dalam bab-bab Mahabaratha yang dipilih untuk dikerjakan dahulu
semata-mata agar lebih focus karena sloka-sloka Asli Mahabaratha sangat
banyak (100 ribu sloka), untuk menterjemahkan seluruhnya ke Bahasa Kawi
(Jawa Kuno) akan diperlukan waktu yang panjang, maka mereka melakukannya
bertahap. Sehingga misalnya Mpu Sedah dan Panuluh memfokuskan untuk
mengulas langsung bab sebelum perang dimulai sehingga judul karya sastra
mereka adalah Bharatayudha...

 

Sayangnya di Indonesia belum ada "basya" yang pernah dilakukan oleh
Maha-reshi/Mpu terhadap Bhagavadgita, mungkin pada jaman Airlangga
kurang cukup waktu untuk menterjemahkan keseluruhan Mahabaratha, apalagi
membuat komentar pribadi (basya) terhadap salah satu bab-nya yang
penting yang memuat Bhagavadgita ...

 

Bhimaruci, adalah karya sastra lokal, yang digarap oleh Mpu di tanah
jawa, dengan bersumberkan kepada Mahabaratha, dengan mengambil tokoh
sentral Bhima....

Karya sastra Bhimaruci ini cukup menarik, namun sayangnya, Guru Drona,
seorang Guru besar bangsa Kuru yang luarbiasa, ahli militer dan
strategi, dan seorang master memanah, yang dalam karakter asli di
Mahabaratha sebenarnyg Mahareshi Drona cukup baik, namun di cerita
Bhimaruci terkesan menjadi Guru yang begitu jahat kepada muridnya
(Bhima)...Di bidang pewayangan yang juga mengutip cerita Mahabaratha
karakter Guru Drona juga menjadi buruk, tidak seperti cerita aslinya...

Disini sebenarnya diperlukan control dari para seniman, dan juga
mestinya para Mpu sastra dalam berkreasi agar jangan jauh menyimpang
dari esensi Itihasa aslinya..

Karena Mahabaratha bukan karya sastra, namun adalah sejarah kehidupan
Hindu.
Sampai sekarangpun di India tempat-tempat bersejarah terjadinya
pertempuran di Kurusetra ini masih ada. Tempat dimana Maha-reshi Bhisma
rebah ditembus ratusan anak-panah, dimana terdapat mata-air yang dahulu
muncul karena Arjuna membidikkan anak panahnya disitu saat sang guru
Bhisma memohon seteguk air kepada cucu-cucunya yang berkumpul saat
itu...

 

Kesimpulan : "basya" bisa saja bersifat kritis terhadap apa yang sedang
dibahas, karena memang demikian sifat basya: basya artinya mengulas..

Namun kalau menterjemahkan/menulis ulang maka sebaiknya itu sesuai
dengan aslinya, saya kira kode etik ini tidak hanya berlaku untuk
menterjemahkan kitab suci, karena buat umat Hindu Mahabaratha adalah
salah satu kitab suci, namun dibidang-bidang lain saya yakin berlaku hal
yang sama..

Coba saja bayangkan kita menulis sesuatu, kemudian ada yang
menterjemahkan tidak sesuai dengan tulisan awal (asli) si penulis, tentu
ini melanggar kode etik/hukum..

 

Suksme

GNA 

 

 

-----Original Message-----
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf
Of Asana Viebeke Lengkong
Sent: Thursday, October 04, 2007 11:41 AM
To: bali@lp3b.or.id
Subject: [bali] PUJA SASTRA

 

Khusus untuk P Ngurah Ambara :

 

Saya dedikasikan kepada P Ngurah Ambara pendapat pendapat rendah hati
dari teman dekat saya.  Semoga dapat di terima dengan baik.

 

"Saya senang dengan foward yang vieb kirim mengenai pendapat pendapat
mahabrata. Nah, tiang niki anak bali, yang belajar pelahan-lahan
mengenai lontar-lontar mahabrata ala nusantara. Kenapa saya bilang
demikian karena dalam tradisi sastra kakawin di nusantara, penulisan
Arjuna Wiwaha, sebagai contoh adalah karya Mpu Kanwa sebagai puja sastra
kepada Airlangga, kemudian Bratayudha itu ditulis di zaman Jayabaya oleh
Mpu Sedah dan Panuluh. Begitupun Adi Parwanya Jawa-Bali, yang ada
slokanya dalam bahasa sangsekerta. Ini era mataram Hindu antara abad
9-12 masehi. Bandingkan dengan sejarah perjalanan hindu. Dimana maharsi
Byasa mewariskan mahabrata itu sebelum pra masehi-an. Jarak antara satu
penulisan ke penulisan lain, di berbagai wilayah dunia berbeda-beda, dan
dengan motivasi berbeda-beda. Karena itu mahabrata makin dipercaya dia
kisah suci, karena terus dibahas. Dan kesuciannya adalah pada daya
kharismanya yang membuat semua pembaca dari berbagai keyakinan merasa
terwakili oleh berbagai karakter yang ada dalam mahabrata. (he he). 

 

Dalam tradisi Hindu, memang Mahabrata ditempatkan sebagai itihasa,
cerita-cerita suci, namun harus diingat sampai kini baik di india asal
kisah brata warsa ini sampaipun sekarang selalu ada tafsir mengenai
kisah, karakter dan terakhir saya mendengar sendiri bagaimana Pak
Agastya dan Sashi Tahoor di Ubud writers menjelaskan bagaimana tafsir
terhadap mahabrata terus terjadi. Karena karya besar itu memang selalu
konteks dan hidup apabila dibaca dengan tidak sebatas leksikal,tidak
sebatas teks, namun harus menjawab kebutuhan zaman.

 

Nah,tiang niki anak kari melajah, bin belog sajan-sajan, itu sebabnya
tiang terus belajar tentang uger-uger dadi manusia. Kenken sebenehna.
Yan dadi anak sugih, dadi anak mepangkat, jeg jelas gati uger-ugerna,
yan dadi manusia, jeg keweh. Itu sebabnya, penting selalu dengan rendah
hati, jujur, membuka diri, tidak dengan satu referensi. Ada baiknya
membaca N.Pal, dia juga nulis mahabrata, sudah diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia, juga banyak penulis mahabrata lainnya. termasuk komik
kosasih. Semua itu ranting-ranting yang sesungguhnya berakar dari hasrat
puja sastra, kekaguman kepada karya yang terus menerus hidup, tanpa
diiklankan loh! nah, kalau ada yang fanatik, itu jadi lucu, sebab kalau
membaca mendalam mahabrata, maka yang kita dapatkan adalah bahwa
pengetahuan, keberanian belajar dan bertukar pikiranlah yang diminta
sebagai tanda pemeluk teguh kepada sang penulis
mahabarata............keto kone, vieb. He he"

 

Salam damai,  Asana Viebeke L

 

  • [bali] PUJA SASTRA Asana Viebeke Lengkong
    • [bali] PUJA SASTRA Ambara, Gede Ngurah \(KPC\)

Reply via email to