MessagePada dasarnya kita tidak biasa menerima kritik dan mengritik secara 
ilmiah. Kritikan dari seseorang akan selalu dirasakan sebagai serangan yang 
bersifat pribadi. Akhirnya untuk melakukan diskusi atau dialog sudah "ngekoh". 
Setiap karya ilmiah atau seperti cerpen juga tidak akan lewat untuk diuji. ;-)
Yah kalau kita tidak sepaham atas isi cerpen itu, paling tidak kita bisa 
memberikan kommentar. Kalau komentar itu tidak ditanggapi, yah sudah.....the 
game is over....kata pak Nengah:  "jangan jadi debat kusir"

Salam Pak Nengah!

MfG
Thom Lengkey
  ----- Original Message ----- 
  From: Nengah Sudja 
  To: bali@lp3b.or.id 
  Cc: kubu-lalang 
  Sent: Wednesday, January 09, 2008 4:46 AM
  Subject: [bali] Re: Sekali perlu juga baca cerpen kan? Agar tak panas diskusi


  Yth.P Gde Wisnaya, Semeton Sareng Sami,

  Dulu waktu saya  kecil , kata BEH.......BEH.....ungkapan kekaguman  sering  
dipakai. Ketika membaca
  Novel  Vicki Baum (lahir di Austria, hidup di Amerika, seperti Arnold 
Schwartzenegger) :Liebe und Tod in Bali 
  ( A Tale from Bali), dengan latar belakang waktu sekitar Puputan Badung  
(1906)  ungkapan BEH dalam dialog 
  antar orang Bali banyak diketemukan.  

  Saya baca novel ini  1958 di Muenchen (Jerman).Saya terkesima akan rinciannya 
mengenai budaya, 
  kehidupan orang Bali, adanya penyakit lepra. Vicki  Baum menulis  novelnya 
berdasarkandari buku harian 
  seorang dokter Jerman yang  tinggal  di Bali dan dia sendiri tinggal  di Bali 
sebelum menulis novel ini.
  Saya beruntung baca novel indah  ini sekaligus bantu melancarkan  bahasa 
Jerman karena mengetahui budaya Bali.

  Dewasa ini  ungkapan 
  BEH  jarang terdengar lagi di Bali. Maklum masa itu Bali baru berbuka dengan 
dunia luar. Orang Bali terkagum banyak
  pada dunia luar yang baru dijumpainya. Dewasa ini dalam suasana keterbukaan 
terutama adanya listrik, TV  masuk desa,
  dan  banyaknya pergaulan orang Bali  dengan dunia luar, bahkan banyak yang 
jadi pelaut sailor di kapal pesiar, 
  ungkapan  BEH jarang terdengar lagi.   

  Karena saya baru tahu bahwa di Buleleng  istilah "nyentana" menjadi "paid 
bangkung" , saya terkejut ..... BEH ah keta.
  Terima kasih P Wisnaya untuk pencerahannya. Tetapi  karena makna, latar 
belakang nyentana itu tidak dijelaskan secara 
  memadai pada CerPen Ilalang  ini saya  masih berpedapat akan dapat  
menimbulkan banyak  salah tafsir.Mereka yang
  dari Beleleng dapat mengerti, tapi saya yang dari selatan (juga  P Ambara?)  
dasar pengertiannya  lain.

  Jadi, harap maklumlah apalagi kalau  bangkungnya cantik, kaya,  rumah megah  
mertua indah,  tak perlu kerja keras, tahu 
  enaknya aja. Ah,aliang tiang Pak Gde. Apalagi  Ilalang kan bukan bangkung, 
masih perawan tinting ya  P Artika? 

  P Gde , sebagai moderator  saya mengerti kekhawatiran dan keinginan  Anda :" 
Sekali perlu juga baca cerpen kan? 
  Agar tak panas diskusi". Tapi ijinkan saya nyampaikan masukan, tanggapan 
berikut, karena ini menyangkut masalah yang
  lebih besar.

  Kelemahan bangsa kita dewasa ini adalah ketidaksediaan untuk melakukan 
diskusi, dialog menyelesaikan masalah
  yang kita hadapi. Apalagi kalau diskusi jadi panas, dihindari. Banyak contoh. 
Dua orang menteri berbeda pendapat mengenai 
  transfer uangnya Tommy Soeharto. Perbedaan pendapat itu diselesaikan , 
didamaikan secara adat kata Presiden SBY. 
  Presiden SBY sendiri  mengadakan konferensi pers menyanggah Amien Rais 
mengenai sumbangan dana kampanye pemilu
  Menteri Perikanan dan Kelautan. Saya kira ini akan ramai ini, karena ini 
menyangkut kepentingan publik. Akan ada debat 
  publik. Tapi persoalan kemudian cepat-cepat di diselesaikan, didamaikan  
dengan pertemuan lima belas menit di Lapangan 
  Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta. Selesai! Damai di bumi, tapi 
...............
  substansi masalah dugaan KKN, penyalahgunaan kekuasan (abuse of power) tak 
terungkap. 

  Ini terjadi di lingkungan  elite puncak kekuasaan,  tidak ada 
tranparansi/keterbukaan, akuntabilitas/ pertanggungjawaban,
  pengikutsertaan publik agar persoalan publik dapat dipecahkan secara adil, 
efisien. Di daerah  masalah publik 
  tidak dipecahkan berlandaskan good corporate governance tentu saja banyak 
terjadi, meniru pusat .


  Apakah kita tidak menyadari ,bahwa "budaya damai" , keengganan berduksi ini 
tidak menyelesaikan akar masalah yang 
  kita hadapi dan yang ingin kita pecahkan bersama untuk mencari kebenaran 
bersama. Padahal latar belakang budaya 
  Hindu, kaya dengan falsafah disertai dengan dialog,argumentasi yang intens. 
Kita rasakan ketika membaca Mahabrata,
  Bagawat Ghita. Di masa lalu  di bidang sastera kita dapat menguak  perdebatan 
 antara pujangga lama dan pujangga baru.
  Dari dialog tersebut  dicoba menggali kebenaran bersama. Asah otak, mendalami 
masalah  dengan mengunakan argumentasi, 
  power of reasoning melalui partisipasi publik meneggakkan demokrasi. 
Demokrasi tidak akan jalan kalau partisipasi publik, 
  power of reasoning tidak dipraktekkan. Yang  jalan justeru  demo (power of 
mass) dan power of gun, penggunaan kekerasan,
  penyalah gunaan kekuasaan.

  Agar dialog berjalan baik yang diperlukan sikap sopan, jangan menghina, 
mengejek .Tapi tetap pada substansi masalah.
  Diskusi panas bisa terjadi, tapi jangan melakukan tindak penghinaan apalagi  
kekerasan. Terapkan  kejujuran, hargai, akui 
  kebenaran teman diskusi dan  jalankan dharma  Ahimsa. 

  Jangan  hindari budaya diskusi. Diskusi mendorong kemajuan. 
  Kehidupan  memang juga perlu diskusi sastera.........cermin budaya.

  SALAM.
  Nengah Sudja.

    -----Original Message-----
    From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Pan Bima
    Sent: Tuesday, January 08, 2008 8:45 PM
    To: bali@lp3b.or.id
    Subject: [bali] Re: Sekali perlu juga baca cerpen kan? Agar tak panas 
diskusi


    Peran, fungsi, harga diri hanyalah hasil dari sebuah persepsi. Semua adalah 
permainan pikiran dan bersumber dari AKU. . Ada yang mengatakan, bahwa konsep 
"nyentana" adalah sebuah solusi untuk suatu masalah tertentu (misalkan salah 
satunya di domain  KB, dengan slogannya : Laki-Perempuan sama saja). Purusha 
menjadi predana dan sebaliknya. Hanya saja di Buleleng konsep ini ditampik 
dengan cara merubah istilah "nyentana" menjadi "paid bangkung".

    Mungkin ini "debatable".

    salam
    wisnaya


    On 1/7/08, Dudik M <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
      "Ilalang," kupeluk dia hangat. Ilalang menyambut pelukanku. "Aku hanya 
jadi gigolo di tempat tidur ini.Yang dibayar atas aksinya!" Bisikku lirih.


      cerpen yang bagus.... sy tunggu di balipost minggu


       
      www.yandude.blogspot.com
      The real freedome is free from dome 



      ----- Original Message ----
      From: wayan artika < [EMAIL PROTECTED]>
      To: bali@lp3b.or.id
      Sent: Friday, January 4, 2008 4:28:53 PM 
      Subject: [bali] Sekali perlu juga baca cerpen kan? Agar tak panas diskusi




                  baca cerpen yukk
                 

                 
           

           



--------------------------------------------------------------------------
      Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it 
now.




--------------------------------------------------------------------------
      Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.



    -- 
    Gde Wisnaya Wisna
    Jl.Dewi Sartika Utara 32A
    Singaraja-Bali
    website : www.lp3b.com 

Reply via email to