(wah....walaupun ada Bappenas dan ITB nya.....tanpa planning process tidak 
bakal mulus.. Ketahanan pangan juga butuh pupuk sampah yang banyak.....)



Back-up email for: [EMAIL PROTECTED]


--- On Tue, 7/29/08, Putra Semarapura <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Putra Semarapura <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [bali] Menanti Listrik Sampah Kota Bandung
To: bali@lp3b.or.id
Date: Tuesday, July 29, 2008, 11:05 AM







 
seandainya sampah-sampah di bali bisa di daur ulang menjadi energi listrik, 
akan sangat membantu menjaga kebersihan lingkungan di bali untuk mendukung 
pariwisata di bali.
 
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/25/Iptek/ipt01.htm
Menanti Listrik Sampah Kota Bandung
 
ota Bandung, Jawa Barat memastikan segera membangun Pembangkit Listrik Tenaga 
Sampah (PLTSa) dalam waktu dekat. Sosialisasi ke arah itu kini masih 
digencarkan dan disosialisasikan oleh tim. 
  
Mereka beranggotakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan 
Perencanaan Lingkungan Hidup (BPLH), Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan, PT 
Bandung Raya Indah Lestari (BRIL), Tim Studi Kelayakan (Feasibility Study/FS), 
dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PLTSa bekerja sama dengan 
Institut Teknologi Bandung (ITB). 
  
Model penanganan sampah akhir ini dipilih, karena keterbatasan kapasitas lahan 
untuk pembuangan akhir (TPA) dan bisa menangani persoalan sampah dalam jangka 
panjang. Model pengelolaan sampah yang ditimbun di tanah lapang terbuka (open 
dumping) yang selama ini diterapkan dianggap tidak layak, karena sulitnya 
pengendalian jika volume sampah sudah menggunung, polusi udara, produksi gas 
methan yang membahayakan, serta ancaman bahaya longsor. 
  
Dengan model Waste to Energy/WTE atau PLTSa seperti ini, ada beberapa manfaat 
yang didapatkan di antaranya bisa memperkecil volume sampah dan teknik yang 
ramah lingkungan. Rencana pembangunan PLTSa ini telah melalui proses studi 
kelayakan, termasuk di dalamnya Amdal yang melibatkan berbagai pihak, termasuk 
LSM dan perguruan tinggi. 
  
Menurut salah seorang anggota Tim studi kelayakan (feasibility study/FS), 
Mujiyanto dalam penjelasan yang disampaikan kepada SP melalui milis wartawan 
peduli Sanitasi dan Lingkungan di Jakarta, beberapa waktu lalu, beberapa 
pertimbangan yang mendasari dibangunnya PLTSa di Bandung tersebut. 
  
Pertama, PLTSa berfungsi sebagai pabrik pemusnahan sampah daripada pembangkit 
listrik. Listrik yang dihasilkan dan dijual ke PLN hanya untuk menutupi 
sebagian biaya operasi," ujarnya. 
  
Kedua, di seluruh kota di dunia pabrik pengolahan sampah yang dikelola swasta 
memungut biaya dari pihak yang sampahnya ingin diolah/dimusnahkan. Besarnya 
biaya pengolahan bergantung pada teknologi yang digunakan, semakin tinggi 
teknologi yang digunakan semakin mahal biaya pengelolaan sampah. 
  
Ketiga, biaya pengelolaan PLTSa diharapkan lebih murah daripada di PLTSa luar 
negeri. Sebagai gambaran, di Singapura pemerintah kotanya harus membayar 80 
dolar (Rp. 400.000) per ton kepada PLTSa swasta. 
  
Di Tiongkok biaya pengolahan sekitar 100-200 Yuan kepada PLTSa milik pemerintah 
atau semipemerintah dan 250-300 Yuan pada PLTSa milik swasta (1 Yuan = Rp 
1.300). 
Keempat, ketentuan mengenai kepemilikan pembangkit listrik dan listrik yang 
dihasilkan diatur dalam UU 15/1985, PP 10/1989, dan Permen ESDM 1 dan 2/2006, 
yang pada intinya menyatakan pihak swasta boleh memiliki pembangkit listrik dan 
listrik dari PLTSa wajib dibeli oleh PLN, karena dapat dianggap sebagai 
pembangkit listrik energi terbarukan di bawah 10 MW. 
  
Perjanjian kerja sama dengan PLN yang berisi hal-hal tersebut di atas sedang 
berlangsung, dan beberapa pertemuan dengan pihak terkait telah dilakukan. 
Kelima, Pemerintah Kota bersama pengembang akan sangat berhati-hati dalam 
melakukan pemilihan jenis teknologi, manufaktur, dan kualitas produk. 
  
Dengan nilai investasi ratusan miliar dan masa pengembalian yang lambat, 
tentunya kita tidak menginginkan terjadinya pencemaran yang mengancam penduduk 
Bandung. 
  
Keenam, untuk menjamin kualitas pabrik yang dibangun, sebelum kontrak berakhir 
pihak vendor berkewajiban untuk mengoperasikan selama satu sampai dua tahun, 
dan melakukan pengujian yang diperlukan untuk memastikan pabrik beroperasi 
dengan baik dan emisi yang dihasilkan di bawah baku mutu yang disepakati. 
  
Dr Ari Darmawan Pasek dalam presentasinya tentang hasil studi kelayakan 
beberapa waktu lalu mengakui, ide untuk membangun PLTSa di Kota Bandung datang 
dari pemerintah Kota Bandung sendiri. Sebab, kota ini dihadapkan pada 
permasalahan berupa tidak tersedianya lagi ruang di kota tersebut untuk 
membuang sampah sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). 
  
Untuk itu, salah satu solusi yang dapat diambil adalah dengan mereduksi volume 
sampah yang dihasilkan oleh penduduk Bandung setiap harinya, yang jumlahnya 
mencapai 2.785 m3 per hari. Reduksi itu dapat dilakukan dengan cara mengubah 
sampah itu, menjadi abu dengan membakarnya. 
  
Untuk melihat apakah PLTSa layak dibangun di wilayah Bandung sebagai bentuk 
solusi terhadap permasalahan sampah Kota Bandung, dijalankan sebuah studi 
kelayakan. Dan berdasarkan hasil studi kelayakan tersebut, dari sekitar 2.785 
m3 sampah yang dihasilkan penduduk Bandung setiap harinya, di antaranya sekitar 
25,22 persen adalah sampah yang masih bisa didaur ulang, sedangkan 74,78 persen 
sisanya adalah sampah yang dapat digunakan sebagai sumber energi, karena 
sebagian besar komposisi sampah di Bandung adalah sampah organik (42 persen 
berat atau 58 persen volume). 
  

Tak Merusak Lingkungan 
  
Tim sosialisasi PLTSa meyakinkan masyarakat bahwa pembakaran yang akan 
dilakukan tidak merusak lingkungan. Teknologi yang diaplikasikan mampu menekan 
kadar dioksin, sehingga tidak lagi mencemari udara. 
  
Soal kekhawatiran masalah kesehatan masyarakat dan keamanan yang sempat timbul 
dari masyarakat Bandung, utamanya daerah Gedebage, lokasi di mana PLTSa 
tersebut akan dibangun, Tim FS memperlihatkan hasil studi bandingnya ke 
beberapa negara, di antaranya Singapura, dan Tiongkok, di mana WTE yang telah 
dibangun di sana, dan telah beroperasi selama beberapa tahun, berada dekat 
permukiman dan tidak menimbulkan polusi. 
  
Pembakaran sampah pada pembangkit dilakukan di atas suhu 850 derajat Celcius 
sehingga kadar Dioksin dan gas beracun lainnya yang teremisi ke udara lebih 
rendah dari PLTU Batubara. Sampah akan terbakar tanpa bantuan bahan bakar 
tambahan. 
  
Tim sosialisasi juga meyakinkan bahwa teknologi ini telah dipakai lebih dari 20 
tahun di seluruh dunia belum ada korban pencemaran dioksin dan gas beracun 
lainnya pada manusia dari PLTSa. Sistem PLTSa sama persis dengan PLTU dan 
sampai saat ini belum ada kecelakan besar pada PLTU di Indonesia. 
  
PLTSa Gedebage akan mengemisi dioksin kurang dari 1 ng/m3. Dengan demikian, 
dalam sehari akan teremisi paling banyak 2,4 miliar gram, atau selama 25 tahun 
umur operasi, PLTSa Gedebage hanya akan mengemisi 22 gram dioksin tersebar di 
2.340 km2 wilayah cekungan Bandung (apabila diasumsikan pencemaran tidak keluar 
dari wilayah cekungan Bandung), atau 1,3 mikro gram/km2/hari. 
  
Apabila diasumikan kepadatan di cekungan Bandung adalah 10.000 jiwa/km 2 (sama 
dengan kepadatan kota Bandung), maka nilai emisi dioksin adalah 3.7 pico gram 
per orang per hari per kg berat badan. Nilai tersebut masih berada di bawah 
batas paparan dioksin yang ditetapkan WHO, yaitu 4 pico gram per hari per kg 
berat badan. 
  
Nilai paparan aktual tentunya akan lebih kecil, karena tidak semua dioksin yang 
teremisi akan tertelan manusia. Hasil simulasi penyebaran pencemaran udara yang 
dilakukan tim Amdal ITB menunjukkan bahwa pencemaran udara dapat ditekan di 
bawah baku mutu dengan mengatur ketinggian cerobong. [E-5]


Gesendet von Yahoo! Mail. 
Dem pfiffigeren Posteingang.


      

Kirim email ke