Yth. Para Rekan Milis,
 
Ketika saya dialog dengan Sdr Ikki dimilis ini dalam kaitannya dengan
pornografi'
saya merujuk  al. novel Lady Chatterley's Lover.
 
Dari Sdr. Dorpi saya mendapat posting tulisan Goenawan Mohamad berikut, yang
saya rasa pantas untuk dibaca..
Silahkan merenungkannya, indah atau porno?
 
SALAM.
Nengah Sudja.  
 
  _____  

From: B.DORPI P. [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Monday, November 03, 2008 10:16 AM
To: !B.DORPI P.
Subject: Re.: Goenawan Mohamad - Connie
Importance: High
 
http://www.tempointeraktif.com/
 
37/XXXVII 03 November 2008
 
Connie
 
Tubuh bisa membuat getar, tapi juga gentar, seperti lautan. 
Saya ingat satu pasase dalam Lady Chatterley's Lover: perempuan itu
mengalami ajaibnya gairah dalam persetubuhan. Dalam pagutan berahi
kekasihnya, ia merasa diri "laut". Ia deru dan debur, samudra dengan
gelombang gemuruh yang tak kunjung putus. "Ah, jauh di bawah, palung-palung
terkuak, bergulung, terbelah.." 
Apa yang masuk menyusup ke dalam dirinya ia rasakan kian lama kian dalam.
Bertambah berat empasan, bertambah jauh pula ia jadi segara yang berguncang
sampai di sebuah pantai. Baru di sini deru reda, laut lenyap. "Ia hilang, ia
tak ada, dan ia dilahirkan: seorang perempuan." 
Saya tak sanggup menerjemahkan seluruh pasase ini. Di sini D.H. Lawrence
sungguh piawai: ia uraikan suasana erotik dalam novelnya dalam kalimat
dengan ritme yang naik-turun, membawa kita masuk ke paduan imaji-imaji yang,
seperti gerak laut, tak putus-putus, berulang-ulang.. 
Agaknya Lawrence, seperti kita semua, harus mengerahkan seluruh kemampuan
bahasa untuk menggambarkan sesuatu yang tak mungkin tergambarkan: pengalaman
tubuh ketika kata belum siap, gejolak zat-zat badan ketika bahasa belum
menemukan pikiran. 
Seorang sastrawan memang selalu dirundung oleh bahasa yang ingin ekspresif
tapi juga ingin komunikatif-dua dorongan yang sebenarnya bertolak belakang.
Yang pertama dituntut untuk mengungkapkan langsung apa yang berkecamuk di
lubuk kesadaran, yang tak selamanya jelas dan urut. Yang kedua diminta agar
berarti: sesuai dengan kesepakatan sosial dan membawa hasil. 
Lawrence mampu menggabung kedua dorongan itu di bagian yang dikutip tadi,
tapi bagi saya sebagai novel Lady Chatterley's Lover terasa lebih digerakkan
keinginan untuk menyatakan sebuah pendirian. Kalimatnya lebih komunikatif
ketimbang ekspresif. Pertautannya dengan bahasa (untuk tak menyebut
ketaatannya pada pesan dan tema) berbeda dengan misalnya Cala Ubi Nukila
Amal atau Menggarami Burung Terbang Sitok Srengenge, dua novel yang, dengan
bahasa yang puitik, tak hendak mengubah pandangan kita tentang hal-ihwal. 
Lady Chatterley's Lover memang sebuah kritik sosial; ia hendak meyakinkan
kita tentang muramnya masyarakat Inggris sehabis perang pada 1920-an. "Zaman
kita pada hakikatnya zaman yang tragis, maka kita menolak untuk menyikapinya
dengan tragis," begitulah novel ini dimulai. "Kita ada di tengah puing, kita
mulai membangun habitat baru kecil-kecilan, untuk mendapatkan harap baru
sedikit-sedikit." 
Dalam novel itu, puing itu sampai ke pedalaman. Masyarakat terjebak
lapisan-lapisan kelas, dan industrialisasi yang mulai merasuk, juga peran
uang, membuatnya lebih buruk. 
Kritik novel ini tersirat dalam tokoh Constance Chatterley. Ia kawin dengan
Sir Clifford, tuan tanah dan bangsawan pemilik tambang. Lelaki ini luka
dalam perang. Ia bukan saja lumpuh, juga impoten, dan hanya menunjukkan
kelebihannya bila ia mulai memimpin bisnisnya. Tampaknya perang,
industrialisasi, kapitalisme-dan patriarki-menebarkan racunnya dan membuat
hidup perempuan itu, Lady Constance ("Connie"), terpojok. Kesepian, bosan,
hampa, dan tertindas, ia akhirnya menemukan kembali gairah hidup sebagai
perempuan ketika ia disetubuhi Melleors, game keeper Sir Clifford, lelaki
yang tinggal menyendiri di sebuah gubuk di tanah luas itu, mengurusi
burung-burung yang esok pagi akan dilepaskan terbang untuk jadi sasaran
tembak sang majikan. 
Connie hamil dari hubungan gelap itu. Tapi ia tak takut. Ia memang
menghendaki seorang anak, meskipun percintaannya dengan lelaki kelas bawah
itu bukan dimaksudkannya hanya untuk beroleh keturunan. "Aku bukan hendak
memperalatmu," bisiknya di tempat tidur. Mereka saling mencintai. Pada
akhirnya Connie meminta cerai dari Sir Clifford, tapi ditampik. Kisah ini
selesai seperti tak selesai: Connie dan Melleors menanti. 
Agaknya apa selanjutnya tak penting lagi: protes sudah disampaikan, bahkan
dijalani dengan perbuatan, dan tak seorang pun dihukum. "Bukan salah
perempuan, bukan salah percintaan, bukan salah seks," begitulah novel ini
bicara. "Kesalahan itu di sana, di luar sana, dalam sinar keji cahaya
listrik dan gemeretak iblis mesin-mesin. Di sana, di dunia di mana kerakusan
bergerak seperti mesin. dan kerakusan menghasilkan mesin. di sanalah
terhampar mala yang luas itu, siap untuk menghancurkan apa saja yang tak mau
menyesuaikan diri. Ia akan segera menghancurkan hutan, dan bunga kecubung
ini tak akan bersemi lagi." 
Dibaca pada awal abad ke-21, protes seperti ini-ketika yang erotik, yang
lemah, dan yang halus dalam diri manusia diancam dunia modern-tak
mengejutkan lagi. Bahkan bahasa Lawrence juga segaris dengan kehendak dunia
modern yang ditentangnya, yang serba mengutamakan pikiran dan hasil, bukan
persentuhan yang melibatkan tubuh dalam pengalaman. Tapi juga ketika dibaca
pada awal abad ke-20: Lady Chatterley's Lover hanya dianggap karya
pornografis. Ditolak di mana-mana, pada1928, hanya seorang penerbit Italia
yang menerimanya; ia tak begitu paham bahasa Inggris. 
Dengan segera novel ini laris dan dikejar-kejar. Yang paling ramai di AS,
dengan warisan puritanisme Kristen yang awet dan semangat kapitalisme yang,
seperti digambarkan Lawrence, "rakus... seperti mesin" itu, yang melihat
tubuh perlu berdisiplin baja dan gairah seks sebagai "dosa", yakni energi
yang tak produktif. 
Maka pemilik toko buku yang menjual Lady Chatterley's Lover pun dibui,
kantor pos menolak mengirimkan novel itu, dan Presiden Eisenhower
menganggapnya bacaan yang "dreadful". Baru pada akhir 1950-an pengadilan
menganggap karya itu tak pornografis. 
Anehkah bila bertemu agama dan kapitalisme, juga komunisme, yang
rezim-rezimnya melarang Lady Chatterley's Lover? Tidak. Bagi mereka, tubuh
kita hanya penting sepanjang bisa dibuat berguna bagi yang mahakuasa, apa
pun namanya. 
Goenawan Mohamad 
Naskah ini pernah dimuat di Tempo edisi 26 Maret 2006
 
 
 
 
 
 

Kirim email ke