wuihhh suhu..bantuin daku dunk...... ( Mr.  S.... )





"intan dima" <[EMAIL PROTECTED]> 
12/08/2005 01:28 PM
Please respond to
balita-anda@balita-anda.com


To
<balita-anda@balita-anda.com>
cc

Subject
Re: [balita-anda]  "Ya Tuhan, Suamiku mewariskan HIV …"






mata aimasho?
jikan ga areba aimasho.....

anatano no goshujin ga byoki dato omoimashita.....

wekekekekekek


----- Original Message ----- 
From: <[EMAIL PROTECTED]>
To: <balita-anda@balita-anda.com>
Sent: Thursday, December 08, 2005 1:06 PM
Subject: [balita-anda] "Ya Tuhan, Suamiku mewariskan HIV …"


> hiks....ibu's en bapak's.............Sumimasen jika sudah pernah
> baca...........
>
> Mata aimasho,
>
> *ygabisdiajarincakapniponmabapak2miliisBAjuga*
> =========================================================
> Perselingkuhan itu membawa dua korban berikutnya: isteri dan anaknya.
> Mereka pun tertular HIV.
>
> *****
>
> "Ya Tuhan, Suamiku mewariskan HIV…"
>
> Pagi, siang, sore dan malam, aku sebagai istri selalu setia menemani
> suamiku, selalu melayani keperluannya lahir-batin. Setiap terjadi
> debat mulut, aku yang mengalah. Padahal permasalahan yang kuhadapi
> sangat menusuk hati, sangat perih sekali. Suamiku berselingkuh dengan
> wanita lain. Buktinya, aku menemukan celana dalam perempuan tersimpan
> di dalam lemari pakaian suamiku. Namun demikian, aku yang ditakdirkan
> Ilahi sebagai seorang istri, tetap setia kepadanya. Aku maafkan dia
> asalkan tidak mengulangi perbuatan kejinya. Saking percayanya aku
> kepadanya, setiap kami berhubungan badan, kubiarkan dia tidak memakai
> alat kontrasepsi. Ternyata, ia kembali menoreh dosa. Akibatnya, aku
> dan putra bungsuku tertular virus HIV. Ya Tuhan, apa salahku?
>
> Inilah kisahku. Sebelumnya aku memohon maaf karena nama yang
> kuungkapkan di sini selain namaku adalah nama samaran. Namaku Yanti,
> 39 tahun. Aku mengidap penyakit HIV/AIDS dari suamiku, Yanto, 41.
> Kini. virus itu menjadi momok yang mengerikan bagiku. Aku tidak hanya
> menderita fisik, tapi juga harus memendam derita batin yang
> berkepanjangan. Derita inilah yang sangat menyakitkanku.
>
> Aku dikucilkan dari lingkungan sosial. Bagiku, dunia seakan kiamat.
> Aku shock dan putus asa. Roda nasibku bagaikan berputar tiga ratus
> enam puluh derajat menggelinding ke bawah, ketika Yanto, divonis
> positif terserang HIV, kuman penyebab penyakit AIDS.
>
> Virus yang menyerang sel darah putih dan menyebabkan menurunnya
> kekebalan tubuh sehingga mudah terserang infeksi dari berbagai
> penyakit itu memang lelah bersarang di tubuh suamiku Ia dari hari ke
> hari tak kunjung sembuh. Tubuhnya kian menipis. Aku sangat terkejut
> ketika mengetahui ia positif mengidap HIV/AIDS. "Kalau tidak percaya
> silakan Anda kembali melakukan pemeriksaan darah ulang di
> laboratonum," kata dokter Kepada suamiku dan diriku yang menemaninya
> berobat.
>
> Aku panik, bingung, sedih, kesal bahkan marah bercampur baur menyatu.
> Mengapa dia bisa mengidap penyakit itu? Apa salahku kepada suami?
> Apakah suamiku berselingkuh? Seribu pertanyaan menggumpal di benakku.
>
> Tubuhku lemas. Namun, aku tidak mau terus menerus tersiksa prasangka
> yang tidak-tidak. Walau hatiku tertusuk, aku harus menerima nasib
> buruk ini. Sebagai seorang istri, aku harus tegar dan tabah.
>
> Aku akan berbuat baik kepada suamiku, aku harus menjalankan
> kewajibanku sebagai seorang ibu rumah tangga dengan baik. Termasuk
> pula melakukan hubungan suami-istri. Setiap kali kami menjalani
> hubungan suami-istri, ia memakai kondom, Aku tidak peduli setelah
> bersebadan dengan suamiku akan tertular virus HIVyang dimungkinkan
> penularannya lewat hubungan seks.
>
> Setelah beberapa bulan berperang melawan penyakit AIDS, akhirnya
> suamiku tidak bisa bertahan juga. Ia yang aku cintai meninggal dunia
> di tahun 2002. Semenjak kepergian suamiku itu, barulah aku tersadar
> dengan kesehatan diriku, yang semakin hari semakin menipis.
> Sebetulnya, aku sudah berani menduga, tapi toh ketika aku
> memeriksakan diri ke laboratorium dan mengetahui diriku tertular HIV,
> batinku memberontak.
>
> "Tidak!...''' Aku berteriak sekencang-kencangnya setelah tiba di
> rumah. Tubuh, tangan dan kakiku bergerak tak menentu. Semua benda
> yang berada di depanku, aku lempar hingga pecah. Kepalaku yang bulat
> ini, aku adukan dengan daun pintu rumahku. Tubuhku dirasuki setan.
> Dunia ini tiba-tiba gelap gulita. Badanku terasa lemas dan rasanya
> tidak mampu lagi melanjutkan hidup ini. Wahai Sang Pencipta, kenapa
> Engkau limpahkan pendentaan ini kepadaku? Kenapa?!
>
> Rasa frustrasi mencengkramku. Sampai-sampai semua barang rumah tangga
> yang aku miliki seperli AC, kulkas dan sebagainya, aku berikan pada
> adik dan kakakku. Aku tidak berguna lagi, aku sudah dihadang maut.
> Aku akan meninggalkan dunia. Aku tinggal menunggu waktu saja. Saat
> itu, aku pun mengucapkan Selamat Tinggal Dunia. Selanjutnya, aku
> mengurung diri dan hidup dalam keputusasaan. Namun, kedua orangtuaku,
> tidak usah kusebutkan namanya terus memberikan semangat hidup.
>
> "Jodoh, rejeki dan maut di tangan Tuhan. Orang sehat pun kalau Tuhan
> berkehendak sekarang meninggal, ya meninggal! Jadi kamu jangan
> menyia-
> nyiakan usia yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa, apalagi kamu
> punya anak. Kasihan mereka," kata Ibuku.
>
> Lambat laun luka hati yang bersarang di tubuhku mulai pulih, Semangat
> untuk hidup pun muncul kembali. Karena itulah aku rajin memeriksakan
> diri ke dokter.
>
> Walau demikian, aku lidak dendam dengan suamiku yang telah menularkan
> penyakit berbahaya itu. Buat apa, nasi sudah menjadi bubur. Aku
> yakin, semua penderitaan ini ada hikmahnya. Jadi, aku harus menerima
> cobaan ini dengan lapang dada. Sejak itulah, sehari-hari, aku isi
> waktu dengan beribadah. Aku berdoa memohon ampun atas kesalahan
> diriku. Aku juga memohon kepadaNya agar mengampuni kesalahan suamiku
> yang telah meninggalkan kami.
>
> Kenangan manis itu...
>
> Ya Rabbi, kenangan baik-buruk ilu masih melekat di lubuk hatiku.
> Izinkan aku mengenangnya. Bagiku, Yanto tipe suami yang baik dan
> berperilaku santun. Kami berkenalan, kemudian akrab dan akhirnya
> saling jatuh cinta, Ketika itu aku bekerja di sebuah perusahaan
> swasta, bahan kimia, sedangkan dia menjadi salah satu distributor di
> perusahaan tersebut. Dengan kesepakatan dan ikatan batin, akhirnya
> Yanto meminangku. Kami menikah 18 Mei 1996 di daerah Jakarta Pusat.
>
> Bahtera rumah tanggaku berjalan mulus dan cukup harmonis. Apalagi
> pada 21 September 1997, kami dikaruniai anak pertama, Buah hati kami
> itu kami beri nama Bella, Ia adalah anak perempuan yang manis dan
> menggemaskan. Aku bahagia sekali. Rasanya dunia ini milik kami
> bertiga, tidak ada yang bisa mengganggu kebahagiaan ini. Belaian
> kasih sayang aku berikan kepada Bella dan suamiku.
>
> Namun sayang, karena kondisiku yang memprihatinkan, putri pertamaku
> itu, aku titipkan kepada kerabat dekatku di sebuah tempat yang
> dirahasiakan. Maklumlah kondisi dan taraf hidup kami masih di bawah,
> sangat memprihatinkan. Biarlah Bella tidak mengetahui kondisiku
> sehingga ia tidak terbebani.
>
> Karena itulah, suamiku terus membanting tulang demi mendapatkan hasil
> yang maksimal. Jerih payahnya itu membuahkan hasil yang luar biasa.
> Ia bisa memperbaiki taraf perekonomian keluarga. Kehidupan keluargaku
> beranjak meningkat, lebih baik. Buktinya, kami sudah sanggup lengser
> dari rumah orangtua, mengontrak rumah di bilangan Pamulang, Jakarta
> Selatan.
>
> Tak hanya itu, aku bisa membeli sebuah mobil baru jenis minibus. Yang
> membanggakanku, aku bisa membantu kehidupan saudara-saudaraku yang
> lainnya. Saat itulah, aku kembali mengambil Bella. Kami hidup dalam
> kebahagiaan. Seakan angin surga telah berhembus di keluargaku.
>
> Suamiku sangat memperhatikan keluarganya, menyanyangiku dan putriku
> sepenuh hati. Dia sangat baik sekali, ia bekerja terus menerus untuk
> mendapatkan hasil yang memuaskan.
>
> Sayangnya, kebahagianku itu tidak berlangsung lama. Hanya bertahan
> sekitar tiga tahun. Di tahun 2000 seiring meningkatnya ekonomi
> keluarga berimbas pula dengan perubahan perilaku Yanto yang cenderung
> negatif. Ia sering pulang larut malam bahkan terkadang dini hari baru
> tiba di rumah. Pertengkaran pun bewarnai keluargaku.
>
> Selama adu mulut itu berlangsung, aku banyak mengalah. Hal ini aku
> lakukan demi kepentingan keluarga yang lebih besar. Dan aku teringat
> pesan kedua orangtuaku agar menghindari pertengkaran setelah berumah
> tangga. Yang terpenting harus saling percaya dan memegang teguh
> kejujuran. Saat itu aku sedang mengandung anak kedua.
>
> Pada suatu hari: saat aku sedang membersihkan kamar, betapa
> terperanjatnya aku menemukan celana dalam perempuan yang bermerk
> beken dan masih baru di dalam sebuah bungkusan. Aku terkejut bukan
> kepalang, karena celana dalam itu bukan milikku. Suamiku dengan mudah
> berkilah bahwa celana dalam baru itu sengaja ia belikan untukku.
> Karena kesibukan kerja, ia belum sempat memberikannya kepadaku.
> Itulah alasannya. Aku tidak percaya, aku anggap itu silat lidah untuk
> menutupi kesalahannya saja. Aku cemburu, mengamuk dan minggat dari
> rumah bersama Bella. Untuk sementara, aku menginap di rumah kakak
> kandungku.
>
> Di sanalah aku banyak berkeluh kesah. Tak lama kemudian, suamiku
> datang menyusul. Ia memohon maaf yang sebesar-besarnya. Ia sempat
> meneteskan air mata dan mencium telapak kakiku, Karena suamiku sudah
> memohon ampun seperti itu. mau tidak mau akhirnya hatiku luruh. Aku
> dan suamiku kembali pulang ke rumah. Namun, Bella tetap kutitipkan
> pada kakak kandungku itu.
>
> Awalnya, Yanto menunjukan sikap yang baik kepadaku. Ia kembali
> membelaiku. Ternyata, kemesraan ini tidak lama, hanya bertahan kurang
> lebih dua minggu. Kelakuan suamiku semakin hari semakin tampak aneh.
> Aku dan suamiku bertengkar kembali.
>
> Puncak konflik terjadi, ketika handphone suamiku tertinggal di rumah.
> Sepuluh menit sekali telepon selular itu berdering. Diriku curiga
> karena tidak mengenal nomor yang tertera di layar telepon genggamnya.
> Aku coba menghubungi kembali nomor tersebut. Tak kuduga, pemilik
> nomor selular itu adalah seorang perempuan yang tidak kukenal. Dalam
> pembicaraan, wanita tersebut mengenal suamiku. Ya Tuhan, apa yang
> terjadi terhadap suamiku dan wanita ini? Apakah pikiranku yang sudah
> terbuang jauh-jauh, bahwa suamiku berselingkuh akan terwujud?
>
> Aku terus menyelidiki. Hasilnya, wanita `asing' itu mengaku bias
> berkenalan dengan suamiku melalui perantaraan seseorang, yang biasa
> dipanggil 'mami'. Hatiku terpana, ketika wanita itu mengatakan bahwa
> dirinya sering berhubungan dengan Yanto. Bahkan wanita itu juga
> berani menghujatku yang katanya tidak bisa memuaskan suami. "Kalau
> kamu bisa melayani suami, tidakmungkin ia lari. Kami sudah sepuluh
> kali berhubungan intim di sebuah hotel di daerah Menteng, Jakarta
> Pusat," inilah perkataan yang membuat hatiku terbakar.
>
> Perasaanku pedih, sangat pedih! mengetahui tabiat buruk Yanto yang
> sebenarnya. Ia kembali menoreh dosa. Ingin rasanya aku membunuhnya
> yang tega berselingkuh dengan pelacur. Kendati demikian, aku tidak
> menginginkan rumah tanggaku hancur berkeping-keping. Akibat
> perbuatannya, suamiku menderita sakit.
>
> Aku sebagai seorang istri tetap setia merawat dan memberikan kasih
> sayang. Sebenarnya aku sudah memiliki firasat tidak baik, kalau
> suamiku itu bisa mengidap HIV/AIDS karena perilakunya. Dan ternyata
> memang benar!...
>
> Tertular HIV
>
> Tahun 2000 aku dikaruniai anak kedua, kuberi nama Titon. Setahun
> setelah buah hatiku lahir, barulah penyakit suamiku itu semakin
> bertambah parah. Tadinya aku bingung penyakit yang diderita suamiku,
> aku mengira salah makan. Kubawa dia ke dokter. Hasil pemeriksaan
> darah menunjukan HIV positif. Semakin hari tubuh suamiku semakin
> mengurus. Dan akhirnya suamiku kembali kepangkuan Tuhan Yang Maha
> Esa.
>
> Sepeninggal suamiku, aku merasa waswas dengan kondisi tubuhku.
> Ternyata benar, laboratorium menganalisis bahwa diriku tertular-HIV.
> Kurasakan masa depanku suram. Bahkan hidupku semakin tidak berarti
> dan terkucilkan secara sosial. Karena sakit-sakitan, pimpinan
> perusahaan tempatku bekerja meminta agar aku mengundurkan diri.
> Hatiku semakin ciut, ketika seluruh karyawan membuat pernyataan yang
> berisi "Kami tidak setuju Yanti dipekerjakan di perusahaan ini. Kami
> mohon agar Yanti dikeluarkan,"
>
> Aku harus tabah, harus tabah! Dan siap menerima kenyataan pahit. Aku
> yakin Tuhan akan memberikan rejeki untukku dan kedua anakku. Tuhan
> tidak akan menyia-nyiakan ciptaan-Nya. Namun demikian, aku bersyukur
> karena perusahaan itu memberikan sedikit dana kebijaksanaan, uang
> pesangon.
>
> Aku terperosok, sangat terperosok. Sanak keluargakulah yang masih
> memberiku semangat. Aku didukung untuk tetap tegar menapaki hidup
> ini, termasuk melupakan luka traumatik akibat dijauhi lingkungan
> kerja. Tiga bulan kemudian aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik
> lagi, pekerjaan yang jauh lebih bermanfaat bagi diriku dan orang
> lain. Aku dipercaya Dr.Syamsurizal untuk bekerja di tempatnya.
>
> Tugasku di sana memberikan semangat hidup dan motivasi bagi penderita
> AIDS seperti diriku ini. Aku sangat senang sekali memperoleh
> pekerjaan ini. Semangat hidupku pun tumbuh berlipat-lipat.
>
> Namun, di tengah kebahagiaan itu, aku harus menerima kenyataan buruk
> untuk kesekian kalinya. Bulan Mei dua tahun silam, anakku Titon
> ternyata juga menderita HIV/AIDS. Hal ini aku ketahui setelah
> memeriksakan kesehatannya dan hasil dari laboratorium menyatakan ia
> positif terkena HIV.
>
> Raut wajahku terus terbelenggu memandangi muka mungil Titon. Sejak
> semula aku sudah curiga kalau Titon akan tertular penyakit yang
> berbahaya itu. Perkembangannya pun sangat lambat. Usia dua tahun
> belum bias berjalan dan berbicara, Badannya juga kecil. Namun, aku
> terus berharap agar semua itu tidak terbukti. Aku pun harus terus
> memperhatikan kesehatannya, bermainnya.
>
> Matanya cekung, kulitnya sedikit kasar dan berbintik-bintik halus,
> raut mukanya juga tidak cerah. Hidupnya hanya mengandalkan obat-
> obatan dari dokter. Bila tidak, badannya akan membumbung panas.
> Sekali berobat, aku harus mengeluarkan dana sebesar Rp 250 ribu.
>
> Ya Tuhan, ampuni dosa-dosa keluargaku. Lelehan air mata tak bias
> kubendung. Aku terus menangis dan menangis menerima kenyataan pahit
> untuk sekian kalinya. Hatiku pun bergolak kembali. Tapi aku tidak
> boleh larut di dalam kesedihan ini, aku harus melawan virus HIV itu
> bersama anakku.
>
> Aku tidak mau menghentikan obat yang diberikan dokter, nanti bisa
> semakin parah. Aku akan berusaha menjalani hidup yang diberikan Tuhan
> dengan memberikan manfaat kepada orang lain. Kini, hidup matiku
> kuserahkan kepada Tuhan. Dokter memperkirakan usiaku bisa bertahan
> lima tahun. Namun, hingga kini, Tuhan masih memberikan kasih
> sayangNya kepadaku. Yang kuinginkan, kepergianku tidak menyusahkan
> orang lain. Dan aku berharap sekali ada yang mau menjaga anakku.
> Kalaupun kemudian aku meninggal, aku tidak ingin dalam keadaan kurus
> seperti suamiku, aku ingin tetap cantik.
>
> Aku sudah pasrah siapakah yang lebih dahulu dipanggil Tuhan, apakah
> diriku, atau Titon. Aku rela, kalau aku yang dipanggil terlebih
> dahulu, mudah-mudahan anakku ada yang memeliharanya. Sekarang, aku
> sudah bisa hidup kembali ke lingkungan masyarakat.
>
> Sumber: "Ya Tuhan, Suamiku mewariskan HIV…" - www.amanah.or.id
>
>
>
>
> 


================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: 
[EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]



Kirim email ke