http://www.%20ipb.ac.id/index.php3?awal=6&jum=467

  ITP-IPB Sosialisasikan Formulasi Mie Basah Yang Aman
  [IPB Kerjasama CV. Dinar, Produksi Chitosan Pengganti Formalin]
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Tenologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor (IPB) mensosialisasikan formulasi mie basah dengan
tambahan pangan yang aman dikonsumsi dalam Workshop 'Keamanan Pangan Mie
Basah : Mencari Jalan Keluar dari Masalah Formalin dan Boraks' Selasa
(24/1) di Kampus IPB Gunung Gede. "Formulasi mie basah hasil penelitian
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan mempunyai komposisi 25 kg terigu,
8.5 kg air, 0.075 % (25 gram) Ca-propianat, 2.5% Na-Asetat (35 gram),
0.025 % (8.5 gram) Paraben. Formulasi ini aman untuk dikonsumsi dan
memiliki daya awet 2 hari," ungkap Staf Pengajar ITP Dr.Ratih Dewanti
Hariyadi. Daya keawetan mie basah ini sesuai dengan permintaan produsen mie
yang menginginkan lamanya waktu simpan 2 hari saja. Normalnya, mie
basah hanya bisa bertahan 16 jam.

Penggunaan formalin berdasarkan hasil kajian ITP, malah merusak mutu
produk mie basah itu sendiri. Seringkali, dalam proses pembuatan mie
basah jumlah mikroba yang tumbuh sudah melebihi ambang batas kesehatan dan
Standar Nasional Indonesia (SNI) yakni satu juta mikroba. "Sedangkan
jumlah mikroba dalam mie basah sering dijumpai sudah lebih dari 10 juta,
" tutur Ratih. Pertumbuhan mikroba seperti kapang, kamir, kapang,
bakteri dan virus yang tinggi menyebabkan pangan cepat rusak dan busuk.
"Yang menjadi akar persoalan penggunaan formalin dan boraks dalam proses
pembuatan makanan khususnya mie basah saat ini bukanlah menemukan
pengawet yang aman. Namun membenahi kondisi sanitasi proses produksi,
peralatan produksi, perilaku pekerja dan distribusi pangan," urai Ratih panjang
lebar sambil menunjukkan foto-foto proses pembuatan mie di salah satu
usaha kecil menengah.

Dalam foto tersebut terlihat para pekerja yang melepaskan baju sehingga
keringat mereka menetes bercampur dengan adonan mie. Peralatan yang
digunakan untuk produksi pun tampak kurang terjaga kebersihannya. Bahan
baku berceceran tak teratur dan mengotori ruang produksi. Air sebagai
bahan baku pembuatan mie basah berasal dari sumur yang tak terawat
kebersihannya. "Sanitasi buruk menjadi kontaminan produksi mie basah, sehingga
memacu pertumbuhan mikroba pembusuk," kata Ratih.

Workshop yang dihadiri pengusaha mie basah, perwakilan BPOM
se-Indonesia, kalangan industri dan lemabaga pemerintahan ini
terselenggara berkat
kerjasama Departemen ITP IPB dengan PT ISM Bogasari Flour Milss,
Australian Wheat Board (AWB) dan Jejaring Intelijen Pangan-BPOM RI. Target
utama kegiatan ini adalah memberi solusi yang berkelanjutan dengan
strategis bisnis yang sehat. "Hal ini tentu saja sejalan dengan misi kami
untuk memberikan solusi-solusi jangka panjang dalam menyelesaikan
permasalahan pangan di Indonesia. Kami sadar bahwa pendekatan-pendekatan instan
dan jangka pendek, misalnya dalam bentuk sekedar pencarian bahan
pengawt pengganti bukanlah setategi yang optimal," jelas Ketua Panitia
Workshop Dr. Dahrul Syah dalam sambutan awalnya. Oleh karena itu menurut
Dahrul yang juga Ketua Depertemen ITP itu, IPB berupaya melakukan upaya
pendekatan-pendekatan teknologi pangan yang tersedia mulai dari
praktek-pratek sanitasi dan hygiene yang sederhana, penerapan tatacara produksi
 yang baik, penggunaan bahan tambahan pangan legal hingga stategi
pengembangan bisnis yang selaras dengan prinsip keamanan pangan.

Sementara Deputi 3 Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya-BPOM RI,
Prof.Dr.Ir. Dedi Fardiaz dalam keynotespeechnya mengutarakan bahwa upaya
pembongkaran makanan berformalin, boraks dan pewarna tekstil itu sudah
dilakukan BPOM sejak lama. Namun boomingnya baru sekarang. "Program BPOM
yang akan ditingkatkan akan meliputi 4 poin yakni pengaturan tata niaga
bahan berbahaya, pembinaan (public education), pengawasan dan
penyelamatan UKM," tegasnya. (ris)

[IPB Kerjasama CV. Dinar, Produksi Chitosan Pengganti Formalin

Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerjasama dengan CV.Dinar memproduksi
chitosan sebagai bahan pengawet pengganti formalin. Saa ini CV.Dinar
baru bisa memproduksi chitosan dengan kapasitas antara 100-300
kg/hari. Nantinya chitosan akan dipasarkan dalam bentuk larutan bukan
serbuk. "Produksi ini masih bisa ditingkatkan sesuai kebutuhan dan
ketersediaan bahan baku berupa limbah ranjungan atau kerang," ujar
drh. R. Dody Timur Wahjuadi Pemilik CV. Dinar Jakarta Kamis (12/1) di
Kosambi, Tangerang.

Doddy mengatakan dengan pemakaian antara 1.5 % -2 % larutan pengawet
chitosan yang dapat disediakan sekitar 15.000 liter/hari yang siap
digunakan untuk bahan pengawet bakso, mie basah dan ikan asin. Proses
pembuatan chitosan melalui beberapa tahapan yakni pengeringan bahan
baku mentah chitosan (ranjungan), pengilingan, penyaringan,
deproteinasi, pencucian dan penyaringan, deminarisasi (penghilangan
mineral Ca), pencucian, deasilitilisasi, pengeringan dan akhirnya
terbentuklah produk akhir berupa chitosan.

Dari hasil pertemuan dengan Menteri Kesehatan, hari Rabu (11/1) di
Kantor Departemen Kesehatan, Menkes mengatakan akan menyiapkan
legalitas penggunaan bahan alami pengganti formalin dan dalam waktu
dekat produk chitosan akan dilaunching. Selain chitosan, sejak tahun
2003 CV. Dinar bekerjasama dengan IPB telah menghasilkan produk olahan
rumput laut yang disebut karagenan. "Keragenan adalah bahan alami
pembentuk gel yang dapat digunakan untuk mengenyalkan bakso dan mie
basah sebagai bahan alternatif yang aman pengganti borax," jelas Dr
Linawati Hardjito, dari Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas
Perikanan dan Kelautan IPB. Karagenan membuat mie basah dan bakso
kenyal. Karagenan dihasilkan dari rumput laut Euchema sp yang telah
dibudidayakan di berbagai perairan Indonesia.

Setiap 1 kilogram bakso dibutuhkan 0.5-1.5 gram karagenan untuk
mengenyalkannya. Di pasaran 0.5-1.5 gram karagenan dijual dengan harga
Rp 750 – Rp 900,-. "Karagenan dalam industri sering dijadikan bahan
campuran kosmetik, obat-obatan, es krim, susu, kue, roti dan berbagai
produk makanan,"tutur Linawati.

Pengembangan obat dari laut menjadi salah satu produk unggulan
kerjasama IPB-CV. Dinar. Berbagai bahan obat dan suplemen
(nutraceutical) yang sedang dikembangkan adalah antimikroba
(pengawet), antipenuaan, antitumor/antikanker, antikolesterol, bahan
kosmetik (tabir surya, pewarna alami). Untuk pengembangan produk
tersebut IPB menjalin kerjasama dengan Virnginia Polytechnic Institute
& State University, USA khususnya untuk penentuan struktur kimia bahan
obat/suplemen. Kerjasama ini berlangsung dari 2003 hingga 2008.

Linawati mengharapkan komersialisasi chitosan dan karagenan sebagai
pengganti formalin dan borax dapat meningkatkan kontribusi CV. Dinar
dan IPB dalam meningkatkan perekonomian nelayan serta mencerdaskan
putra-putri mereka. "Dalam penyediaan bahan baku IPB dan CV Dinar
melibatkan ratusan nelayan yang tersebar di berbagai lokasi di
Indonesia," imbuhnya. (ris) ]

Kirim email ke