Inul dan Keluarga Saya
Oleh: Mula Harahap
Untuk pertama kalinya, saya menonton VCD Inul atas rekomendasi anak lelaki
saya.
Waktu itu--tahun 2002 atau 2003--ia kuliah di Bandung. Sesekali, bila sedang
tidak punya kesibukan, ia kembali ke Jakarta untuk berkumpul bersama
keluarga.
Begitulah, pada suatu Sabtu malam ia muncul di depan pintu. Tanpa berkata
"ba" atau "bu" dan melepas sepatu, ia langsung menuju ke depan pesawat TV.
"Heh!" katanya entah kepada siapa yang ada di rumah. "Gue punya VCD bagus,
nih. Ada penyanyi dangdut yang goyangannya asyik," katanya lagi sambil
merogoh sesuatu dari dalam ranselnya dan mulai mengkutak-katik VCD Player.
"Bapak mau menontonnya?"
"Hmm," kata saya sambil terus membaca koran, dan dengan nada sedikit
berwibawa campur sedikit ingin tahu.
Anak itu terus mengkutak-katik TV dan VCD Player. Mulai muncul gambar di
layar. Lalu ia mengambil posisi duduk di samping saya.
"Heh, siapa anak ini?" tanya saya sambil memelototi seorang gadis remaja
yang sedang meliuk-liuk di sebuah panggung sederhana. Tampaknya ia sedang
menyanyi di sebuah perhelatan kampung. Dan tampaknya gambar itu diambil
dengan sangat amatiran dan di luar sepengetahuan si penyanyi.
"Asyik, kan?!" kata anak saya sambil menatap muka saya.
"He-he-he," kata saya. "Dari mana kau dapat VCD ini?"
"Dari lapak bajakan," katanya bangga. "Anak-anak di kampus sekarang cuman
ngomongin dia. Ini bakal jadi penyanyi hebat, lho..."
Habis satu VCD, kami pindah ke VCD berikut. Sementara kami menonton, anak
perempuan saya yang juga sudah kuliah, keluar dari kamar. "Apaan sih ini?"
katanya, lalu ikut mengambil tempat di sisi abangnya.
"Penyanyi dangdut. Asyik!" kata abangnya dengan bangga dan merasa sebagai
'talent scout' untuk Inul.
"Gue nggak ngerti dimana asyiknya," kata anak perempuan saya. Ia memang
bukan penggemar dangdut. Tapi ia tetap bertahan duduk bersama kami.
Saya pun sebenarnya tak mengerti dimana kehebatan anak gadis yang sedang
meliuk-liuk di atas panggung yang disangga drum dan diberi atap plastik biru
itu.
Tapi ada hal yang membuat saya jadi tertarik dan terharu melihat goyangan
anak itu: "The Indonesian Dream". Seperti goyangan yang terjadi di panggung
itu, semua kita berupaya meliuk-liuk--dengan berbagai cara--untuk keluar
dari kemiskinan dan ketidakadilan yang melanda kehidupan.
Kemudian saya terbayang akan penyanyi dengan iringan organ tunggal yang
menjadi fenomena di desa-desa pantai timur Sumatera Utara. Saya terbayang
akan waria di Perempatan Coca-Cola--Cempaka Putih yang bila sudah menjelang
jam tiga dinihari akan melakukan upaya apa saja untuk membuat calon
pelanggannya tertarik. Saya terbayang akan rombongan pengamen yang
mendorong-dorong 'sound-system'di atas gerobak, yang sering mangkal di pojok
depan rumah saya. Dengan bayaran ala kadarnya mereka akan menyetel musiknya
keras-keras, lalu penarik ojek, kuli bangunan dan pemuda pengangguran di
sekitar pojok jalan itu akan berjoget dengan riangnya melupakan kesulitan
hidupnya untuk sementara.
"Gimana menurut pendapat Bapak?" tanya anak saya setelah dua keping VCD
selesai diputar.
"Gimana, ya...?!" kata saya balik bertanya. Lalu saya mulai menceritakan
kepadanya tentang fenomena pornoaksi sebagai cara untuk bertahan hidup dalam
konteks ketidakadilan yang terjadi di negeri ini.
"Dan bagaimana pula pendapatmu tentang goyangan itu?" saya balik bertanya
kepada anak saya.
"Juga biasa-biasa aja."
"Lu kagak ngeres?!" tanya saya.
"Ngeres? Lebih dari situ gue udah tonton. Gue dan kawan-kawan di kampus
tertarik menonton, karena goyangannya lain dari yang lain. Itu saja. Lagian,
pacar gue juga sama bahenolnya koq sama dia. Bapak sendiri? Ngeres, nggak?!"
"Ngeres? Lelaki setua Bapak ini, di tengah kesibukan memikirkan berbagai
masalah kehidupan ini, sudah tidak gampang ngeres lagi. Bapak sudah terlalu
sibuk mikirin cicilan mobil, mikirin uang kuliah dan uang kosmu, mikirin
sanak-famili yang susah-susah, mikirin negara yang amburadul. Kayaknya Bapak
sudah lupa gimana rasanya ngeres. Ha-ha-ha..."
"Awas, gue bilangin Mama, lho!"
Tiba-tiba isteri saya muncul dari kamar. "Ada apa sih? Koq dari tadi bapak
dan anak ini sibuk sekali berbicara dan tertawa-tawa..." tanyanya.
"Mereka lagi diskusiin goyangan penyanyi dangdut, Ma," kata puteri saya
melapor.
"Heeh?!" kata isteri saya.
"Tolong diputar ulang dan kasih lihat kepada Mama-mu..." kata saya.
Anak lelaki saya kembali mengkutak-katik VCD Player. Kembali seisi rumah
menonton goyangan Inul. Kembali semua menonton dengan diam dan sibuk dengan
pikiran dan perasaannya masing-masing. Ada rasa iba, kagum, terharu, bingung
dan sebagainya. Tapi saya berani memastikan bahwa rasa "ngeres" tidak ada di
sana. Dan sejak malam itu Inul menjadi "darling" seisi keluarga.
Inul menjadi simbol kepolosan dan keluguan rakyat, yang dengan berbagai cara
harus bertahan hidup, di sebuah negeri yang penuh dengan kebohongan,
ketidakadilan, keserakahan dan kemunafikan ini.
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]