Kompas, Rabu, 22 Februari 2006


Raju Masih Kecil Kok Sudah Dipenjara...
Khaerudin
Raut ketakutan terpancar di wajah mungilnya. Suara bocah kelas III SD itu pun terbata. Jiwanya
terguncang hebat.
Ruang sidang, petugas berseragam, dan rumah tahanan mungkin akan menjadi mimpi buruk bagi Muhammad
Azwar (8) sepanjang hidupnya.
Bocah yang akrab dipanggil Raju oleh teman-teman sepermainannya itu harus memikul beban yang tak semestinya ditanggung anak seusianya. Tak terbayangkan, perkara kecil, perkelahian antarteman, berbuntut masuk ruang tahanan dan sidang di pengadilan berhari-hari. Sidang dijalaninya di Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. "Raju malu diejek teman-teman di sekolah. Mereka bilang, Raju masih kecil kok sudah dipenjara,"
tutur Raju.
Rabu siang, 31 Agustus 2005, yang menjadi awal semua peristiwa ini, mungkin tak diingat Raju. Ia hanya tahu, hari itu sepulang sekolah dia diejek Armansyah, kakak kelasnya yang berumur 14 tahun. Perkara saling ejek anak SD yang lumrah terjadi ini berbuntut perkelahian. Raju tak terima dengan
ejekan Armansyah. Mereka berkelahi.
Keduanya sama-sama terluka. Masih terlihat bekas cakaran di wajah dan robekan di bibir Raju. Demikian pula Armansyah. Dari visum dokter, iga dan pinggul kirinya mengalami memar. Seharusnya perkara ini selesai saat kedua orangtua anak-anak ini bertemu. Sugianto, ayah Raju, sepakat membiayai pengobatan Armansyah. Namun, entah mengapa, orangtua Armansyah mengadukan Raju kepada polisi. Anak bungsu pasangan Sugianto dan Saedah itu disangka melakukan penganiayaan. Sugianto kini menyesal. Mengapa ketika Raju yang juga mengalami memar dan luka di wajahnya tak
divisum dokter. "Anak saya juga mengalami penganiayaan," ujar Sugianto.
Maka, mulailah mimpi buruk dalam kehidupan Raju. Pada September 2005, tiga kali Sugianto harus membawa Raju ke Kantor Polisi Sektor Gebang, Kabupaten Langkat, untuk disidik. Dalam pemeriksaan, Raju sama sekali tidak didampingi penasihat hukum ataupun petugas dari Balai Pemasyarakatan Anak
(Bapas).
Petugas Bapas terkait sesungguhnya bisa memberikan rekomendasi apakah Raju layak ditahan atau
tidak. Saat dalam proses penyidikan, Raju memang belum ditahan.
Berkas perkara Raju dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan. Perkara ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan pada 12 Desember 2005. Saedah, yang mendampingi Raju pada sidang pertama, menuturkan betapa anaknya ketakutan. "Raju
menangis minta pulang. Ia sangat takut," ujarnya.
Ruang sidang menjadi mimpi buruk kedua Raju setelah kantor polisi.
Hakim tunggal yang mengadili perkara Raju, Tiurmaida H Pardede, dirasakan telah menyidangkan perkara ini demikian "tegas". Raju merasa diperlakukan sebagai pesakitan yang pantas duduk di kursi terdakwa. Suara tegas ibu hakim menjadi seperti bentakan yang menakutkannya. Raju akhirnya menangis di persidangan. "Raju takut karena bu hakimnya bentak-bentak Raju," ujar
bocah yang lahir pada 9 Desember 1997 itu.
Yang membuat orangtuanya prihatin, perkataan sang hakim pada sidang pertama seperti sudah menyudutkan Raju. Menurut Saedah, pada sidang pertama hakim langsung memvonis anaknya. "Hakim bilang, dari raut mukanya saja dia tahu bahwa anak saya memang anak nakal," ujar Saedah. Di persidangan kedua, 19 Januari 2006, Raju benar-benar menjadi pesakitan. Oleh sang hakim, bocah yang hobi bermain sepak bola sepulang sekolah ini diharuskan menjalani penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Pangkalan Brandan, terhitung sejak hari itu hingga 2 Februari. Raju dianggap memberikan keterangan berbelit sehingga perlu ditahan. "Raju takut kerangkeng (penjara). Banyak orang jahat
di sana," ujar anak itu dengan mata berkaca-kaca.
Tak tega melihat penderitaan anaknya, Sugianto pun tiap malam harus rela mendampingi anaknya di rutan. "Raju diperbolehkan menginap di ruangan kantor, tidak di sel," ujarnya. Ketakutan yang teramat sangat dan rasa rindu dengan suasana rumah, teman-teman, dan sekolah membuat Raju stres. Hampir setiap saat Raju menangis minta pulang agar bisa sekolah. Selama 14
hari Raju benar-benar dikurung.
Sugianto dengan sangat mengiba meminta agar anaknya diizinkan bersekolah. Ia tak tahan setiap saat melihat Raju menangis di ruang tahanan. Raju akhirnya diizinkan keluar rutan pada jam sekolah. "Setiap pagi saya jemput Raju untuk sekolah. Sorenya saya pulangkan ke rutan," kata Sugianto
menceritakan.
Kasus Raju mungkin tak akan pernah diketahui andai tak ada staf divisi hukum Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan, Jonathan Panggabean dan Suryani Guntari. Keduanya secara kebetulan tengah berada di Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan pada 2 Februari 2006, atau pada persidangan ketiga Raju. Suryani merasa tak seharusnya anak di bawah usia delapan tahun menjalani
persidangan.
Jonathan yang juga berprofesi pengacara akhirnya menawarkan bantuan menjadi kuasa hukum Raju. Namun, jalan terjal masih menghadang Raju dan orangtuanya. Permohonan penghentian persidangan belum mendapat hasil. "Padahal, pada saat kejadian perkara, usia Raju masih tujuh tahun delapan bulan sehingga secara formal peradilan terhadap Raju tidak sah," ujar Jonathan. Namun, Tiurmaida bersikukuh perkara Raju harus terus disidangkan karena pada saat berkas masuk ke
pengadilan usia Raju telah mencapai delapan tahun satu bulan.
Persidangan demi persidangan semakin merusak mental Raju. Apalagi hakim seperti tak melihat sosok
lugu Raju.
Saedah menuturkan, pada hari persidangan, Raju harus menunggu panggilan sidang di ruang tahanan yang memang biasa tersedia di pengadilan. Di ruangan itu berkumpul banyak terdakwa lain yang
menunggu untuk disidangkan. Tak ada satu pun anak-anak.
Saat itu waktu menunjukkan pukul 14.00 dan Raju tampak letih karena belum makan sejak pagi. Saedah yang membawa bekal makanan dari rumah meminta izin kepada Ketua Pengadilan Negeri Stabat Syamsul Basri agar anaknya bisa keluar sebentar untuk disuapi makanan. Permintaan itu ternyata ditolak Syamsul dengan alasan izin mengeluarkan tahanan harus dari hakim yang menyidangkan perkara. "Padahal, anak saya belum makan sejak pagi. Saya hanya minta izin agar bisa menyuapi anak saya makan karena enggak mungkin saya lakukan di dalam ruang tahanan," ujar Saedah sambil terisak. Mata Raju berkaca-kaca melihat ibunya menangis. Bocah ini seperti mengerti kesedihan orangtuanya.



Kompas, Kamis, 23 Februari 2006



Komisi Yudisial Panggil Hakim Kasus Raju
Jakarta, Kompas - Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas mengatakan, pihaknya akan segera memanggil Tiurmaida H Pardede, hakim tunggal yang mengadili Muhammad Azwar atau Raju di Pengadilan Negeri
Stabat Cabang Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Komisi Yudisial memprioritaskan penanganan kasus tersebut dan tidak akan menunggu adanya pengaduan. Tiurmaida akan dimintai keterangan tentang gambaran secara utuh seluruh proses
persidangan itu.
Busyro sangat menyayangkan tindakan hakim yang memerintahkan penahanan Raju, apalagi ia diinapkan di tempat penahanan orang dewasa. Menurut Busyro, hakim seharusnya bertindak sesuai dengan kondisi. Berhadapan dengan anak, hukum tak seharusnya diterapkan secara kaku mengingat tingkat
kesadaran anak tak sama dengan orang dewasa.
"Apa harus diterapkan secara rigid seperti itu? Sebenarnya permasalahan itu kan bisa lewat orangtua yang bersangkutan atau tokoh masyarakat. Pengadilan mestinya merespons itu, tak harus kaku. Kasus korupsi saja bisa ditekak-tekuk, masa anak tak bisa," kata Busyro, Rabu (22/2) di
Jakarta.
PN Langkat membantah
Sementara itu, lewat surat yang dikirimkan ke Redaksi Kompas melalui faksimile kemarin, pihak Humas Pengadilan Negeri (PN) Langkat di Stabat, Hera P Destiny SH, membantah beberapa kalimat pada
"Raju Masih Kecil Kok Sudah Dipenjara" (Kompas, 22 Februari 2006).
Menurut pihak PN Langkat di Stabat, berdasarkan keterangan Kepala Sekolah SD Negeri 056633 Gang Mangga tanggal 28 November 2005 dan data siswa dari kepala sekolah tersebut, terdakwa Sarju (yang akrab dipanggil Raju) lahir tanggal 5 Desember 1996. Jadi, ketika diadili dia sudah berusia delapan tahun. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak, proses persidangan itu sah dan berdasarkan UU No 8/1981 tentang KUHP tidak
mengenal istilah putusan persidangan dihentikan.
PN Langkat juga menyatakan, Sarju ditahan karena mempersulit persidangan. Dengan tidak menghadirkan Sarju sebanyak dua kali berturut-turut, keluarga Sarju melecehkan persidangan dengan melakukan perbuatan- perbuatan yang mengganggu ketertiban persidangan. Selain itu, keluarga Sarju tidak mempunyai itikad baik untuk berdamai dengan keluarga korban (Armansyah yang berkelahi dengan
Sarju)
PN Langkat juga menyatakan, Sarju tidak pernah menjalani penetapan penahan. "Artinya, terdakwa
tidak pernah di dalam tahanan," katanya.
Tentang berita yang mengatakan Ketua PN Stabat tidak memberikan izin kepada ibu Sarju, Saedah, untuk memberi makan anaknya yang berada di dalam sel pengadilan, juga dibantah kebenarannya. Dari Medan dilaporkan, berbagai kalangan akademisi, anggota DPRD, hingga anggota Dewan Perwakilan Daerah meminta proses persidangan Raju dihentikan. Kemarin PN Stabat Cabang Pangkalan Brandan
kembali menyidangkan Raju dengan pemeriksaan saksi. (ANA/BIL)





================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke