SOELASTRI SOEKIRNO

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/02/utama/2478744.htm

Jangan coba-coba bergerak-gerik mencurigakan, apalagi berciuman dengan
lawan jenis di jalan, Anda bisa ditangkap!

Itulah salah satu peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di Kota
Tangerang, Provinsi Banten.

Tepat pada usia ke-13, Pemerintah Kota Tangerang mulai melaksanakan
Perda Nomor 7 Tahun 2005 tentang larangan pengedaran dan penjualan
minuman beralkohol, dan Perda No 8/2005 tentang larangan pelacuran !
tanpa pandang bulu.

Mereka yang melanggar ketentuan tersebut akan ditangkap, ditahan, lalu
diadili. Karena itu, jika Anda seorang perempuan dan sedang berada di
Kota Tangerang, jangan pernah bersikap mencurigakan atau berada
sendirian di jalan, di atas pukul 19.00, terutama di jalan yang
disebut-sebut sebagai tempat pekerja seks komersial (PSK) biasa mangkal.
Anda bisa dikenai perda antipelacuran tersebut.

Sidang perdana penerapan perda itu sudah mulai dilaksanakan Selasa
(28/2) lalu. Dalam persidangan yang digelar bersamaan dengan pesta ulang
tahun Kota Tangerang itu ternyata tak semua yang ditangkap, ditahan,
lalu diadili adalah PSK.

Sebagian di antara mereka adalah ibu rumah tangga yang saat penangkapan
itu kebetulan sedang minum teh botol di tepi jalan sebelum melanjutkan
perjalanan ke rumahnya.

Ada pula seorang istri yang sedang bersama kawan suaminya di hotel
karena menunggu sang suami mencari makan malam sebel! um bertemu rekanan
bisnis jual-beli mobil.

Selain itu, ada istri seorang guru SD negeri di Kota Tangerang yang
hendak mencari angkutan kota setelah pulang dari tempat kerjanya.

Ada pula perempuan yang didakwa sebagai PSK, tetapi belum sempat
bertransaksi dengan pria yang menghendakinya. "Saya baru saja sampai,
belum dapat tamu karena masih sore, baru pukul 20.00, eh... keburu
ditangkap,"
katanya.

Meski di antara mereka ada yang tidak terbukti sebagai PSK, oleh hakim
tunggal Barmen Sinurat, mereka tetap dinyatakan bersalah melanggar Pasal
4 Ayat 1 Perda No 8/2005.

Perda itu berbunyi, "Setiap orang yang sikap atau perilakunya
mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka
pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di
rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan,
warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di
sudut-sudut jalan atau di loron! g-lorong jalan atau tempat lain di
Daerah".

Sinurat lalu menghukum mereka membayar Rp 1.000, lalu mengembalikan
mereka kepada keluarga masing-masing untuk dibina.

Mereka yang mengaku sebagai PSK dihukum denda Rp 150.000-Rp 550.000 atau
kurungan tiga sampai delapan hari.

Hukuman ini memang lebih ringan daripada ketentuan dalam perda yang
mengancam pelanggarnya paling lama tiga bulan kurungan atau denda
setinggi-tingginya Rp 15 juta.

Istri guru

Yang menarik adalah pengadilan atas Ny Lilis Lindawati (36), istri
seorang guru SD Negeri V di Gerendeng, Tangerang. Terhadap istri guru
ini Sinurat tetap menyatakan dia sebagai PSK sekalipun Lilis menolak
keras dakwaan itu karena dia adalah pekerja yang saat itu hendak pulang
ke rumah.

Nasib sial menambah penderitaan Lilis. Sampai sidang usai digelar, Lilis
yang tengah hamil dua bulan itu tak bisa menghadirkan saksi yang
menerangkan bahwa dirinya bukan pelacur. "Tolong jem! put suami saya.
Saya ini bukan pelacur seperti yang dikatakan tadi," pinta Lilis sembari
menangis.

Hakim menghukum Lilis membayar denda Rp 300.000 atau kurungan delapan
hari.
Namun, Lilis menolak membayar denda karena ia merasa bukan pelacur
sebagaimana yang didakwakan.

Sejak ditahan, Lilis bukan tak berusaha menghubungi suami dan
keluarganya.
Namun, upaya meminjam telepon kepada petugas atau pergi ke warung
telekomunikasi untuk menghubungi saudara atau rekannya pun ia tidak
mendapat izin. "Suami saya tak punya telepon," papar Lilis.

Ketika selesai sidang dia mendapatkan pinjaman telepon, Lilis buru-buru
menelepon salah seorang teman suaminya. Namun, sang suami yang hari
Selasa menderita tekanan darah tinggi ternyata tidak muncul di sidang
pengadilan sehingga ia dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita.

Tak pulangnya Lilis ke rumah membuat suaminya, Kustoyo (42),
bertanya-tanya.
Namun, karena ia sedang sakit dan sama sekali! tak punya uang, Kustoyo
memilih menunggu sang istri pulang. Selasa malam seorang rekannya yang
mendapat telepon dari Lilis baru sempat memberi kabar bahwa istrinya
ditahan karena kena razia.

Malam itu juga Kustoyo datang ke Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Tangerang sambil membawa kartu tanda penduduk, surat nikah, dan kartu
keluarga. Petugas menyarankan, guru yang sudah mengabdi selama 20 tahun
dengan golongan 3C tersebut datang keesokan harinya (Rabu).

"Saya tak punya uang sama sekali, untung sama teman saya dikasih Rp
5.000.
Tapi malam itu saya tak berani pulang, takut tak punya ongkos buat
besoknya," tutur tamatan sekolah pendidikan guru agama itu.

Malam itu ia nekat minta izin seorang yang bekerja di warteg (warung
tegal) kenalannya untuk menginap di bangku belakang warung. "Semalaman
itu saya tak bisa tidur, bingung harus bagaimana," katanya.

Ia mengatakan, Lilis dua bulan terakhir bekerja di sebuah rumah mak! an
di Tangerang. Sang istri biasa berangkat kerja siang hari dan sampai di
rumah sekitar pukul 23.00 dengan naik angkutan kota yang berganti
beberapa kali.

Rabu pagi Kustoyo datang ke Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan
Karawaci untuk melapor kepada Ius, atasannya. Atas saran Ius, Kustoyo
membuat surat klarifikasi bersegel yang menyatakan bahwa Lilis adalah
istrinya dan bekerja di sebuah restoran di Tangerang.

Surat klarifikasi itu ditujukan kepada Kepala Dinas Penertiban dan
Ketertiban Kota Tangerang. Ketika ia membawa surat ke kantor tersebut,
petugas di sana meminta dia pergi ke Pusat Pemerintahan (Puspem) Kota
Tangerang untuk bertemu dengan petugas bernama Lubis.

"Uang di kantong tinggal dua ribuan. Supaya cukup untuk ongkos pulang,
saya jalan kaki ke Puspem. Tapi, di kantor itu saya diminta membayar Rp
300.000 jika ingin membebaskan istri saya," tuturnya lirih.

Ia sempat agak marah ketika beberapa petugas di P! uspem menyatakan
istrinya mengaku sebagai pelacur. Atas petunjuk pegawai di Puspem,
Kustoyo pergi ke Kejaksaan Negeri Tangerang dengan berjalan kaki untuk
menemui seorang jaksa yang menangani perkara istrinya itu.

Sampai di kejaksaan, petugas menyatakan jaksa yang ia cari tidak ada di
kantor karena sedang sidang. "Mereka minta saya membayar denda untuk
istri saya, tapi dalam hati saya menolak karena istri saya bukan
pelacur,"
katanya
saat ditemui Kompas, Rabu sore.

Hingga kemarin Kustoyo belum berhasil membebaskan istrinya yang ia
nikahi tahun 2001. "Ia sedang hamil. Saya takut ia keguguran lagi,"
tuturnya.

Lilis ditangkap hari Senin lalu sekitar pukul 19.00-22.00 ketika petugas
melakukan razia di jalan-jalan utama dalam kota itu. Saat itu juga 27
perempuan dan seorang waria yang sedang berada di tepi jalan dan di
dalam kamar hotel ditangkap.

Tak peduli saat itu mereka sedang berdiri menunggu angkutan kota, tengah
minum! teh botol, makan di warung sendirian, atau berada di dalam kamar
hotel. Pokoknya, dalam keberadaan seperti itu, mereka langsung diangkut
ke kendaraan menuju Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang. Di
sanalah mereka diproses berdasarkan perda kota tersebut.





Kirim email ke