About Raju.... smoga bs jd pelajaran yah..

Uci mamaKavin

--- In [EMAIL PROTECTED], "vina" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:







Sarlito

Quoting Yasinta Nugraha :


> RAJU DAN NURANI
Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

Sejak reformasi, kita sering menyaksikan berbagai hal yang tidak masuk akal
sehat. Mulai dari aparat menembaki mahasiswa, dan mahasiswa meludahi
muka
polisi, sampai ke maling yang dibakar hidup-hidup, atau dua kelompok
agama
saling berbunuhan selama bertahun-tahun, bahkan ada orang-orang yang
dengan
santai memasang bom pada dirinya dan membunuh ratusan orang tak
berdosa
bersama
dirinya. Kebanyakan manusia yang normal tentunya tersentuh nuraninya
karena
peristiwa-peristiwa tersebut.
Walaupun begitu, selama ini para pakar (termasuk saya sendiri) masih
mencari-cari upaya untuk menjelaskan, mengapa semua kekerasan yang di
luar akal
sehat itu bisa terjadi. Ada yang berteori tentang ketidak adilan,
kecemburuan
sosial, bangsa Indonesia tidak siap untuk berdemokrasi, dampak Orde Baru,
bahkan menyalahkan pemerintah kolonial Belanda dan Jepang, dan
sebagainya.
Tetapi kasus pengadilan Moh. Azwar alias Raju di Medan, membuat mata
saya
terbuka lebar karena.... ngeriiii...
***
Raju adalah bocah umur 7 tahun lebih (seperti yang dalam lagunya Vina
Panduwinata: â?oKumpul Bocahâ??), yang berantem (biasa dilakukan oleh
hampir
tiap anak laki-laki) dengan kakak kelasnya yang berumur 14 tahun (ingat
kisah
si kecil David melawan raksasa Goliath?), dua-duanya babak-belur (ini pun
biasa), dan kedua orangtua pun berunding (ini juga biasa). Tapi bapak
lawannya
lapor ke polisi (ini mullai aneh), terus polisi menangkap Raju
(..haaah...?),
kemudian polisi mengajukan ke jaksa (loh, kok makin aneh?), dan jaksa terus
ke
pengadilan dan yang paling super ajaib adalah hakim tetap mengadili
Raju dengan
tata-cara persis seperti mengadili preman (termasuk mencampurkannya
dalam
sel
tahanan orang dewasa) atau mantan Direktur Bank yang korupsi, walaupun
ada
UU
Perlindungan Anak dan (kalau tidak salah, maklum bukan pakar hukum)
sudah
ada
UU tentang tata-cara pengadilan anak.
Jelaslah Raju menangis menjerit-jerit ketakutan. Tidak perlu seorang
psikolog,
seorang buta huruf pun tahu bahwa Raju trauma berat, malah histeris.
Tapi hakim
memerintahkan sidang peradilan jalan terus, karena kata hakim begituah
yang
diharuskan oleh hukum. Di mata hakim, Raju dinyatakan sehat, tidak ada
masalah,
hakim justru bahkan menyalahkan pers yang seakan-akan merekayasa
adegan-adegan
tangis.
Yang mengerikan buat saya, adalah bahwa para hakim, panitera, jaksa dan
polisi
(pokoknya semua yang terlibat dalam pemrosesan hukum itu) adalaah
orang-orang
biasa, artinya bapak/ibu biasa, punya dan sayang pada keluarga dan
anak-anak,
bukan politisi yang haus kekuasaan, atau calon artis frustrasi yang haus
popularitas, atau koruptor yang mengejar duit, atau provokator, atau
demonstran
bayaran. Mereka adalah orang-orang biasa yang hanya menjalankan tugas.
Titik!
etapi ketika suatu tugas dijalankan dengan baik justru menimbulkan
masalah lain,
tentu ada yang salah di situ? Apa yang salah? Jelasdalam kasus ini  tidak
lagi
bisa diterangkan dengan teori-teori kecemburuan sosial, atau
pertentangan kelas
atau warisan Orde Baru atau yang sejenisnya.
***
Menurut pandangan saya, yang salah adalah hati nurani yang hilang.
Seluruh
bangsa ini terusik hati nuraninya ketika menyaksikan di layar TV, Raju
menangis
ketakutan di gendongan ayahnya. Tetapi hakim-hakim itu cuek saja,
meneruskan
persidangan! Ke mana hati nurani para hakim, panitera, dan semuanya?
Hilang
bagaikan ditelan bumi.  Yang tertinggal adalah akal belaka, dan akal tanpa
nurani tidak bisa menjadi akal sehat, melainkan jadi akal-akalan (isitilah
psikologinya: Rasionalisasi).
Nah, kalau aparat-aparat hukum yang orang-orang biasa itu, sudah
kehilangan
hati-nuraninya, maka jangan-jangan memang kita semua, bangsa Indonesia,
sudah
kehilangan hati nurani, dan bisanya hanya akal-akalan saja. Karena itulah
maka
orang menganggap benar saja melanggar lalu lintas, atau membakar maling
hidup-hidup, mengamuk kalau Calon Kepala Daerahnya tidak terpilih,
membunuh
orang hanya karena agama atau etniknya lain, bahkan seorang perwira
menengah
TNI AL bisa membunuh isteri dan hakim yang sedang mengadilinya, di
tengah
kerumunan penonton.
Ke mana gerangan hati nurani? Mungkin itu juga yang menyebabkan tidak
seorang
presiden pun bisa mengendalikan bangsa ini. Padahal kita sudah pernah
puya
presiden yang tentara, profesor, kiai yang tuna netra, wanita dan balik
lagi ke
tentara yang doktor. Mungkin kita harus menunggu turunnya malaikat
Jibril untuk
mengatur republik ini.

--- End forwarded message ---







================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke