Selasa, 07 Maret 2006

Pornografi dan Anak-anak Kita 




Beberapa tahun lalu, psikolog dan Ketua Yayasan Kita dan Buah Hati, Elly 
Risman, melakukan survei langsung di sebuah SD di kawasan Jabotabek. Diantar 
beberapa guru, Elly mendatangi ruang kelas lima. 

Suasana tanya jawab berjalan biasa, hingga seorang anak laki-laki berdiri dan 
mengacungkan tangan tinggi-tinggi. ''Ya, mau tanya apa, Nak,'' tanya Elly. Tak 
dinyana, bocah tanggung itu berkata, ''Bu, kalau saya sudah menikah, bolehkah 
saya menggauli istri saya dari depan, belakang, dan samping?'' Kalimat itu 
mengalir lancar dari mulut sang bocah. Raut wajahnya juga tanpa dosa, khas 
anak-anak. ''Tubuh saya kontan berkeringat dingin. Lutut gemetar, bingung mau 
menjawab apa,'' kata Elly, mengenang. 

Keterkejutan akan pengalaman dengan siswa SD tersebut, membuat Elly dan 
beberapa rekannya dari yayasan, tergerak menelusuri mata air 'pengetahuan' 
anak-anak tersebut. ''Saya ingin tahu, dari mana mereka mendengar semua itu,'' 
ujar Elly. Agar bisa menggali sebanyak mungkin dari bocah-bocah tersebut, Elly 
dan kawan-kawan merekrut konselor dari kakak-kakak kelas SD yang akan mereka 
survei. 

Hasilnya? ''Anak-anak itu telah banyak tahu apa itu wanita seksi, bugil, dan 
bermacam istilah dewasa lain yang membuat kami makin terkejut,'' kata Elly. 
Survei itu juga menemukan banyak hal yang menarik. Ternyata, menurut catatan 
Elly dan kawan-kawan, dari beragam media yang mengenalkan anak-anak bau kencur 
itu dengan pornografi, telepon seluler (hp), ternyata menempati urutan pertama. 
Baru setelah itu majalah, novel, cakram padat (CD) porno, dan situs internet 
porno. ''Secara tidak sadar, ternyata dengan membekali anak-anak dengan hp, 
kita membawa mereka kenal pornografi,'' kata Elly, yang mengaku melakukan 
survei tersebut selama bertahun-tahun. 

Yang tidak kalah mencengangkan, anak-anak SD itu ternyata cukup fasih 
menyebutkan daftar panjang situs porno kepada kakak-kakak kelas mereka. Dan 
menurut Elly, kadang mereka menemukan situs tersebut bukan karena kenakalan. 
Mereka sering kali menemukan situs tersebut saat mencari data guna mengerjakan 
tugas. ''Misalnya tugas biologi. Anak-anak itu mencari nyamuk. Eh, yang dapat 
malah situs nyamuk dotcom, yang nyata-nyata porno. Saat mencari 'Istana' dalam 
tugas IPS, yang ketemu istana dotcom porno juga,'' kata Elly. Tokoh Shincan 
yang digemari anak-anak, ternyata juga digunakan oleh para pengelola situs 
porno untuk menamai situs mereka. 

Bertahun-tahun melakukan survei, membuat Elly sampai pada kesimpulan. Penyebab 
merebaknya pornografi, terutama disebabkan gampangnya masyarakat memperoleh 
video cakram padat (VCD). Hanya dengan Rp 5 ribu, tanpa perlu sulit mencari, 
masyarakat sudah bisa mendapatkan satu keping cakram porno. Murah dan mudah 
tersebut seringkali membuat para orang tua juga lupa menjaganya dari tangan 
anak-anak. Saat mereka lepas dari pengawasan, anak-anak itulah yantg kemudian 
menikmati tayangan tidak senonoh tersebut. 

Selain hp dan cakram padat, televisi juga sering disebut menjadi media penular 
pornografi. ''Lihat saja tayangan malam hampir semua televisi kita,'' kata 
Sutopo, bapak dua putri. Ia lalu mengurai daftar film dewasa yang ditayangkan 
saat malam. Judulnya banyak yang menyeramkan. Mulai dari ''Gairah Malam'' 
hingga ''Binalnya Istri Muda.'' Sutopo menilai, film seperti itu seharusnya 
tidak ditayangkan di layar kaca. ''Meski malam, tidak ada jaminan yang menonton 
semuanya para bapak atau kakek-kakek yang susah tidur,'' kata dia. 

Dengan banyak media pengantarnya, tidak heran bila ancaman pornografi menyergap 
hingga ke rumah-rumah. Korbannya siapa lagi kalau bukan anak-anak, generasi 
penerus bangsa. Hasil survei Elly menunjukkan, sekitar 98 persen anak-anak 
Indonesia terbiasa mengakses media-media yang menampilkan pornografi. Fakta itu 
diperkuat hasil penelitian Jejak Kaki Internet Protection. Lembaga ini 
menemukan, 97 persen anak usia 9-14 tahun ternyata pernah mengakses situs porno.

Karena itu, Elly merasa heran dengan adanya sekelompok orang yang menentang 
Rancangan Undang-Undang Antipornograpi dan Pornoaksi (RUU APP). ''Saya tidak 
habis pikir, kepentingan apa yang mereka bawa,'' kata Elly, kepada Republika, 
kemarin (6/3). Elly menilai, mereka sebenarnya tidak lebih dari kalangan yang 
buta akan dahsyatnya pornografi yang mulai menghancurkan kehidupan kanak-kanak 
penerus bangsa tersebut. 

Yang parah, menurut psikolog itu. Kerapnya menyerap pornografi bisa membuat 
otak anak-anak itu seolah membentuk kompartemen atau lokus porno. Anak yang 
diterpa pornografi sejak usia dini, juga akan cenderung antisosial, tidak 
setia, senang melakukan kekerasan domestik, serta tidak sensitif akan perasaan 
orang lain. Menurut Elly, kondisi Indonesia dalam soal pornografi, saat ini 
bukan lagi memprihatinkan.

''Sudah berada pada fase berbahaya bagi anak-anak,'' kata dia. Keprihatinan 
senada juga disuarakan Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), Seto 
Mulyadi. Sebagaimana banyak kalangan, Seto menilai penayangan program berbau 
pornografi saat anak-anak dan remaja menonton televisi, adalah tindakan 
kekerasan terhadap anak melalui informasi. ''Secepatnya tayangan porno, baik di 
TV maupun di media cetak itu dihentikan. Itu sudah merupakan kekerasan terhadap 
anak-anak, dengan menjejali mereka informasi yang tak pantas,'' kata Seto. 

Seto juga mengajukan pendapat yang mengejutkan. Menurut dia, kasus perkosaan 
yang dilakukan anak-anak akibat pengaruh pornografi, layaknya fenomena gunung 
es. ''Betapa banyak, karena berbagai alasan, tidak muncul dan diketahui umum,'' 
kata dia. Seto berharap, RUU APP itu bisa segera selesai dari penggodokan. 
''Anak-anak kita harus dilindungi dari serangan dan pengaruh pornografi,'' 
ujarnya. 

(dsy/dam/hri ) 
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=238317&kat_id=3

Reply via email to