ha??? Anak ma misoa??? ibu macam apa anda ini....! masa anak dititpin ke misoa.... urus dunk diurus....!! malah senyum2 bkn ngurus anak......
*gojlok negatip apa positip* "MAMA JJ" <[EMAIL PROTECTED]> 03/09/2006 04:04 PM Please respond to balita-anda@balita-anda.com To <balita-anda@balita-anda.com> cc Subject Re: [balita-anda] kegagalan empati Hahaha.. Anak gw ama misoa lagi... :):) *senyum2nungguactionselanjutnya* ----- Original Message ----- From: <[EMAIL PROTECTED]> To: <balita-anda@balita-anda.com> Sent: Thursday, March 09, 2006 3:38 PM Subject: Re: [balita-anda] kegagalan empati > anak kita... > ========= > kita????? > ellluuuuuu..!!! :P~ > > *ngetes mba ini negatip apa pocitip* > > > > > "MAMA JJ" <[EMAIL PROTECTED]> > 03/09/2006 03:33 PM > Please respond to > balita-anda@balita-anda.com > > > To > <balita-anda@balita-anda.com> > cc > > Subject > Re: [balita-anda] kegagalan empati > > > > > > > Mba Noni, > > Hehhe Papa JJ emang misoa I... JJ stands for Jacqueline Joanne..anak > kita... > > ----- Original Message ----- > From: "Noni Mira Timotius" <[EMAIL PROTECTED]> > To: "balita-anda" <balita-anda@balita-anda.com> > Sent: Thursday, March 09, 2006 1:43 PM > Subject: [balita-anda] kegagalan empati > > > > Kegagalan Empati.. > > > > > > > > Alkisah di sebuah sekolah dasar, tercatatlah seorang siswa kelas satu. > Sebut > > namanya Iskandar. Ia anak konglomerat ternama. > > > > Bukan cuma bapaknya yang pedagang besar. Kakek moyangnya pun demikian. > > Mereka adalah rezim saudagar terkenal sejak era abad pertengahan. Ketika > > Pires berkata, ''Tuhan menciptakan Timor untuk pala, Banda untuk lada, > dan > > Maluku untuk cengkih,'' di sanalah kakek moyang Iskandar berperan. > > > > Iskandar masih menikmati warisan kebesaran itu. Ia bersekolah di SD > unggulan > > berstandar internasional dan bilingual, sekitar 2 kilometer dari rumah > > (mobil senilai Rp 1 miliar yang ia pakai hanya mencatatkan perjalanan 4 > > kilometer setiap hari). Seorang sopir dan ''baby sitter'' mengantar dan > > menungguinya setiap hari saat ia belajar. > > > > Laiknya sekolah mahal dan unggulan lainnya, mengarang adalah pelajaran > yang > > diposisikan amat penting di SD tersebut. Anak-anak didik, sejak kelas > satu, > > sudah dilatih untuk mengekspresikan isi kepala mereka dengan kata-kata > yang > > tertata baik, namun dengan isi yang mencerminkan kebebasan pikiran. > > > > > > Sampailah, suatu ketika, sang guru meminta siswa kelas I membuat > karangan > > tentang kehidupan keluarga yang sangat miskin di seberang benteng > sekolah. > > Sang guru, yang berasal dari keluarga menengah,berharap dapat > menumbuhkan > > empati anak-anak didiknya yang serba berada terhadap nasib kelompok lain > > yang tak berpunya. Iskandar masih kelas satu SD. Tapi, ia penulis yang > > andal. Ia sefasih bapaknya saat harus melontarkan kata-kata. Ia pun > secerdas > > ibunya saat harus membuat hitung-hitungan dan perbandingan. > > > > Ia menulis, seperti saran gurunya, dengan penuh perasaan. ''Menulislah > > dengan hati,'' begitu kata-kata sang guru yang selalu ia ingat. Lalu, > dengan > > sesekali menerawang dan membayangkan kehidupan keluarga miskin, Iskandar > > menggoreskan pinsilnya dengan huruf-huruf yang belum sempurna benar. Ia > > menamai tokoh dalam karangannya sebagai Pak Abu. > > > > ''Pak Abu,'' tulisnya, ''adalah orang yang sangat miskin. Benar-benar > > miskin, sampi-sampai pembantunya juga miskin, sopirnya miskin, dan > tukang > > kebunnya pun miskin.''''Karena sering tak punya uang, Pak Abu jarang > > membersihkan kolam renang di rumahnya. Ia juga hanya bisa memelihara > > ikan-ikan kecil di akuarium seperti lou han yang makannya sedikit, tidak > > seperti arwana dan koi di rumahku. Kucing siam punya Pak Abu juga kurus, > > soalnya kurang makan. Ayam yang ia pelihara juga yang kecil-kecil, jenis > > kate.'' > > > > Iskandar yang berpikir bebas menulis karangannya itu dengan penuh haru. > Ia > > sesekali mengernyitkan dahi. Ia berpikir dirinya tak mungkin bisa > > menanggungkan kemiskinan seperti yang terjadi pada keluarga Pak Abu. > > Alangkah malangnya keluarga Pak Abu, pikirnya. Jangan-jangan > anak-anaknya > > harus berebut saat bermain PS2, karena alat permainan itu hanya ada satu > di > > ruang keluarga. Lain dengan di rumahnya, setiap kamar ada. Di kamar > > Iskandar, di kamar kakak-kakaknya, bahkan di kamar ibu-bapaknya . > > > > Sopir dan pembantu Pak Abu pun, pikirnya, pasti sedih karena tidak > seperti > > pembantu dan sopir dirinya. Iskandar membandingkan handphone yang > dipegang > > sopir dan pembantu Pak Abu mungkin jenis monophonic yang ketinggalan > zaman, > > lain dengan handphone pembantu dan sopirnya yang polyphonic dan bisa > kirim > > MMS. > > > > Ia membayangkan kepala urusan dapur di rumah Pak Abu mungkin hanya bisa > > belanja di pasar yang becek atau supermarket kecil di perempatan jalan. > > Padahal, pembantu di rumahnya sangat biasa berbelanja ke hypermarket > Prancis > > dan mal-mal. ''Anak-anak Pak Abu,'' tulisnya dengan empati penuh, > ''kalau > > liburan tidak bisa ke Eropa atau Amerika seperti aku. Mereka hanya bisa > > berlibur ke Bali. Itu pun pakai pesawat yang murah, low cost carrier.'' > > > > Terserahlah, Pembaca, Anda mau bekomentar apa tentang cerita itu. Saya > hanya > > mau menyampaikan sebuah kegagalan empati. Bukan karena orangnya tidak > tulus, > > tapi ia memang tidak memiliki pengalaman yang memadai tentang dunia di > luar > > dirinya. Iskandar adalah wakil dari kegagalan itu. > > > > > > Saya kembalikan kepada Anda kisah-kisah di luar. Masih teringat saat > seorang > > menteri berkata, ''Kalau tidak mampu membeli elpiji, ya jangan gunakan > > elpiji,'' apa komentar Anda? > > > > Bagi saya, itu adalah kegagalan empati. Mungkin karena sekadar kurangnya > > wawasan dia tentang penderitaan, mungkin juga karena kemalasan melihat > dunia > > luar. Bayangkan setelah si menteri berkata seperti itu, harga minyak > tanah > > melambung tiga kali lipat. Kita tentu tak berharap pejabat itu akan > berkata, > > ''Kalau tidak mampu beli minyak tanah, jangan gunakan minyak tanah.'' > Lalu, > > ketika harga beras melonjak sekian kali lipat, ia pun berpidato lagi, > > ''Kalau tidak mampu beli beras, jangan makan nasi.'' > > > > Empati adalah kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain. Di > dalamnya > > tercakup kecerdasan emosional dan sosial. Nah, jika Anda berempati > kepada > > orang miskin, maka Anda akan memerankan diri sepenuh perasaan sebagai > orang > > miskin. Persoalannya, apa fantasme Anda tentang kemiskinan? > > > > > > > > Penguasa kolonial mendefiniskan kemiskinan sebagai buah kemalasan. Saat > > mendengar kata ''miskin'', mereka teringat pada kerbau yang hanya > bergerak > > kalau dipacu dan lebih suka berkubang di lumpur hitam. > > > > Pemerintah kita mendefinisikan kemiskinan sebagai hasil perhitungan dari > > sebuah nilai subsidi. Maka, ditemukanlah angka penghasilan Rp 175 ribu > > sebagai batas kemiskinan. Kurang dari angka itu berarti miskin dan > berhak > > mendapat santunan Rp 100 ribu. Persoalannya, orang yang berpenghasilan > di > > antara Rp 175 ribu dan Rp 275 ribu masuk kategori apa? Tidak jelas, > kecuali > > satu hal: Mereka kini menjadi penduduk termiskin di negeri ini. > > > > > > > > Selamat Pagi dan Selamat Bekerja....Selamat Mengucapkan Syukur Pada Sang > > Pemberi Rejeki & Tuhan Memberkati > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > ================ > > Kirim bunga, http://www.indokado.com > > Info balita: http://www.balita-anda.com > > Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: > [EMAIL PROTECTED] > > Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED] > > > > > > > > ================ > Kirim bunga, http://www.indokado.com > Info balita: http://www.balita-anda.com > Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: > [EMAIL PROTECTED] > Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED] > > > ================ Kirim bunga, http://www.indokado.com Info balita: http://www.balita-anda.com Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]