huhuhu.. terharu bacanya...
dulu pernah dikasih bundelan majalah kuncung (yang sudah berwarna tapi masih
satu gradasi, misalnya satu edisi warnanya ungu, trus edisi depan ijo,
merah, dsb)
tapi krn dulu (sekitar umur 7 thn) kurang nyambung sama kuncung, demennya
baca bobo :-p
pokoknya hafal deh semua sekeluarga sampe ke bibi tutup-pintu sama bibi titi
teliti, hehe
terus sama buku2nya enid blyton, astrid lindgren (dulu belum ada harry
potter sih, hehe).. sampai sekarang suka baca2 lagi kalau pingin
nostalgia...
gara2 enid blyton cs, cita2 jadi dari kecil kepingin jadi pengarang,
alhamdulillah kesampean kan jadi jurnalis majalah suka ngarang juga *
maksa.com*

regards,
Hera

On 3/21/06, [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Hhhm.., ada yg pernah ngalamin berlangganan Kuncung..??
> saya pernah.
> :-))
>
> rgrd
>
>
> ************************
>
> Catatan Dari Masa Kecil: Aha! Si Kuncung
>   Oleh: Mula Harahap
>
>   Tadi siang, saya mendapat kiriman majalah-majalah dan
> buku-buku lama dari Medan. Majalah dan buku tersebut
> sebenarnya adalah milik saya, hampir 40 tahun yang
> lalu. Rupanya, ketika sedang membongkar-bongkar
> gudang, adik saya yang kini menempati rumah ibu dan
> ayah,  menemukan kembali barang-barang tersebut dan
> mengirimkannya kepada saya.
>
>   Di antara buku-buku terbitan Balai Pustaka, Pradnya
> Paramita dan Nusantara--Bukit Tinggi itu, terselip
> pula majalah anak-anak Si  Kuncung. Mata saya
> berkaca-kaca dan tangan saya gemetar ketika
> mengangkat dan mencium majalah tua tersebut. Kiriman
> dari Medan itu adalah "kapsul waktu" yang membawa kenangan saya
> kembali ke masa-masa 40 tahun yang lalu.
>
>   Rasanya, tidak ada hari yang lebih mendebarkan,
> daripada hari ketika Ayah pulang dari kantor membawa
> bungkusan Si Kuncung yang digulung padat dan dikirim
> lewat pos dari Jakarta. Saya masih ingat, bagaimana
> ketika jam "keluar-main" sekolah, saya menyelinap ke
> kantor pos dan mengirim wesel untuk berlangganan Si
> Kuncung. Untuk seorang anak SD, 40 tahun yang lalu,
> mengisi blangko pos wesel dan menyerahkan uang
> tabungan sendiri sungguh adalah suatu upacara yang
> besar.... .
>
>   Waktu itu, Si Kuncung masih terbit sebulan sekali. Ia
> belum dipasarkan secara langsung ke sekolah-sekolah,
> dan di seantero Medan tidak ada toko buku yang menjual
> majalah seperti itu!
>
>   Tentu saja dalam waktu satu jam, majalah bulanan yang
> terbit 16 halaman itu, segera habis saya lahap. (Dan
> sampai sekarang saya masih bisa membayangkan rasa
> "haus" yang terjadi, ketika majalah itu  selesai
> dibaca....).
>
>   Ketika saya meneliti kembali cerita-cerita yang ada di
> dalamnya, sekarang, maka menurut penilaian saya
> ceritanya "biasa-biasa" saja. Ia lebih banyak
> merupakan sketsa dari kehidupan anak-anak di berbagai
> wilayah Indonesia. Tapi waktu itu, ia bisa begitu
> menggetarkan.
>
>   Tiga bulan lalu, saya bermobil dari Surabaya ke
> Yogyakarta, melalui Madiun. Dan sore hari, ketika
> melintasi perkebunan tebu di kiri-kanan jalan,
> tiba-tiba saya dihinggapi oleh perasaan seperti pernah
> berada di daerah tersebut. Ternyata saya telah dipukau
> oleh tulisan-tulisan  Trim Suteja dan Sujono HR, yang
> saya baca 40 tahun lalu. Begitu pula,  ketika melintas
> dari Surabaya ke Situbondo, sepanjang jalan, yang
> muncul dalam benak saya hanyalah fragmen dan tokoh
> dari cerita-cerita  Soekanto SA). Orang Madura yang
> saya kenal dalam cerita  bersambung "Si Mulus Opelet
> Tua" karangan Soekanto SA  atau orang  Flores yang
> saya kenal dalam "Berburu Ikan Paus" karangan Ris
> Therik (atau Yan Armerun?) jauh dari stereotype orang
> Madura atau orang  Flores yang dibangun oleh para
> provokator dan yang menjadi sumber  pertikaian etnis
> dewasa ini...
>
>   Dengan berbaring di tempat tidur sepulang dari
> sekolah, Si Kuncung  dan buku bacaan anak-anak pada
> zaman itu membawa saya berjalan ke  mana-mana. Saya
> berkenalan dengan anak Bali dalam buku "Si Reka Anak
> Bali", dengan anak Minang dalam buku "Si Jamal" atau
> "Pestol Si  Mancil" dan--tentu saja--dengan anak
> Betawi dalam "Berandal-berandal  Ciliwung" atau "Si
> Dul Anak Betawi" (Oleh Balai Pustaka sekarang judulnya
> diubah menjadi "Si Dul Anak Jakarta").
>
>   Cerita-cerita Si Kuncung juga merangsang saya untuk
> menulis. Generasi  anak-anak seperti saya juga merasa
> diberkati Tuhan, karena Si Kuncung  memiliki seorang
> editor--Soekanto SA--yang dengan sabar dan telaten
> mau membaca tulisan "cakar-ayam" di atas kertas buku
> tulis dan  mencari kalau-kalau ada yang menarik untuk
> dimuat...(Saya masih  ingat, cerpen saya yang pertama
> dimuat di Si Kuncung ketika saya  duduk di kelas satu
> SMP...dan Soekanto SA mengirimkan honornya 200  rupiah
> dengan pesan pada pos wesel "untuk membeli pisang
> goreng..."  Pada waktu itu 200 rupiah sudah dapat
> mentraktir pisang goreng untuk  anak seisi kampung).
>
>   Dua minggu lalu, secara tak sengaja, saya
> memperhatikan majalah dan  buku yang dibaca oleh anak
> teman saya, yang masih duduk di kelas 2  SD. Saya
> sudah tidak mengerti apa yang ditulis di sana. Ada
> rubrik  tentang penyanyi cilik, ada latihan
> menyelesaikan soal-soal (Bukankah  hal ini adalah
> sesuatu yang harus dikerjakan di sekolah?) dan hanya
> ada  sebuah cerpen. Cerpennya bercerita tentang
> seorang anak yang tinggal di lantai sekian dari sebuah
> apartemen dan belanja di "convenient  store" di lantai
> dasar.
>
>   Ketika masih SD dahulu, cita-cita saya adalah
> bagaimana bisa menulis  di Si Kuncung atau Kawanku dan
> membanggakannya kepada seluruh teman  sekelas.
> Cita-cita anak saya adalah bagaimana menjadi "gadis
> sampul", "main basket di NBA" atau punya grup musik.
> (Tadi malam saya  berbincang-bincang dengan kedua anak
> saya mengenai idola dan pilihan  hidup. Saya katakan
> kepada mereka, agar jangan terlalu terpukau pada
> hal-hal yang lahiriah--seperti kecantikan wajah,
> keindahan tubuh atau  popularitas yang didongkrak oleh
> publisitas. Saya meminta mereka agar  melirik juga
> idola-idola dalam bidang lain. "Emang, waktu seumur
> kami, Bapak idolanya siapa?" tanya salah seorang dari
> anak  saya. "Saya mengagumi Rendra, Taufiq Ismail,
> Iwan Simatupang dan  Pramoedya Ananta Toer...." kata
> saya. "Emang, orang-orang itu siapa?"  Lalu saya
> jawab, bahwa mereka adalah para penyair dan novelis
> kita. "Akh, Bapak sih kurang gaul..." Itulah jawaban
> yang saya terima.
>
>   Malam ini saya membaca koran dan beberapa majalah.
> Kembali saya  dipusingkan oleh isyu politik yang tak
> karu-karuan. Lalu, tiba-tiba,  saya keluarkan Si
> Kuncung  dari tas. Kalaulah ada "mesin waktu",  ingin
> saya mengajak anak-anak saya kembali ikut menikmati
> "ecstasy"  yang saya rasakan 40 tahun lalu. Tapi tentu
> saja itu tidak mungkin.  Masa depan ini, negeri yang
> porak-poranda ini adalah milik mereka.  Biarlah mereka
> yang membereskannya, dengan caranya sendiri.
>
> Catatan:
>   Tulisan ini sudah pernah saya posting di sebuah milis
> perbukuan beberapa tahun yang lalu, ketika saya tidak
> bisa tidur karena "hiruk-pikuk" krisis
> negeri ini.(MH).
>
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>
>
> ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
> VISIT our web at : www.BA-depok.tk
> ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
>
> <><><><><><>BA-depok<><><><><><>
>
> FoRuM KoMuNiKaSi dan SiLaTuRrAhMi
> Orang tua dari Balita,
> Depok dan sekitarnya
>
> <><><><><><><><><><><><><><><><>
>
> =========================
> "Ignorance is not innocence but sin"
> =========================
>
>
>
>
>
> Yahoo! Groups Links
>
> <*> To visit your group on the web, go to:
>    http://groups.yahoo.com/group/BA-depok/
>
> <*> To unsubscribe from this group, send an email to:
>    [EMAIL PROTECTED]
>
> <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
>    http://docs.yahoo.com/info/terms/
>
>
>
>
>

Reply via email to