waduh mbak yu..makanya kalo unscribe jgn lama2. nyang ini mah udah di bahas a few days ago .....ntar pada balik lagi ngebahas buku2 zaman dulu...sekarang topiknya...maksibar...hiks.....
Bunda_Zalwa <[EMAIL PROTECTED]> on 03/23/2006 03:52:34 PM Please respond to balita-anda@balita-anda.com To: balita-anda@balita-anda.com cc: (bcc: Rini Ismawati/MKI) Subject: [balita-anda] Mengenang Majalah SI KUNCUNG > Catatan Dari Masa Kecil: Aha! Si Kuncung > Oleh: Mula Harahap > > Tadi siang, saya mendapat kiriman majalah-majalah dan buku-buku lama dari Medan. Majalah dan buku tersebut sebenarnya adalah milik saya, hampir 40 tahun yang lalu. Rupanya, ketika sedang membongkar-bongkar gudang, adik saya yang kini menempati rumah ibu dan ayah, menemukan kembali barang-barang tersebut dan mengirimkannya kepada saya. > > Di antara buku-buku terbitan Balai Pustaka, Pradnya Paramita dan Nusantara--Bukit Tinggi itu, terselip pula majalah anak-anak SiKuncung. Mata saya berkaca-kaca dan tangan saya gemetar ketika mengangkat dan mencium majalah tua tersebut. Kiriman dari Medan itu adalah "kapsul waktu" yang membawa kenangan saya kembali ke masa-masa 40 tahun yang lalu. > > Rasanya, tidak ada hari yang lebih mendebarkan, daripada hari ketika Ayah pulang dari kantor membawa bungkusan Si Kuncung yang digulung padat dan dikirim lewat pos dari Jakarta. Saya masih ingat, bagaimana ketika jam "keluar-main" sekolah, saya menyelinap ke kantor pos dan mengirim wesel untuk berlangganan Si Kuncung. Untuk seorang anak SD, 40 tahun yang lalu,mengisi blangko pos wesel dan menyerahkan uang tabungan sendiri sungguh adalah suatu upacara yang besar.... . > > Waktu itu, Si Kuncung masih terbit sebulan sekali. Ia belum dipasarkan secara langsung ke sekolah-sekolah, dan di seantero Medan tidak ada toko buku yang menjual majalah seperti itu! > > Tentu saja dalam waktu satu jam, majalah bulanan yang terbit 16 halaman itu, segera habis saya lahap. (Dan sampai sekarang saya masih bisa membayangkan rasa "haus" yang terjadi, ketika majalah itu selesai dibaca....). > > Ketika saya meneliti kembali cerita-cerita yang ada di dalamnya, sekarang, maka menurut penilaian saya ceritanya "biasa-biasa" saja. Ia lebih banyak merupakan sketsa dari kehidupan anak-anak di berbagai wilayah Indonesia. Tapi waktu itu, ia bisa begitu menggetarkan. > > Tiga bulan lalu, saya bermobil dari Surabaya ke Yogyakarta, melalui Madiun. Dan sore hari, ketika melintasi perkebunan tebu di kiri-kanan jalan, tiba-tiba saya dihinggapi oleh perasaan seperti pernah berada di daerah tersebut. Ternyata saya telah dipukau oleh tulisan-tulisan Trim Suteja dan Sujono HR, yang saya baca 40 tahun lalu. Begitu pula, ketika melintas dari Surabaya ke Situbondo, sepanjang jalan, yang muncul dalam benak saya hanyalah fragmen dan tokoh dari cerita-cerita Soekanto SA). Orang Madura yang saya kenal dalam cerita bersambung "Si Mulus Opelet Tua" karangan Soekanto SA atau orang Flores yang saya kenal dalam "Berburu Ikan Paus" karangan Ris Therik (atau Yan Armerun?) jauh dari stereotype orang Madura atau orang Flores yang dibangun oleh para provokator dan yang menjadi sumber pertikaian etnis dewasa ini... > > Dengan berbaring di tempat tidur sepulang dari sekolah, Si Kuncung dan buku bacaan anak-anak pada zaman itu membawa saya berjalan ke mana-mana. Saya berkenalan dengan anak Bali dalam buku "Si Reka Anak Bali", dengan anak Minang dalam buku "Si Jamal" atau "Pestol Si Mancil" dan--tentu saja--dengan anak Betawi dalam Berandal-berandal Ciliwung" atau "Si Dul Anak Betawi" (Oleh Balai Pustaka sekarang judulnya diubah menjadi "Si Dul Anak Jakarta"). > > Cerita-cerita Si Kuncung juga merangsang saya untuk menulis. Generasi anak-anak seperti saya juga merasa diberkati Tuhan, karena Si Kuncung memiliki seorang editor--Soekanto SA--yang dengan sabar dan telaten mau membaca tulisan "cakar-ayam" di atas kertas buku tulis dan mencari kalau-kalau ada yang menarik untuk dimuat...(Saya masih ingat, cerpen saya yang pertama dimuat di Si Kuncung ketika saya duduk di kelas satu SMP...dan Soekanto SA mengirimkan honornya 200 rupiah dengan pesan pada pos wesel "untuk membeli pisang goreng..." Pada waktu itu 200 rupiah sudah dapat mentraktir pisang goreng untuk anak seisi kampung). > > Dua minggu lalu, secara tak sengaja, saya memperhatikan majalah dan buku yang dibaca oleh anak teman saya, yang masih duduk di kelas 2 SD. Saya sudah tidak mengerti apa yang ditulis di sana. Ada rubrik tentang penyanyi cilik, ada latihan menyelesaikan soal-soal (Bukankah hal ini adalah sesuatu yang harus dikerjakan di sekolah?) dan hanya ada sebuah cerpen. Cerpennya bercerita tentang seorang anak yang tinggal di lantai sekian dari sebuah apartemen dan belanja di "convenient store" di lantai dasar. > > Ketika masih SD dahulu, cita-cita saya adalah bagaimana bisa menulis di Si Kuncung atau Kawanku dan membanggakannya kepada seluruh teman sekelas. Cita-cita anak saya adalah bagaimana menjadi "gadis sampul", "main basket di NBA" atau punya grup musik. (Tadi malam saya berbincang-bincang dengan kedua anak saya mengenai idola dan pilihan hidup. Saya katakan kepada mereka, agar jangan terlalu terpukau pada hal-hal yang lahiriah--seperti kecantikan wajah, keindahan tubuh atau popularitas yang didongkrak oleh publisitas. Saya meminta mereka agar melirik juga idola-idola dalam bidang lain."Emang, waktu seumur kami, Bapak idolanya siapa?" tanya salah seorang dari anak saya. "Saya mengagumi Rendra, Taufiq Ismail, Iwan Simatupang dan Pramoedya Ananta Toer...." kata saya. "Emang, orang-orang itu siapa?" Lalu saya jawab, bahwa mereka adalah para penyair dan novelis kita. "Akh, Bapak sih kurang gaul..." Itulah jawaban yang saya terima. > > Malam ini saya membaca koran dan beberapa majalah. Kembali saya dipusingkan oleh isyu politik yang tak karu-karuan. Lalu, tiba-tiba, saya keluarkan Si Kuncung dari tas. Kalaulah ada "mesin waktu", ingin saya mengajak anak-anak saya kembali ikut menikmati "ecstasy" yang saya rasakan 40 tahun lalu. Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Masa depan ini, negeri yang porak-poranda ini adalah milik mereka. Biarlah mereka yang membereskannya, dengan caranya sendiri. > > Catatan: > Tulisan ini sudah pernah saya posting di sebuah milis perbukuan beberapa tahun yang lalu, ketika saya tidak bisa tidur karena "hiruk-pikuk" krisis negeri ini.(MH). ================ Kirim bunga, http://www.indokado.com Info balita: http://www.balita-anda.com Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]