Minggu, 30 April 2006

Ayo Main, Ayo Gerak! 

Anak-anak di Indonesia paling kurang bermain fisik ketimbang Jepang dan 
Thailand. 


Seorang ibu mengaku sedih. Setelah Indonesia terpuruk di berbagai macam hal, 
''Sekarang anak-anak Indonesia memiliki Physical and Play Quotient (PQ) paling 
rendah pula,'' katanya dalam seminar tentang Holistic and Integrated 
Educationdi Al Jannah Islamic Fullday Shool, Cibubur, pekan lalu. 

Ia mengacu pada pemaparan hasil penelitian di Universitas Chulalongkorn, 
Thailand pada anak-anak di Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Jepang pada 2005. 
Dari empat tes PQ yang berbeda, anak-anak Jepang mendapat nilai tertinggi 
mewakili kemampuan bermain olah raga. `'Mereka mendapat skor tertinggi pada tes 
yang berhubungan dengan olahraga favorit mereka, sepak bola dan bola basket,'' 
kata psikolog Dra Mayke S Tedjasaputra MSi. Sementara anak Thailand mendapat 
skor tertinggi pada tes yang menunjukkan keterampilan dan gerak sehari-hari. 
Anak-anak Indonesia mendapat nilai terendah dibandingkan tiga negara lain.

Selanjutnya, memahami kehidupan sehari-harinya, anak-anak Thailand dan Jepang 
menghabiskan waktu seimbang antara belajar, berolahraga, dan santai pada hari 
kerja dan akhir pekan. Bagaimana dengan anak Indonesia? Anak Indonesia, tutur 
Mayke, menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk belajar dan kegiatan 
seperti nonton TV dan bermain game komputer ketimbang bermain olahraga.

Menyadarkan orang tua
Mengapa anak Thailand dan Jepang mendapat skor PQ lebih tinggi ketimbang anak 
Indonesia dan Vietnam? Menurut penelitian, itu konsekuensi dari kegiatan harian 
mereka seperti bermain di luar (outdoor) dan olahraga, atau bahkan keterlibatan 
dalam melakukan tugas di rumah. Orang tua mereka lebih mengizinkan kegiatan 
tersebut dibanding orang tua Indonesia.

''Ini juga menunjukkan bahwa orang tua memainkan peran penting dalam 
mengembangkan PQ anak,'' kata Mayke. Dari penelitian itu, Indonesia 
satu-satunya bangsa yang mempunyai persentase tertinggi pada larangan anak 
kelur dan bermain, dan bermain sampai baju mereka kotor. ''Tampak juga, orang 
tua anak Indonesia tak hanya melarang anak mereka bermain di luar tapi juga tak 
membatasi anak mereka bermain computer game, tak seperti orang tua tiga negara 
lainnya,'' kata ibu tiga anak ini.

Namun, di sisi lain Mayke mengingatkan agar tidak memukulratakan hasil 
penelitian ini untuk seluruh Indonesia. Sebab, penelitian di Indonesia 
dilakukan di Jakarta dan Surabaya, subjeknya kelas menengah atas pula. 
`'Mungkin kalau di daerah, misalnya, Kalimantan PQ-nya bisa tinggi,'' katanya.

Harus menyenangkan
Bermain dalam konteks PQ adalah bermain fisik. Karena itu, kata Mayke, bermain 
haruslah merupakan kegiatan yang melibatkan unsur fisik dan keseluruhan indra. 
Yang tak boleh dilupakan, bermain haruslah menyenangkan. Bermain dibutuhkan 
anak-anak sampai kakek nenek. Namun, saking pentingnya bermain, bukan berarti 
pula memaksakannya pada anak. Pada anak yang tak suka sepak bola sebaiknya 
tidak dipaksa melakukannya. ''Kalau dipaksa main bola, tidak fun. Itu namanya 
bekerja,'' kata ahli terapi bermain itu.

Karena bermain merupakan bagian dari ranah perkembangan anak, Mayke 
berpendapat, orang tua maupun guru penting untuk memahaminya. ''Tidak benar 
bila ada sekolah yang melarang anak berlari-larian pada waktu istirahat karena 
nanti berkeringat, saat masuk kelas menebarkan aroma keringat,'' kata kepala 
bagian Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.

Kendati ada beberapa yang bisa dilakukan di dalam rumah, bermain fisik 
cenderung merupakan kegiatan outdoor. Mayke menyayangkan permainan fisik mulai 
sulit dilakukan di kota-kota besar. Ia menunjuk permainan engklek, gasing dan 
lain-lain yang mulai hilang karena menyempitnya lahan tempat bermain. ''Atau, 
kalau mau main layangan di mana?'' katanya.

Banyak yang dipelajari
Bermain fisik mempunyai karakteristik khas. Yakni, bergerak, kelompok, ada 
aturan main. Dari karakteristiknya itu, anak bisa banyak belajar. Anak, kata 
Mayke, biasanya tidak mau kalah. ''Dengan berkelompok, anak belajar bahwa jika 
ia tidak bisa, nanti teman-teman akan memusuhinya,'' katanya. Apa manfaat 
bermain fisik? Yang jeals, anak jadi sehat fisik dan terampil motoriknya. 
''Anak tidak loyo, lesu darah,'' katanya. Secara sosial anak pun banyak 
mendapat keuntungan dari bermain. ''Mudah bergaul karena pede bergaul.''

Namun, banyak keuntungan lain yang tak disadari. Bermain fisik bisa mengasah 
kemampuan perseptual anak. Dengan bermain fisik, anak belajar ketajaman 
melakukan pengamatan visual. Anak bisa mengetahui kedalaman, jarak, koordinasi 
visual-motoriknya. Misalnya, ia bisa membedakan huruf besar dan kecil, bisa 
memperkirakan jarak jatuhnya bola sehingga ia bisa menangkapnya. 

Dari kemampuan itu, selanjutnya anak bisa menjadi lebih peka dan tanggap. Dari 
kedalaman yang diamatinya itu, anak mengaitkannya dengan matematika. Misalnya, 
berapa dalamnya lubang itu? ''Itu, artinya kemampuan mengintegrasikan berbagai 
saraf otak,'' jelas Mayke. Kekhawatiran orang tua bahwa bermain fisik 
mengganggu proses belajar, Mayke tak sepenuhnya sependapat. ''Malah proses 
belajar jadi lebih baik,'' katanya.

Bermain fisik mengajarkan anak menyelesaikan masalah. Karena bermain fisik 
umumnya merupakan aktivitas outdoor, anak akan menemukan hal-hal baru 
(variatif) yang berbeda dengan games elektronik. Meski banyak orang berpendapat 
permainan komputer kreatif, Mayke tak sependapat. ''Kreativitas sudah di-set 
itu saja. Sementara persoalan hidup selalu berubah,'' katanya. Bermain fisik, 
jelas Mayke, mengasah kepekaan terhadap lingkungan. Anak akan mengamati dan 
mengenal lingkungan sekitarnya, lingkungan alam. 

Membedakan waktu
Bila orang tua ingin mengajak anak yang tak suka bermain fisik di luar, Mayke 
menyarankan agar melakukannya secara bertahap. Pertama, orang tua bisa 
mencarikan kegiatan dengan bahaya fisik yang tidak besar. Misalnya, membawa 
bola dan memainkannya di Taman di saat cuaca tidak hujan. Bila anak sudah 
merasa nyaman, barulah ditingkatkan kegiatannya.

Bermain, jelas Mayke, harus ada porsinya. Terutama bila anak masuk SD, ia harus 
tahu kapan belajar dan bermain. Sesungguhnya pembedaan waktu ini sudah harus 
diperkenalkan sejak TK. Saat itu, anak diperkenalkan kapan mewarnai, duduk 
mendengarkan cerita, dan bermain fisik. `'Pembiasaan penting, tidak berarti TK 
harus belajar terus,'' tutur Mayke, `'TK perlu bermain, tapi terarah.''

Saat anak sudah bertambah besar, kegiatan bermain bisa disebut mengganggu bila 
anak menghindari belajar. Nilai di sekolah turun. `'Lakukan penjadwalan,'' 
saran Mayke, `'Boleh bermain sesudah belajar, belajar sesuai tipe anak.'' 



(poy ) http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=245921&kat_id=100

Kirim email ke