Indah sekali jalan hidup anda.
Seandainya saya bisa bertemu dengan ibunda anda.
Semoga selalu diberikan kesehatan dan kebahagian kepada ibunda dan seluruh
keluarga.
Peluk cium untuk ibunda tercinta,
banyak pelajaran yang saya dapatkan dari ibunda.

wass.wr.wb,
yulie

----- Original Message -----
From: "christine TH" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Friday, August 08, 2003 11:53 AM
Subject: [balita-anda] wanita yg dipenuhi rasa cinta


Bagus untuk bahan merenung saat weekend nih ...

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
BismillahirRahmannirRaheem
In the Name of Allaah, The Most Gracious, The Most Kind
Ba'da tahmid wa sholawat......
menyentuh...dari sakti wibowo......
indahnya bisa memaafkan......
wassalam
salam ukhuwah
Subhanallah...
Ibrah yang sangat dalam bagi kita semua...
Kesabaran memang tiada batasnya...

WANITA YANG DIPENUHI RASA CINTA
--Belajar tentang Cara Memaafkan-


Selalu, saya akan tenggelam dalam luasnya danau di keriput garis mata
wanita itu; garis yang berkisah tentang kesabaran, perjuangan hidup,
penderitaan dan pengorbanan serta maaf. Menelusuri peta yang ada di
wajahnya, saya tak pernah tersesat dalam membaca atau mencari sebuah kota
bernama: keikhlasan. Kali ini, saya berusaha menyusun kepingan kesabaran dan
danau maaf yang ada padanya dari sebuah drama kecil yang meluruhkan air mata
saya pada akhir Februari 2003 lalu, di sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit
Umum Giriwono, Wonogiri.
Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin beberapa bagian disebabkan
perjalanan sekitar dua jam dengan memakai bus. Ia memang hampir selalu mabuk
dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam bilangan jam. "Mbah...!"
suaranya bergetar saat berada di ambang pintu. Nanap, ia menatap sesosok
tubuh yang tergolek di atas tempat tidur dengan berbagai selang; infus,
bantuan pernapasan, dan saluran pembuangan.... Laki-laki yang tergolek itu
membalas tatapnya, menahan sejenak, lantas pelan-pelan dialihkan ke tempat
lain. Ada sedu tertahan, sesak dalam dada. "Bagaimana, Mbah?" kembali sapa
wanita itu seraya mendekat dan meraba kening si lelaki. "Yang sakit bagian
mana?" lanjutnya. Tangannya membelai kening lelaki itu dan turun ke
telinganya. Lelaki itu telah dua hari dirawat di rumah sakit karena penyakit
stroke. Tubuh bagian kanannya lumpuh. Lemah, tangan kiri si lelaki berusaha
meraih tangan wanita itu, menggenggamnya lama, tetap dengan mata menghindari
bertatap dengannya. Ada kepundan yang bergolak-golak di sana dan tangis yang
enggan dipurnakan.
-----
Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang kini tergolek
tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah. Sangat sah bagi si
wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak luka menganga
yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup yang ia alami. Sebelum
resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya berikut anak-anaknya.
Suaminya lantas menikah dengan wanita lain, memenuhi istri mudanya dengan
kekayaan dan kebahagian, sedangkan wanita ini terlunta-lunta memperjuangkan
hidup yang ingin ia menangkan. Ya, nyaris tak ada apa pun yang diberikan
suaminya selain penderitaan. Ia bukan resmi dicerai di PA, karena itu ia
masih menjadi istri jika sewaktu-waktu suaminya pulang atau bertandang.
Selalu tak ada apa-apa yang di bawa lelaki itu selain perselisihan atau
kekesalan pada istri mudanya dan si wanita akan menerimanya dengan sabar.
Tapi, selalu begitu, setelah ia kembali mengandung, suaminya akan segera
pergi kembali pada istri mudanya, dan kembalilah ia berjuang terlunta-lunta
dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan anak terlahir dari
rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena kekurangan air susu. Asinya
tidak keluar oleh karena nyaris tak ada makanan layak yang ia konsumsi. Di
lain waktu, pernah selama beberapa minggu ia -berikut anak-anaknya-tidak
makan nasi. Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup berkecukupan
bahkan boleh dibilang kaya, -- saat itu, suaminya menjabat kepala desa ­ ia
tak hendak meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup, ia dan
anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan campuran sedikit beras
hasil utang. Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar
memutari kuali tanah berisi bubur daun-daunan tersebut dengan masing-masing
memegang satu piring. Lantas, pada piring masing-masing dituang bubur encer
terebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara... suami
dan istri mudanya sekaligus anak-anak mereka makan dengan kenyang dan
berlebihan.
Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak dengan cerita.
Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya hiburan
yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah lentera kecil yang
berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung
Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro, Minakjinggo-Kenconowungu, dan sekian lagi
dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya mendengarkan dengan mata
berbinar-binar. Kadang-kadang pula ia mengajarkan tembang-tembang dolanan
yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak-anaknya. Sambil bercerita
itu, tangannya tak henti bekerja, kadang-kadang sampai larut malam;
menganyam tikar pandan pesanan tetangga, mengupas singkong, oncek dhele,
prithil kacang, pipik jagung... pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang
darinya ia peroleh upah tak seberapa. Lantas, sementara ia terus mendongeng,
satu per satu anak-anaknya terlelap di atas tikar yang berlubang dan
bertambal-tambal di sana-sini.
Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya yang semula
berbinar-binar tanpa duka itu meredup. Ia menatap anak-anaknya yang tidur
dengan mulut menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat. Tanpa permisi,
air mata berbondong-bondong keluar oleh tindihan rasa nelangsa. Ya... di
saat yang sama, suami dan istri mudanya berikut anak-anak mereka terlelap di
atas kasur dengan selimut hangat dan perut kekenyangan. Dirinya masih harus
merunut malam yang jauh. Dia tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak
akan mengakhiri sendiri dengan bodoh. "Saya tak percaya saya masih hidup
sampai hari ini," ujarnya bertahun-tahun setelah itu. Yang ada dalam
pikirannya adalah 'hidup dan bertahan'. Ia harus menyelesaikan semua itu
dengan cara-cara pahlawan. Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais.
Pekerjaan itu nyaris tak menjanjikan apa-apa. Tak jarang, ia bekerja di
sawah suaminya sendiri sebagai buruh dengan upah yang tidak lebih besar dari
buruh yang lain, bahkan cenderung lebih kecil.
Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu. Lantas, satu per satu
anaknya lulus sekolah. Yang pertama menyelesaikan SMP, yang kedua bertahan
hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak mampu
menyelesaikan pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak paling
cerdas di antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak ini memutuskan
merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada harapan bekerja di tempat
yang nyaman. Ketiganya... menjadi pembantu. Tapi, kendati sedikit, ketiganya
mulai bisa mengirim uang untuk orang tua dan adik-adiknya. Begitulah, wanita
ini telah mengatur rupiah dengan begitu cermat. Ia bahkan tak menyentuh
uang-uang kiriman itu, tapi kesemuanya digunakan untuk membiayai sekolah
lima anaknya yang lain. Cukup ajaib, kelima anaknya tersebut berhasil
menamatkan jenjang SLTA.
Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam tahun. Seperti
hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus,
bekerja ... dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak pertama,
tetapi selalu demikian... setiap ada yang lulus dan mulai bekerja, ia
bertugas melanjutkan estafet amanah itu. Lagi-lagi, keajaiban dan bukti
bahwa Allah Mahakasih, empat dari anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi
pegawai negeri sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi untuk ukuran
daerahnya. Saat sekolah pun, rata-rata mereka mendapat beasiswa atau
keringanan biaya sebagai kompensasi dari prestasi yang diraih... atau
minimal menjadi juara kelas. Namanya pun menjadi legenda di masyarakatnya
bahwa anak-anaknya maupun cucu-cucunya pasti cerdas dan sukses. Bolehlah
dikatakan begitu. Untuk ukuran orang seperti dirinya, tentulah apa yang ada
sekarang ini merupakan sukses yang tidak terbilang. Masing-masing anaknya di
Jakarta telah memiliki hunian yang layak -kendati kecil--, anak pertamanya
malah berhasil masuk tes PNS di Mabes Polri kendati hanya dengan ijazah SMP.
Anak-anaknya pun nyaris semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana
tidak demikian dengan anak-anak suaminya dari istri mudanya. Tahun 2002,
rumah yang ia huni yang dibangun anak-anaknya pada tahun 1988, ambruk.
Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya bukan tidak tahu, tapi mereka
tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup lama itu disebabkan mereka
dilarang oleh sang ayah -suami dari wanita ini-untuk memperbaiki.
Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga bisa belajar
dari kejadian-kejadian yang ia alami. Tahun 1988, saat anak terakhir dari
istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita lain; seorang janda
muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa menikah resmi,
keduanya -entahlah, mungkin nikah di bawah tangan-tinggal serumah. Kali ini,
wanitanya tak 'sebaik' dan sesabar' dua istrinya terdahulu. Hartanya habis
dalam bilangan tahun. Dan... empat tahun kemudian, jabatannya sebagai kepala
desa berakhir. Hidup dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu, wanita muda ini
tidak bertahan. Ia memilih pergi meninggalkan si lelaki yang kini tak lagi
bisa mencukupi kebutuhannya.
Lantas, seperti roda... hidup berputar. Allah terus memperjalankan
takdirnya yang tak terkata namun bagian dari hal paling tetap dan niscaya.
Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi buruh
tani ­karena sawahnya telah habis terjual-dan tinggal di kesunyian rumahnya:
tanpa anak dan istri. Sementara istrinya -si wanita ini-mulai merasai
kebahagiaan dari hidup yang lebih layak, riang dipenuhi jeritan manja
cucu-cucu dan rengekan mereka. Maka, meradanglah si lelaki saat anak-anaknya
berniat membangun sebuah rumah untuk ibunya karena rumah yang kemarin rubuh.
Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-anaknya tak menyerah, tetap
berusaha membangun rumah itu karena memang sudah tidak bisa ditunda lagi.
Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut selama bertahun-tahun, dan sekarang
tak bisa lagi.
Tersebutlah, di suatu malam, si wanita -istrinya yang telah ditelantarkan
itu-mendengar suara berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia membuka
pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia melihat suaminya menaburkan
sesuatu di sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa mengenali
bahwa sosok itu adalah suaminya. Paginya, tiba-tiba ia lumpuh. Tubuhnya
lemah dan tak bisa berdiri. Orang-orang menduga itu teluh. Setelah dirawat
beberapa saat di RS, alhamdulillah ia sembuh. Teror tak berhenti. Suaminya,
secara terbuka, mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan rayap. Dan
doanya terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan
rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan membakar rumah
itu, dan sekali lagi, rencana itu ­kendati bukan dia-terlaksana. Juga bukan
pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api
di tungku, rumah belakangnya terbakar.
Itu semua belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi rasa dengki dan
iri, ia mendoakan agar si wanita ini diserang penyakit. Dan lagi.... doanya
terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba,
orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa bicara dan sebelah tubuhnya
lumpuh. Ia terserang stroke untuk pertama kali yang sekaligus masuk dalam
stadium kritis. Anak-anaknya membawanya ke rumah sakit. Dan... kejadian hari
itu adalah bak sebuah drama nyata. Sebuah babak yang luar biasa indah saat
si wanita -dengan langkah ragu dan bergetar, sebagian oleh sisa perjalanan
yang membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas suaminya yang tergolek di rumah
sakit. Ada pancaran iba dan kasih yang tulus saat ia meraba, mengusap, dan
bertanya tentang kabar dengan terbata-bata. Mesra sekali saat ia memijit
kaki lelaki itu.
"Piye rasane, Mbah?" tanyanya dengan panggilan mesra. Mbah? Aduhai, nyaman
sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil lelaki ini dengan sebutan
'Kakang,' saat sudah punya anak dengan sebutan 'Pak', dan saat telah
dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya 'Mbah'
Gemetar, tangan kiri lelaki ini -karena tubuh bagian kanannya
lumpuh-menggenggam tangan renta yang mengusap keningnya, seakan ia menikmati
belaian lembut tersebut dan menahannya sesaat agar jangan terlalu cepat
sirna. Kendati pandangannya dibuang ke sisi lain menghindari
wajah -bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada lautan maaf dan cinta
yang telah menggelombanginya. Melihatnya, saya tak kuasa menahan isak.
Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan sementara air mata
sudah berbondong-bondong menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak sekali dada
saya oleh rasa haru yang menekan-nekan.
Ya... melihat wanita ini, saya seperti tenggelam dalam laut kesabaran.
Dan... dialah wanita tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini. Dia...
tak lain adalah ibu saya. Ya Allah... ampunilah dosanya, maafkanlah
kesalahannya dan kasihilah dia sebagaimana ia mengasihi kami dalam suka dan
duka.
Malam 1 Juni 03
Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam hidupku.



---------------------------------------------------------------------
>> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]






---------------------------------------------------------------------
>> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke