Slamat sore ibu imelda..

berikut artikel yang saya ambil dari web ba mengenai jarak kehamilan yang
aman

mudah2an bisa membantu
( maaf kalo kepanjangan terutama buat yang sudah pernah punya )

[balita-anda] [artikel] Jarak Kehamilan Yang Aman
Andrie S. Praputranto
Mon, 26 Sep 2005 00:31:24 -0700

Jarak kehamilan terlalu dekat maupun jauh bisa membahayakan ibu dan janin.
Idealnya, tak kurang dari 9 bulan hingga 24 bulan. Namun jarak ideal ini tak
berlaku buat mereka yang sebelumnya menjalani persalinan sesar. *

Idealnya, terang *dr. Agus Supriyadi, SpOG* dari RSIA Hermina, Jatinegara,
jarak kehamilan tak kurang dari 9 bulan hingga 24 bulan sejak kelahiran
pertama. Namun untuk jarak 9 bulan masih diembeli-embeli prasyarat, yaitu
asalkan nutrisi si ibu baik. "Bila gizi si ibu tak bagus, berarti tubuhnya
belum cukup prima untuk kehamilan berikutnya."

Perhitungan tak kurang dari 9 bulan ini atas dasar pertimbangan kembalinya
organ-organ reproduksi ke keadaan semula. Makanya ada istilah masa nifas,
yaitu masa organ-organ reproduksi kembali ke masa sebelum hamil. Namun masa
nifas berlangsung hanya 40 hari, sementara organ-organ reproduksi baru
kembali ke keadaan semula minimal 3 bulan.

"Bayangkan saja, rahim atau uterus sewaktu tak hamil beratnya hanya 30 g.
Setelah hamil, beratnya hampir 1 kg atau 1000 g. Kenaikannya hampir 30 kali
lipat, kan? Setelah persalinan, beratnya berkurang mencapai 60 g. Nah, untuk
mencapai 30 g kembali butuh waktu kira-kira 3 bulan."

Begitu juga dengan sistem aliran darah. Selama hamil, ada sistem aliran
darah dari ibu ke janin. Setelah lahir, tentunya aliran darah ini terputus.
Untuk kembali ke kondisi aliran darah yang normal, si ibu butuh waktu
sekitar 15 hari setelah melahirkan.

Sementara untuk memulihkan energinya, si ibu harus meningkatkan gizinya.
"Nah, untuk ibu-ibu yang gizinya bagus, energinya baru benar-benar prima
seperti keadaan sebelum melahirkan setelah 9 bulan. Kalau belum 9 bulan,
belum begitu prima energinya walaupun kelihatan tubuhnya sehat-sehat saja."

Jadi, setelah istirahat selama 9 hingga 24 bulan, diharapkan semua organ
reproduksi dan bagian genital interna maupun eksterna si ibu akan kembali
seperti sebelum hamil.

*JARAK TERLALU PENDEK*

Dengan demikian, bila jarak kehamilan terlalu pendek atau kurang dari 9
bulan akan sangat berbahaya, karena organ-organ reproduksi belum kembali ke
kondisi semula. Selain, kondisi energi si ibu juga belum memungkinkan untuk
menerima kehamilan berikutnya. "Keadaan gizi ibu yang belum prima ini
membuat gizi janinnya juga sedikit, hingga pertumbuhan janinnya tak memadai
yang dikenal dengan istilah PJT atau pertumbuhan janin terhambat."

Itulah mengapa, saran Agus, ibu-ibu setelah bersalin agar menggunakan alat
kontrasepsi yang tepat untuk menghindari kegagalan KB alias kebobolan.
Jangan sampai, haid pertama setelah melahirkan belum muncul, ibu sudah hamil
lagi. Jikapun sudah kadung hamil, "si ibu harus menjaga kondisi kehamilannya
dengan lebih intensif." Artinya, kehamilan tersebut harus terus dipantau
lebih ketat. Pertumbuhan janin akan dipantau dengan pemeriksaan USG serial,
semisal pada usia sekian apakah beratnya sesuai dengan usianya. "Jika tak
sesuai, kita harus intervensi dengan obat-obatan, vitamin, dan makanan
berkalori tinggi agar beratnya kembali ke keadaan normal."

Yang pasti, tegas Agus, ibu harus memeriksakan kehamilannya secara medis,
entah ke dokter kandungan dan kebidanan ataupun bidan secara teratur.
"Anjuran WHO, selama kehamilan sekurang-kurangnya memeriksakan diri sebanyak
4 kali. Sekali pada trimester I, yaitu untuk memastikan kehamilannya, apakah
di dalam atau di luar rahim; sekali di trimester II untuk memantau
kehamilannya; dan 2 kali di trimester III untuk memantau dan meramalkan
persalinannya, apakah persalinannya akan normal atau sesar."


Namun untuk kasus yang riskan seperti kebobolan ini, pemeriksaan sebaiknya
dilakukan lebih sering.
1. Pada trimester I hingga II dilakukan sebulan sekali;
2. menginjak usia kehamilan 28 minggu 3 minggu sekali;
3. di usia kehamilan 32 minggu dilakukan pemeriksaan 2 minggu sekali;
4. dan setelah usia kehamilan 38 minggu seminggu sekali.

"Jangan lupa, makan makanan berglukosa tinggi untuk meningkatkan berat
badan."

*KEGUGURAN DAN PREMATUR*

Selain BB janin rendah, kemungkinan kelahiran prematur juga bisa terjadi
pada kehamilan jarak dekat, terutama bila kondisi ibu juga belum begitu
bagus. Padahal, kelahiran prematur erat kaitannya dengan kematian, khususnya
jika paru-paru si bayi belum terbentuk sempurna.

Bisa juga terjadi perdarahan selama kehamilan yang diakibatkan plasenta
previa atau plasenta yang letaknya tak sempurna. "Plasenta previa sangat
erat kaitannya dengan gizi yang rendah, karena plasenta punya kecenderungan
mencari tempat yang banyak nutrisinya. Kalau yang banyak nutrisinya itu
terletak di bagian bawah uterus atau rahim, maka di situlah ia akan
menempel. Akibatnya bisa menutup jalan lahir yang memungkinkan untuk terjadi
perdarahan."

Nah, pada kehamilan jarak dekat, kemungkinan kekurangan gizi ini amat besar.
Bukankah si ibu juga harus menyusui bayinya? Dengan demikian, nutrisi si ibu
jadi berkurang, hingga janinnya juga bisa semakin kekurangan gizi. Makanya,
saran Agus, bila ketahuan hamil, pemberian ASI sebaiknya segera dihentikan.
Masalahnya bukan cuma ibu jadi kekurangan gizi, tapi juga bisa mengakibatkan
keguguran. "Selama menyusui, ada pengaruh oksitosin pada isapan mulut bayi.
Oksitosin ini membuat perut si ibu jadi tegang atau kontraksi. Pada
kehamilan muda, bisa terjadi perdarahan atau ancaman keguguran."

Penting diketahui, syarat kehamilan yang sehat ialah cukup gizi dan
penambahan BB minimal 10-12 kg, hingga BB bayi yang dilahirkan bisa mencapai
di atas 2,5 kg.

Jikapun si ibu bisa mempertahankan kehamilannya hingga waktu persalinan
tiba, tak berarti aman-aman saja. Soalnya, bukan tak mungkin kendala justru
menghadang saat persalinan. Bahayanya, ibu mengalami kelelahan saat proses
persalinan. Untuk mengejan dan hisnya juga susah. Hingga, bisa menimbulkan
partus atau persalinan lebih lama.

*JANGAN TERLALU JAUH*

Akan halnya kehamilan dengan jarak di atas 24 bulan, menurut Agus, sangat
baik buat ibu karena kondisinya sudah normal kembali. Jadi, organ-organ
reproduksinya sudah siap menerima kehamilan kembali.

Bukan berarti kita bisa hamil kapan saja asal jaraknya lebih dari 24 bulan,
lo. Dianjurkan, kehamilan berikutnya jangan lebih dari 59 bulan. Ingat, kita
juga harus memikirkan usia saat kehamilan berikutnya! "Bila lebih dari 35
tahun usia si ibu saat kehamilan berikutnya, berarti si ibu masuk dalam
kategori risiko tinggi," terang Agus. Sementara usia reproduksi yang bagus
adalah 20-30 tahun.

Yang paling dikhawatirkan jika usia ibu di atas 35 tahun ialah kualitas sel
telur yang dihasilkan juga tak baik. Hingga, bisa menimbulkan
kelainan-kelainan bawaan seperti sindrom down. Soalnya, ibu hamil usia ini
punya risiko 4 kali lipat dibanding sebelum usia 35 tahun.

Tak hanya itu, saat persalinan pun berisiko terjadi perdarahan post partum
atau pasca persalinan. Hal ini disebabkan otot-otot rahim tak selentur dulu,
hingga saat harus mengkerut kembali bisa terjadi gangguan yang berisiko
terjadi *hemorrhagic post partum* (HPP) atau perdarahan pasca persalinan.

Risiko terjadi preeklampsia dan eklampsia juga sangat besar, lantaran
terjadi kerusakan sel-sel endotel. "Pada kasus preeklampsia berat, kita
punya kebijaksanaan untuk melahirkan setelah 35 minggu dengan cara
diinduksi." Adapun tanda-tanda preeklampsia: BB ibu naik terlalu cepat,
terjadi pembengkakan/odem di seluruh tubuh, serta tekanan darah terlalu
tinggi.

Pada kasus ini, pemeriksaan kehamilan harus lebih intensif agar bisa
dipantau dan diberi obat-obatan untuk menormalkan tekanan darahnya,
mengingat pertumbuhan janin akan mengalami gangguan. Bukankah suplai makanan
ke janin lewat plasenta dan aliran darah ibu? Nah, pada kasus preeklampsia,
sirkulasi darah ibu ke janin dan plasenta terganggu, hingga suplai makanan
dari ibu ke janin jadi terganggu pula.

Itulah mengapa, janin harus terus dipantau memakai USG serial. "Bila tetap
terhambat, lebih bagus ia hidup di luar rahim, minimal setelah kehamilan 35
minggu. Kecuali bila ada kelainan yang mengancam si ibu semisal ada ancaman
pembekuan darah, berapa pun usia janin harus segera dikeluarkan demi
menyelamatkan si ibu. Pun bila janinnya belum matang."

Bahaya lain, masalah psikis. "Bisa saja, kan, si ibu sudah lupa dengan
cara-cara menghadapi kehamilan dan persalinan. Bagaimana cara mengejan,
misal. Hingga menimbulkan stres baru lagi," tutur Agus.

*TIDAK UNTUK YANG SESAR*

Jadi, perhatikan betul-betul jarak kelahiran yang aman ini, ya, Bu-Pak.
Namun tentu saja, jarak ideal ini hanya berlaku bila persalinan sebelumnya
dilakukan dengan cara pervaginam atau normal. "Bila sebelumnya dilakukan
sesar, sebaiknya kehamilan berikut setelah 24 bulan," anjur Agus.

Soalnya, mereka yang melahirkan lewat bedah sesar butuh waktu lebih lama
lagi karena ada cacat di uterus atau rahimnya bekas tindakan operasi. "Jika
sebelum 2 tahun sudah hamil lagi, dikhawatirkan jahitan-jahitan saat operasi
bisa lepas. Robeknya rahim juga bisa tak terduga atau tak beraturan dan tak
bisa diramalkan kapan robekan itu akan terjadi karena tak dapat didiagnosa
secara dini. Kejadiannya akan sangat tiba-tiba setelah kehamilan itu
menginjak usia 9 bulan."

Hal lain yang harus diperhatikan, jarak ideal ini berlaku bukan cuma untuk
kehamilan kedua, tapi juga kehamilan-kehamilan berikutnya. Namun bukan
berarti tingkat risikonya tetap sama, lo. Bukankah makin banyak anak berarti
usia si ibu juga makin meningkat? "Nah, bila umurnya sudah tua, tentu sangat
riskan untuk hamil dan melahirkan. Selain itu, *recovery* tubuhnya untuk
kembali ke keadaan semula juga makan waktu lebih lama lagi," tutur Agus.


--
salam,

Arief H

Kirim email ke