Hilal dan Masalah Beda Hari Raya

(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)





Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah, "Hilal itu adalah 
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi badat) haji... (QS 2:189) 
Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati) digunakan sebagai penentu 
waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan 
dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Bukan hanya umat islam yang 
menggunakan bulan sebagai penentu waktu kegiatan keagamaan. Umat Hindu 
menggunakan bulan mati sebagai penentu hari Nyepi. Umat Budha menggunaka 
bulan purnama sebagai penentu waktu Waisak. Umat Kistiani menggunakan 
purnama pertama setelah vernal equinox (21 Meret) sebagai penentu hari 
Paskah. 
Islam mengakui matahari dan bulan sebagai penentu waktu (QS 6:96; 10:5) 
karena keduanya mempunyai periode peredaran yang teratur yang dapat 
dihitung (QS 55:5). Matahari digunakan untuk penentu pergantian tahun yang 
ditandai dengan siklus musim. Kegiatan yang berkaitan dengan musim 
(seperti pertanian, pelayaran, perikanan, migrasi) tentu menggunakan 
kalender matahari. 
Namun, kalender matahari tidak bisa menentukan pergantian hari dengan 
cermat. Padahal untuk kegiatan agama kepastian hari diperlukan. Maka untuk 
kegiatan agama kalender bulan (qamariyah) digunakan. Pergantian hari pada 
kalender bulan mudah dikenali hanya dengan melihat bentuk-bentuk bulan. 
Hilal pada saat maghrib menunjukkan awal bulan. Bulan setengah pada saat 
maghrib menunjukkan tanggal 7 atau 8 (tergantung pengamatan hilalnya). Dan 
bulan purnama menunjukkan tanggal 14 atau 15 (tergantung pengamatan 
hilalnya). Fase-fase bulan jelas waktu perubahannya dari bentuk sabit 
sampai kembali menjadi sabit lagi (QS 36:39). 
Rasulullah SAW memberi pedoman praktis tentang penggunaan hilal sebagai 
penentu waktu: "Berpuasalah bila melihatnya dan beridul fitri-lah bila 
melihatnya, bila tertutup awan sempurnakan bulan Sya'ban 30 hari" (HR 
Bukhari-Muslim). Dan dalam hadits lain, "Bila tertutup awan perkirakan" 
(HR Muslim). Karena umur rata-ratanya 29,53 hari, satu bulan hanya mungkin 
29 atau 30 hari, jadi mudah diperkirakan atau amannya genapkan saja 
menjadi 30 hari. 
Pedoman yang diberikan Rasulullah SAW sangat sederhana. Karena memang 
Allah dan Rasulnya tidak hendak menyulitkan ummatnya. "Allah menghendaki 
kemudahan bagimu, bukan menghendaki kesulitan" (QS 2:185). Dalam 
pelaksanaan ibadah shaumnya Allah memberikan keringanan-keringanan bagi 
yang mengalami kesulitan (sedang sakit atau dalam perjalanan), mestinya 
dalam penentuan waktunya pun tentu tidak menghendaki kesulitan. 
Kini penentuan awal bulan tidak terbatas hanya dengan rukyatul hilal 
(pengamatan hilal), ada alternatif lain yang juga sederhana: ilmu hisab 
(perhitungan astronomi). Berdasarkan pengalaman ratusan tahun, keteraturan 
periodisitas fase-fase bulan diketahui dengan baik. Lahirlah ilmu hisab 
untuk menghitung posisi bulan dan matahari. Akurasinya terus ditingkatkan, 
hingga ketepatan sampai detik dapat dicapai. Ketepatan penentuan waktu 
gerhana matahari, yang hakikatnya ijtimak yang teramati, sampai 
detik-detiknya merupakan bukti yang tak terbantahkan. 
Hisab dan rukyat punya kedudukan sejajar. Rukyat harus tetap digunakan 
karena itulah cara sederhana yang diajarkan Rasul. Hisab pun dijamin 
eksistensinya, karena Allah menjamin peredaran bulan dan matahari dapat 
dihitung (QS 55:5). Sumber perbedaan terletak pada keterbatasan manusia 
dalam mengatasi masalah atmosfer bumi. 
Keberhasilan rukyat tergantung kondisi atmosfer. Akurasi hisab terbentur 
pada formulasi faktor atmosfer bumi untuk kriteria hilal agar teramati. 
Tidak ada superioritas di antara keduanya. Superioritas justru sering 
muncul dari para penggunanya. 
Sifat Ijtihadiyah 
Dalan diskusi-diskusi tentang hisab dan rukyat, sering terlontar 
pernyataan bahwa rukyat bersifat qath'i (pasti) hisab bersifat Dzhanni 
(dugaan) atau sebaliknya ada yang menyatakan hisab bersifat qath'i rukyat 
bersifat Dzhanni. Sifat qath'i atau dzhanni berkaitan dengan penetapan 
hukumnya. Ini berkaitan dengan ijtihad, yaitu usaha sungguh-sungguh para 
ulama dengan mengunakan akalnya untuk menetapkan hukum sesuatu yang belum 
ditetapkan secara tegas dalam Alquran dan Assunnah. Ijtihad menjadi sumber 
hukum ketiga sesudah Alquran dan Assunnah. Hal yang dianggap qath'i sudah 
dianggap pasti benarnya, tidak ada lagi interpretasi. 
Sebenarnya, kesaksian melihat hilal (ru'yatul hilal), keputusan hisab, dan 
akhirnya keputusan penetapan awal Ramadhan dan hari raya oleh pemimpin 
ummat semuanya adalah hasil ijtihad, sifatnya dzhanni. Kebenaran hasil 
ijtihad relatif. Kebenaran mutlak hanya Allah yang tahu. Tetapi orang yang 
berijtihad dan orang-orang yang mengikutinya meyakini kebenaran suatu 
keputusan ijtihad itu berdasarkan dalil-dalil syariah dan bukti empirik 
yang diperoleh. 
Kesaksian rukyat tidak mutlak kebenarannya. Mata manusia bisa salah lihat. 
Mungkin yang dikira hilal sebenarnya objek lain. Keyakinan bahwa yang 
dilihatnya benar-benar hilal harus didukung pengetahuan dan pengalaman 
tentang pengamatan hilal. Hilal itu sangat redup dan sulit 
mengidentifikasikannya, karena mungkin hanya tampak seperti garis tipis 
atau sekadar titik cahaya. Saat ini satu-satunya cara untuk meyakinkan 
orang lain tentang kesaksian itu adalah sumpah yang dipertanggungjawabkan 
kepada Allah. Jaminan kebenaran rukyatul hilal hanya kepercayaan pada 
pengamat yang kadang-kadang tidak bisa diulangi oleh orang lain. 
Hisab pun hasil ijtihad yang didukung bukti-bukti pengamatan yang sangat 
banyak. Rumus-rumus astronomi untuk keperluan hisab dibuat berdasarkan 
pengetahuan selama ratusan tahun tentang keteraturan peredaran bulan dan 
matahari (tepatnya, peredaran bumi mengelilingi matahari) (Q. S. 6:96). 
Makin lama, hasil perhitungannya makin akurat dengan memasukkan makin 
banyak faktor. Orang mempercayai hasil hisab karena didukung bukti-bukti 
kuat tentang ketepatannya, seperti hisab gerhana matahari yang demikian 
teliti sampai orde detik. Gerhana matahari pada hakikatnya adalah ijtimak 
(bulan baru) yang teramati. Maka jaminan kebenarannya lebih kuat dari pada 
rukyat, karena orang lain bisa mengujinya dan pengamatan posisi bulan bisa 
membuktikannya. Namun, dalam hal penetapan awal bulan hisab tergantung 
kriteria yang digunakan dalam mengambil keputusan. Ada yang berdasarkan 
wujudul hilal (hilal di atas ufuk), ada juga yang berdasarkan imkan rukyat 
(syarat-syarat hisab untuk terlihatnya hilal berdasarkan pengalaman 
pengamatan). 
Keputusan penetapan awal Ramadan dan hari raya itu pun hasil ijtihad. 
Berdasarkan kesaksian ru'yatul hilal atau hisab yang dianggap sah, 
pemimpin ummat (pemerintah, ketua organisasi Islam, atau imam masjid) 
kemudian menetapkannya. Karena pemimpin ummat di dunia ini tidak tunggal, 
keputusannya pun bisa beragam, hal yang wajar dalam proses ijtihad. 
Akibatnya, perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha 
semestinya dianggap hal yang wajar juga. 
Sumber perbedaan 
Sifat ijtihadiyah hisab dan rukyat memungkinkan terjadinya keragaman. Baik 
hisab maupun rukyat sama-sama berpotensi benar dan salah. Bulan dan 
matahari yang dihisab dan dirukyat masing-masing memang satu. Hukum alam 
yang mengatur gerakannya pun satu, sunnatullah. Tetapi, interpretasi orang 
atas hasil hisab bisa beragam. Lokasi pengamatan dan keterbatasan 
pengamatan juga tidak mungkin disamakan. 
Semula para ulama mempertentangkan hisab dengan rukyat saja. Kini hisab 
pun dipertentangkan dengan hisab. Kriteria hisab mana yang akan dijadikan 
pegangan. Di Indonesia setidaknya ada dua kriteria hisab yang dianut. Ada 
yang berdasarkan kriteria wujudul hilal, asalkan bulan telah wujud di atas 
ufuk pada saat maghrib sudah dianggap masuk bulan baru. Kriteria ini 
dipakai oleh Muhammadiyah. Kriteria lainnya adalah imkanur ru'yat, 
berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat. Kriteria ini 
digunakan oleh Depag RI. 
Perintah operasional puasa dan beridul fitri dalam hadits didasarkan pada 
rukyatul hilal. Di dalam Alquran walaupun bulan dan matahari disebut 
sebagai alat untuk perhitungan waktu (Q. S. 6:96), tetapi dalam 
prakteknya, hilal yang dijadikan acuan (Q. S. 2:189), bukan posisi bulan. 
Karenanya orang awam sekali pun bisa menentukan ada tidaknya hilal 
walaupun tidak mengerti seluk beluk peredaran bulan. 
Wujudnya bulan di atas ufuk belum menjamin adanya hilal menurut pandangan 
manusia. Hilal bisa diperkirakan keberadaannya dengan memperhitungkan 
kriteria penampakan hilal (imkanur rukyat). Jadi, bila ditimbang dari segi 
dasar pengambilan hukum, saya berpendapat hisab dengan kriteria imkan 
rukyat (walau pun masih terus disempurnakan, seperti lazimnya riset 
ilmiah) lebih dekat kepada dalil syar'i daripada kriteria wujudul hilal. 
Sesama pengguna rukyat pun keputusannya pun bisa berbeda antara penganut 
rukyat "murni" dan rukyat terpandu hisab. Dalam beberapa kali kesaksian 
rukyat murni (bebas hisab) yang kontroversial, satu-satunya 
penyelesaiannya adalah dengan sumpah. Secara syar'i itu sah. Apalagi para 
pengamat itu umumnya orang yang ditokohkan yang tidak diragukan lagi 
keimanannya dan kejujurannya. Tetapi dari segi kebenaran objek yang 
dilihatnya apakah benar-benar hilal atau objek terang lainnya, kita masih 
boleh meragukannya sebelum ada bukti ilmiah yang meyakinkannya. 
Bukti ilmiah yang bisa menguatkan kesaksian akan rukyatul hilal antara 
lain posisi hilal, bentuknya, serta waktu mulai teramati dan terbenamnya. 
Bukti ilmiah itu bisa diuji kebenarannya dengan rukyat hari-hari 
berikutnya. Bagi kalangan yang mempercayai rukyat terpandu hisab, bukti 
ilmiah itu bisa ditambah dengan hasil hisabnya. Hasil rukyat bisa segera 
dicocokkan dengan hasil hisabnya. Dengan kriteria hisabnya, kalangan ini 
bisa menolak kesaksian hilal bila dianggap meragukan. Misalnya, bulan 
semestinya (menurut hisab yang akurat) telah terbenam tidak mungkin bisa 
dirukyat. 
Perlukah bukti ilmiah itu? Saya berpendapat sangat perlu. Untuk saat ini, 
sumpah saja belum cukup. Pengamat hilal ternyata banyak juga yang belum 
memahami hilal dan belum bisa membedakannya dengan objek terang lainnya. 
Gangguan polusi di ufuk barat bisa menyulitkan pengamatan. Objek terang 
pada arah pandang saat ini juga bisa beragam. Tidak heran bila sering 
terjadi kasus kesaksian hilal yang kontroversial. 
Perbedaan hari raya akibat perbedaan metode dan kriteria itu tampak jelas 
pada penentuan Idul Fitri 1418. Saat ini pertama kalinya, Menteri Agama 
tidak memberikan keputusan tegas dengan menyatakan bahwa pemerintah 
berhari raya pada 30 Januari 1998, namun mempersilakan ummat yang meyakini 
hari raya 29 Januari untuk shalat ied. Waktu itu Muhammadiyah yang 
menggunakan hisab wujudul hilal beridul fitri pada 29 Januari. Sedangkan 
Pemerintah dan Persis yang mempertimbangkan hisab dengan imkanur rukyat 
beridul fitri pada 30 Januari. NU di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah 
menerima kesaksian di Bawean dan Cakung sehingga beridul fitri pada 29 
Januari. Sedangkan, PB NU sepakat untuk beridul fitri 30 Januari karena 
rukyat itu dianggap tidak mungkin terjadi berdasarkan pertimbangan hisab 
dengan imkanur rukyat. 
Sumber perbedaan lainnya adalah masalah rukyat lokal dan rukyat global 
yang dipicu berkembangnya media komunikasi yang semakin cepat. Berita 
tentang penetapan awal Ramadan dan hari raya di Arab Saudi atau 
negara-negara lainnya dengan cepat tersebar dan sering menjadi acuan. 
Masalahnya, kemudian masyarakat menjadi bingung mana yang akan diturut. 
Dasar hukum rukyat lokal adalah hadits Nabi yang memerintahkan berpuasa 
bila melihat hilal dan berbuka atau beridul fitri bila melihat hilal. 
Sedangkan penampakan hilal bersifat lokal, tidak bisa secara seragam 
terlihat di seluruh dunia. Demi keseragaman hukum di suatu wilayah, 
pemimpin umat bisa menyatakan kesaksian di mana pun di wilayah itu berlaku 
untuk seluruh wilayah. 
Tidak perlunya mengikuti kesaksian hilal di wilayah lainnya bisa 
didasarkan pada tidak adanya dalil yang memerintahkan untuk bertanya pada 
daerah lain bila hilal tak terlihat. Dalil lainnya adalah ijtihad Ibnu 
Abbas tentang perbedaan awal Ramadan di Syam dan Madinah. Tampaknya, Ibnu 
Abbas berpendapat hadits Nabi itu berlaku di masing-masing wilayah. 
Tetapi, sebagian ulama lainnya berpendapat tidak ada batasan tempat 
kesaksian hilal. Di mana pun hilal teramati, itu berlaku bagi seluruh 
dunia. Dasarnya, karena hadits Nabi sendiri tidak memberi batasan 
keberlakukan rukyatul hilal itu, jadi mestinya berlaku untuk seluruh 
dunia. Namun mereka tidak merinci teknis pemberlakuan di seluruh dunia 
yang sebenarnya tidak sederhana. Belakangan di antara pengikut pendapat 
ini ada yang merumuskan, bila ada kesaksian hilal di mana pun, maka 
wilayah yang belum terbit fajar wajib menjadikannya sebagai dasar untuk 
berpuasa atau beridul fitri. 
Kedua pendapat itu hasil ijtihad dengan argumentasi masing-masing yang 
dianggapnya kuat. Hadits yang digunakannya sama. Penganut rukyat lokal 
bisa berargumentasi Nabi tidak memerintahkan bertanya tentang kesaksian 
hilal di wilayah lain. Penganut rukyat global bisa berargumentasi Nabi 
tidak membatasi keberlakukan kesaksian hilal. Manakah yang sebaiknya 
diikuti? 
Di dalam Q. S. 2:185 yang berkaitan dengan puasa Allah memberikan pedoman 
umum, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan 
bagimu". Bila mengikuti rukyat global, setiap orang harus sabar berjaga 
sepanjang malam dalam ketidakpastian. Karena rukyat tidak bisa dipastikan 
di mana dan kapan bisa terlihat. Tentunya, hal ini lebih menyulitkan umat 
daripada rukyat lokal. Keputusan rukyat lokal cukup dinantikan sekitar 1-2 
jam setelah maghrib. 
Untuk mendukung argumentasinya, ada yang berpendapat rukyat global lebih 
menjamin keseragaman daripada rukyat lokal. Tetapi analisis astronomi 
membantah pendapat itu. Baik rukyat global maupun rukyat lokal tidak 
mungkin menghapuskan perbedaan. 
Idul Adha 1421 
Di antara ahli hisab ada perbedaan kesimpulan dalam penentuan idul adha 
1421. Ada yang berpendapat Idul Adha jatuh pada 5 Maret 2001, terutama 
bila menggunakan kriteria wujudul hilal, seperti kalangan Muhammadiyah. 
Sebagian lagi berpendapat jatuh pada 6 Maret, terutama bila menggunakan 
kriteria imkanur rukyat. Sedangkan ahli rukyat tentu menunggu hasil rukyat 
pada 23 Februari. Bila berhasil rukyatnya, maka diputuskan Idul Adha jatuh 
pada 5 Maret, tetapi bila rukyatnya gagal maka Idul Adha jatuh pada 6 
Maret. Bagi kalangan yang mengikuti Arab Saudi, hisab-rukyat di Indonesia 
bukan masalah, yang terpenting menyamakan harinya dengan di Arab Saudi. 
Walaupun Depag RI mencantumkan hari libur nasional Idul Adha jatuh pada 5 
Maret, tetapi sebenarnya berdasarkan kriteria imkanur rukyat yang biasa 
digunakan Depag RI secara hisab astronomi semestinya Idul Adha jatuh pada 
6 Maret. Namun, mengingat Pemerintah (Depag RI) harus menampung berbagai 
masukan, kemungkian 5 atau 6 Maret tetap terbuka. Keputusan mana pun yang 
akhirnya diambil, semestinya tidak perlu dipermasalahkan. Biarlah 
masing-masing mengikuti pendapat yang diyakininya. Kita sudah terbiasa 
dengan perbedaan madzhab dalam beribadah. Ada yang berqunut, ada yang 
tidak ketika shalat shubuh. Ada yang shalat 23 rakaat, ada juga yang 11 
ketika bertarawih. Biarlah masing-masing mendewasakan dirinya dengan 
menggali ilmu-ilmu yang berkaitan untuk bisa memutuskan sendiri mana yang 
dianggapnya paling kuat, tanpa harus memaksanakan pendapatnya pada orang 
lain. Ukhuwah tidak harus berarti seragam, satu pendapat.

Kirim email ke