----- Original Message ----- From: Heru Hendratmoko <mailto:[EMAIL PROTECTED]> To: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Cc: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, August 26, 2003 6:20 PM Subject: Untuk Bocah Malang Itu
Teman-Teman, Ada yang menyakitkan mendengar kisah anak SD yang mencoba bunuh diri gara-gara tak mampu membayar beaya ekstra kulrikuler sebesar Rp 2,500 (betul, masih jauh lebih mahal sebungkus Bentoel Mild). Haryanto, bocah itu, kini masih dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Menurut dokter, ia terancam cacat. Otaknya sempat tak mendapat pasokan oksigen entah berapa lama akibat tercekik. Ia juga terancam bisu, karena pita suaranya tercekat tali jemuran. Tentu, masih sangat banyak Haryanto-Haryanto yang lain. Dan kita tak mampu berbuat apa-apa. Tapi untuk seorang Haryanto, yang terancam cacat dan bisu, kita coba untuk sedikit -- sangat sedikit, membantunya. Kita berharap ia sembuh seperti sediakala. Kita berharap ia bisa kembali bersekolah, seperti harapan teman-temannya di kampung dan di sekolahnya. Sisakan sebagian penghasilan Anda untuk masa depan bocah malang itu. Sampai akhir pekan ini saja (Minggu 31 Agustus 2003), karena pekan depan uang itu sudah harus sampai ke tangan yang berhak. No. rekening BCA Capem Utan Kayu 580-0091090 atas nama PT Media Lintas Inti Nusantara (yang menaungi Kantor Berita Radio 68H) PS: Silakan kalau ada yang bersedia mem-forward email ini ke pihak lain. --------- Tajuk 68H 25 Agustus 2003 Bocah Itu Gantung Diri Bocah itu baru berumur 12 tahun. Namanya Haryanto. Tinggal dan bersekolah di sebuah desa kecil di Garut, Jawa Barat. Ia masih duduk di kelas 6 SD. Hampir tak ada yang istimewa dari keterangan tentang Haryanto. Ia mungkin hanya satu dari sekian juta anak-anak Indonesia yang sering kita lupakan. Sampai Jum'at pekan lalu, ia mengejutkan kita semua dengan kenekadannya menggantung diri, dengan seutas tali jemuran. Astaga. Bocah semuda itu, umur-umur yang mestinya masih menikmati kegembiraan anak-anak. Tetapi, Haryanto begitu putus asanya, hingga mencoba untuk menyudahi hidupnya. Untunglah, percobaan bunuh diri itu gagal. Sampai kemarin ia masih tak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit. Sambil terus berharap Haryanto akan dapat diselamatkan, kita tak habis pikir : begitu beratkah beban masyarakat kita, sehingga anak-anakpun tak ingin melanjutkan hidup mereka? Haryanto mencoba bunuh diri, karena merasa sangat malu setelah ibunya tak mampu memberi uang Rp 2.500. Uang itu dibutuhkannya untuk membayar kegiatan tambahan di sekolah. Membuat sulaman burung. Meskipun itu hanya kegiatan tambahan, Haryanto rupanya tak mau ketinggalan dari teman-temannya. Mungkin juga ia takut pada gurunya, kalau tak ikut kegiatan itu. Kita tahu, suasana semacam apa yang terbangun dalam hubungan guru-murid di masyarakat kita. Kalau sang guru sudah terlanjur janji dengan pihak lain tentang perlunya pelajaran tambahan itu, hukumnya menjadi wajib buat para siswa untuk ikut serta. Dan, ibu Haryanto bukanlah ibu yang pelit. Ia hanya terpaksa membuat prioritas dalam keterdesakannya. Sebagai istri kuli pikul di pasar, ia tentu tak mendapat uang belanja yang berlebih. Pagi itu, ketika Haryanto minta uang untuk kegiatan ekstra kurikuler, ia hanya mendapat uang belanja Rp 7.000 dari suaminya. Itu pun sudah habis untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mana pula tersisa untuk membayar biaya praktek sulaman burung. Lantas kita pun mengelus dada : sebuah keluarga dengan sejumlah anak, hidup hanya dengan Rp 7.000 sehari. Kira-kira sama dengan tingkat hidup kaum marhaen di masa Belanda dulu. Kaum marhaen yang pernah menjadi alasan Soekarno menggugat, karena mereka terpaksa hidup dengan penghasilan sebenggol sehari. Begitu burukkah prestasi bangsa ini, sehingga sebagian warganya masih tertinggal dalam taraf hidup seperti masa Belanda satu abad lalu? Gugatan ini sulit untuk dielakkan. Badan PBB untuk pembangunan, baru-baru ini melansir peringkat kesejahteraan bangsa-bangsa. Dan, Indonesia tak jauh dari peringkat negara sangat miskin seperti Laos dan Vietnam. Kita tertinggal jauh dari tetangga dekat, semacam Malaysia, Thailand, apalagi Singapura. Anehnya, peringkat buruk itu, tak mendapat perhatian selayaknya dari pemerintah kita. Kaum intelektual pun tak ramai membicarakan rapot buruk itu. Tetapi di tengah apatisme dan hilangnya inspirasi, kita ingin tetap berharap pada perbaikan masalah pendidikan. Sebab, inilah akar yang di kemudian hari dapat memperbaiki nasib bangsa kita. Undang-Undang Dasar telah mematok agar pemerintah mengalokasikan 20% anggarannya untuk pendidikan. Ini belum dilaksanakan. Dan, kita mendesak agar kebijakan sektor pendidikan segera diubah. Terutama, gunakan dana tambahan itu untuk biaya-biaya yang langsung berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar. Jangan pula, tambahan dana itu macet di tingkat departemen atau kantor cabangnya. Kita ingin, kesejahteraan guru termasuk yang diutamakan dari tambahan dana itu. Agar guru-guru tak perlu ngobyek, atau mencari tambahan penghasilan dari kontraktor-kontraktor pendidikan. Kita tak ingin lagi, ada guru yang memaksakan tambahan pelajaran, hanya karena ingin mendapat komisi. Kita tak ingin murid-murid dibebani dengan macam-macam biaya tambahan; dan membuat orang tua mereka tak berdaya. Pengalaman Haryanto, bocah kecil dari Garut yang ingin bunuh diri itu, tak boleh terulang kembali. =================================================================== Kompas - Minggu, 24 Agustus 2003 Tak Mampu Bayar Biaya Kegiatan Ekstrakurikuler Seorang Siswa SD Gantung Diri Garut, Kompas - Seorang siswa sekolah dasar menggantung diri karena tak mampu membayar biaya kegiatan ekstrakurikuler sebesar Rp 2.500. Anak malang ini sampai Sabtu malam kemarin masih terbaring tidak sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Dokter Slamet, Garut, Jawa Barat. Haryanto (12) melakukan tindakan nekat itu, Jumat (22/8), sekitar pukul 09.15. Ia terdorong rasa malu sesudah mengetahui bahwa ibunya tidak memiliki uang yang ia butuhkan. Anak sulung dari tiga bersaudara keluarga Suryana (42) yang sehari-hari bekerja sebagai buruh pikul di Pasar Ciawitali, Garut, ini adalah siswa kelas VI Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sanding IV, Kabupaten Garut. Rustiana, guru kelas VI SDN Sanding IV menceritakan, peristiwa ini bermula ketika pada Selasa (19/8) siang ada dua orang tamu yang masuk ke kelasnya guna menawarkan kegiatan ekstrakurikuler membuat sulaman burung dan mistar. Untuk biaya membeli bahan baku, setiap siswa yang mengikuti kegiatan membuat sulaman burung diminta membayar Rp 2.500. Sementara yang ingin membuat mistar harus membayar Rp 3.500. "Kegiatan itu sebenarnya tidak wajib hingga tidak semua siswa mengikutinya," jelas Rustiana. Sebagai bukti, Rustiana lalu menyodorkan data bahwa dari 19 siswa kelas VI hanya 14 orang saja-termasuk Haryanto-yang mengikutinya. Saat itu, Haryanto memilih membuat sulaman burung. Pada hari Rabu hingga Jumat, lanjut Rustiana, siswanya yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler secara silih berganti membayar uang kepadanya. "Pada Jumat pagi semua siswa sudah lunas membayar kecuali Haryanto. Kebetulan pagi itu dua orang yang menawarkan kegiatan ekstrakurikuler datang lagi ke sekolah. Melihat hal ini, saya lalu bilang ke siswa bahwa orangnya sudah datang," tutur Rustiana. Mendengar informasi ini, sekitar pukul 09.00, Haryanto yang merasa sebagai satu-satunya siswa yang belum membayar lalu minta izin ke Rustiana untuk kembali ke rumah yang berjarak sekitar 300 meter dari sekolah guna mengambil uang. Sesampai di rumah Haryanto lalu menemui ibunya, Karni (39), yang sedang sibuk memasak di dapur untuk meminta uang Rp 2.500. Oleh karena tidak memiliki uang, permintaan ini ditolak. "Saat itu saya memang tidak memiliki uang sesen pun. Paginya suami memang memberi Rp 7.000, namun sudah habis untuk belanja keperluan dapur. Suami saya memang masih punya Rp 2.000. Tetapi, saat itu dia sedang pergi. Dan, lagi pula uang itu rencananya untuk bekal ke pasar nanti malam," jelas Karni yang memiliki tiga anak, yaitu Haryanto (12), Rijal (7), dan Restu (1,5). Jika pergi ke Pasar Ciawitali, Suryana, suami Karni, memang selalu membawa uang untuk membeli makan. Dalam satu kali bekerja, yang berlangsung antara pukul 23.30 hingga 08.00 keesokan paginya, Suryana mengaku biasa mendapat penghasilan sekitar Rp 20.000. "Kebetulan pada Kamis malam suami saya tidak ke pasar karena sedang tidak enak badan. Jadi, uang yang saya miliki pada Jumat pagi amat terbatas," jelas Karni. Saking terbatasnya uang yang dimiliki, pada Jumat pagi itu juga, Karni terpaksa meminjam Rp 2.000 dari Juju, tetangganya, untuk membeli minyak tanah. Kawat telepon Mendengar permintaannya tidak dipenuhi, Haryanto terus merengek, bahkan sampai menangis. Melihat ibunya bergeming, anak yang jarang meminta uang kepada orangtuanya itu mengambil gulungan kawat telepon bekas tali jemuran yang disimpan di kolong dapur. Haryanto lalu pergi ke halaman belakang rumahnya yang berbentuk panggung dengan dinding bilik bambu berukuran 4 x 5 meter. Dengan bantuan kusen yang ditumpuk, Haryanto lalu mengikatkan salah satu ujung kabel telepon yang dia bawa ke usuk rumahnya dan ujung lainnya ke leher. "Tiba-tiba saya mendengar suara keras jatuh di belakang rumah," ujar Karni yang kemudian berlari ke belakang rumah. Betapa terkejutnya Karni ketika melihat Haryanto yang masih menggunakan pakaian seragam Pramuka sudah menggantung diri dengan lidah menjulur keluar. Suara yang didengar Karni rupanya berasal dari kusen tempat pijakan Haryanto yang jatuh. "Saya hanya dapat berteriak melihat pemandangan itu," kata Karni. Para tetangga yang mendengar teriakan Karni berdatangan dan menurunkan Haryanto dari tali gantungan. Haryanto yang sudah tidak sadarkan diri lalu dibawa ke rumah sakit. Hingga Sabtu malam, Haryanto yang memiliki berat sekitar 30 kilogram ini belum sadarkan diri. Pernapasannya masih dibantu dengan oksigen dan infus dengan kecepatan 10 tetes tiap menit yang menempel di tangan kanan, sementara perban warna coklat terlihat menutupi lehernya. Sebagai biaya pengobatan Haryanto, Suryana mengaku telah mendapat bantuan Rp 250.000. "Sekarang tinggal Rp 37.000 karena yang Rp 213.000 sudah habis untuk membeli obat," jelas Suryana. Guna menetralisir keadaan, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Kecamatan Garut Kota Warsyan SI meminta Rustiana untuk sementara waktu tidak mengajar dahulu. (NWO) --------------------------------------------------------------------- >> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]