OOT, maaf ya buat yang tidak berkenan...

cheers

-----Original Message-----
From: Jacqueline SOUISA [mailto:[EMAIL PROTECTED]

Matinya Akal Sehat 

BARU satu minggu merayakan Proklamasi 17 Agustus, Indonesia sudah 
tidak lagi merdeka. Hampir semua orang yang membaca berita harian 
ini pada hari Minggu lalu tiba-tiba merasa sedih dan marah. Dada 
terasa sesak, perut seperti kemasukan kupu-kupu, dan saya yakin 
tidak sedikit yang meneteskan air mata. 

Judul berita itu, Seorang Siswa SD Gantung Diri -Tak Mampu Bayar 
Biaya Kegiatan Ekstrakurikuler. Isinya, Haryanto (12) melakukan 
tindakan nekat itu karena tak mampu membayar biaya kegiatan 
ekstrakurikuler sebesar Rp 2.500. Haryanto, pelajar sekolah dasar 
kelas enam itu, gantung diri di belakang rumahnya di Garut, Jawa 
Barat. 

Bagi sebagian pembaca berita tragis Haryanto itu, hari Minggu yang 
seharusnya anteng dan dinikmati dengan santai itu menjadi terasa 
semakin panas dan sumpek. Setelah disuguhi berita gantung diri itu, 
entah mengapa, terjadi ceceran-ceceran peristiwa tragis yang 
memperlihatkan fenomena mengenai matinya akal sehat. 

Seorang teman bukan hanya merasa nelongso, tetapi juga geram kepada 
rentetan peristiwa menyedihkan yang ditayangkan di pesawat 
televisinya. "Dunia memang kejam," katanya. Bagaimana tidak? Di 
layar kaca pada program acara Buser, dia menyaksikan dua anak 
mencuri untuk membeli buku sekolah, lalu ada suami istri yang 
mencuri setandan pisang untuk bertahan hidup. 

"Wajah mereka dengan terang-terangan diperlihatkan kamera televisi. 
Banyak polisi di sekeliling mereka," katanya. Wajah-wajah koruptor 
enggak pernah disorot seperti itu, enggak pernah boleh dimuat 
lengkap namanya, dengan dalih presumption of innocence. 

Gantung diri gara-gara butuh uang Rp 2.500, mencuri karena perlu 
membeli buku, atau mengambil barang yang bukan haknya sekadar untuk 
melanjutkan hidup. "Hidup memang tidak fair," kata seorang 
teman. "Apa bener kita sudah merdeka?" gugat teman yang lain dengan 
suara bergetar karena sedih banget terhadap nasib Haryanto. 

Pilihan hidup atau mati di abad milenium, dengan pasar global dan 
perdagangan bebas yang supercanggih karena penuh dengan kemajuan 
ilmu pengetahuan dan teknologi ini, ternyata masih tergantung dari 
uang Rp 2.500. "Sementara miliaran rupiah dihamburkan para petualang 
politik," kata teman lainnya. 

Semua pembicaraan dengan teman-teman itu masih terekam dengan sangat 
jelas. Teman lainnya bahkan lebih ekstrem pendapatnya. "Kenapa sih 
yang dibom Hotel JW Marriott? Kenapa enggak gedung... (maaf, sensor) 
saja yang dibom!" kata teman yang hatinya memang cepat panas itu. 

Tidak fair menyalahkan pemerintah atau DPR atau partai- partai 
politik. Tidak adil pula mempersoalkan kedudukan Mbak Mega atau Pak 
Amien atau Bang Akbar dalam soal gantung diri ini. Tetapi, entah 
mengapa, orang-orang yang saya wawancarai kok melemparkan rasa sebal 
mereka kepada pemimpin dan politikus negeri ini? 

Semua simpati dari hati yang dalam, maupun tekad kemauan untuk 
mengulurkan tangan saat ini, memang untuk Haryanto serta dua anak 
dan suami istri yang mencuri itu. Dan mohon maaf, kemarahan publik 
akhir- akhir ini memang ditujukan kepada Anda semua yang duduk di 
kursi pemerintahan, parlemen, maupun partai-partai politik. 

Yang jelas, walaupun ikut lomba tujuhbelasan, Haryanto bukanlah 
anggota Paskibraka yang mengerek bendera dalam upacara khidmat di 
Istana Merdeka, apalagi pahlawan penerima tanda jasa Mahaputra. Dia 
bukanlah anak pejabat atau konglomerat, hanya putra dari keluarga 
melarat. 

Bagi orang bermobil, Rp 2.500 kira-kira sama dengan sewa parkir dua 
jam di Jakarta. Rp 2.500 tidak cukup untuk membeli sebungkus rokok, 
apalagi untuk jajan somai atau bakso ditambah satu teh botol di 
pinggir jalan. Mana ada sopir ojek atau bajaj yang mau dibayar Rp 
2.500 walaupun hanya mengantar ke jarak yang jauhnya hanya 
selemparan batu? 

Ayah Haryanto memang cuma buruh pikul yang barangkali tidak pernah 
mengenal program pengentasan rakyat dari kemiskinan atau apa itu 
rakyat di bawah garis kemiskinan dan keluarga prasejahtera. Boro- 
boro mengerti pengentasan rakyat dari kemiskinan, keluarga Haryanto 
mungkin enggak tahu ada Program Wajib Belajar 9 Tahun. 

Padahal, Haryanto dan kedua orangtuanya tinggal di negara makmur 
gemah ripah loh jinawi. Kalau menurut Koes Plus, kemakmuran bagaikan 
kolam susu, air dan tanah cukup menghidupimu, tongkat kayu dan batu 
jadi tanaman. Orang- orangnya selalu tutwuri handayani, Anda wira- 
wiri, hamba datang melayani. 

Insya Allah, kalau sudah sembuh, kita ajak Haryanto berkunjung ke 
Jakarta untuk mengenal mata pelajaran baru, namanya Matinya Akal 
Sehat. Ini merupakan mata pelajaran yang wajib diikuti setiap 
pelajar yang merupakan modifikasi serta kombinasi mata pelajaran 
Budi Pekerti yang sudah lama hilang dengan Pendidikan Pancasila dan 
Kewarganegaraan (PPKN). 

Metode terbaik untuk mempelajari Matinya Akal Sehat adalah dengan 
mengikuti perkembangan berita korupsi di koran-koran nasional. 
Haryanto seharusnya membaca judul berita headline di halaman muka 
harian ini beberapa hari lalu: Penyimpangan Penggunaan Dana 
Perbankan di Rekening 502 Mencapai Rp 20.908.000.000.000 (Dua Puluh 
Triliun 908 Miliar Rupiah). 

Kalau dana ini dibagikan kepada semua anak kelas enam di Indonesia, 
mereka bisa bolak- balik untuk studi banding ke luar negeri, seperti 
anggota- anggota DPR dan DPRD kita. Mereka enggak perlu diam-diam 
dan serba rahasia untuk berangkat ke Paris atau London, dan KBRI- 
KBRI pasti dengan senang hati mau melayani mereka. 

Dalam pemberitaan media massa nasional diketahui bahwa utang 
konglomerat pemilik bank yang menggerus uang rakyat Indonesia lewat 
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sekitar Rp 500.000.000.000.000 
(Lima Ratus Triliun Rupiah). Kok enggak pernah ada stasiun televisi 
yang menyiarkan dengan jelas wajah-wajah mereka lewat acara-acara 
kriminal yang semakin banyak di stasiun-stasiun televisi kita? 

Mereka sungguh enak dan nyaman hidupnya. Enggak perlu gantung diri, 
ongkang-ongkang kaki ke luar negeri, dan bersilaturahmi ke kantor 
Kejaksaan Agung. Toh, sudah ada BPPN yang mengurus utang mereka, 
yang sebentar lagi dibubarkan sehingga memerlukan dana pesangon 
sebesar Rp 500.000.000.000 (Lima Ratus Miliar Rupiah). 

Teman saya, Emir Moeis yang mulai hari Rabu pekan ini resmi menjadi 
Ketua Komisi VII DPR yang mengurusi masalah energi, mengungkapkan 
bahwa tindak korupsi proyek listrik di Balongan mencapai US$$ 
300.000.000 (Tiga Ratus Juta Dollar AS). Kalau mempunyai uang 
sebanyak itu, mungkin giliran saya yang gantung diri! 

Haryanto sebaiknya juga membaca paragraf berita ini: "DPR menilai 
rencana anggaran Pemilu untuk tahun anggaran 2004 sebesar Rp 
3.458.000.000.000 (Tiga Triliun Empat Ratus Lima Puluh Delapan 
Miliar Rupiah) yang diajukan Komisi Pemilihan Umum masih realistis." 

Jika anggaran ini disalurkan kepada anak-anak sekolah dasar di 
seluruh Indonesia, bisa dipastikan Pemilu 2004 berlangsung paling 
jujur dan adil sepanjang sejarah Indonesia. Kalau Pemilu 2004 enggak 
usah diselenggarakan karena praktis tidak ada hubungannya dengan 
nasib kita semua, maka kegiatan ekstrakurikuler anak- anak Indonesia 
tidak akan kalah dengan anak-anak di Amerika atau Eropa. 

Haryanto gantung diri gara- gara Rp 2.500 saja. Padahal, 10 rusa 
tutul di Monas nilainya Rp 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah). 
Lebih enggak fair lagi bagi Haryanto, rusa-rusa itu berpesta pora 
setiap tanggal 27 Juli dengan menginjak-injak prasasti jejak kaki 
Gubernur DKI yang dipasang di areal pedestrian Taman Monas. 

Mata pelajaran Matinya Akal Sehat juga ada elemen berhitungnya. 
Hasilnya begini: 

1. Rekening 502: Rp 29,908 triliun 
2. BLBI: Rp 500 triliun 
3. Pesangon BPPN: Rp 500 miliar 
4. Balongan: 300 juta dollar AS 
5. Anggaran Pemilu: Rp 3,453 triliun 
6. 10 rusa tutul: Rp 60 juta 

Jika dijumlahkan, total dana Matinya Akal Sehat sekitar Rp 534 
triliun. Jika dibagi dengan bilangan Rp 2.500 yang dibutuhkan 
Haryanto, berarti ada berapa anak sekolah dasar yang kita cintai dan 
akan menjadi generasi penerus yang terancam gantung diri? 

Tiba-tiba dada sesak lagi. Terkenang masa kecil waktu kelas enam 
sekolah dasar ketika kita merayakan hari kemerdekaan setiap tanggal 
17 Agustus. Dalam upacara kita semua pelajar bersama-sama 
mengucapkan: 

"Proklamasi. 
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. 
Djakarta hari 17 boelan 8 tahoen 05. 
Atas nama bangsa Indonesia. 
Soekarno/Hatta. 
Sudahkah kita merdeka? * 

Sumber: Kompas - Selasa, 26 Agustus 2003 

---------------------------------------------------------------------
>> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke