FYI......
          hati2 sekarang musim pancaroba...Bapak2 & Ibu2 harus tetap
waspada yah..

         
Ketika Perut Terkena Flu 

Memasuki musim pancaroba, beragam penyakit infeksi pun menyerang. Salah
satu penyakit yang banyak diderita berbagai kalangan, khususnya
anak-anak, adalah gangguan saluran pencernaan, seperti disentri. 

Dharma Dhanajaya (19 bulan), misalnya, sampai mengalami dehidrasi dan
terpaksa dirawat inap di rumah sakit lantaran terserang flu perut alias
disentri. Bocah yang sehari-hari aktif bergerak itu pun hanya bisa
tergolek lemah ketika isi perutnya terkuras habis lantaran terus-menerus
mencret. 

Menurut penuturan Ika, ibu dari Dharma, semula ia dan suaminya mengira
hal itu terjadi lantaran susu formula yang dikonsumsi anaknya tidak
cocok. "Kebetulan waktu itu susu yang biasa diminum anak saya diganti.
Soalnya, susu yang dulu dia minum bikin susah buang air besar,
sembelit," kata perempuan yang sehari-hari membuka usaha warung makan di
Tangerang itu. 

Setelah menderita panas, Dharma beberapa kali buang air besar. Pada hari
kedua, frekuensi buang air besarnya sampai delapan kali. Ia pun mulai
tidak doyan makan, bahkan sempat beberapa kali muntah. Makin malam,
frekuensinya tambah sering sehingga ia pun dibawa ke unit gawat darurat
sebuah rumah sakit swasta. "Waktu itu tengah malam, jadi Dharma
diperiksa dokter jaga," tutur Ika. 

Ternyata serangan diare dengan tinja berlendir tambah hebat. Dharma pun
makin lemas. Bobotnya pun turun drastis. Akhirnya ia dibawa orangtuanya
ke Rumah Sakit ST Carolus Jakarta dan langsung dirawat inap selama
beberapa hari. Setelah dirawat intensif, serangan diare pun mereda dan
kondisinya berangsur pulih. "Kata orang, anak saya kena flu perut,"
ujarnya. 

Hal serupa juga dialami Yoel Christian Lumban Tobing (1 tahun 10 bulan),
anak dari pasangan Salomo Hasiholan Lumban Tobing dan Denny Jaya,
beberapa bulan lalu. "Kondisi awal anak saya sehat, tapi tiba-tiba
muntah. Setiap kali makan, selalu dimuntahkan lagi. Saya mengira itu
karena salah makan karena baru pulang dari Medan," tuturnya. 

Pada hari kedua, kondisinya tambah parah. Setiap kali makan, anaknya
selalu memuntahkan kembali disertai buang air besar dengan tinja yang
sangat kuning dan berlendir. Beberapa jam berselang, ia menderita panas
tinggi hingga mencapai 40 derajat Celsius. "Beruntung anak saya tidak
sampai kejang," kata Salomo. 

Karena mengira anaknya salah makan, ia dan istrinya membawa anaknya ke
bidan setempat di dekat rumahnya, di daerah Legok, Tangerang. Oleh
bidan, anaknya diberi obat antibiotik dan antimual. Ternyata, penyakit
yang diderita anaknya tambah parah. Dalam tiga hari, bobotnya susut
sampai empat kilogram, dari 12 kilogram menjadi 8 kg. 

"Wah, saya panik sekali. Begitu hari ketiga anak saya tidak juga sembuh,
saya langsung membawanya ke dokter spesialis anak. Ternyata anak saya
didiagnosis menderita flu perut. Saya juga baru tahu ada penyakit itu.
Kata dokter, kalau sampai terlambat dibawa ke dokter, anak saya bisa
mengalami dehidrasi berat dan menyerang otak," tutur Salomo menambahkan.



Anak-anak 

Sakit di sekitar perut dan pencernaan kerap kali hanya dianggap sebagai
sakit perut. Padahal, sakit perut itu beragam jenisnya, tergantung
penyebabnya. Salah satu penyebab sakit perut adalah masuknya kuman ke
dalam tubuh, seperti pada penyakit disentri yang menimbulkan muntah,
diare, dan nyeri saat buang air besar. 

"Sebagian masyarakat menyebutnya flu perut," kata spesialis penyakit
dalam dr Ari Fahrial Syam SpPD dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(FKUI-RSCM). Flu perut alias disentri melanda saluran pencernaan yang
ditandai adanya tinja berdarah, diare encer, buang ari besar dengan
tinja berlendir, dan nyeri perut. 

Penyakit disentri disebabkan bakteri (disentri basiler) maupun sejenis
amoeba. Dalam situs CDC disebutkan, ada beberapa jenis bakteri penyebab
disentri, yakni Shigella, Escherichia coli, Salmonella, dan
Campylobacter jejuni. Hampir semua kasus disentri berat dan mengancam
jiwa disebabkan bakteri Shigella. Sedangkan jenis amoeba yang ganas dan
hidup di daerah tropis adalah entamoeba histolytica. 

Jika disentri ameba banyak ditemukan pada anak usia di atas lima tahun,
disentri basiler biasanya dialami anak-anak berusia lebih muda dan bayi.
Penyakit ini terutama muncul di pemukiman padat tanpa adanya sanitasi
baik, tidak higienis dan keterbatasan persediaan air bersih, dan
cenderung mewabah pada puncak musim hujan dan panas. Hal ini juga jadi
masalah utama bagi tentara yang bertugas pada perang dunia pertama
karena buruknya sanitasi. 

Organisme ini disebarkan dari satu orang ke orang lainnya melalui
makanan dan air yang sudah dikotori atau yang disebarkan lalat. Kuman
disentri ini hidup dalam usus besar manusia dan menyebabkan luka pada
dinding usus. Inilah yang menyebabkan kotoran penderita sering kali
tercampur nanah dan darah. "Pada musim hujan, disentri perlu diwaspadai
karena sumber air sering tercemar, makanan kurang bersih dan banyak
sampah," kata Ari. 

Disentri basiler berawal dari masuknya kuman ke dalam saluran pencernaan
dan menyebabkan peradangan. Penyakit ini menyerang dengan tiba-tiba
sekitar dua hari setelah terkena kuman. Setelah demam tinggi, anak
kehilangan nafsu makan, muntah, mencret, dan nyeri perut. Penderita
mungkin mengeluarkan tinja encer yang berlendir dan mengandung darah
sampai 30 kali sehari sehingga ia bisa kekurangan cairan. Pada tahap
parah, infeksi terjadi hebat dan bisa menyebabkan kematian. 

Sementara disentri ameba ditandai diare disertai darah dan lendir dalam
tinja, frekuensi buang air besar lebih sedikit dibandingkan disentri
basiler, yakni kurang dari sepuluh kali per hari, dan sakit perut hebat
atau kolik. Bahkan, Entamoeba histolytica bisa menyebar lewat aliran
darah dan menginfeksi organ lain, seperti hati dan otak. 

Diare sering kali diasosiasikan dengan disentri yang berarti seseorang
kehilangan banyak cairan dalam tubuh. Dehidrasi dapat berakibat fatal
jika tidak segera ditangani karena bisa menyerang organ vital sehingga
fungsi hati dan otak terganggu. Ini bisa menimbulkan berbagai
komplikasi, seperti dehidrasi, gangguan elektrolit, dan kejang. 

Sejauh ini, diagnosis bisa ditegakkan dengan adanya tinja berdarah pada
pasien. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinja,
biakan tinja, dan pemeriksaan darah. Dr Charlie Easmon dalam artikelnya
yang dimuat di situs netdoctor.co.uk menyarankan agar penderita diare
dengan tinja berdarah sesegera mungkin dibawa ke dokter terdekat. 

Untuk mengobatinya, biasanya dilakukan dengan mengganti cairan yang
keluar seperti dengan oralit. Anak dengan disentri harus diteruskan
pemberian makanannya dengan diet lunak tinggi kalori dan protein untuk
mencegah malnutrisi dan meningkatkan kekebalan tubuh. Selain itu,
pemberian antibiotik yang tepat juga sangat penting untuk membunuh
kuman, menurunkan risiko komplikasi dan kematian. 

Jika terjadi epidemi, semua pasien disentri sebaiknya diberi antibiotik
dan oralit. Menurut situs www.UN.org, dalam sejumlah kasus, penderita
resisten terhadap banyak obat antimicrobial. Di satu kawasan pusat
Afrika, bakteri resisten terhadap semua jenis antibiotik oral yang ada.
Antibiotik sering kali efektif melawan penyakit hanya satu atau dua
tahun setelah diperkenalkan sehingga perlu penelitian lebih lanjut. 

Untuk mencegah terjadinya epidemi disentri, pendidikan kesehatan harus
terus dilakukan dengan mempromosikan pentingnya kebersihan badan, rumah
tangga, dan lingkungan sekitar. Hal ini termasuk mencuci tangan dengan
menggunakan sabun sebelum makan, menggunakan air minum yang bersih,
menjaga kebersihan makanan, dan sanitasi lingkungan yang bagus. 

Kekebalan tubuh juga harus ditingkatkan dengan mengonsumsi makanan
bergizi. Menurut Ari, tidak setiap orang menderita flu perut atau
disentri kendati mengonsumsi makanan yang sama. 

"Meskipun makanan telah tercemar atau kurang bersih, tapi kalau ternyata
daya tahan tubuhnya bagus, ia bisa terhindar dari masalah gangguan
pencernaan," ujarnya. 

Dengan deteksi dini adanya epidemi disentri, terutama pada musim
pancaroba, maka kematian akibat gangguan saluran pencernaan, seperti
disentri, bisa dicegah. 

"Sebenarnya penyakit saluran pencernaan, seperti diare dan disentri,
tidak akan sampai menyebabkan kematian jika ditangani sejak dini.
Masalahnya, kadang kita menyepelekan," kata Dr. Ari Fahrial Syam. 
 

         


         Mbah Brewok 

Kirim email ke