Dear all Sp....
ada artikel dr milis sebelah, mudah2an bisa menjadi wacana dalam mendidik
anak-anak kita baik untuk muslim dan non muslim, karena pada dasarnya semua
ingin memberi yang terbaik buat anak-anaknya.
rgrds,
R
Kiat-kiat mendidik anak
Ketika anak kita lahir, atau bahkan ketika kita hendak berangkat
menikah, yang terbersit dalam hati barangkali adalah kerinduan untuk
memiliki anak yang berbakti kepada-Nya. Inilah anak yang dirindukan oleb
kaum mukmin. Anak yang hukma-shabiyya rabbiradhiyyab (semenjak kecil telah
memiliki kearifan dan sekaligus diridhai Tuhan). Anak shalih yang
mendo'akan ketika para pelayat telah selesai menimbunkan tanah di pekuburan
kita.
Kerinduan untuk memiliki anak yangherbakti kepada-Nya sejak kita
berkeinginan untuk menikah, bukan saja boleh. Bahkan kita perlu membakarnya
agar lebih meluap-luap lagi. Sehingga kerinduan itu membuat kita
mempersiapkan diri.Kalau Anda merindukan anak-anak yang demikian, mari kita
dengarkan kata-kata Rasulullah: "Allah merahmati seseorang yang membantu
anaknya berbakti kepada-Nya," sabda Nabi SAW. Beberapa orang di sekeliling
Nabi bertanya: Bagaimana caranya, ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Dia
menerima yang sedikit darinya, memaafkan yang menyulitkannya, dan tidak
membebaninya, tidak pula memakinya."
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulullah bersabda,
"Bantulah anak-anakmu untuk berbakti. Siapa yang menghendaki, dia dapat
melahirkan kedurhakaan melalui anaknya." Siapa yang menghendaki, begitu
Rasullullah yang mulia berkata, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui
anaknya. Semoga tidak satupun di antara kita yang menghendaki anak-anak
yang durhaka. Semoga tidak satu pun. Tetapi apa yang sudah kita lakukan?
Sudahkah kita membantu anak-anak kita untuk berbakti sebagaimana yang
diserukan oleh Rasulullah SAW?
Saya tidak berani menjawab. Marilah kita bertanya pada diri kita
masing-masing. Selanjutnya, marilah kita tengok sekeliling kita. Mereka yang
frustasi dan memberontak pada orangtua, anak-anak siapakah itu? Mereka yang
tertangkap saat meminum obat-obat terlarang, anak-anak siapakah itu? Mereka
yang berkelahi dan saling menerkam, anak-anak siapakah itu? Mereka bukan
orang lain. Di antara mereka adalah anak-anak orang Islam. Bapaknya Islam.
Ibunya Islam. Dan kampung mereka dikenal sebagai kampung Islam. Mengapa ini
terjadi?
Saya tidak berani menjawab. Marilah kita bertanya pada diri kita
masing-masing. Pada saat yang sama, marilah kita lihat apa yang terpancang
di rumah-rumah saudara kita. Kalau dulu mereka mengisi saat-saat yang sepi
dengan kidung barzanji atau maulid nabi, sekarang telah berganti dengan
antena parabola dan pesawat televisi di atas 30 inchi. Kalau dulu mata yang
maksiat ditangisi tak henti-henti, sekarang hiburan telanjang dihadirkan ke
rumah-rumah orang "mukmin" melalui televisi dengan mengorbankan
waktu-waktu produktif.
Sementara, koran-koran menyajikan isu dan gosip yang tak jelas ujung
pangkalnya lantaran semua telah berdiri di atas agama baru yang bernama
bisnis dan konsumtivisme. Baju baru menjadi lebih berharga daripada harga
diri, sehingga seorang gadis bersedia tidak perawan lagi demi memperolek
gemerlap mode dan penampilan trendy. (Semoga Allah mensucikan kita dan
keturunan kita dan hal-hal yang demikian).
Masya-Allah, betapa banyak yang telah kita lupakan atau bahkan sengaja
kita tinggalkan. Kalau dulu tetangga merasa ikut bertanggungjawab atas
kebaikan anak tetangganya sehingga anak-anak berkembang dalam kesejukan,
sekarang ketika orangtua mendapati anaknya nakal yang terucap adalah
kata-kata, "Apa salah saya? Kenapa anak saya yang begini? Padahal,
perasaan, tidak pernah menyakiti orang lain."
Kenapa anak saya yang begini? menyiratkan kesaksian hati untuk
mengikhlaskan anak-anak orang lain rusak, asal jangan merusak anak sendiri.
Sehingga ketika anak sendiri yang rusak, pertanyaan yang muncul adalah,
"Kenapa anak saya yang begini? (Kenapa bukan anak orang lain?)" Ya, kenapa
begini.
Ada banyak hal yang perlu kita renungkan kembali. Tetapi, saat ini,
marilah kita mengingat-ingat hadis Nabi sebagaimana kita simak di awal
tulisan ini. Semoga kita termasuk orang-orang yang dirahmati Allah, dengan
melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Rasulullah SAW dalam membantu anak
kita berbakti kepada-Nya, yaitu:
1. Menerima yang Sedikit
2. Memaafkan yang Menyulitkan
3. Tidak Membebani
4. Tidak Memakinya
1. Menerima yang Sedikit
Setiap anak telah diberi kelebihan oleh Allah 'Azza wa Jalla, dan ia
dimudahkan untuk melakukan apa yang menjadi kelebihannya (bakat).Setiap anak
memiliki kadar kelebihan yang berbeda-beda dan jenis keberbakatan yang
beragam-ragam. Saya mempunyai bakat menulis, alhamdulillah itu saya telah
memupuknya sehingga subur, dan orang lain juga mempunyai bakat menulis.
Tetapi bakat saya menulis, berbeda dengan bakat menulis orang lain.
Amanahnya juga berbeda antara saya dan orang lain. Ada anak yang bakatnya
sangat beragam, sehingga ia menyukai hampir semua bidang dan mampu
berprestasi di setiap bidang yang ia geluti.
Imam Syafi'i adalah salah satu contohnya.Ia meletakkan dasar-dasar
ilmu ushul-fiqh, menetapkan qaul-qaul (pendapat hasil ijtihad) fiqih,
menguasai ilmu firasat, memahami dan sekaligus termasuk ulama hadis yang
piawai, serta sejumlah bidang keilmuan sejenis lainnya. Beliau juga orang
yang banyak mendalami ilmu fisika, kimia, kedokteran, ilmu hitung, ilmu
falak, perbintangan dan ilmu-ilmu empiris lainnya. Ada yang bakatnya hanya
pada satu bidang, sementara bidang lainnya lemah.
Bahkan ada yang semula tampak sangat kesulitan dalam bidang tertentu,
tetapi kemudian menjadi seorang yang paling menguasai. Setiap anak memiliki
kelebihan, betapa pun sedikitnya.Betapa pun sedikitnya. Betapapun saat ini
masih samar-samar. Atau, bahkan belum kelihatan.
Tugas Anda adalah menerima anak dengan hati terbuka dan cinta yang
tulus. Terimalah yang sedikit dengan menjadikan diri Anda seorang ibu yang
aminah, ibu yang menjadi sumber rasa aman bagi anak-anak Anda.Sehingga
Andalah yang menjadi pelariannya ketika ia gelisah. Pangkuan Andalah yang
dicari-cari tatkala Ia tidak bisa ulangan maternatika.Bukan justru takut
mendengar suara sepatu Anda.
Terimalah yang sedikit. Jangan terlalu banyak menuntut anak. Bisa jadi
anak menjadi seperti yang Anda tuntut saat ini, tetapi jangan-jangan ia akan
mengalami sejumlah masalah kejiwaan yang tak kunjung selesai.Beruntung kalau
ia memperoleb jawaban yang menyejukkan hati di kitab suci. Kalau tidak,
jangan-jangan tindakan orangtua terlalu menuntut anak termasuk di antara
perbuatan yang menyebabkan anak melakukan kedurhakaan. Na 'udzubillahi min
dzalik.
Terimalah yang sedikit. Dan biarkan kasih-sayang, keteduhan dan
kedamaian belaian tangan Anda menjadi tanah subur tempat anak menumbuhkan
yang sedikit itu menjadi banyak dan berharga. Sedangkan do'a-do'a yang Anda
panjatkan di penghujung malam, menjadi air dan penjaga kesucian tujuan serta
niat Anda dalam mendidiknya sampai kelak Anda berjumpa lagi di
yaumil-qiyarnah Semoga kita termasuk orang-orang yang dikumpulkan dengan
anak-cucu dan orangtua kita.
2. Memaafkan yang Menyulitkan
Ketika SD dan SMP saya mempunyai kesulitan dalam mata pelajaran bahasa
daerah, disamping olahraga. Saya orang Jawa asli. Ibu Jawa dan bapak juga
Jawa. Tetapi saya kesulitan bukan main untuk belajar bahasa Jawa.Ulangan
bahasa daerah, sudah lumayan bisa mendapat nilai 5. Kalau tidak, saya malah
mendapat nilai 4 atau 3. Sebuah angka yang istimewa karena jarang yang
mendapatkannya.
Tentu saja bukan angka istimewa ini yang membuat saya bahagia. Nilai
saya yang hampir selalu rendah dalam bahasa daerah, tidak menimbulkan
masalah yang menyulitkan perkembangan saya lantaran ibu memaafkan apa yang
menyulitkan saya. Ketika saya bercerita bagaimana hari itu saya mendapat
nilai yang jelek (jelek sekali) dalam bahasa daerah, ibu justru balik
bercerita bahwa beliau semasa sekolah juga mempunyai kelemahan dalam mata
pelajaran tertentu.
Ibu bercerita tentang kecerdasannya dalam pelajaran bahasa daerah,
tetapi lemah dalarn mata pelajaran yang justru menjadi kelebihan saya.
Sekali waktu, ibu membawakan buku biografi Albert Einstein, seorang penemu
rumus E = MC2 yang awalnya di-DO dan sekolah lantaran bodoh. Kali lain,
saya dibawakan buku biografi Thomas Alva Edison, ilmuwan cemerlang yang
pernah dianggap sinting gara-gara mengerami telur angsa (tentu saja tidak
bisa menetas). Ibu juga membawakan buku-buku biografi lainnya, sehingga saya
merasa aman terhadap diri saya dan menerima kelebihan, kekurangan maupun apa
yang oleh orang lain disebut kelemahan saya.
Kesulitan anak bisa beragam. Tidak hanya yang berkait dengan kecakapan
di kelas. Anak barangkali cerdas di kelas, tapi ia membutuhkan proses yang
lebih lama untuk bisa memakai dan meletakkan sepatu dengan baik.Anak
barangkali cepat tanggap terhadap ta'lim (pendidikan) yang diberikan oleh
bapaknya selepas shalat maghrib, tapi sulit mengucapkan 'ain dengan benar.
Memaafkan yang menyulitkan sambil tidak berputus asa terhadap rahmat
Allah, insya Allah justru menjadikan anak berkembang dengan baik dan mampu
mengatasi sendiri kesulitan-kesulitannya.Memaksa, memarahi, apalagi sampai
membandingkan hal-hal yang rnenyulitkan anak dengan kecakapan anak lain,
justru rawan terhadap berbagai jenis penyimpangan perilaku. Boleh jadi anak
tidak nakal lantaran takut terhadap sikap keras Anda. Tetapi ia mungkin
akan menjadi minder, rendah diri, dan kurang bisa bersikap tegas. Mungkin
juga ia justru sebaliknya, menjadi sensitif, mudah tersinggung, kaku dan
mudah tersulut kemarahannya.
Ibu Albert Einstein bisa memaafkan kesulitan yang menimpa anaknya.Ia
membimbing anaknya dengan penuh kasih-sayang dan kesabaran. Ia tidak
membebani anaknya. Kelak, anaknya menjadi ilmuwan terkenal yang
sukses.Nasehat untuk memaafkan yang menyulitkan anak, ternyata tidak hanya
efektif untuk kita yang muslim. Ia juga tepat untuk mereka yang belum
mengenal Islam.
Nah, kalau sekarang Anda belurn memaafkan hal-hal yang menyulitkan
anak Anda, marilah kita segera membenahi diri selagi pintu belum
tertutup.Boleh jadi, rnaksud memaafkan yang menyulitkannya lebih luas lagi,
yaitu memaafkan perilaku anak yang menyulitkan orang tua. Semoga dengan
demikian, mereka kelak menjadi anak yang menyejukkan mata.
3. Tidak Membebani
Allah tidak membebani manusia, kecuali sebatas kemampuannya. Ketika
Allah 'Azza wa Jalla memerintahkan manusia untuk bertakwa, yang Ia
perintahkan adalah fattaquLlaha mastatha'tum (bertakwalah semampu kamu).
Ketika Allah Jalla wa 'Ala menyerukan manusia untuk melaksanakan berbagai
kebajikan, yang Allah serukan adalah ahsanu-amala (sebaik-baik amal). Bukan
aktsaru-amala (sebanyak-banyak amal).
Ketika Rasulullah SAW mengajak sahabatnya untuk melaksanakan apa yang
beliau perintahkan, yang beliau katakan adalah, "Jika aku larang kau
melakukan sesuatu, maka jauhilah, dan jika aku perintahkan kau untuk
melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampu kamu. (Muttafaq 'Alaih,
diriwayatkan Bukhari & Muslim)
Orangtua yang menginginkan anak berbakti kepadaNya, hendaklah tidak
membebani anak dengan tugas-tugas yang tidak mampu ia
lakukan.Ketidakmampuan anak bisa disebabkan oleh belum siapnya anak untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang dikehendaki orangtua, bisa lantaran usia
anak maupun kesanggupan fisik anak belum memungkinkan, bisa pula lantaran
tingkat kemampuan anak belum memadai.
Tugas-tugas atau tuntutan yang baik akan berakibat baik sebagaimana
dikehendaki, jika dilaksanakan pada waktu yang tepat, dengan cara yang
tepat, takaran yang tepat, dan membawa kemaslahatan bagi anak di masa-masa
berikutnya. Inilah antara lain pengertian dari istilah hikmah.
Didiklah anak dengan bijak dan lemah-lembut.Tanamkan padanya keinginan
untuk melakukan kebajikan-kebajikan dengan sebaik-baiknya menurut kadar
kesanggupannya. Jangan terlalu menuntutnya untuk mampu melakukan segala
macam tugas seperti yang anda kehendaki, saat ini juga. Jangan
membanding-bandingkan Ia dengan saudaranya yang memiliki prestasi lebih
bagus dalam bahasa Inggris, misalnya. Hindari terlalu banyak membebani anak
dengan berbagai keharusan.
Perintah-perintah yang terlalu banyak menggunakan kata harus, bukannya
memotivasi anak. Justru melemahkan. Perintah serba harus dan jangan dengan
serta-merta, tidak merangsang anak untuk kreatif dan antusias melakukan
kebaikan. Sebaliknya, ia secara perlahan berubah menjadi mesin yang
kehilangan inisiatif-inisiatif kreatif maupun kecakapan berinovasi. Ia
hanya melaksanakan apa-apa yang sudah diinstruksikan.
Selebihnya, mudah-mudahan ia tidak mengalami tekanan mental yang
berkepanjangan.Dalam 'ushul-fiqli dikenal waidul-khamsah (lima prinsip
dasar), salah satunya adalah terpeliharanya akal. Kalau orangtua terlalu
membebani anak dengan tugas-tugas yang belum sanggup ia lakukan atau dengan
tuntutan untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, apakah ini tidak
termasuk pengebirian akal dan bahkan jiwa? Wallahua'lam bishawab.
Abul Laits rahimahullah, menurut Shalih Baharits menggambarkan
kasih-sayang dan perlindungan ulama salaf terhadap anak-anaknya dan
perbuatan yang menyakitkan orangtuanya. Beliau berkata bahwa sebagian kaum
shalihin tidak memerintahkan anak suatu beban yang dikhawatirkan akan
mengantarkan anak mendurhakai orangtuanya sehingga menyebabkannya masuk
neraka. Itulah pandangan ulama salaf yang memiliki pandangan yang jauh
tentang kasih-sayang kepada anak dan keutamaannya membantu anak selamat di
dunia dan di akhirat. Sehingga setiap hendak memerintahkan kepada anaknya,
mereka selalu berfikir, "Apakah anakku akan sanggup melakukannya? Kalau
tidak sanggup, bukankah itu berarti aku telah rnenjerumuskannya ke dalam
kebinasaan?"
Seorang ibu ketika hendak memberikan perintah kepada anaknya,
hendaklah memperhatikan betul apakah perintahnya akan mudah dilaksanakan
anak atau tidak. Seorang ibu perlu berusaha dengan sungguh-sungguh agar
anaknya tidak berkesempatan untuk menolak perintah orangtua. Ini bukan
dengan menggunakan kekuasaan sebagai orangtua untuk rnemaksa, tetapi dengan
berhati-hati betul dalam mernberikan perintah. la hanya memberikan perintah
yang anak sanggup melaksanakannya, kecuali tugas-tugas yang sifatnya saran
dan dorongan saja.
Kalau seorang anak memperoleh tugas-tugas yang sanggup ia lakukan,
semangatnya akan berkembang. Di samping itu perasaannya terhadap orangtua
juga ikut berkembang ke arah yang baik, sehingga secara bertahap tumbuh
dorongan untuk berbakti kepada orangtua. Inilah yang dijaga oleh orangtua
terdahulu. Mereka takut anaknya mendapat murka Allah lantaran tidak
melaksanakan apa yang ditugaskan orangtuanya. Sementara tugas dari orangtua
itulah sesungguhnya yang berat dan mengejutkan anak.Mereka mengharapkan
anak yang barakah.
Kesabaran mereka bersumber dari kesadaran tentang rahmat dan murka
Tuhan. Lalu, apa akibatnya kalau anak senantiasa terbebani? Mungkin ia
menjadi anak yang minder dan tidak percaya diri.Mungkin ia menjadi seorang
opportunis yang kemana ia terbang tergantung pada kemana angin bertiup.
Mungkin ia menjadi seorang pemberontak yang menentang apa yang diperintahkan
orangtua, begitu ia merasa punya kekuatan. Mungkin juga ia memperoleh guru
yang menuntunnya dengan kearifan dan kesabaran. Gurunya bisa jadi ia
dapatkan di masjid, di sekolah, di pasar, atau di buku.
4. Tidak Memakinya
Ridha Allah bergantung pada ridha orangtua. Ucapan ibu adalah do'a
yang mustajabah. Apalagi jika lahir dan keadaan hati yang kuat.Itulah
sebabnya, para ibu terdahulu sangat menjaga lisannya agar tidak pernah
sekalipun mengucapkan kata-kata yang buruk bagi anaknya. Ia lebih memilih
untuk menangis ketika ia tak tahan lagi menahan kesal, daripada rnengucapkan
sumpah atan memberi julukan kepada anak sesuatu yang buruk, misalnya, "Kamu
ini kok nakal, sih?"
Mereka menahan lidah sekuat-kuatnya, karena takutnya mereka kepada
Allah. Mereka menjaga ucapannya sebisa-bisanya karena takut ucapan yang
sekarang, menjadi jalan untuk mengucapkan makian pada anaknya. Sebab ucapan
seorang ibu kepada anaknya, terutama ucapan-ucapan yang keluar dan hati yang
paling dalam, akan menghunjam tepat di lubuk hati anak.
Kalau sekali waktu seorang ibu mengucapkan kata yang buruk, ia segera
berlari untuk memohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengasih. Kemudian ia
meminta maaf kepada anaknya.Di saat inilah, anak justru mendapatkan
pelajaran yang nyata. Tangis ibu dan permintaan maafnya, menggerakkan anak
untuk rnenanggalkan kenakalan-kenakalan, dan menggantinya dengan akhlak
yang baik. Ketika seorang ibu meminta maaf kepada anaknya, yang terjadi
justru anak akan ikut menangis.
Atau, peristiwa itu menjadi sejarah besar yang mengesankan dan
mempengaruhi pertumbuhan pribadinya. Ia belajar mengenai akhlak yang mulia
dan kelemah-lembutan ibu. Dan bukan sebaliknya, yakni makian.Caci-maki hanya
mendorong anak untuk melakukan kenakalan yang lebih besar, di samping
sebagai pelajaran bagi anak itu sendiri bagaimana mencaci yang menyakitkan
orang. Makian orangtua justru menjadikan anak kebal terhadap makian,
nasehat, dan perkataan yang kasar. Kata yang kasar akan ia balas dengan
kata yang kasar dan suara lantang.
Caci maki tidak merangsang anak untuk memiliki kepekaan terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Fir'aun adalah musuh Allah. Kezaliman Fir'aun
sangat melebihi batas. Ia bahkan telah mengaku menjadi Tuhan. Di tangannya,
Siti Masyithah menemui syahidnya setelah direbus dalam minyak
mendidih.Tetapi, terhadap orang yang sezalim itu, Allah 'Azza wa Jalla
memerintahkan Nabiyullah Musa alaihissalam agar menyeru Fir'aun dengan lemah
lembut. Allah SWT berfirman, "Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa
ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku. Pergilah
kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat akan takut" (Q.S. Thaahaa, 20:42-44).
Sebagai penutup, marilah kita renungkan sebuah hadis Nabi SAW, sambil
mernohon kepada Allah SWT agar mensucikan mulut kita yang masih kotor: Ibnu
Umar RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW berkunjung kepada Saad bin Ubadah.
Turut bersama beliau Abdurrahman bin Aufdan Saadbin, Abi Waqqash dan
Abdullah bin Mas 'ied RA, maka Rasulullah SAW tampak menangis. Begitu para
sahabat melihat beliau menangis, maka merekapun ikut menangis. Setelah itu
beliau berkata, "Apakah kalian tidak mendengar bahwa sesungguhnya Allah
tidak akan menyiksa seseorang karena tetesan air mata, dan tidak pula
karena kesedihan hati, akan tetapi Dia akan menyiksa karena ini atau
memberi rahmat (sambil menunjuk lidahnya)." (Muttafaq 'Alaih).
Disarikan dari buku yang berjudul "Bersikap Terhadap Anak - Pengaruh
Perilaku Orangtua terhadap Kenakalan Anak" karangan Moh. Fauzil Adhim.
The information transmitted is intended only for the person or the entity to
which it is addressed and may contain confidential and/or privileged material.
If you have received it by mistake please notify the sender by return e-mail
and delete this message including any of its attachments from your system. Any
use, review, reliance or dissemination of this message in whole or in part is
strictly prohibited. Please note that e-mails are susceptible to change. The
views expressed herein do not necessarily represent those of PT Astra
International Tbk and should not be construed as the views, offers or
acceptances of PT Astra International Tbk.
--------------------------------------------------------------
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]