***********************
No virus was detected in the attachment no filename
No virus was detected in the attachment no filename

Your mail has been scanned by InterScan.
***********-***********


SABURO YANG BODOH



Pada zaman dahulu kala ada seorang anak lelaki tinggal di sebuah tanah 
pertanian di Jepang. Namanya Saburo. Tetapi karena ia selalu berbuat bodoh, 
orang-orang memanggilnya Saburo yang Bodoh. Ia hanya dapat mengingat satu hal 
saja dalam satu waktu, lalu melakukan hal yang satu itu, tidak peduli betapa 
bodohnya hal itu. Ayah dan ibu Saburo mengkuatirkannya, namun mereka tetap 
berharap Saburo akan tumbuh menjadi lebih pandai. Mereka sangat sabar kepada 
Saburo.

Suatu hari ayah Saburo berkata, "Saburo, aku memerlukan bantuanmu di ladang 
hari ini. Tolong pergi ke ladang kentang dan galilah beberapa buah kentang. 
Setelah kau keluarkan dari tanah, aturlah baik-baik di atas tanah dan biarkan 
terjemur kering di bawah matahari."

"Aku mengerti, Ayah," sahut Saburo. Lalu ia memanggul cangkulnya di bahunya, 
kemudian pergi ke ladang kentang.

Saburo sedang sibuk menggali kentang ketika tiba-tiba cangkulnya menghantam 
sesuatu yang keras di dalam tanah. Ia lalu menggali lebih dalam dan menemukan 
sebuah guci besar yang telah lama terkubur di dalam tanah. Ketika ia melihat 
isinya, ia melihat banyak koin emas. Itu adalah harta karun yang sudah lama 
dikubur orang di sana.

"Ayah menyuruhku menggali dan mengeluarkan sesuatu dari tanah kemudian 
menjemurnya di bawah matahari," kata Saburo pada dirinya sendiri. Maka dengan 
berhati-hati ia menebarkan koin-koin emas itu di atas tanah. Ketika ia pulang 
ke rumah, Saburo menceritakan hal itu kepada ayah dan ibunya. "Aku menemukan 
seguci koin emas di dalam tanah, lalu menebarkannya di atas tanah di bawah 
sinar matahari."

Ayah dan ibu Saburo sangat terkejut mendengarnya. Mereka segera berlari ke 
ladang kentang, tetapi seseorang telah mengambil semua koin emas tersebut. 
Tidak ada koin emas lagi yang tersisa. "Lain kali jika kau menemukan sesuatu 
seperti itu," kata ayah Saburo, "kau harus membungkusnya dengan hati-hati dan 
membawanya pulang. Nah, jangan pernah lupa itu!"

"Aku mengerti, ayah," sahut Saburo.

Keesokan harinya Saburo menemukan seekor bangkai kucing bau di ladang. Ia 
membungkusnya dengan hati-hati lalu membawanya pulang. Ia merasa sangat bangga 
karena ingat apa yang dikatakan ayahnya. Namun, ayah Saburo berkata padanya. 
"Jangan bodoh. Lain kali kau menemukan yang seperti ini, kau harus 
menghanyutkannya di sungai."

 Keesokan harinya Saburo menggali sebungkah akar kayu besar. Ia berpikir keras 
dan mengingat-ingat apa yang dikatakan ayahnya tentang kucing bau. Maka ia 
membawa akar kayu besar itu ke sungai dan membuangnya. Air membuncah besar 
ketika akar kayu itu jatuh ke sungai.

Ketika itu seorang tetangga lewat lalu berkata, "kau seharusnya jangan membuang 
barang berguna seperti itu! Akar kayu itu bisa dijadikan kayu api yang bagus. 
Kau seharusnya memotong-motongnya menjadi kecil-kecil lalu membawanya pulang."

"Aku mengerti," sahut Saburo, lalu beranjak pulang. Di tengah perjalanan ia 
melihat sebuah poci teh berikut cangkirnya yang ditinggalkan pemiliknya di tepi 
jalan.

"Oh, ini ada barang berguna!" kata Saburo. Maka ia mengambil cangkulnya dan 
memecahkan poci teh berikut cangkirnya menjadi pecahan kecil-kecil. Kemudian ia 
mengumpulkan semua pecahan itu dan membawanya pulang.

"Ibu," katanya. "Lihat apa yang kutemukan dan bawa pulang untuk Ibu." Lalu ia 
memperlihatkan pecahan poci teh dan cangkirnya.

"Oh, ya ampun!" seru Ibu Saburo. "Itu poci dan cangkir teh yang masih baru yang 
kuberikan pada ayahmu untuk dibawa bersama makan siangnya. Dan sekarang kau 
telah benar-benar memecahkannya!"

Keesokan harinya ayah dan ibu Saburo berkata padanya, "segala yang kau lakukan, 
salah. Kami akan pergi ke ladang dan bekerja di sana. Kau tinggal saja di rumah 
dan jaga rumah." Lalu mereka meninggalkan Saburo sendirian di rumah.

"Aku betul-betul tidak mengerti mengapa orang-orang memanggilku Saburo yang 
Bodoh," kata Saburo pada dirinya sendiri. "Aku hanya menuruti perintah orang 
padaku!"

Sumber: Kumpulan Dongeng Klasik Jepang

Kirim email ke